Pola pertumbuhan kota dan tingkat urbanisasi yang terjadi di Indonesia sebagai negara berkembang mirip dengan negara lainnya. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia yang tinggi mengakibatkan pertumbahan jumlah kota metropolitan. Perkembangan kota metropolitan yang begitu pesat menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi wilayah dan segala permasalahan sosial yang dihadapi. Pada dasarnya membangun dan mengembangkan kota-kota kecil yang ada di sekeliling kota besar dapat mengurangi tekanan penduduk serta beban aktivitas perkotaan di kota inti.
UNICEF (2012) menunjukkan bahwa pada tahun 2010, sebanyak 106
juta penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Jumlah tersebut sekitar 45% dari
total penduduk Indonesia apabila dibandingkan dengan hasil sensus penduduk BPS
tahun 2010. Lebih lanjut, diperkirakan bahwa pada tahun 2020, penduduk
perkotaan di Indonesia mencapai 122 juta jiwa dengan persentase tidak lebih
dari 50% dari total jumlah penduduk. Pada tahun 2050, penduduk perkotaan di Indonesia
diperkirakan mencapai 19 juta jiwa dengan persentase antara 50% - 75% dari
total penduduk di Indonesia saat itu (lihat gambar 1). Hal tersebut menunjukkan
potensi perkembangan kota yang luar biasa di Indonesia pada masa mendatang.
Berbagai persoalan di kota–kota besar menyangkut perkembangan
aktivitas kota dan keterbatasan ketersediaan lahan mengakibatkan terjadinya
kesenjangan antara permintaan (demand) dan ketersediaan (supply). Melihat
kondisi itu, maka banyak ahli yang merumuskan suatu gagasan baru yang dianggap
bisa mereduksi beban kota, dengan mencoba mengembangkan kosep ”kota baru”, antara
lain :
· Corden yang dikutip oleh Sujarto dalam
Malik (2003) mendefinisikan kota baru sebagai suatu komunitas dengan ukuran
populasi terbatas, direncanakan di bawah suatu pengusaha atau agen pengembang langsung
sebagai satu unit besar yang terdiri dari perumahan, pelayanan rekreasi, tempat
kerja yang cukup untuk meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi penduduk yang
beragam.
· Golany (1987) menguraikan bahwa kota
baru merupakan kota atau kawasan permukiman yang direncanakan, dibangun, dan dikembangkan
dalam skala besar pada daerah yang masih kurang penduduknya, sehingga
diharapkan mampu berkembang sendiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam
pengembangannya, kota baru biasanya berorientasi pada sektor agrobisnis dan
agroindustri.
· Verma dalam Budihardjo; Sudjarto (1999),
mendefinisikan bahwa kota baru merupakan upaya pengembangan lahan yang luasnya mampu
menyediakan elemen–elemen pendukung kota berupa perumahan dan permukiman, perdagangan
dan industri sehingga mampu memberikan :
Ø Kesempatan untuk hidup dan bekerja
dalam lingkungannya sendiri;
Ø Beragam jenis dan harga rumah yang
lengkap;
Ø Ruang terbuka bagi kegiatan pasif dan
aktif serta melindungi kawasan tempat tinggal dari dampak kegiatan industri;
Ø Pengendalian segi estetika yang kuat;
Ø Pengadaan biaya/investasi yang cukup
besar untuk kegiatan pembangunan awal.
· Golany dalam Budihardjo; Sudjarto (1999),
menguraikan bahwa kota baru tidak selalu berarti bahwa kota dibangun di atas
lahan yang baru, tetapi juga merupakan pengembangan dan pembaharuan permukiman
perdesaan atau kota kecil secara total menjadi kota yang lengkap dan mandiri.
Dari
berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebuah kota baru dapat
berupa pengembangan baru di suatu kawasan di luar perkotaan yang mampu
mencukupi kebutuhan masyarakat di dalamnya. Dengan kata lain, apabila kota tersebut
tidak mampu mencukupi kebutuhan, dan masyarakatnya menggantungkan kebutuhan di
kota lain, maka dapat dikatakan bahwa kota tersebut tidak memenuhi syarat
sebagai kota baru.
Jika
pertumbuhan penduduk di kota-kota metropolitan dibandingkan satu sama lain,
maka tampak adanya tingkat pertumbuhan yang tidak merata. Keadaan tersebut
diduga disebabkan oleh perbedaan daya Tarik kota-kota metropolitan terhadap pendatang
(migran), karena tingkat pembangunannya, tingkat Pendidikan dan tingkat
aksesibilitas kota-kota metropolitan itu sendiri terhadap kota inti, yaitu
suatu kota di mana kota tersebut menjadi pusat kegiatan bagi kota lainnya atau
kota sekitarnya.
