Fenomena demografis global menunjukkan fakta bahwa lebih dari separuh penduduk dunia berada di kawasan perkotaan pada awal dekade kedua abad ke-21. Fenomena ini memerlukan perhatian kita bersama. Kawasan perkotaan yang semakin berkembang menuntut kebutuhan prasarana dan sarana yang semakin berkualitas. Perkembangan kawasan perkotaan tersebut berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun perkembangan tersebut juga menimbulkan implikasi pada meningkatnya tuntutan terhadap ruang perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
Sebagai
respon atas perkembangan kota yang semakin kompleks tersebut, maka menjadi
keniscayaan bahwa perencanaan kota secara konvensional harus diubah menjadi
perencanaan kota yang progresif dan implementatif. Progresif berani tanggap
terhadap perkembangan kota yang berjalan cepat dan juga terhadap isu perubahan
iklim.
Caranya
adalah mengadopsi prinsip pengembangan perkotaan berkelanjutan (sustainable
urban development). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan
generasi kini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendarang untuk dapat
memenuhi sendiri kebutuhan mereka. Prinsip ini menyelaraskan 3 (tiga) aspek
yaitu ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan, dengan fondasi urban
governance. Sedangkan implementatif berarti mampu mentransformasi teori menjadi praktis
nyata yang sistematis.
Pembangunan
perkotaan berkelanjutan perlu diawali dengan perencanaan tata ruang yang harus
selesai pada semua level, yaitu nasional, regional dan lokal. Syarat ini
memastikan bahwa pendekatan komprehensif sudah dilakukan, rermasuk pada kawasan
perkotaan.
Kota
yang berkelanjutan perlu menjadi prioriras pada pembangunan saat ini. Mengapa?
Karena akan membantu pengambilan kebijakan pada penyediaan kebutuhan
pelayanan, mengurangi biaya pembangunan infrastrukrur akibar pelayanan rerhadap
penduduk lebih terkonsentrasi, serta meningkatkan kerjasama pemerintah dengan
pihak swasta.
Pada
level nasional, instrumen yang harus dikembangkan adalah Kebijakan dan Strategi
Perkotaan Nasional (KSPN) serta Sistem Perkotaan Nasional dalam RTRWN. Instrumen
ini untuk mewujudkan pemerataan pembangunan wilayah. Selain itu instrumen tersebut
akan memandu pemerintah daerah dalam
memanfaatkan urbanisasi sebagai potensi pembangunan perkotaan,
khususnya bagi Indonesia sebagai negara berkembang.
Sementara
itu, pada level regional dan lokal, pemerintah daerah sangat berperan penting
dan besar pada implemenrasi pembangunan perkotaan secara efekrif dan efisien
sesuai dengan karakrerisrik dan isu-isu lokal. Ini karena merekalah yang sangat
dekat dengan masyarakat secara langsung.
Dalam
konsep pengembangan perkotaan yang berkelanjutan, kita perlu memahami bahwa
keberlanjutan bukanlah tujuan akhir pengembangan perkotaan. Keberlanjutan
adalah proses yang dilakukan secara terus-menerus untuk mewujudkan kualitas
ruang perkotaan yang mampu menyejahterakan warga masyarakatnya.
Oleh
sebab itu, dalam rangka mendorong perubahan paradigma pengembangan perkotaan
yang visioner, tanggap terhadap bencana
dan perubahan iklim, mampu menggali kearifan lokal, serta didukung
oleh kapasitas kelembagaan dan tata kelola yang
baik, SUD Forum Indonesia (SUD-FI) menyuguhkan pemikiran dan gagasan yang ditulis
oleh para anggotanya yang tertuang dalam 4 (empat) kluster yaitu
Planet, People, Prosperity, dan Governance.
Keempat
kluster ini adalah ejawantah 3 (tiga)
aspek pembangunan berkelanjutan (lingkungan, sosial, ekonomi) serta dibina
melalui tata kelola yang baik. Keempat kluster tersebut
mengakomodasi berbagai isu pengembangan perkotaan berkelanjutan yang saat ini tengah
menjadi fokus berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.
CLUSTER PLANET: LINGKUNGAN BAGI KOTA BERKELANJUTAN
Pada
kluster pertama, Planet, gagasan rerkait penjagaan kualitas lingkungan menjadi
sangat penting. Pengembangan kota yang tanggap rerhadap bencana dan perubahan
iklim adalah tantangan yang memerlukan upaya yang tak sedikit. Seperti kita
ketahui, posisi Indonesia di kawasan pertemuan 3 (tiga) lempeng dunia ini
mengakibatkan rawan bencana geologi (antara lain: gempa bumi, tsunami, gunung
berapi, dan gerakan tanah).
