A.
Pendahuluan
Daerah pinggiran kota adalah
suatu daerah yang juga dikenal sebagai daerah “urban fringe” atau daerah “peri
urban” atau nama lain yang muncul kemudian merupakan daerah yang memerlukan
perhatian yang serius karena begitu pentingnya daerah tersebut terhadap peri
kehidupan penduduk baik desa maupun kota di masa yang akan datang (Yunus,
2008:1). Untuk mencari pemaknaan yang tepat mengenai pemakaian istilah peri
urban, dalam Webster’s Third New International Dictionary sebagaimana dikutip
oleh Yunus (2008:11) dijelaskan bahwa istilah peri berarti “all about, about,
around, enclosing, surrounding, having substituents in or relating.”
Dengan demikian istilah peri
adalah kata sifat yang diberi makna pinggiran atau sekitar dari sesuatu objek
tertentu. Sementara itu istilah urban juga merupakan kata sifat yang berarti
sifat kekotaan atau sesuatu yang berkenaan dengan kota. Penggabungan istilah
peri dan urban membentuk kata sifat baru yang secara harfiah berarti sifat
kekotaan dan sekitar sehingga apabila digabungkan dengan kata region, maka peri
urban region (Wilayah Peri-Urban) mempunyai makna sebagai suatu wilayah yang
berada di sekitar kota.
Sejalan dengan meningkatnya
jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehi dupan
dalam aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi telah
mengakibatkan meningkatnya kegiatan penduduk perkotaan dan hal tersebut
berakibat pada meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan yang besar (Yunus,
2010b:124).
Oleh karena ketersediaan ruang di
dalam kota tetap dan terbatas, maka secara alamiah terjadi pemilihan alternatif
dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi
selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Yunus (2010b:125)
mengungkapkan bahwa:
“Gejala pengambilalihan lahan non
urban oleh penggunaan lahan urban di daerah pinggiran kota disebut “invasion”.
Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut sebagai urban
sprawl.”
Wilayah Peri-Urban merupakan
wilayah yang terletak diantara dua wilayah yang sangat berbeda kondisi ling
kungannya, yaitu antara wilayah yang mempunyai kenampakan kekotaan di satu sisi
dan wilayah yang mempunyai kenampakan kedesaan di sisi yang lain (Yunus,
2008:1).
Wilayah Peri-Urban ini menentukan
peri kehidupan kekotaan karena segala bentuk perkembangan fisikal baru akan
terjadi di wilayah ini, sehingga tatanan kehidupan kekotaan pada masa yang akan
datang sangat ditentukan oleh bentuk, proses dan dampak perkembangan yang
terjadi di WPU tersebut.
B.
Permasalahan Wilayah Peri-Urban
Salah satu permasalahan Wilayah
Peri-Urban adalah pola perkembangan kota tidak terstruktur (urban sprawl),
pesatnya perkembangan perumahan dan permukiman pada Wilayah Peri-Urban (urban
fringe) dengan peren canaan guna lahan tidak seimbang, kepadatan rendah, banyak
lahan yang terbuang atau terabaikan fungsinya. Hal tersebut telah menyebabkan
kota kehilangan orientasi/identitas ruang, monoton, tersebar, dan pem borosan
lahan. Kondisi tersebut menurut Wunas (2011:22) menyebabkan inefisiensi dan
pemborosan dalam pengembangan sistem transportasi dan sistem perkotaan antara
lain: (1) pemborosan energi: (2) waktu; (3) tenaga; dan (4) pemborosan biaya.
Maka dalam upaya memberikan
pelayanan kepada masyarakat utamanya terkait peningkatan sumber daya manusia,
maka dibutuhkan fasilitas pendidikan. Koestoer (2007:136) menyatakan bahwa hal
ini dapat diseleng garakan sesuai dengan besarnya kelompok komunitas dalam
masyarakat. Dengan dasar ini dapat ditentukan perencanaan awal mengenai jumlah
siswa yang memerlukan pelayanan fasilitas pendidikan dan daya tampung yang
mungkin tersedia.
