Indonesia sebagai negara yang memiliki tanah yang subur, memiliki berbagai komoditas pertanian yang jarang dihasilkan oleh negara-negara lain. Tembakau misalnya, tumbuh subur dan menopang perkembangan industri kretek. lndustri yang bersifat padat karya ini telah berkembang sejak dulu hingga menarik kaum Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) keturunan Arab dan Cina untuk turut berdagang.
Selain tembakau, rempah-rempah merupakan
hasil bumi yang tak kalah penting dan telah menarik pendatang untuk
bertransaksi bahkan bermukim. Potensi tambang seperti emas, batubara, timah dan
minyak bumi, juga memancing pendatang bahkan sejak zaman kolonial. Demikian
pula kerajinan batik yang belakangan ini berkembang menjadi industri, tak
kurang menarik dalam merebut perhatian pendatang.
Semua aktifitas ekonomi tersebut, tentu
saja berpengaruh terhadap penataan ruang. Pada tataran tertentu, dinamika ekonomi
yang berinteraksi dengan aspek keruangan merangsang sekaligus mendorong
pertumbuhan kota-kota di negeri ini. Kebutuhan ruang untuk melangsungkan
aktifitas ekonomi, kerap menghadirkan berbagai permasalahan yang berkaitan
dengan perkembangan wilayah maupun kota.
Dalam tulisan ini ditinjau perkembangan
wilayah dan kota di Indonesia sehubungan dengan persebaran potensi serta
dinamika ekonomi. Peran pemerintah dalam perencanaan pembangunan- terutama
semasa Orde Baru - dalam kerangka menyebar aktifitas ekonomi tentu tak dapat
dikesampingkan. Oleh karena hal ini mengantarkan pada pemerataan pembangunan
semua sektor di seluruh wilayah tanah air.
EKONOMI DAN PERTUMBUHAN KOTA PRA-1950
Letak geografis yang strategis, menyebabkan
Indonesia sejak zaman Majapahit telah menjadi bag ian penting bagi jalur
pelayaran para pedagang dari barat ke timur maupun sebaliknya. Kesederhanaan
teknologi pelayaran saat itu mengharuskan ada perhentian di setiap jarak
tertentu. Maka, tumbuhlah kota-kota pelabuhan di sepanjang jalur pelayaran
(Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500- 1900).
Sejalan dengan rancangan perdagangan,
potensi Nusantara semakin merangsang pedagang untuk berdatangan. Maluku
misalnya, kebanjiran pedagang I ada untuk dijual ke Eropa dan Arab. Pada
gilirannya, ketika produksi menurun sedangkan permintaan terus menambah,
tejadilah "perebutan". Para pedagang yang berasal Belanda, Portugis,
Makao, Cina, Sailan, Jepang, Gujarat, lnggris dan Denmark mulai melancarkan
strategi dagang masing-masing.
Belanda mendirikan Vereenigde Oost lndische
Compagnie (VOC) dan menjalin kontrak dengan petani. Lebih lanjut, VOC berupaya
memonopoli perdagangan di Indonesia. Akhirnya Belanda butuh tempat penyimpanan
hasil bumi sebelum dipasarkan ke mancanegara. Tempat itu tentu dilengkapi
dengan prasarana dan sarana, termasuk benteng pertahanan untuk keamanannya.
Mulai dari sinilah kota-kota di Indonesia berkembang.
Fenomena tersebut, dalam pandangan
Frederich List, dikategorikan sebagai keadaan yang berada pada fase perkembangan
kedua dan ketiga. Fase ini ditandai dengan perkembangan suatu wilayah yang
bertumpu pada potensi alam (hasil bumi) yang disertai industri. Ada pun fase
pertama dikatakan sebagai fase primitif. Meski teori ini ditentang oleh ekonom
lain, agaknya cukup sesuai untuk keadaan Indonesia pada saat itu, terlebih jika
dikaitkan dengan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penataan ruang.