PERKEMBANGAN
BSD SEBAGAI KOTA BARU
Bumi
Serpong Damai (BSD) yang berlokasi di Kota Tangerang Selatan, Banten
merupakan kota baru mandiri yang dibangun oleh pihak swasta, Sinarmas, Bersama
pengembang Bumi Serpong Damai, Tbk. pada tahun 1989 lalu. Dengan slogan
khas “Big City, Big Opportunity”, kota satelit ini menawarkan berbagai kemudahan
bagi penghuninya. Semua kebutuhan masyarakat yang menunjang aktifitas hidup
berusaha dipenuhi oleh pengembang mulai dari tempat tinggal yang berkualitas,
area komersil,
kawasan
industri, pusat perbelanjaan, dan fasilitas umum seperti sekolah, transportasi,
tempat ibadah, sarana olahraga serta rekreasi seperti lapangan tenis, kolam
renang, taman kota, hingga lapangan golf.
Kota baru
ini merupakan sebuah peluang yang ditangkap oleh pihak swasta terkait dengan
pesatnya pertumbuhan penduduk di sekitar Kota Jakarta pada masa itu.
Peningkatan jumlah penduduk di pusat kota dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan
seperti fenomena urban sprawl, degrades / penurunan kualitas lingkungan,
serta sulitnya memenuhi kebutuhan fasilitas sarana dan prasarana di Kota.
Pembangunan Kota baru mandiri BSD ini diharapkan akan dapat
mengurangi beban aktivitas Kota Jakarta dan membantu pemerataan ketersediaan
fasilitas bagi masyarakat.
Perpindahan penduduk dari desa ke kota, yang biasa dikenal sebagai urbanisasi
merupakan tren kependudukan yang terjadi belakangan. Masyarakat perdesaan
berbondong-bondong berpindah ke kota karena anggapan bahwa kota mampu menjanjikan
kehidupan yang lebih baik, karena ragam aktivitas dan mata pencaharian
masyarakatnya. Menurut definisi, kota merupakan tempat dengan konsentrasi
penduduk lebih padat dari wilayah sekitarnya, karena terjadi pemusatan kegiatan
fungsional yang berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas penduduknya. Salah
satu kriteria suatu kawasan dapat dikatakan sebagai kota adalah kegiatan utama
masyarakatnya adalah bukan berbasis pertanian.
Menurut F.J. Osborn dan Whittick (1968), fungsi kota baru adalah
sebagai alternatif upaya untuk memecahkan dan mengatasi masalah pertumbuhan
permukiman tersebar yang tidak terkendali, kemacetan kota besar, serta
perpindahan penduduk ke kota-kota besar secara besarbesaran. Pembangunan kota baru
pada hakikatnya merupakan upaya pengembangan suatu bagian wilayah baru menjadi
sebuah permukiman yang mempunyai kelengkapan perkotaan. Kota baru dapat
dibedakan berdasarkan fungsinya, yaitu kota baru yang dibangun untuk pusat pemerintahan
baru; kota baru sebagai penunjang kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam; sebagai
penunjang kegiatan pendidikan; dan sebagai solusi permasalahan kota besar dan metropolitan.
Fenomena Kota Baru BSD dapat digolongkan ke dalam fungsi untuk mengurangi
permasalahan yang terjadi di kota metropolitan, yaitu DKI Jakarta.
Budiharjo dan Sudjarto (1999) menjelaskan definisi dan konsep
kota baru mandiri jika dilihat dari segi ekonomi dan sosial adalah Ketika
kota tersebut mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, atau paling tidak sebagian
besar penduduknya, dan secara geografis berlokasi diwilayah tersendiri, berjarak
cukup jauh dari kota sekitar 80 km2 dan bukan lahan pertanian. Kota
baru mandiri akan tercipta jika masyarakat tersebut telah terpenuhi seluruh
kebutuhan utamanya dalam skala pelayanan lokal. Sebagian besar aktivitas dari
masyarakat dilakukan di dalam kota tersebut, hanya sedikit pergerakan yang
terjadi keluar wilayah karena kemudahan jarak (keterjangkauan) dalam
pencapaian ke fasilitas-fasilitas yang tersedia.
