Kamis, 13 Oktober 2022

KONSEP PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA KELOLA

ARTI PENGELOLAAN PERKOTAAN

Dalam dunia ilmiah, kesepakatan mengenai definisi "pengelolaan kota/perkotaan" (Urban Management (UM) sulit dicapai. Akan tetapi secara prinsipil, pengelolaan perkotaan hampir selalu digambarkan berfokus pada pendekatan manajemen interdisiplin lintas bidang pengetahuan profesional konvensional.

Pada umumnya UM dipelajari untuk menyiapkan pengetahuan yang tidak terlihat (insight) ke dalam solusi-solusi berorientasi praktis yang dapat diterapkan dalam tataran akrivitas pengelolaan kota sehari-hari. Dalam UM biasanya bergabung berbagai pengalaman yang pernah diperoleh berbagai pemerintah daerah , LSM, sekror bisnis/swasta, dan juga konsep-konsep yang dipromosikan oleh organisasi-organisasi pembangunan internasional seperti World Bank, UNDP, dan lain-lain.

RAGAM DEFINISI PENGELOLAAN PERKOTAAN

Beberapa ahli bahkan menyatakan bahwa bahwa pengelolaan perkotaan itu tidak bisa didefinisikan," Urban management is an elusive concept, which escapes definition." (Stren, 1993; Mattingly, 1994). Akan tetapi beberapa ahli lain berusaha membuat definisi dengan merinci cakupan dari UM itu sendiri. Clarke (1991) mendefinisikan pengelolaan perkotaan termasuk mengelola sumberdaya ekonomi perkotaan, rerutama lahan dan aset lingkungan buatan , menciptakan lapangan kerja, dan menarik investasi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang tersedia.

Pakar lain menyatakan bahwa UM mengacu pada struktur politik dan administrasi kota dan tantangan utama yang dihadapi dalam menyediakan layanan infrastruktur sosial dan fisik (Wekwete dalam Rakodi (1997)). Meine Pieter van Dijk dalam Urbanicity (2006) mendefinisikan UM sebagai usaha mengkoordinasikan dan mengintegrasikan tindakan publik dan swasta untuk mengatasi masalah utama yang dihadapi penduduk kota dan mewujudkan kota yang lebih berdaya saing, adil, dan berkelanjutan.

Akan tetapi jika bisa disarikan secara pendek, maka definisi UM tersebut kurang lebih adalah: pengambilan peran aktif dalam pengembangan, pengelolaan dan pengkoordinasian sumberdaya untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan kota/perkotaan tertentu. Atau lebih singkat lagi adalah "peletakan perencanaan ke dalam praktek".

PERSOALAN APA YANG DISOROTI UM?

UM biasanya menyoroti hal-hal yang terkait dengan persoalan-persoalan berat yang biasa dihadapi pembangunan perkotaan. Persoalan tersebut antara lain adalah degradasi lingkungan, pertumbuhan kota yang tidak terkendali, kacaunya sistem pertanahan, sistem perencanaan dan pengambilan keputusan yang kurang tepat, kondisi pekerjaan dan perumahan permukiman yang tidak memadai, ketidakcukupan infrastruktur, utilitas, dan polusi udara, hingga kemunduran kawasan bersejarah di kota.

Dari skema yang disusun oleh Machlis et.al (2002) berikut tampak bahwa ada 5 (lima) aliran materi yang harus dikelola oleh pengelola suatu kota/perkotaan, agar pembangunannya berkelanjutan.


FOKUS PENTING DALAM MASALAH PENGELOLAAN PERKOTAAN

Dalam menetapkan fokus pada masalah kota yang terpenting atau paling strategis, justru isu utamanya adalah siapa yang menetapkan masalah paling penting tersebut? Pemerintah daerah? Atau siapakah yang akan membantu dan berkolaborasi dengan manajer kota menetapkan persoalan yang paling penting tersebut? Setiap pihak bisa mempunyai sudut pandang dan kepentingan yang berbeda.