Sejarah membuktikan, industri rokok kretek
-salah satu industri genuine khas Indonesia, tersebar mulai dari Kudus, Jawa
Tengah, hingga Kediri, Tulungagung bahkan Malang, Jawa Timur. Ada pun industri
batik -industri genuine khas Indonesia lainnya, bertebaran di pesisir utara
Jawa, mulai dari Pal Merah, Jakarta, Gresik hingga Madura. Batik juga
berkembang marak di bagian tengah dan selatan Jawa, mulai dari Tasikmalaya,
Banyumas, Yogyakarta, Surakarta, Ponorogo, Tulungagung hingga Blitar.
EKONOMI DAN TATA RUANG
Sebenarnya, tidak ada hubungan langsung
antara tata ruang dan ekonomi, melainkan keduanya saling mempengaruhi. Penataan
ruang mempengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat di suatu wilayah.
Sebaliknya, dinamika ekonomi berpengaruh terhadap penataan ruang , teramati
kasat mata dalam pemanfaatan ruang . Tata ruarig mempengaruhi dinamika ekonomi,
sebaliknya dinamika ekonomi mempengaruhi perkembangan tata ruang.
Tata ruang suatu kota tidak lahir karena
maksimalisasi teknologi atau ekonomi, tetapi karena suatu pola sosio-kultural.
Namun pemilihan pemukiman kota dapat merujuk pada alasan ekonomis. Kaitan
ekonomi dengan penataan ruang dapat digambarkan sebagai berikut:
• Kandungan sumber daya alam yang bernilai
jual tinggi (potensi ekonomi) di suatu wilayah mempengaruhi perkembangan
wilayah bersangkutan;
• Semakin besar potensi ekonomi di suatu
wilayah, semakin besar pula prospek perkembangan wilayah bersangkutan;
• Aktifitas ekonomi di suatu wilayah akan
mengundang pemukim yang tentu membutuhkan ruang.
• Aktifitas ekonomi membutuhkan prasarana
dan sarana yang juga membutuhkan ruang.
EKONOMI DAN PERKEMBANGAN KOTA
Frederich List -penganut mazhab historis
dalam pertumbuhan ekonomi, menganggap sistem laissez faire dapat menjamin
alokasi sumber daya secara optimal. Lebih lanjut, perkembangan ekonomi
bergantung pada peranan pemerintah. Maka, berbagai kebijakan pemerintah dalam
mengoptimalkan potensi sumber alam menjadi upaya "termudah" untuk
menaikkan taraf kesejahteraan (ekonomi) masyarakat.
Secara alami, dinamika ekonomi merangsang
perkembangan wilayah, seperti kota yang tumbuh pesat terdorong oleh
perkembangan industri. Peranan pemerintah yang dikategorikan sebagai kebijakan
publik, mempengaruhi skala dampak industri terhadap perkembangan suatu wilayah.
Sejalan dengan itu, pada era tahun 1970-an diterapkan sistem Satuan Wilayah
Pengembangan (SWP) untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan barang dan jasa
(Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia, Poernomosidhi Hadjisarosa).
Dari konsep itu, dapat diperkirakan
perekonomian suatu wilayah akan tumbuh sebagai dampak pemberian kemudahan
berupa prasarana dan sarana. Konsep ini memperhatikan faktor aksesibilitas
pergerakan barang dan jasa, termasuk modal, di suatu wilayah. Sasarannya adalah
pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Dengan membangun sarana dan prasarana
di lokasi yang tepat, tentu pertumbuhan ekonomi akan pesat.
Untuk menetapkan lokasi secara tepat,
digunakanlah konsep pengembangan wilayah. Dalam hal ini, penentuan lokasi SWP
terutama didasarkan pada aktifitas ekonomi. Lebih jauh, konsep tersebut
mendefinisikan kota sebagai simpul ekonomi. Kota adalah pusat konsentrasi
penduduk terbesar. Ada pun penduduk merupakan tenaga ke~a. sekaligus pangsa
pasar. Kota juga disebut pusat jasa distribusi.
Perbedaan volume kegiatan ekonomi
berpengaruh terhadap besaran kota. Dalam hal ini, dikenal hirarki kota (orde
kota). Katakanlah, orde kota terbesar-orde satu, dicirikan memiliki kelengkapan
prasarana dan sarana sebagai simpul kegiatan ekonomi, seperti terminal cargo
(peti kemas), pelabuhan laut, bandar udara, jasa angkutan darat, pasar regional
dan kelengkapan penunjang lainnya.