Lebih dalam dijelaskan bahwa terdapat empat indikator
pencapaian suatu kota menjadi mandiri ditinjau dari fungsi sosio-ekonomis,
yaitu:
• Memiliki
potensi yang mampu menunjang kehidupannya sendiri;
• Berperan
sebagai pusat pengembangan wilayah sekitarnya;
• Menjadi
daya tarik bagi penduduk sekitarnya (counter magnet); dan
• Memiliki
sistem bentuk kota yang spesifik dan geografisnya.
Empat indikator tersebut yang menunjukkan kesuksesan pembangunan
kota baru sebagai kota yang mandiri, jika satu saja tidak terpenuhi maka
pembangunan kota baru dapat dinilai belum sukses.
Pada awal tahap pembangunannya, kota BSD ini dikonsentrasikan
pada pembangunan kawasan hunian, tanpa adanya pembangunan kawasan niaga, dengan
alasan mencegah munculnya spekulan yang memanfaatkan perkembangan kota
berikutnya. Jenis hunian yang dibangun pada kota ini dapat dikatakan seimbang,
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu 1:3:6.
Bahkan, yang berhasil diterapkan oleh kota baru BSD lebih baik dari ketentuan tersebut,
yaitu 1:4:8. Angka 1 untuk porsi perumahan kelas atas, angka 4 untuk perumahan
kelas menengah, dan angka 8 untuk perumahan skala menengah ke bawah. Pembagian
blok (clustering) dari kelas-kelas permukiman juga bukan berupa tembok tinggi
yang dikhawatirkan memunculkan kesan eksklusifitas. Hal ini sangat baik dalam membantu
pemerintah menyediakan kebutuhan akan perumahan bagi masyarakat, dan mereduksi
adanya kesenjangan sosial dalam suatu kawasan.
Kota Baru Mandiri BSD memiliki aksesibilitas yang tinggi
untuk menuju ke wilayah sekitarnya. Terdapat banyak akses yang mudah dijangkau masyarakat,
terutama sebagai penghubung Kota BSD dengan Kota Jakarta, seperti Jalan Tol
Jakarta-Tangerang serta Jalan Tol Bintaro Serpong. Jalan tol ini terhubung dengan
Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR). Sedangkan bagi pengguna kendaraan umum,
pihak pengembang juga menyedia shuttle bus dan feeder busway menuju
kawasan perkantoran Jakarta setiap harinya, kereta api menuju sekitar
Jabodetabek, serta angkutan umum di dalam dan sekitar kawasan.
Kecenderungan penghuni kota baru umumnya adalah keluarga muda
yang juga memiliki rumah baru di luar pusat kota, baik yang berasal dari luar
maupun dalam Kota Jakarta. Asumsi ini digunakan dengan pertimbangan, keluarga
baru tersebut menginginkan untuk hidup mandiri (berpisah dari orangtua mereka),
dengan harga yang lebih murah, namun tetap menginginkan akses yang cukup dekat
dengan pusat kota, karena sebagian besar dari mereka masih bergantung dengan
aktivitas pusat kota. Fenomena ini ternyata memunculkan permasalahan bagi kota
baru tersebut. Kegiatan commuting (ulang-alik) masyarakat terjadi
setiap harinya. Dan semakin menimbulkan masalah Ketika para commuter semakin
difasilitasi oleh pihak pengembang dengan memberikan berbagai kemudahan akses
perjalanan melalui ketersediaan dan keterjangkauan berbagai fasilitas transportasi.
Pembangunan kota baru BSD belum berhenti hingga saat ini.
Berbeda dengan tahap awal pembangunan, dimana pembangunan BSD berorientasi pada
penyediaan unit hunian, saat ini BSD semakin melebarkan sayap dalam penyediaan
berbagai unit niaga, seperti ruko, perkantoran, sekolah dan universitas yang
bergengsi. Pembangunan tersebut sebenarnya bermanfaat bagi masyarakat setempat,
namun justru memiliki dampak negatif, karena ternyata pembangunan tersebut mengurangi jumlah lahan yang selama ini
digunakan sebagai ruang terbuka hijau.