Menurut World Bank dalam The Urban and City Management Course, contoh isu-isu kunci yang harus ditangani oleh seorang pengelola kota adalah:

• tata kelola/kepemerintahan (governance)

• pembiayaan kota

• daya saing kota

• penguatan kapasitas untuk menarik investasi sektor privat dan penyediaan lapangan pekerjaan

• kapasitas untuk penyediaan pelayanan umum/publik secara efisien

• kapasitas manajeriallingkungan

MENCARI KONTEKS PENGELOLAAN PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Pendekatan terpadu untuk pengelolaan perkotaan pada dasarnya adalah penanganan simultan dari keseluruhan isu isu penting perkotaan yang terkait satu dengan lainnya. Oleh karena itu, hal ini menuntut lebih banyak lagi keterlibatan semua pemangku kepentingan yang ingin berperan aktif, sehingga akan muncul lebih banyak lagi tuntutan pelaksanaan tindakan-tindakan multi-sektoral. Implikasi pendekaran terpadu seperti ini berimplikasi pada pengelola kota yang memerlukan wewenang, tanggung jawab dan kewajiban yang jelas. Lebih dari itu, diperlukan adanya desentralisasi yang lebih jelas dalam pembangunan kota dan/atau perkotaan.

Mattingly (1994; 1995) menggarisbawahi pentingnya isu 'tanggung jawab' yang menyatu ke dalam konsep pengelolaan itu sendiri, terutama di dalam suaru skenario kelembagaan yang terpecah-pecah seperti di negara-negara sedang berkembang (tanggung jawab dan kewajiban dalam hal ini ridak mudah didefinisikan). Oleh karena itu, dalam mencari konteks pengelolaan perkotaan di Indonesia yang dibutuhkan adalah skenario keterpaduan atau koordinasi. Disini tanggung jawab dan kewajiban dibuat dan ditetapkan tidak semata-mata melalui cara-cara otoritas/kewenangan ataupun alokasi administratif tugas-tugas. Tanggung jawab dan kewajiban tersebut dihasilkan melalui debat, diskusi dan negosiasi antar seluruh pelaku yang berkepentingan.

Sementara itu pemerintah di negara maju tak lagi menjadi penyedia layanan publik secara tradisional. Secara pelan tapi pasti, mereka berubah hanya menjadi fasilitator proses-proses tempat masyarakat (dan juga sektor bisnis/swasta) mengartikulasikan kepentingan, memediasi perbedaan yang timbul, dan melaksanakan hak-hak hukum dan kewajiban-kewajiban. Pada intinya, di dunia telah terjadi pergeseran dari manajemen kota tradisional ke arah tata kelola/kepemerintahan. Pergeseran ini lebih melibatkan semua pemangku kepentingan utama kota dalam pengelolaan kota/perkotaannya.

Cakupan tata kelola ini lebih luas. ]oris van Etten dan Leon van den Dool (2001) mengatakan, tata kelola yang baik di tingkat kota tak hanya berhubungan dengan manajemen kota yang baik, tetapi juga interaksi antar seluruh pemangku kepentingan di kota. Karena itu dimensi politis, konteks, dan konstitusional harus dipertimbangkan. Sementara Healy ( 1995) menyatakan bahwa pengelolaan perkotaan jaman sekarang tidak lagi hanya dilakukan dari pemerintah saja dengan model top down atau command and control.

Dalam konteks Indonesia, yang dibutuhkan adalah cara menggeser pengelolaan (manajemen) kota ke tata kelola (governance) kota. Pergeseran ini mendudukkan pemerintah daerah/ kota sejajar dengan pemangku kepentingan lain seperti sektor bisnis/privat dan masyarakat madani untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan-persoalan kota dan membangun daya saing kota ke depan menuju keberlanjutan pembangunan. Situasi dualistik sosial-ekonomi yang ada lebih perlu mendudukkan pemerintah dalam prinsip pemerintah yang proporsional (bukan hanya provider atau enabler).

Dalam konteks mencapai tujuan Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan, maka Gambar 2 menunjukkan seluruh sumberdaya yang dikelola dalam suatu sistem pengelolaan perkotaan adalah hasil konsensus seluruh pemangku kepentingan pembangunan perkotaan.



KEBUTUHAN PENGATURAN PENGELOLAAN PERKOTAAN Dl INDONESIA

Sebenarnya sudah banyak aturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan perkotaan di Indonesia, tetapi sayangnya satu dengan lainnya sepertinya tidak/ kurang komplementer, sehingga banyak celah yang harus diisi. Ambil contoh UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, legislasi ini tidak cukup mengatur landasan pengelolaan kota (desentralisasi, otonomi, dan governance) khususnya yang terkait:

• Urusan concurrent: kriteria ekstern alitas, akuntabilitas, efisiensi

• Urusan wajib: pelayanan dasar (rermasuk penaraan ruang)

• Urusan pilihan: core competence kota/daerah atau basis ekonomi kota/daerah

• Koordinasi & kerjasama antar-pemerinrahan: horisontal & vertikal

• Keterlibaran stakeholders kota dalam penentuan kebijakan pembangunan kota

• Sumber dan mekanisme pembiayaan pembangunan kota Selain hal-hal di atas, masih banyak pertanyaan yang mengemuka yang berkaitan dengan peraturan perundangan lain:

• Apakah UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah tidak cukup mengatur pola hubungan antar (hirarki) pemerinrahan dalam pembiayaan pembangunan kota?