1.
Urbanisasi dan Ketersediaan Sumber Daya Lahan
Yudono dalam Surya (2011:vii)
menyatakan bahwa fenomena urbanisasi adalah proses peningkatan rasio jumlah
penduduk perkotaan dibanding jumlah seluruh penduduk suatu wilayah. Urbanisasi
didukung oleh proses migrasi penduduk desa ke kota dengan berbagai motivasinya
serta berubahnya daerah pedesaan atau pinggiran kota yang semula didominasi
oleh kegiatan sektor pertanian menjadi daerah perkotaan yang didominasi oleh
sektor industri manufaktur, perdagangan dan jasa.
Lebih lanjut, Sjafrizal
(2012:185) menyatakan bahwa urbanisasi pada dasarnya adalah proporsi jumlah
penduduk yang hidup di wilayah perkotaan yang ditentukan oleh tiga unsur utama,
yaitu: (a) pertumbuhan penduduk (population growth); (b) perpindahan penduduk
dari desa ke kota (urban-rural migration); dan (c) terjadinya pemekaran wilayah
perkotaan.
Yunus (2010a:10) mengemukakan
bahwa identifikasi sifat kekotaan secara fisikal pada umumnya didasarkan pada
konsep morfologi kekotaan (urban morphology). Menurut Smailes dalam Yunus
(2010a:10) menyatakan bahwa tiga elemen utama morfologi kota yang dapat
digunakan sebagai indikator untuk mengenali sifat kekotaan dari segi fisikal
adalah land use characteristics, building characteristics dan circulation
characteristics.
Pertumbuhan penduduk akibat
urbanisasi telah memacu perkembangan wilayah kota ke pinggiran. Kondisi ini
didukung dengan meningkatnya wilayah yang memiliki ciri kekotaan. Perubahan
penggunaan lahan non urban ke arah luar kota terutama oleh kegiatan manusia
untuk bermukim berlangsung secara bertahap seiring dengan waktu dan
berkembangnya kota. Proses perubahan sebagai peristiwa perembetan kenampakan
fisik kota kearah luar tersebut pada umumnya terjadi karena adanya penetrasi
dari suatu kelompok penduduk area terbangun kota ke arah luar.
Terkait fenomena urbanisasi,
Sandy dalam Koestoer (2001:43) menyatakan bahwa kehidupan masyarakat kota yang
serba kompleks memerlukan dukungan prasarana kota yang memadai baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, agar seluruh aktivitas penduduk dapat berjalan
dengan aman, tertib, lancar dan sehat. Namun demikian, ketersediaan prasarana
kota yang lengkap bukan faktor utama berkembangnya suatu kota, karena
eksistensi suatu kota ditentukan oleh keberadaan sumber daya yang mampu
menghidupi masyarakat kota.
Selanjutnya Nurmandi (2014:26)
menyatakan bahwa pertumbuhan kota yang cepat secara langsung berimplikasi pada
pembangunan infrastruktur dasar dan pelayanan publik. Kurangnya pelayanan air
bersih, sistem sanitasi yang baik, penyediaan rumah, fasilitas pendidikan dan
kesehatan serta transportasi yang baik untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan
penduduk kota menjadi penyebab utama timbulnya berbagai masalah di kota-kota
negara yang sedang berkembang.
Di lain pihak, sumberdaya lahan
perkotaan relatif terbatas untuk memenuhi perkembangan jumlah penduduk (urbanisasi)
dan kegiatan pembangunan di perkotaan (industrialisasi). Oleh karena itu perlu
dilakukan penata laksanaan lahan (land management) secara harmonis dan dinamis
(Adisasmita, 2006:160).
Saat ini perkembangan atau
perembetan kota-kota besar di Indonesia lebih mengutamakan pembangunan
fungsional, cenderung dengan pola kota yang tidak terstruktur (urban sprawl) di
wilayah sub urban. Perkembangan kelompok perumahan permukiman terpisah dengan
fasilitas publik, seperti sarana perbelanjaan, sarana kesehatan, pendidikan
serta sarana perdagangan dan jasa lainnya, sehingga penghuni harus memenuhi
kebutuhan tersebut dengan kendaraan bermotor dengan jarak capai lebih dari
2.000 meter, yang seharusnya tersedia dalam radius pelayanan 500-1.000 meter
(Wunas, 2011:4).