Di
sisi lain, kondisi alam Indonesia saat ini mengalami degradasi fisik dan
habitat akibat kelalaian pemanfaatan ruang sehingga menimbulkan bencana alam
seperti banjir, longsor, kebakaran huran, intrusi air laur, dan kekeringan.
Fenomena perubahan iklim dan pemanasan global pun turut mengakibatkan degradasi
kualitas dan fungsi lingkungan perkotaan. Dengan demikian, tidak bisa
dipungkiri bahwa kota-kota di Indonesia umumnya, terutama yang berada di
wilayah pesisir, menjadi sangat rentan terhadap bencana dan perubahan iklim.
Berdasarkan tantangan tersebur, tentunya menjadi keharusan mengembangkan perkotaan dengan
konsep yang tak hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi semata. Perhatian
terhadap aspek lingkungan menjadi sangat penting. Karena itu muncullah prakarsa
kota lestari, kota hijau, dan revitalisasi kota tepi air yang saat ini tengah
digalakkan.
Selain
itu, telah ditegaskan komitmen bersama prakarsa kota lestari oleh sekitar 491 pemerintah
kota dan kabupaten untuk bekerja sama mewujudkan kota-kota berkelanjutan di
wilayah masing-masing. Semua prakarsa dan komitmen tersebut adalah langkah awal
menuju implementasi pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.
Sementara
itu pengembangan kota hijau di beberapa kota di Indonesia, antara lain melalui
perwujudan tiga puluh persen ruang rerbuka hijau (RTH) sesuai amanat
Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, juga menjadi salah satu upaya
serius. Tentu saja implementasi kota hijau tidak hanya dicapai melalui
pemenuhan RTH, namun juga menjangkau berbagai aspek lain seperti infrastruktur
hijau/biru, transportasi ramah lingkungan, pejalan kaki dan pesepeda, dan peran
komunitas perkotaan.
Konsep
kota hijau (green city) yang tengah diadaptasi dalam Program Pengembangan Kota
Hijau (P2KH) oleh Kementerian Pekerjaan Umum c.q. Direktorat Jenderal Penataan
Ruang adalah sebuah konsep pengembangan perkotaan berkelanjutan yang mengadopsi
prinsip perencanaan kota yang progresif dan implementatif.
Kota
hijau adalah terobosan baru dalam pembangunan kota yang memfokuskan pencapaian
sasaran ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan secara terintegrasi. Kota hijau
tercermin dalam bemuk kota yang ramah lingkungan, dihuni oleh orang-orang
dengan kesadaran menghemat energi, air, dan makanan, serta mengurangi buangan
limbah, pencemaran udara, dan pencemaran air.
Umuk
mewujudkannya, setiap kota diharapkan menerapkan standar lingkungan kota hijau
sesuai dengan 8 (delapan) atribut kota hijau yang meliputi green planning and
design, green open space, green waste, green transportation, green water, green
energy, green building, dan green community. Kedelapan atribut tersebut tidak
dapat berdiri sendiri, namun menjadi sebuah sistem yang memiliki ketergantungan
dan mempengaruhi satu sama lain.
CLUSTER PEOPLE: POTENSI MASYARAKAT KOTA BERKELANJUTAN
Selain
aspek lingkungan, keberadaan masyarakat sebagai pengisi Bumi adalah elemen
penting untuk mendongkrak pencapaian pembangunan perkotaan yang berkelanjutan
sebagaimana yang diuraikan dalam kluster kedua tentang People. Indonesia adalah negara
yang kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, suku, dan ras. Lebih dari 389 suku
bangsa yang memiliki adat istiadat, bahasa, tata nilai, dan budaya yang
berbeda-beda (Asian Brain, 201 0). Dengan potensi tersebut, maka kearifan lokal
yang ada perlu dilestarikan, dijaga kesinambungannya, dan menjadi pijakan
perencanaan dan perancangan lingkungan binaan berkelanjutan.
Kearifan
lokal dipandang sebagai identitas kota berkelanjutan, karena dibentuk dalam
wakru yang lama melalui proses sejarah yang panjang. Kearifan tersebut
termanifesrasi dalam benruk kelembagaan, nilai-nilai adat, serta tata cara dan
prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat).