Jika ditinjau lagi secara keseluruhan terkait indikator kota
baru mandiri, BSD belum dapat dikategorikan dalam kota baru mandiri. Pada
indikator pertama, dinyatakan bahwa kota baru mandiri harus memiliki potensi
yang mampu menunjang kehidupannya sendiri, sedangkan masyarakat (penghuni) kota
baru BSD masih bergantung pada pusat kota dalam melakukan kegiatannya sehari-hari
(commuter). Indikator kota baru mandiri adalah kemampuan kota dalam berperan
sebagai pusat pengembangan wilayah sekitarnya. Kota baru BSD mampu berperan
dalam pengembangan wilayah sekitarnya, karena setelah BSD sukses merintis pembangunan,
semakin banyak bermunculan kawasan perumahan berskala besar lainnya
disekitarnya. Kota BSD sebenarnya juga memenuhi indikator kerja, yaitu sebagai
daya Tarik bagi penduduk sekitarnya (counter magnet) karena BSD banyak membuka peluang
pekerjaan bagi masyarakat sekitar kawasan, dan juga memenuhi indikator keempat
yaitu memiliki sistem bentuk kota yang spesifik dan geografisnya. Pembagian
sistem bentuk kota terjadi melalui pembagian kelas strata kepemilikan unit
hunian, yang kemudian mempengaruhi pola aktivitas pergerakan disekitarnya.
DAMPAK PERKEMBANGAN KOTA BARU
Pertumbuhan kota akan terus
terjadi sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kegiatan sosial ekonomi penduduk.
Pertumbuhan ekonomi akan berdampak kepada pola pemilihan lahan yang strategis.
Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi, bahwa pengguna selalu memaksimalkan pemanfaatan
lahannya. Usaha untuk memaksimalkan penggunaan lahan terbentuk dari semakin
intensifnya pemanfaatan suatu lahan. Perubahan pemanfaatan lahan dilakukan
dalam memaksimalkan nilai strategis lahan.
Semakin bertambahnya penduduk kota menyebabkan semakin
bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap jumlah lahan yang digunakan, baik
untuk fungsi perumahan, perkantoran, dan fasilitas sosial ekonomi lainnya.
Sementara, setiap kota memiliki batas administrasi masing-masing, sehingga jika
kebutuhan masyarakat kota terhadap guna lahan semakin meningkat, maka untuk
memenuhinya, diperlukan pengembangan atau perluasan wilayah ke daerah-daerah di
sekitar kota tersebut. Fenomena ini kini dikenal sebagai fenomena urban sprawl
yang ditandai oleh adanya alih fungsi lahan yang ada di sekitar kota (urban periphery)
yang tidak terkontrol karena keterbatasan lahan di pusat kota. Pada awalnya,
keberadaan fenomena ini diduga akan memberi dampak yang baik bagi kota tersebut
maupun daerah perluasan wilayahnya. Namun pada kenyataannya, ternyata lebih
banyak dampak negatif yang diberikan oleh fenomena urban sprawl ini terhadap perkembangan
suatu wilayah.
Para pengembang swasta – khususnya para pengembang besar,
yang merespon gejala urbanisasi yang terjadi di wilayah kota, melakukan
intervensi pengembangan lahan berskala besar. Mereka tidak hanya menciptakan pusat
pertumbuhan baru, namun juga meningkatkan urban sprawl, terutama untuk daerah
peri-urban Jakarta. Sementara urban sprawl merupakan suatu fenomena yang timbul
dari lajunya urbanisasi dan pertumbuhan penduduk kota yang semakin tidak terkendali.
Ekspansi Kota Jakarta melalui pemanfaatan dan penggunaan lahan menyebabkan
densifikasi permukiman yang semakin besar serta populasi penduduk yang semakin
tinggi di daerah peri-urban Jakarta. Hal ini diindikasikan dengan pertumbuhan penduduk
kota yang terjadi sampai tahun 2014.
Pertumbuhan kota yang terjadi di Jakarta juga berpengaruh
terhadap kota pinggirannya seperti BSD yang berada di wilayah Metropolitan
Jabodetabek. Dengan terbentuknya BSD menjadi kota baru, maka fenomena urban sprawl
juga terjadi di BSD. Semakin banyaknya penduduk, kebutuhan akan perumahan dan
fasilitas semakin meningkat sehingga guna lahan di BSD pun semakin tak dapat
dikendalikan. Banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi membuat masalah-masalah
lain, seperti banjir dan sistem pengendalian yang semakin menurun.
Selain BSD, kawasan yang mengalami fenomena urban sprawl saat
menjadi kota baru adalah Kebayoran Baru. Kebayoran Baru dibangun di areal
pertanian untuk menyediakan perumahan bagi orang-orang yang bekerja di Jakarta.
