Jumat, 05 Agustus 2022

KONSEP TATA RUANG PASCA PANDEMI: 15 MINUTES CITY

PANDEMI Covid-19 tengah merambah lebih dari 90 negara dengan penyebarannya yang sangat cepat meluas dan mengubah pola aktivitas penduduk dunia. Tidak ada negara yang tidak gagap menghadapi pandemi ini dan tidak sedikit juga sector penggerak kehidupan, terutama di perkotaan, yang berjuang untuk tetap bertahan pada kondisi yang membatasi aktivitasnya secara paksa. Sektor ekonomi, pemerintahan, pendidikan, transportasi, dan lainnya tetap dipaksa berjalan meski dalam keterbatasan. Sebagai tumpuan utama saat ini, sektor Kesehatan mengemban peran penting untuk memastikan pandemi ini tetap dapat tertangani.

Bagi kota-kota besar yang memiliki populasi besar dan padat, dampak Covid-19 berpengaruh signifikan terhadap sektor ekonomi maupun sosial. Upaya untuk mengendalikan laju pandemi memerlukan keahlian dalam pembuatan, pengumpulan, analisis, dan aplikasi data perkotaan. Salah satu parameter yang dapat dilihat adalah mobilitas manusia.

Mobilitas manusia, seperti perjalanan harian (bekerja, belanja, sekolah) yang berjarak tempuh cukup jauh karena akibat dari urban sprawl, dapat memperbesar risiko penularan Covid-19. Berbagai strategi mengurangi risiko penularan telah ditempuh, mulai dari lockdown, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), hingga anjuran dari tokoh masyarakat untuk tetap berada di rumah telah dilakukan. Namun, tidak semua orang memiliki kesempatan untuk dapat melakukan segala aktivitasnya dari rumah.

Pandemi saat ini telah memicu banyak pertanyaan yang belum pernah terkemuka sebelumnya, seperti bagaimana caranya mengisolasi diri tanpa mengganggu kehidupan sosial ekonomi sehari-hari. Berbagai penyesuaian aktivitas dilakukan secara cepat saat pemerintah pertama kali mengumumkan pemberlakuan pembatasan sosial dalam rangka menekan laju penularan Covid-19. Penyesuaian aktivitas di rumah, perjalanan harian keluar rumah, dan perjalanan jarak jauh tengah dilakukan masyarakat dan mempengaruhi perkembangan kebijakkan (transportasi) pemerintah selama dan pasca Covid-19, dan  pandemi di masa depan serta skenario lain yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan pantauan mobilitas selama masa pembatasan sosial di Indonesia, terjadi peningkatan pergerakan manusia di area permukiman 11%, sedangkan penurunan kegiatan terjadi di area taman terbuka 7%, area wisata 8%, perkantoran 23%, dan sarana transportasi 32%.

Ketika jalanan yang biasanya dipadati oleh kendaraan bermotor menjadi sepi karena menurunnya mobilitas penduduk, di situlah kita sadar bahwa betapa kecilnya ruang kota diperuntukkan bagi manusia.  Banyaknya masyarakat yang mengalihkan segala aktivitasnya di rumah, dapat meningkatkan kebutuhan masyarakat akan ruang-ruang aktivitas di kawasan permukiman seperti taman, ruang publik, dan green infrastructure.

Kondisi pandemi ini memaksa manusia untuk berubah. Respon masing-masing individu terhadap perubahan yang disebabkan Covid-19 mengerucut kepada tiga komponen: pengetahuan, inovasi, dan nilai-nilai yang dianut. Individu-individu yang memiliki perilaku yang serupa akan menghasilkan perubahan dalam komunitas dan akhirnya mengubah kota. Apabila kita hendak mengalahkan virus ini, kita bukan hanya harus mempelajari tentang virus ini, tetapi juga memahami tentang kota dan jejaring yang menggerakkannya, komunitas dan bagaimana hubungan satu dengan yang lain, serta individu dan pertimbangan-pertimbangan terhadap pilihannya.