Salah
satu upaya Kemenrerian Pekerjaan Umum c.q. Direkrorar Jenderal Penataan Ruang
mengadaptasi kearifan lokal ke dalam identitas kota adalah Program Penataan dan
Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) yang bekerjasama dengan Badan Pelestarian Pusaka
Indonesia (BPPI). Dengan adanya komitmen pemerintah kota dan kabupaten dalam
menyusun kebijakan pelestarian berbagai pusaka alam dan budaya di wilayahnya
sebagaimana yang digagas dalam kegiatan P3KP, diharapkan lingkungan fisik kota
dapat ditata dengan unsur kehidupan budaya.
Persoalan
kota lain yang dihadapi masyarakat adalah kebutuhan perumahan dan permukiman
yang layak sebagai tempat tinggal. Saat ini masyarakat dihadapkan pada
persoalan terbatasnya lahan, yang berimplikasi pada meningkatnya backlog
perumahan setiap tahunnya.
Persoalan
ini diperkeruh dengan persoalan pembiayaan perumahan itu sendiri. Terlebih
lagi, kebijakan penyediaan perumahan khususnya, di kawasan perkotaan, belum
sepenuhnya berpihak bagi kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan
demikian, diperlukan terobosan efektif untuk mengatasinya, antara lain melalui
pembangunan kampung susun, rumah sederhana, hingga rumah apung. Dengan demikian
tingginya kebutuhan perumahan tersebut tak
akan mengabaikan kendala lingkungan dan berprinsip pada pemanfaaran lahan yang
terkonsentrasi dan intensitas tinggi (compact city).
CLUSTER PROSPERITY: POTENSI EKONOMI KOTA BERKELANJUTAN
Selain
unsur lingkungan dan sosial, unsur ekonomi juga merupakan hal yang tidak dapat
diabaikan dalam mewujudkan kota berkelanjutan. Sebagaimana yang dijelaskan
dalam kluster ketiga, Prosperity, dengan memandang urbanisasi sebagai berkah
bagi pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, pengembangan ekonomi
lokal, termasuk kontribusi sektor informal, menjadi salah satu upaya untuk
menggerakkan roda perekonomian kota. Tanpa kita sadari, kontribusi sektor
informal terhadap pertumbuhan ekonomi cukup signifikan, sehingga ruang sektor
informal perlu dipertimbangkan dalam mengelola kota.
Di
samping itu, upaya membangun citizenship dalam pengelolaan kota dipandang
penting karena melalui upaya ini maka kesadaran warga kota atas peran, hak, dan
kewajibannya dalam suatu komunitas kota akan terbangun. P2KH adalah program
yang diinisiasi Pemerintah untuk meningkatkan urban citizenship. Dari program
tersebur diharapkan terbentuk kesadaran bersama di antara warga masyarakat untuk
mewujudkan kota ya ng berkelanjutan dengan mengotimalkan potensi lokal sebagai
modal sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dengan terbentuknya kesadaran warga, maka
pengelolaan kota menjadi lebih efektif dan efisien yang berimplikasi pada
peningkatan kesejahteraan masyarakat kota.
Aspek
lain yang terkait dengan kluster ini adalah upaya mewujudkan transportasi berkelanjutan
sebagai pendorong aktivitas perekonomian kota. Selain itu transportasi
berkelanjutan diharapkan mewujudkan kota yang ramah pejalan kaki (walkable
city), hemat energi dan rendah carbon (low carbon city), serta berorentasi pada
transit.
Umuk
menangani masalah transportasi yang demikian kompleks, diperlukan
terobosan-terobosan yang mampu mengatasi permasalahan sampai pada akarnya,
tidak hanya permasalahan yang tampak di depan mata. Sebagai contoh, upaya
penanganan masalah kemacetan di Jakarta seyogyanya tidak dilakukan dengan
cara-cara yang instan seperri pembangunan jalan baru, jalan layang, bahkan
pengembangan jaringan jalan tol dalam kota. Namun perlu dipikirkan upaya yang
menyentuh akar permasalahan mengapa kemacetan tersebut terjadi. Berbagai upaya
untuk mengatasi kemacetan tersebut telah dan sedang dilakukan, baik di level
makro maupun mikro.
Di
level makro, dilakukan pengendalian pembangunan kota-kota baru di sekitar
Jakarta yang akan menambah beban transportasi bagi Jakarta. Sedangkan di level
mikro mikro, dilaksanakan perbaikan kerusakan jalan, pelebaran jalan, dan
pembangunan jalan layang pada persimpangan jalan yang padat maupun perlintasan
jalan dengan rel kerera api.