Namun, karena jarak antara Jakarta dan Kebayoran Baru terlalu dekat (kurang
dari 10 km) dan tidak ada kontrol terhadap pembangunan di wilayah antaranya, akhirnya
Kebayoran Baru menyatu dengan Jakarta.
Pada awalnya, Kebayoran Baru direncanakan memiliki segala
fasilitas yang diperlukan penghuninya, seperti perbelanjaan, pendidikan,
kesehatan, peribadatan, pelayanan pemerintahan, taman, dan ruang terbuka hijau
dengan standar yang tinggi dan diharapkan menjadi kawasan permukiman yang indah,
nyaman dan aman. Sayang, rencana tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan. Banyak
taman dan ruang terbuka hijau yang diubah peruntukannya jadi perkantoran, perumahan,
perbelanjaan dan lainnya. Sejak 1980-an banyak rumah yang diubah fungsinya
menjadi kantor dan tempat usaha, bahkan ada perumahan yang dibongkar untuk membangun
pusat perbelanjaan baru atau memperluas pusat perbelanjaan yang ada.
Kota baru lainnya yang dibangun untuk menyediakan perumahan
bagi orang yang bekerja di kota besar dan metropolitan, antara lain Depok di selatan
Jakarta, Karawaci di barat Jakarta, Rancaekek di timur Bandung dan Driorejo di
barat Surabaya. Contoh kota baru yang ditujukan untuk menyediakan pembangunan industry
adalah Lippo Cikarang di sebelah timur Jakarta. Di kota baru tersebut dibangun pula
perumahan bagi karyawan industry di Lippo Cikarang maupun bagi yang bekerja di
luar Lippo Cikarang serta berbagai fasilitas pendukung lainnya.
FENOMENA KOTA BARU MEIKARTA
Pertengahan 2017, berbagai media diramaikan dengan fenomena
rencana ekspansi besar-besaran sebuah grup pengembang di Indonesia untuk membangun
Kota Baru Meikarta yang digadanggadang sebagai tandingan Megapolitan Jakarta. Meikarta
merupakan proyek kota baru yang digagas oleh Lippo Group. Proyek bernilai investasi
278 triliun ini dibangun di Kecamatan Cikarang Selatan dan Kecamatan Cikarang Pusat,
Kabupaten Bekasi. Meikarta diklaim memiliki lokasi yang strategis karena dekat
dengan akses Tol Jakarta – Cikampek. Dalam strategi pemasarannya, dijelaskan
bahwa Kota Baru Meikarta akan dilewati kereta ringan (LRT) koridor Jakarta –
Bekasi, serta mempunyai akses strategis ke Pelabuhan Patimban, Kereta Cepat
JakartaBandung dan Bandara Kertajati (Jawa Barat). Kawasan Meikarta dikelilingi
oleh Kawasan CBD dan industry raksasa skala nasional maupun internasional di Kabupaten
Bekasi seperti Kawasan Industri Deltamas, Kawasan Industri Jababeka, dan Lippo
Cikarang. Dengan adanya kawasan – kawasan yang memiliki ribuan sampai jutaan
karyawan, Meikarta dibangun dengan tujuan menyediakan tempat tinggal bagi para pekerjanya.
Berbagai pro dan kontra terjadi dalam menanggapi rencana pengembangan
kota baru tersebut. Pada satu sisi, adanya pembangunan kawasan permukiman skala
besar dengan berbagai fasilitas pendukung di dalamnya sangat diperlukan dalam menopang
perkembangan ekonomi di Indonesia yang saat ini sedang didorong pertumbuhannya.
Penyebaran pusatpusat ekonomi sangat diperlukan, mengingat kondisi Megapolitan Jakarta
saat ini sudah terlalu padat dan cenderung mengalami penurunan kualitas perkotaannya
akibat kelebihan beban. Apabila kegiatan ekonomi dan permukiman dapat dibagi ke
pusatpusat kegiatan di wilayah lain di luar Jakarta, hal tersebut dapat mengurangi
beban dari Megapolitan Jakarta. Selain itu, adanya pengembangan kawasan
permukiman skala besar dapat membantu pemerintah dalam upaya penyediaan hunian
untuk mengatasi backlog perumahan yang menjadi Program Strategis Nasional. Akan
tetapi, di sisi lain, dari pihak yang menyatakan kontra terhadap pengembangan
Kota Baru Meikarta, mempertanyakan kelengkapan perizinan yang dimiliki developer
dalam proses pembangunan Meikarta. Tidak lengkapnya administrasi perizinan
dikhawatirkan akan berakibat pada lepasnya control pemanfaatan ruang, khususnya
berkaitan dengan dampak yang dihasilkan dari pembangunan skala besar, sehingga
menjadi preseden buruk.