Selanjutnya, pandemic Covid-19 juga mempertanyakan apakah struktur ruang perkotaan yang ada saat ini sudah cukup tangguh untuk mengatasi dampak pandemi. Terdapat empat kelompok unsur perencanaan kota dan wilayah yang berpotensi terdampak pandemi Covid-19, di antaranya 1) social distancing, urban structure, community, dan density, 2) housing affordability, 3) lockdowns, border closures, reshoring, dan regional economic recovery, serta 4) smart city technology, contact tracing, dan privacy. Kedepannya perlu dirumuskan kebijakan pengembangan perkotaan pasca pandemi yaitu bagaimana menciptakan kota-kota yang secara lokasi sangat berdekatan sehingga masyarakat dapat dengan mudah mencapai tujuan perjalanan hariannya.

Kota-kota besar di Indonesia telah mengalami aglomerasi. Salah satu penyebabnya adalah ketidakmampuan sebuah kota menampung kepadatan penduduknya. Ketika hal ini terjadi, kota menjadi sangat padat di tengah dan menyebar ke pinggiran, sehingga batas kota menjadi melebar. Kasus urban sprawl diasosiasikan dengan polusi, ruang terbuka hijau yang terbatas, dan harga rumah yang tidak terjangkau. Perubahan zonasi yang memisahkan antara zona ekonomi dengan zona perumahan meningkatkan kebutuhan jaringan pergerakan, dan menyebabkan masalah waktu tempuh, energi, serta finansial bagi penduduknya.

Salah satu metode pengelolaan perkotaan yang efisien dan berkelanjutan adalah konsep compact city, yaitu pengembangan sebuah area perkotaan dengan kepadatan dan kekompakan yang tinggi sehingga akses terhadap fasilitas, infrastruktur dan lapangan kerja menjadi sangat mudah. Beberapa prinsip dalam penerapan konsep compact city antara lain konsentrasi pembangunan kota, peremajaan dan pembangunan kembali pusat kota, guna lahan campuran, meningkatkan transportasi publik untuk meredakan kemacetan dan meningkatkan aksesibilitas masyarakat, pembangunan untuk kawasan berkepadatan tinggi, serta menurunkan jumlah penggunaan kendaraan pribadi. Sejalan dengan hal tersebut, salah satu intervensi yang tengah dilakukan oleh beberapa kota besar di dunia untuk menghadapi perubahan pola hidup masyarakat akibat pandemi Covid-19 adalah konsep pengembangan kota 15-minute city. Konsep ini merupakan strategi perwujudan konsep compact city di level lokal atau skala lingkungan (neighbourhood unit).

Konsep 15 Minutes City

Pada prinsipnya konsep 15-minute city ini sejalan dengan konsep New Urbanism dan Transit Oriented Development (TOD) dengan akar idenya adalah perencanaan pada neighbourhood unit yang dikemukakan pada awal 1900an. Lebih lanjut lagi, konsep 15-minute city ini merupakan pendekatan komplementer dengan konsep TOD yang mengusung konsep perencanaan yang lebih padat pemanfaatan ruang dan minim ketergantungan penggunaan kendaraan pribadi, mengutamakan transportasi publik yang cepat, terjadwal, dan dapat diandalkan untuk menghubungkan pusat-pusat kegiatan di belahan kota lainnya. Pada tahun 2050 diperkirakan akan ada 43 megapolitan dan dua per tiga dari populasi penduduk dunia tinggal di perkotaan. Oleh karena itu, perlu dilakukan perencanaan kawasan perkotaan yang sesuai dengan kondisi demografi dan karakteristik wilayahnya.

Struktur ruang Kawasan perkotaan yang dapat membagi sentralitas pusat kota ke dalam beberapa pusat kegiatan dapat memperkuat ketahanan dalam menghadapi pandemi Covid-19. Dengan kondisi saat ini, konsep 15-minute city sangat relevan untuk dikembangkan pada masa recovery pandemi Covid-19 karena membentuk kota  dengan banyak pusat kegiatan sehingga dapat meminimalkan pergerakan manusia, terutama mobilitas jarak jauh. Setiap pusat kegiatan yang direncanakan akan melayani berbagai kebutuhan dasar masyarakat dalam radius jangkauan 15 menit yang dapat ditempuh hanya dengan berjalan kaki atau bersepeda. Hal ini bertolak belakang dengan paradigma perencanaan kota yang memisahkan Kawasan perkantoran, pertokoan, industri, dan hiburan sehingga membutuhkan perjalanan dengan jarak yang jauh dan waktu tempuh yang lama bagi masyarakat melakukan perjalanan keseharian atau mengakses fasilitas dasar.