Menurut Yunus (2011:56) bahwa
pertambahan penduduk kota yang terus-menerus dan masih tergolong tinggi membawa
konsekuensi spasial yang serius bagi kehidupan kota, yakni adanya tuntutan akan
space yang terus-menerus pula untuk dimanfaatkan sebagai tempat hunian.
Bertambahnya kegiatan penduduk di kota yang dipicu oleh meningkatnya jumlah
penduduk itu sendiri maupun meningkatnya tuntutan kehidupan masyarakat telah
mengakibatkan meningkatnya volume dan frekuensi kegiatan penduduk. Konsekuensi
keruangannya sangat jelas yaitu meningkatnya tuntutan akan ruang untuk
mengakomodasikan sarana atau struktur fisik yang diperlukan untuk melaksanakan
kegiatan-kegiatan tersebut.
Yunus (2008:3) menegaskan bahwa
tidak berlebihan kiranya mengatakan bahwa Wilayah Peri-Urban ini seolah olah
merupakan ajang pertempuran (battle front) antara sektor kedesaan dan sektor
kekotaan, dimana tidak pernah ada kenyataan empiris yang mengemukakan bahwa
sektor kedesaan memenangkan peperangan ini. Jelas kiranya dampak yang akan
muncul di masa yang akan datang berkenaan dengan pemekaran fisikal kekotaan
(urban sprawl) terhadap Wilayah Peri-Urban yang terkait dengan peri kehidupan
dan penghidupan kedesaan.
Adanya gejala tersebut, maka akan
memperlihatkan ciri-ciri kekotaan pada daerah yang terletak di perbatasan kota,
baik yang termasuk dalam wilayah kota maupun diluar wilayah kota, wilayah
inilah yang kemudian kita kenal dengan nama Wilayah Peri-Urban atau daerah
pinggiran kota.
2.
Ekspresi Spasial Kenampakan Fisik Kota
Menurut Ruswurm sebagaimana dikutip oleh Yunus (2010:131), mengatakan
bahwa terdapat 7 (tujuh) buah faktor utama yang berpengaruh terhadap ekspresi
keruangan kenampakan kota, yaitu:
a. Pertumbuhan penduduk (population growth).
b. Persaingan memperoleh lahan (competition for land).
c. Hak-hak kepemilikan (property right).
d. Kegiatan pengembang (developers activities).
e. Perencanaan (planning controls).
f. Perkembangan teknologi (technological development).
g. Lingkungan fisik (physical environment).
Berdasarkan peristiwa perkembangan tersebut, maka yang dapat dilihat
adalah banyaknya terjadi perubahan baik secara fisik maupun non fisik pada
Wilayah Peri Urban dan dalam perkembangannya, wilayah ini ditandai oleh
berbagai karakteristik, seperti peningkatan harga tanah yang drastis, perubahan
fisik penggunaan tanah, perubahan komposisi penduduk dan tenaga kerja, serta
berbagai aspek sosial lainnya.
Tingkat urbanisasi yang tinggi, membawa dampak bagi perkembangan Wilayah
Peri-Urban, dan telah mengubah drastis wilayah permukiman desa-kota hal itu
dikarenakan adanya kebutuhan penampungan bagi penduduk pendatang maupun
penduduk lama yang ingin mencari keleluasaan. Kebutuhan akan perumahan bagi penduduk
dan belum lagi penyediaan ruang terbatas bagi kawasan industri menjadikan
perubahan pola penggunaan tanah yang siginifikan, terutama wilayah permukiman.
Proses pertumbuhan kota yang melibatkan perpindahan penduduk dari pusat
kota ke daerah pinggiran, lebih menunjukkan proses alamiah, daripada terencana,
perkembangan ini merupakan suatu gejala sub urbanisasi prematur dan tidak
terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur,
serta tidak terkendali.