Terlepas dari pro dan kontra tersebut, dalam upaya
pengembangan kota baru di suatu wilayah, aspek tata ruang adalah hal yang
paling utama diperhatikan. Setiap pembangunan yang akan dilakukan harus mengacu pada arahan rencana
struktur ruang dan pola ruang yang terdapat dalam rencana tata ruang. Terkait
dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
mengamanatkan bahwa negara menyelenggarakan Penataan Ruang untuk
sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan
yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang.
Guna menjaga tertib tata ruang, terdapat 4 instrumen pengendalian pemanfaatan ruang
yang meliputi Peraturan Zonasi, Pemberian Insentif dan Disinsentif, Ketentuan Perizinan,
serta Pemberian Sanksi bagi pelanggarnya.
KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOTA BARU DI INDONESIA
Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
dijelaskan bahwa terdapat hirarki perencanaan yang diterapkan di Indonesia,
meliputi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pada tataran nasional hingga
Rencana Detail Tata Ruang pada tataran kabupaten/ kota. Rencana tersebut disusun
sebagai acuan terhadap arah pembangunan di wilayah masing-masing sesuai dengan
kewenangannya, baik pada tataran nasional, provinsi, maupun kabupaten/ kota.
Setiap pemanfaatan ruang harus mengacu pada rencana tata ruang yang berlaku di
wilayah tersebut. Pemanfaatan ruang yang tidak mengacu pada rencana tata ruang
dapat digolongkan sebagai pelanggaran tata ruang. Karena itu, idealnya,
pengembangan suatu kawasan perkotaan baru pun harus memperhatikan arahan yang dicantumkan
dalam Rencana Tata Ruang beserta peraturan zonasinya. Rencana Tata Ruang sudah
disusun berdasarkan standar yang ditetapkan untuk merencanakan perkembangan wilayah
secara keseluruhan, serta melalui proses yang cukup Panjang dalam penetapannya
menjadi sebuah peraturan yang harus dipatuhi. Penetapan pusat-pusat kegiatan
juga sudah ditetapkan dalam struktur ruang wilayah mulai dari Pusat Kegiatan Nasional
(PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), Pusat Kegiatan Lokal (PKL), hingga pusat
pelayanan pada tingkat kawasan. Lokasi yang ditetapkan sebagai pusat kegiatan
tersebut yang seharusnya didorong untuk pengembangan kegiatan perkotaan, sehingga
tidak memberikan dampak buruk pada perwujudan struktur ruang yang telah
direncanakan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015
– 2019, pembangunan kota baru publik yang mandiri dan terpadu menjadi salah
satu sasaran program pengembangan wilayah. Lokasi yang dijadikan prioritas
dalam pengembangan kota baru ini tersebar di seluruh Indonesia, antara lain
Sorong, Jayapura, Manado, Makassar, Pontianak, Banjarbaru, Tanjung Selor, Maja,
Padang, dan Palembang. Kebijakan pembangunan kota baru publik ini juga akan
diimbangi dengan optimalisasi kota ukuran sedang di luar Jawa serta peningkatan
efisiensi kegiatan ekonomi di Kawasan metropolitan yang sudah ada saat ini.
Terkait dengan pembangunan Kota Baru Meikarta di Kabupaten
Bekasi, secara hirarki setidaknya ada 4 (empat) RTR yang harus diacu yaitu
Rencana Tata Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Puncak, Cianjur (Perpres
Nomor 54 Tahun 2008), Rencana Pengelolaan Pembangunandan Pengembangan
Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat (Perda Nomor 12 Tahun 2014),
Rencana Tata Ruang Provinsi Jawa Barat (Perda Nomor 22 Tahun 2010), dan Rencana
Tata Ruang Kabupaten Bekasi (Perda Nomor 12 Tahun 2011).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan
Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur)
lokasi Meikarta berada pada zona B1. Zona tersebut merupakan zona dengan karakteristik
sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan tinggi, tingkat pelayanan
prasarana dan sarana tinggi, dan bangunan Gedung dengan intensitas tinggi, baik
vertical maupun horizontal. Posisi dan peran Kabupaten Bekasi diperjelas dalam RTRW Provinsi Jawa Barat, dimana Rencana
pengembangan wilayah Kabupaten Bekasi berada dalam Wilayah Pengembangan (WP)
Bodebekpunjur. Selain itu, Perda No. 22 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa
Barat, menjelaskan bahwa Kabupaten Bekasi diarahkan sebagai kawasan penyangga dalam
sistem PKN kawasan perkotaan Jabodetabek, pengembangan sector industri ramah
lingkungan dan hemat penggunaan air tanah, serta kegiatan pertambangan mineral
logam dan non logam untuk mendukung pembangunan di Bodebekpunjur.