Konsep 15-minutes city terkait erat dengan walkability index dari sebuah kota. Walkability adalah sebuah terminologi yang digunakan untuk mengukur konektivitas dan kualitas akses pejalan kaki, trotoar, maupun infrastruktur lain yang ditujukan untuk pejalan kaki. Semakin tinggi walkability index sebuah kota, maka kota tersebut semakin layak huni. Dalam survei yang dilaksanakan pada tahun 2011 di kota-kota besar Asia, ditemukan  bahwa secara jumlah, pejalan kaki dan pengguna kendaraan umum di Asia, terhitung besar, namun hal tersebut tidak didukung oleh infrastruktur pejalan kaki yang baik, sistem jaringan jalan yang saling terhubung, serta tata kota yang kompak. Hal ini membuat perjalanan dan waktu tempuh semakin panjang dan tidak esensial.

Selain mengurangi perjalanan antarkota yang tidak esensial, konsep 15-minute city secara spesifik dapat menyediakan ruang publik kota lebih banyak, memusatkan aktivitas di tingkat lokal, memperkuat kebersamaan, mengutamakan kesehatan dan kesejahteraan, meningkatkan ketahanan masyarakat terhadap dampak perubahan iklim, dan meningkatkan tingkat layak huni dan keberlanjutan kota. Tujuan dari konsep 15-minute city adalah ruang perkotaan yang lebih nyaman, less stressful, dan berkelanjutan serta memberi kemudahan aksesibilitas masyarakat terhadap sarana prasarana dan pelayanan dengan jarak tempuh yang singkat, termasuk bekerja dari atau dekat dengan rumah. Mempertimbangkan kondisi saat ini, merupakan momentum yang tepat untuk menerapkan konsep 15-minute city dalam perencanaan kota. Prioritas perencanaannya juga dapat diprioritaskan bagi lingkungan dengan aksesibilitas rendah terhadap pelayanan dasar perkotaan.

Prinsip utama 15-minute city

        Setiap warga memiliki akses yang mudah terhadap penyedia kebutuhan seharihari dan layanan umum, khususnya supermarket, pasar, dan layanan kesehatan.

        Setiap lingkungan memiliki beberapa macam tipe rumah yang sesuai dengan tingkat dan daya beli masyarakat agar dapat mengakomodasi berbagai rumah tangga dan memungkinkannya untuk tinggal lebih dekat dengan tempat kerja.

         Masyarakat setempat berhak menikmati udara segar yang bebas dari polusi dan tersedianya ruang terbuka hijau publik.

        Lebih banyak orang dapat bekerja dari rumah.

Selain itu, unsur teknologi digital dalam hal pelayanan publik sangat diperlukan untuk mendukung kegiatan masyarakat yang dilakukan di rumah maupun lingkungan sekitarnya dan meningkatkan perekonomian lokal. Perencanaan Kawasan pada neighbourhood unit akan membentuk desain kota secara keseluruhan dan untuk mewujudkan kota yang inklusif dan berkelanjutan diperlukan pelibatan secara aktif dari seluruh pemangku kepentingan.

Kota-kota Besar di Dunia dengan Konsep 15 Minutes City

1.  Paris

Hyper-proximity dan 15-minute city merupakan kunci keberhasilan Walikota Paris Anne Hidalgo dalam kampanye pemilihan kembali walikota 2020 lalu. Pendekatan pengelolaan perkotaan ini bertujuan untuk mengurangi polusi udara dan waktu transportasi (perjalanan), serta meningkatkan kualitas hidup masyarakat Paris yang dapat membuat kotanya menjadi bebas karbon pada tahun 2050. Paris secara besar-besaran meningkatkan konstruksi pedestrian dan jalur sepeda dengan tujuan menciptakan banyak sekali lingkungan yang memiliki akses terhadap segala kebutuhan dalam waktu tempuh 15 menit dengan berjalan kaki atau bersepeda.

Rencana aksi yang disusun oleh Walikota Paris antara lain:

a) menyediakan jalur sepeda pada setiap jalur jalan dan jembatan;

b)  mengalihfungsikan lebih dari 70% lahan parkir jalanan menjadi penggunaan lainnya;

c) meningkatkan jumlah perkantoran dan co-working hubs dalam skala lingkungan;

d) memperluas pemanfaatan infrastruktur dan bangunan gedung di luar jam kerja standar;

e)  mendorong masyarakat untuk membuka gerai (local shops); dan

f) menciptakan taman-taman kecil di area bermain sekolah yang juga dapat dimanfaatkan masyarakat sekitar di luar jam sekolah. Hal ini sebagai strategi pemenuhan ruang terbuka hijau.