Terkait dengan proses perembetan kenampakan fisik kota, Domouchel dalam
Yunus (2010b:125) mengatakan bahwa, “urban sprawl can be defined of the growth
of metropolitan area through the process of development of miscellaneous types
of land use in the urban fringe areas”.
Menurut Yunus (1999) sebagaimana dikutip oleh Heryanto (2011:32) bahwa
secara garis besar, jenis perembetan kenampakan fisik kota yang kemudian
membentuk pola permukiman dibagi kedalam 3 (tiga) macam proses perluasan areal
permukiman kota (urban sprawl), yaitu:
a.
Perembetan konsentris (concentric development
atau low density continuous development) yaitu merupakan jenis perembetan areal
kekotaan secara merata di semua bagian luar kenampakan kota yang sudah ada dan
merupakan jenis perembetan areal kekotaan yang paling lambat dimana perembetan
berjalan perlahan lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik
kota.
b.
Perembetan memanjang (ribbon development atau
linear development atau axial development) yaitu perembetan kota yang tidak
merata di semua bagian sisi-sisi luar daripada daerah kota utama. Perembetan
paling cepat terlihat di sepanjang jalur trasnsportasi yang ada, khususnya yang
bersifat menjari (radial) dari pusat kota.
c.
Perembetan yang meloncat (leap frog development
atau chekerboard development) dimana perkem bangan lahan kekotaannya terjadi
berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian.
C.
Kebijakan Pengembangan Wilayah Peri-Urban
Fenomena fungsi ruang yang berkembang saat ini adalah unit hunian atau
perumahan yang terisolasi dengan sarana perbelanjaan, rekreasi, pendidikan,
kesehatan, dan pekerjaan, sehingga penghuni dominan mempergunakan sarana sosial
dan ekonomi dengan jarak capai yang tidak sesuai dengan standar pelayanan
minimal, sehingga penghuni harus menggunakan moda transportasi pribadi dengan
akses tunggal yaitu jalan poros penghubung antara wilayah urban dengan Wilayah
Peri-Urban.
Pembangunan hunian di Wilayah Peri-Urban seharusnya mempertimbangkan
sarana kebutuhan untuk kegiatan sosial dan ekonomi penghuninya, mem
pertimbangkan perencanaan dengan konsep fungsi lahan campuran (mixed land use),
yaitu mendekatkan lahan fungsi hunian dengan fasilitas pelayanan umum dengan
jarak capai yang memungkinkan kendaraan non-motorisasi seperti berjalan kaki,
bersepeda dengan tata hijau yang teduh romantis, serta dimudahkan dengan akses
angkutan bus dan sistem transit, agar dapat mereduksi mobilitas kendaraan, dan
sekaligus mereduksi dana transportasi penghuni (Wunas, 2011:23).
Hasil penelitian Governance Assesment Survey sebagaimana dikutip
Suryokusumo (2008:vii) menunjukkan bahwa akses masyarakat di bidang kesehatan,
pendidikan dan permodalan masih rendah. Tidak seimbangnya prasarana dan sarana
perkotaan dibandingkan dengan kebutuhan perkotaan menurut Adisasmita (2005:110)
menimbulkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam penggunaan fasilitas
yang tersedia. Lebih lanjut Adisasmita (2010:140) menyatakan bahwa:
”Masalah utama dalam penyediaan sarana hunian khususnya di permukiman
perkotaan antara lain masih rendahnya kualitas pelayanan prasarana dan sarana
permukiman. Sehingga tantangan utamanya adalah meningkatkan peran kota untuk
memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat seperti lapangan
kerja, tempat hunian, pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum lainnya.”
Terkait dengan pemenuhan dan dampak dari ruang pendidikan, Fawaid dalam
Erlangga (2011:146) menyatakan bahwa ruang pendidikan ibarat gula yang akan
selalu didatangi dan dikelilingi oleh semut-semut yang memanfaatkan gula
tersebut. Dari ruang pendidikan ini akan tercipta sebuah kondisi yang mana akan
membentuk pusat ruang-ruang di sekitar sentral ruang pendidikan.