Dalam konsep Poernomosidhi disebutkan,
"Kegiatan ekonomi berm uta pada sumber a/am dan berakhir pada konsumen.
Sumber a/am letaknya tersebar, demikian pula konsumen akhir''. Dari konsep ini
jelas, aktifitas ekonomi berpengaruh pada penataan ruang. Demikian pula
penataan ruang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dengan
"intervensi" penataan ruang di suatu lokasi aktifitas ekonomi, maka
akan terjadi efesiensi sehingga menghasilkan keuntungan optimal.
llmu ekonomi merupakan suatu studi tentang
alokasi ekonomis tentang alat-alat (sumber-sumber) fisik dan manusia yang
langka adanya antara kegiatan-kegiatan yang bersaingan satu sama lain, suatu
alokasi yang mencapai suatu sasaran yang mengoptimalkan menu rut ketentuan yang
ditetapkan, atau sasaran yang memaksimilisasi.
Dalam kaitan itu, Departemen Pekerjaan Umum
tidak hanya berperan sebatas merumuskan konsep pengembangan wilayah. lnstansi
ini juga membangun prasarana dan sarana dasar guna mewujudkan pertumbuhan
ekonomi wilayah. Selain itu, de parte men ini juga berperan bahkan dominan
dalam membangun prasarana dan sarana perkotaan, seperti drainase, air bersih,
persampahan, perbaikan kampung, jalan kota dan sanitasi.
Departemen PU dituntut berperan efektif
karena desakan keadaan. Pengembangan perkotaan tidak dapat diserahkan
sepenuhnya kepada pemerintah daerah setempat. Pada dasarnya, kota berkembang
karena urbanisasi akibat kepesatan pertumbuhan ekonomi. Kota kian dipadati
penduduk, kebutuhan prasarana dan sarana pun terus meningkat. Pada gilirannya,
timbul berbagai persoalan, berkaitan dengan aspek fisik maupun non fisik
(sosial).
Kata pepatah, ada gula ada semut. Semakin
banyak gulanya, maka semakin banyak pula semut yang cnengerumuninya. Eko
Budihardjo dalam buku "Sejumlah Masalah Permukiman Kota" (halaman 202)
menyebutkan, "Kegagalan di bidang arsitektur dan perencanaan kota terjadi,
antara lain, karena bangunan dan linghkungan binaan dipandangsebagai hal
statis. Lebih tragis lagi, bila masyarakat penghuninya dipandang dari sudut
statistik saja".
Sementara itu, Peter J.M. Nas dalam buku
"The Indonesian City, From Problem to Planning" (halaman 91 ),
menyatakan permasalahan perkotaan yang nyata adalah permasalahan fisik, juga
permasalahan pertumbuhan penduduk. Menurutnya, untuk menghadapi permasalahan di
kampung miskin yang padat, diperlukan sediaan tanah cadangan. "More ground
should be reserved for kampung expansion and ... ". Pernyataan ini
mengingatkan, bahwa tiap kampung di perkotaan perlu perencanaan penggunaan lahan.
PEMBANGUNAN EKONOMI DAN PENATAAN RUANG
Pembangunan ekonomi bukanlah hal mudah.
Pembangunan ekonomi tidak sekedar menerapkan teori mengembangkan aktifitas
ekonomi masyarakat di suatu wilayah atau mengembangkan suatu wilayah agar
perekonomiannya tumbuh dan berkembang pesat. Pembangunan ekonomi bukan hanya
menggali sumber alam, tetapi juga menuntut pengelolaannya secara bijaksana.
Emil Salim menyatakan, " ... karena
Indonesia dapatdibagi-bagi ke dalam berbagai daerah ekologi, kita akan
mengambillangkah sehingga di setiap derah ini paling tidak 10% disisihkan
sebagai wilayah ekosistem. Wilayah ini dinyatakan sebagai eagar alam yang
tetap, tidak disentuhsentuh kecuali sebagai laboratorium hid up untuk
kepentingan ilmiah ... " (Pembangunan Berwawasan Lingkungan, halaman 137).