Mengacu pada Perda Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan
dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat, lokasi
Meikarta masuk dalam ruang lingkup wilayah Metropolitan Bodebekkarpur. Oleh
karena itu, Pemprov Jawa Barat memiliki kewenangan untuk mengontrol pembangunan
yang ada di wilayahnya. Perizinan pembangunan pada bidang-bidang yang bersifat
strategis berskala metropolitan, lintas daerah serta lintas pemerintahan
dan/atau berimplikasi skala metropolitan di Provinsi Jawa Barat menjadi kewenangan
Pemerintah Kabupaten/ Kota setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur
sebagaimana tercantum dalam pasal 10 huruf f Perda Provinsi Jawa Barat No. 12
Tahun 2014. Selain itu, konsep pembangunan Kota Baru Meikarta harus sesuai arah
kebijakan pengembangan Metropolitan Bodebekkarpur, bahwa pengembangan
diwujudkan melalui pendekatan Metropolitan Kembar (Twin Metropolitan)
Bodebekkarpur DKI Jakarta sehingga Metropolitan Bodebekkarpur diarahkan menjadi
metropolitan level-1 yang setara dengan DKI Jakarta (Pasal 21 Perda Provinsi Jawa
Barat No. 12 Tahun 2014).
Dalam Perda Kabupaten Bekasi Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi Tahun 2011-2031, lokasi Meikarta termasuk
dalam Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) Bidang Pertumbuhan Ekonomi. Dari aspek
pola ruang, menurut RTRW peruntukan lahan di lokasi site Meikarta merupakan peruntukan
industri dan peruntukan permukiman perkotaan. Dari aspek struktur ruang,
Kecamatan Cikarang Selatan ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp)
sedangkan Kecamatan Cikarang Pusat sebagai Pusat Kegiatan Lokal. PKLp merupakan
wilayah yang diusulkan Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk ditetapkan sebagai
kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai pusat wilayah kabupaten yang meliputi
beberapa kecamatan di RTRW Provinsi.
Dari aspek perizinan, dalam PP Nomor 15 Tahun 2010,
dijelaskan bahwa perizinan dilakukan untuk menjamin terwujudnya tata ruang
sesuai dengan rencana. Berdasarkan kajian Direktorat Pengendalian Pemanfaatan Ruang (2017), untuk melakukan pembangunan di Kawasan
Cikarang, setidaknya ada 9 jenis perizinan beserta persyaratan perizinannya
yang harus dipenuhi agar tercipta kualitas perkotaan yang baik bagi masyarakat
di dalamnya serta kawasan di sekitarnya.
Perizinan-perizinan tersebut merupakan bentuk pengendalian terhadap
pemanfaatan ruang, khususnya dalam upaya menanggulangi dampak perkembangan yang
dihasilkan pasca pelaksanaan pembangunan. Pada dasarnya, izin-izin dengan
berbagai persyaratan yang ditetapkan tersebut didasarkan pada Rencana Tata
Ruang. Izin tersebut selain untuk memastikan perkembangan sesuai rencana, juga diperlukan
untuk menilai dampak yang dihasilkan secara detail dan mendalam, sehingga
meminimalkan terjadinya bencana pada masa mendatang, seperti kemacetan,
kegagalan konstruksi, kekurangan persediaan air baku, banjir, serta hal lain
yang mengurangi kualitas kehidupan masyarakatnya.
Kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan sangat perlu dilakukan
oleh pengembang Kota Baru Meikarta. Hal yang tidak kalah penting, pengembang
wajib memenuhi persyaratan administratif, termasuk perizinan. Kelengkapan
dokumen perizinan dapat memberikan kepastian hukum dan keamanan transaksi bagi konsumen.