CLUSTER GOVERNANCE: TATA KELOLA YANG BAlK DEMI PEMBANGUNAN
KOTA BERKELANJUTAN
Dari
aspek tata kelola kota yang dihimpun dalam kluster keempat, Governance, telah
menjadi suatu keharusan bagi seluruh pihak termasuk pemerintah dan masyarakat untuk
memiliki komitmen mengelola kota yang visioner. Pengelolaan kota harus
diarahkan pada suatu pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang. Partisipasi
seluruh stakeholder secara inklusif dalam pengelolaan kota sangat diperlukan
dalam rangka membangun kesepahaman bersama tentang cara mewujudkan kota yang
nyaman untuk ditinggali para warganya.
Good
governance (tata kelola yang baik) berprinsip pada partisipatori,
akunrabilitas, efektivitas, pemerataan dan mendorong kekuatan hukum yang
didasarkan pada broad commitment rerhadap masyarakat dan masyarakat miskin
(pro-poor) dalam pengambilan kepurusan kebijakan publik. Penetapan good
governance pada tingkat lokal, khususnya pemerintah kota/kabupaten akan
mendorong kota berkelanjutan melalui berbagai kebijakan yang lebih pro-poor dan
pro-public.
Sebagai
contoh, Kota Solo dengan city branding sebagai kota budaya serta didukung oleh
visi dan misi yang berpihak pada kaum marjinal telah
membawa kota tersebut menjadi kota yang sangat didambakan warganya. Tentunya
keberhasilan Solo tersebut tidak terlepas dari tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel dengan mengedepankan paradigma pro-poor
Dengan
uraian dari keempat kluster rersebur, sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa kota
berkelanjutan sebagai paradigma pembangunaan saat ini dapat dicapai apabila
dilakukan atas dasar komitmen bersama dan dilakukan dengan melibarkan
partisipasi semua pihak secara bersama-sama. Hal yang penting lainnya adalah
bahwa rencana tata ruang sebagai tools pengelolaan dan pengembangan kota perlu
dijadikan sebagai acuan dalam rangka mewujudkan pembangunan kota yang berkelanjutan.
Dalam
menyikapi tujuan keberlanjutan, maka efektivitas upayanya ditentukan oleh
keberadaan 2 (dua) hal yang fundamental, yaitu protection entry dan development
entry. Protection entry berprinsip bahwa aspek perlindungan lingkungan harus
didahulukan agar telapak ekologis tidak semakin besar serta berpeluang untuk
mendorong economic development dan social development.
Penerapan
pada prinsip proteksi dalam perencanaan menjadi penting untuk menetapkan
ruang-ruang perkotaan mana saja yang harus dilindungi serta menerapkan daya
dukung dan daya tampung lingkungan.
Sementara
itu dalam development entry pengembangan perkotaan harus berprinsip pada
pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisein. Hal yang dapat
dilakukan di sini salah satunya adalah penerapan intensifikasi dan konsentrasi
ruang dan kegiatan seperti konsep compact city termasuk di dalamnya transit
oriented development (TOD), ramah pejalan kaki, serta membatasi perkembangan
kota secara horisontal sehingga tidak akan menggerus perdesaan.
Dengan
demikian, pembangunan perkotaan berkelanjutan juga
berprinsip bahwa wilayah perdesaan sebagai sumberdaya alam bagi kawasan
perkotaan (rural-urban Linkage) juga harus dipertahankan (pro-rural) agar
terjadi keseimbangan antara perkotaan dan perdesaan.
Untuk
mewujudkan pembangunan kota berkelanjutan, maka upaya-upaya yang dilakukan
secara konkrit adalah yang berpihak pada pelestarian lingkungan yang didorong
oleh peran Pemerintah kepada pemerintah daerah melalui program-program yang
nyata dan kreatif serta berbasis penataan ruang.
Berbagai
upaya tersebut dapat tercermin di dalam berbagai konsep
tematik kota berkelanjutan seperti competitive city, creative city, resilient
city, heritage city, inclusive city, active city, techno city, smart city,
productive city, safe and health city dan sebagainya yang sedikit-banyak
dijawab dengan kota hijau (green city) secara keseluruhan.
Dengan
menggunakan berbagai prinsip pembangunan perkotaan berkelanjutan di atas,
diharapkan ke depan kota-kota di Indonesia yang lebih layak huni, berjati diri,
produktif dan berkelanjutan dapat diwujudkan secara sistematis
Sumber: Oleh Ruchyat
Deni Djakapermana, dalam KOTA
INDONESIA BERKELANJUTAN UNTUK SEMUA, Penerbit: Kementrian Pekerjaan
Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang & SUD Forum Indonesia.