Pembangunan ekonomi merupakan proses
meningkatkan pendapatan masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Di suatu wilayah
tertentu, keberhasilan pembangunan ekonomi dapat diukur dari pendapatan per
kapita. Namun, karena pembangunan ekonomi membutuhkan waktu, dapat saja besaran
pendapatan per kapita yang telah diperkirakan di awal pembangunan tidak dicapai
ketika pada kurun waktu tertentu jumlah penduduk meningkat,.
Begitu kompleksnya pembangunan ekonomi,
terlebih di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, menuntut keterpaduan
antara pembangunan ekonomi dan pembangunan non ekonomi, seperti pemberdayaan
masyarakat. Pembangunan ekonomi, dengan demikian, memerlukan perencanaan matang
agar dapat mencakup seluruh aspek dan dapat diukur keberhasilannya.
Pada masa orde lama cenderung lebih banyak
membangun kehidupan politik, sedangkan pada masa orde baru mulai mengarah pada
pembangunan ekonomi. Pada 1 April1969 mulai dilaksanakan kebijakan pembangunan
jangka panjang yang dikenal dengan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I)
yang dibagi dalam 5 (lima) tahapan pembangunan lima tahunan (Pelita).
Dalam Pelita I (1969-1974), pembangunan
ekonomi diarahkan pada pemeliharaan stabilitas ekonomi, pertumbuhan dan
pemerataan hasil per:nbangunan. Pelita II (1974-1979) mem prioritaskan pertumbuhan,
pemerataan dan stabilitas. Pelita 111-V (1979-1984, 1984-1989 dan 1989- 1994)
tetap memprioritas pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Keberhasilan
pembangunan ekonomi di Indonesia pada era PJPT I berpengaruh pada era PJPT II.
Selanjutnya, pada era PJPT II yang diawali
Pelita VI (1994- 1999) mengalami perubahan pendekatan dalam pencapaian
pembangunan. Pembangunan lebih ditekankan pada pengembangan sumber daya manusia
dan teknologi. Sasaran Pelita VI tidak pernah dievaluasi, namun berbagai komentar
yang berbau politik dan ekonomi sering menyinggung tentang besaran hutang luar
negeri, kesenjangan dan kelemahan penguasaan teknologi.
Dari grafik di atas, Roeslan Zaris menjelaskan pengelompokkan berikut:
• Propinsi miskin (PDRB lebih kecil dari Rp.
30.000) berciri sumber alam sedikit dengan penduduk tidak padat;
• Propinsi berciri sebagai daerah agraris
dan berpenduduk padat, termasuk kelompok miskin dan sulit berkembang;
• Propinsi berciri memiliki PDRB tinggi,
kaya sumber alam dan berpenduduk padat (kecuali DKI sebagi ibukota negara);
• Propinsi yang pertumbuhannya pesat, kaya
sumber alam dan berpenduduk jarang.
Dengan demikian, dapat dilihat dengan
jelas, bahwa pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan sumber daya alam di tiap
wilayah.
Sejalan dengan pembangunan ekonomi (mulai
dari PJPT I hingga Pelita VI), jumlah penduduk bertambah pula. Pada tahun 1979, penduduk masih
berjumlah 139 juta jiwa, sedangkan pada tahun 1983 menjadi 151 juta jiwa.
Pertumbuhan penduduk, meski berhasil ditekan melalui program Keluarga
Berencana, mempunyai implikasi terhadap kesempatan kerja. Seperti dialami
selama tahun 1979-1983, pencari ke~a baru berkisar 50-56 juta jiwa (sekitar 37%
dari jumlah penduduk) yang membutuhkan lapangan kerja.
Selain kesempatan kerja, pertumbuhan
penduduk juga berpengaruh terhadap kebutuhan ruang. Di Jawa, Madura dan Bali,
tingkat kepadatan penduduk meningkat dari 644 jiwa per km2 (1978) menjadi 704
jiwa per km2 (1983). Pola pembangunan pada masa Pelita dipengaruhi oleh keadaan
di Jawa, Madura dan Bali. Keadaan tersebut menuntut lahan baru yang dapat
dimanfaatkan untuk permukiman lengkap dengan prasarana dan sarana untuk
aktifitas ekonomi dan sosial.
Sumber: Lina Marlia
Dalam Sejarah Penataan Ruang Indonesia Penerbit DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN
PRASARANA WILAYAH , DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Tahun 2003