Pembangunan Kota Baru Meikarta yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung
lingkungan, serta didukung oleh kelengkapan administrasi perizinan berpotensi menciptakan
sebuah lingkungan hunian perkotaan yang ideal nyaman, aman dan dapat dijangkau
oleh semua kalangan. Dengan demikian, Meikarta dapat ikut berkontribusi untuk mengurangi
angka backlog perumahan yang saat ini masih tinggi.
URGENSI PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG
Memandang berbagai teori dan fenomena perkotaan yang terjadi
di Indonesia dalam dua dekade terakhir, perkembangan kota baru adalah sebuah
keniscayaan yang tidak dapat dibendung. Pertanyaan besar yang muncul adalah
mengenai dampak yang akan terjadi dengan munculnya perkotaan baru tersebut,
baik dalam skala kawasan maupun skala wilayah yang lebih luas. Upaya antisipasi
sangat diperlukan guna menghindari dampak negatif yang berpotensi muncul. Dalam
hal ini, perlu kajian komprehensif dan mendalam terhadap daya dukung dan daya
tampung lingkungan, khususnya pada tahapan perencanaan. Lemahnya analisis dalam
penyusunan Rencana Tata Ruang dapat menjadi hambatan dalam membendung laju perkembangan
wilayah yang tidak terkontrol. Penentuan prioritas tujuan pengembangan
kota-kota baru harus dilakukan secara seimbang antara aspek ekonomi, sosial
budaya, dan lingkungan. Jangan sampai hanya karena mengedepankan laju pertumbuhan
ekonomi, kemudian mengabaikan aspek sosial budaya dan juga lingkungan. Banyak
sekali kasus dimana proyek pengembangan sebuah kawasan – umumnya dari kawasan
non perkotaan menjadi kawasan bercirikan perkotaan – membuat warga lokal
termarginalkan karena tidak dapat mengikuti gaya hidup di kota baru tersebut.
Contoh lain adalah berkaitan dengan penyediaan air bersih di Kawasan kota baru.
Pembangunan Kawasan perkotaan pastinya membutuhkan suplai air baku untuk
mencukupi kegiatan di dalamnya. Pada dasarnya, pusat-pusat kegiatan yang ada
dalam rencana tata ruang seharusnya sudah memperhitungkan ketersediaan Sumber
daya semacam itu hingga akhir tahun perencanaan. Munculnya sebuah kota baru
yang tidak sesuai dengan rencana pusat kegiatan akan mengacaukan perhitungan
tersebut. Bisa jadi, keberadaan kota baru tersebut ikut mengambil air yang
menjadi sumber air baku di kota yang sudah terbentuk di sekitarnya. Akibatnya, akan
terjadi defisit dalam penyediaan air baku di pusat-pusat kegiatan yang sudah
direncanakan di sekitarnya.
Pengkajian mendalam pada pada level perencanaan akan menjadi
modal yang kuat pada level pengendalian pemanfaatan ruangnya. Kajian-kajian tersebut
akan menjadi pegangan dalam penerbitan perizinan pemanfaatan ruang serta
penentuan persyaratan persyaratan yang harus dipenuhi dalam rencana pengembangan
kawasan. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat berupa kajian tambahan, rekayasa
teknik, atau pembatasan-pembatasan yang sifatnya mereduksi dampak yang dihasilkan
dari pengembangan kota baru, dan dibebankan kepada pihak pemohon. Perizinan merupakan
wujud kehadiran pemerintah terhadap pengendalian tersebut, dan pihak pengembang
harus menghormati proses di dalamnya demi tertib tata ruang. Apabila perlu, pada
tahap-tahap yang sifatnya strategis dan penting, dapat dipersyaratkan adanya regulasi
berupa advice planning (rekomendasi teknis) dari Pemerintah Pusat untuk pengembangan
permukiman skala besar baik pada pembangunan permukiman skala kawasan maupun skala
kota. Hal tersebut untuk mereduksi dampak negatif dari aspek sosial, ekonomi,
maupun lingkungan, dan mendukung ketahanan wilayah serta keberlanjutan kota.
Penguatan payung hukum dan kapasitas kelembagaan sangat diperlukan untuk mendukung
posisi rekomendasi teknis tersebut sebagai control perkembangan. Regulasi
pemerintah yang diimbangi dengan taat asas dari para pemangku kepentingan dalam
upaya pengendalian pemanfaatan ruang akan menciptakan ruang yang aman, nyaman,
produktif, dan berkelanjutan sesuai tujuan yang diharapkan.
Sumber: Oleh DR. ANDI RENALD dalam Buletin Tata Ruang Edisi V
Tahun 2017