2.  Melbourne

Dalam perencanaan jangka panjang Pemerintah Victoria, Australias, Plan Melbourne 2017-2050 diterapkan prinsip 20-minute neighbourhoods untuk mendukung salah satu outcome perencanaannya yang mengutamakan living locally dan menciptakan masyarakat yang inklusi, hidup, dan sehat. Hal ini diartikan bahwa masyarakat dapat memenuhi segala kebutuhan dasarnya (seperti pada Gambar 3) dalam jarak tempuh 20 menit dengan berjalan kaki dari rumah (radius sekitar 800 meter), dengan pilihan moda bersepeda dan transportasi yang aman. Waktu tempuh 20 menit ini diindikasikan sebagai waktu tempuh maksimal (pulang dan pergi) seseorang berjalan kaki untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya seperti fasilitas kesehatan, sekolah, dan pusat perbelanjaan. Diprioritaskan alokasi ruang untuk zona perkantoran, sarana pelayanan umum, dan transportasi dapat berada dekat dengan hunian masyarakat.

Dalam setiap unit lingkungan (neighbourhood) terdapat pusat kegiatan lingkungan (neighbourhood activity centres) yang difungsikan sebagai pusat perbelanjaan lokal yang menyediakan fasilitas Kesehatan setempat, hiburan, jasa retail, dan lainnya. Untuk mempermudah akses tersebut, dikembangkan penambahan jalur sepeda sepanjang 40 km.

3.  Milan

Kota Milan mengusung rencana recovery Covid-19 dengan konsep 15-minute city yang bertujuan untuk menjamin layanan dasar, khususnya fasilitas kesehatan, dapat dijangkau masyarakat dengan berjalan kaki dan untuk mencegah lonjakan penggunaan kendaraan pribadi di akhir masa lockdown. Rencana ini mengatur pembangunan baru jalur sepeda sepanjang 35 km dan beberapa jalur pejalan kaki di sekitar sekolah. Selain itu, toko/kedai, bar dan restoran juga diperbolehkan untuk memanfaatkan ruang jalan untuk melayani pelanggan di luar ruangan.

4.  Ottawa

Ottawa telah merevisi rencana tata ruangnya dengan rencana intensifikasi perkotaan untuk 25 tahun yang mengusung konsep 15-minute neighbourhoods dan bertujuan untuk mengubah ibukota Kanada menjadi kota sedang paling layak huni di Amerika Utara. Rencana ini menargetkan masyarakat mengubah moda perjalanan hariannya lebih dari 50% dengan berjalan kaki, bersepeda, transportasi publik, atau carpooling.

5.  Portland

Rencana 2030 Complete Neighborhoods menargetkan 80% area perumahan memiliki akses yang mudah dengan berjalan kaki atau bersepeda terhadap kebutuhan dasar, dan memiliki jalur pejalan kaki atau jalur sepeda. Indikator kelengkapan lingkungan terdiri atas jarak dari rute sepeda dan transit services, jarak dari taman lingkungan ke pusat kegiatan masyarakat, serta kualitas pedestrian. Rencana tersebut memprioritaskan area yang kurang terlayani oleh utilitas dasar dan hunian masyarakat berpenghasilan rendah.

Bagaimana Penerapan Konsep 15 Minutes City pada Masa Recovery Covid-19 di Indonesia?

Sejak terjadinya pandemic Covid-19, kota yang terpusat tidak mampu bertahan dengan lockdown. Namun, pada beberapa kota besar yang kompak dan dengan penggunaan transportasi massal yang sangat tinggi di Asia seperti Singapura, Hong Kong, Seoul, dan Tokyo, aspek kepadatan penduduk tidak menjadi fator dalam penyebaran Covid-19, tetapi aspek kelembagaan dan budaya masyarakat (respon sosial) yang sangat mempengaruhi, seperti jaga jarak, pemakaian masker, dan kewaspadaan terhadap virus. Oleh karena itu, penanganan kota pasca pandemi Covid-19 akan memerlukan pemikiran baru tentang bagaimana merencanakan ruang public yang dapat melindungi dan menjaga kesehatan lingkungan, disamping fungsinya sebagai ruang untuk bersosialisasi, pengembangan masyarakat, dan identitas lingkungan tetap terjaga.