• Apakah UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara tidak cukup jelas mengarur mekanisme dan prosedur penganggaran pembangunan kota?

• Apakah UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional belum cukup jelas mengatur perencanaan program pembangunan kota dan peranserta para pemangku kepentingan dalam hal itu?

• Apakah UU No. 32/2009 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup kurang jelas mengatur peran, hak & kewajiban pemangku kepentingan dalam menjaga keberlanjutan pembangunan kota?

• Apakah UU No. 26/2007 tentang Penaraan Ruang ridak cukup jelas mengatur sisrem governance dalam penaraan ruang kota?

• Apakah UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana tidak cukup untuk melandasi usaha manajemen bencana kota/perkotaan?

Semua perundangan yang disebut di atas adalah bukan UU Sekroral, tetapi mengatur kaitan semua sekror pembangunan kota. Oleh karena itu, justru yang perlu diharmonisasikan untuk kepentingan pengelolaan kota di Indonesia adalah kesesuaian antar beragam UU tersebur dan memadukannya dalam suatu Sistem Pengelolaan Pembangunan Daerah Kota/Perkotaan yang efektif & efisien. Pemaduan berbagai UU tersebut dalam pengelolaan perkotaan harus berkesesuaian pula dengan ideologi, konstirusi, dan ekonomi-politik negara untuk tujuan pembangunan kota/ perkotaan yang spesifik Indonesia.

Jika keseluruhan peraturan perundang-undangan di atas dimasukkan ke dalam pola integrasi sistem pengelolaan perkotaan menuju pembangunan berkelanjutan, akan terlihat komplikasi sistem pengelolaan yang harus dijalankan pemerintah daerah. Ini mengingat setiap UU mensyaratkan disusunnya "mandatory plan" yang kesemuanya harus berupa peraturan daerah. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.



KEBUTUHAN PENGATURAN TATA KELOLA PERKOTAAN DI INDONESIA

Karena pengelolaan kota itu elusif atau tidak dapat didefinisikan, maka akan sangat sensitif terhadap kualitas pengelola dan pemangku kepentingan kota yang bersangkutan dalam menjalankan proses urban governance sehari-hari sesuai ideologi, konstitusi, dan ekonomi politik yang di anut. Kalaupun ada yang perlu diatur, maka itu adalah kriteria dan indikator kinerja tata kelola pembangunan kota berkelanjutan secara komprehensif/ inklusif. Kriteria tersebut tidak berbentuk kriteria & indikator sektoral, tetapi gabungan/komposit. Selain itu tidak berbasis output saja, tetapi juga input, process, dan outcome!

Untuk itu hal yang paling dibutuhkan dalam good urban governance di Indonesia dalam konteks pembangunan berkelanjutan adalah koordinasi & kerjasama untuk optimasi, sinergi, dan minimasi konflik pembangunan kota . Konflik yang harus dikelola adalah konflik antar kepentingan/motif pemanfaat ruang, antar sekror pembangunan, antar fungsi ruang, dan antar sistem pembentuk ruang;

Berdasarkan daya dukung & daya tampung wilayah tertentu (administratif: nasional, provinsi, kabupaten, kota; maupun fungsional: WAS/DAS) . Sayangnya Indonesia tidak mengenal desentralisasi fungsional, karena hanya diatur dengan desentralisasi terirorial. Oleh karena iru, yang harus dilakukan lebih banyak adalah koordinasi & kerjasama horisontal (antar daerah) serta vertikal (dengan tingkat pusat) untuk wilayah fungsional yang bersifat lintas-batas administratif.

Secara konsepsional, good urban governance yang akan dibentuk perlu memenuhi beberapa pendekatan seperti yang tertuang dalam Gambar 4. Untuk itu diperlukan juga good regional governance yang bersifat lintas daerah kabupaten/ kota .

Ada beberapa kota di Indonesia yang sudah mulai menerapkan good urban governance. Kota tersebut antara lain adalah Pekalongan, Salatiga, Bandung, Malang, dan Probolinggo.




 

 

 

Sumber: Oleh Andi Oetomo, dalam KOTA INDONESIA BERKELANJUTAN UNTUK SEMUA, Penerbit: Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang & SUD Forum Indonesia.