Salah satu strategi yang dapat dilakukan agar konsep 15-minute city ini dapat terwujud di antaranya meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan dasar, khususnya fasilitas kesehatan dan penyediaan makanan, serta meningkatkan daya beli masyarakat akan perumahan. Selain itu, beberapa strategi berikut memungkinkan dapat dilakukan di Indonesia:

• Memperinci rencana tata ruang wilayah kota ke dalam rencana detail tata ruang (skala lingkungan).

• Mengintegrasikan konsep 15-minute city dengan konsep transit-oriented development (TOD) dalam rencana umum atau rencana rinci.

• Menerapkan zona mixed-use untuk fungsi perumahan, perkantoran, dan perdagangan/jasa.

-      Memastikan setiap lingkungan tersedia kedai/toko penyedia bahan makanan.

-      Memperbaharui rencana zonasi kota untuk memastikan pelayanan publik, ruang terbuka hijau, dan infrastruktur dasar dapat diakses oleh masyarakat sampai skala lingkungan.

-      Meningkatkan program penyediaan rumah layak huni dan terjangkau secara berkelanjutan.

• Meningkatkan kualitas dan kuantitas jalur pejalan kaki dan pesepeda karena berjalan kaki dan bersepeda merupakan metode pergerakan yang paling aman dan efisien untuk skala perjalanan jarak dekat harian dalam kota.

• Meningkatkan peran serta masyarakat dalam perencanaan tata ruang, khususnya masyarakat yang terdampak berat akibat pandemi, seperti masyarakat berpenghasilan rendah/ marginal dan pengusaha kecil/menengah.

• Menerapkan langkahlangkah perencanaan agar setiap lingkungan dapat tumbuh maju dan berkembang.

• Memanfaatkan teknologi digital atau teknologi smart city untuk membatasi perjalanan, serta melindungi kesehatan dan privasi masyarakat.

• Rencana strategis tidak lagi disusun berbasis pada unit organisasi (tidak ekuivalen pada unit eselon I dan II), tetapi kepada fungsinya. 

Konsep TOD di Indonesia, melalui interpretasi Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 16 Tahun 2017 tentang Pedoman Pengembangan Kawasan Berorientasi Transit memperkenalkan tiga tipologi TOD:

1.  Kawasan TOD Kota

 Kawasan TOD kota berfungsi sebagai pusat ekonomi fungsi primer dan berlokasi sebagai pusat pelayanan kota dengan fungsi pelayanan regional. Dilihat dari karakteristiknya, kawasan TOD kota adalah kawasan dengan fungsi campuran komersial, blok perkantoran dan hunian dengan intensitas tinggi yang terintegrasi dengan sistem transportasi masal.

2.  Kawasan TOD Subkota

 Kawasan TOD subkota berfungsi sebagai pusat ekonomi fungsi sekunder dan berlokasi sebagai subpusat pelayanan kota/ perkotaan. Karakteristiknya adalah kawasan dengan fungsi campuran dengan intensitas sedang hingga tinggi dan terintegrasi dengan sistem transportasi masal.

3.  Kawasan TOD Lingkungan

 Kawasan TOD lingkungan berfungsi sebagai pusat ekonomi lokal dan berlokasi pada pusat pelayanan lingkungan. Kawasannya berkarakteristik berfungsi campuran dengan intensitas sedang dan terintegrasi dengan sistem transportasi.

Dalam ketiga tipologi kawasan tersebut, walaupun memiliki hierarki dan intensitas yang berbeda-beda, yang terpenting adalah bahwa sebuah kawasan memiliki akses yang baik dan terlayani dengan system transportasi.

Sebagai contoh, inovasi yang dilakukan dalam perencanaan calon Ibu Kota Negara (IKN) yaitu mengadaptasi konsep kota 10 menit agar konsentrasi penduduk dapat terbagi, waktu perjalanan harian lebih cepat, tingkat polusi menjadi rendah, dan adanya kesempatan bagi UMKM dan penyedia layanan perkotaan di skala lokal.

 

 

 

Sumber: Oleh TIKKI MAHAYANTI, ST, M.ENG dan CORRY AGUSTINA, ST, MSC dalam BULETIN PENATAAN RUANG  EDISI 6 | NOVEMBER - DESEMBER 2020