Apa yang dinyatakan oleh Fawaid tersebut pada dasarnya adalah dinamika
yang berkembang didalam masyarakat tumbuh dan berkembang secara alamiah, karena
masyarakat yang hidup selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dan
mengekspresikannya di dalam setiap perkembangannya. Oleh karena itu, perubahan
dalam setiap aspek kehidupan kota baik itu perubahan sosial, ekonomi, budaya,
politik dan pendidikan sebaiknya dipandang sebagai suatu dinamika kehidupan
yang selalu akan berkesinambungan.
Namun demikian, perkembangan pesat yang terjadi di dalam sebuah kota pada
kenyataannya tidak selalu diikuti pengembangan-pengembangan serta perubahan
perubahan yang mendukung dalam kawasan tersebut sehingga terjadilah
ketimpangan-ketimpangan baik secara sosial, ekonomi, budaya, politik dan pendidikan
(Mirsa, 2012:3).
Oleh karena itu, menurut Yunus (2008:449) secara garis besar beberapa
prioritas pengembangan Wilayah Peri-Urban adalah:
1.
Pengembangan kompleks perdagangan.
2.
Pengembangan kompleks pendidikan.
3.
Pengembangan industri.
4.
Pengembangan pertanian.
5.
Pengembangan permukiman.
6.
Pengembangan jalur hijau.
Lebih lanjut Yunus (2008:450)
menyatakan bahwa pembangunan fisikal yang menunjang kesejahteraan sosial adalah
pembangunan fasilitas pendidikan baik formal maupun non formal. Remaja usia
sekolah sebaiknya tidak usah pergi ke tempat yang jauh untuk belajar dan hal
ini hanya mungkin apabila di lingkungannya sudah tersedia fasilitas pendidikan
yang dimaksudkan.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 494/PRT/M/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan
Perkotaan (KSNP-Kota) dinyatakan bahwa upaya dalam mengembangkan keseimbangan
dan keterkaitan antar kota dan antara kota-desa melalui upaya pengembangan
perkotaan seiring dengan peningkatan efektifitas keterkaitan sosial ekonomi
antara kota dan desa (wilayah hinterlandnya) agar saling menguntungkan dan
memperkuat dalam kerangka pengembangan kawasan.
D.
Pertumbuhan Penduduk dan Tingkat
Pendidikan
Aspek kependudukan dan interaksi kependudukan (mobilitas penduduk)
menurut Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju (2009:295) merupakan informasi yang
mendasar terkait dengan perkembangan suatu wilayah. Perkembangan suatu wilayah
berimplikasi terhadap pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Tarigan (2008:185)
juga menyatakan bahwa penduduk merupakan faktor yang sangat penting untuk
diperhatikan dalam perencanaan wilayah. Jumlah penduduk adalah faktor utama
untuk menentukan banyaknya permintaan bahan konsumsi dan banyaknya fasilitas
umum yang perlu dibangun di suatu wilayah. Klasifikasi atas umur misalnya,
dapat dipakai untuk menentukan jumlah fasilitas pendidikan yang dibutuhkan
untuk tingkat TK, SD, SMP, SMA dan universitas.
Pertambahan penduduk yang cepat, lepas daripada pengaruhnya terhadap
kualitas dan kuantitas pendidikan, cenderung untuk menghambat perimbangan
pendidikan. Kekurangan fasilitas pendidikan menghambat program perimbangan
antara laki-laki dan wanita, pedesaan dan kota, dan antara bagian masyarakat
yang kaya dan miskin.
1.
Penduduk Sebagai Modal Pembangunan
Djunaedi (2014:14) mengemukakan bahwa ada tiga isu utama yang dihadapi
oleh negara berkembang yaitu: (a) jumlah penduduk terlalu banyak; (b)
pendapatan penduduk rata-rata rendah; dan (c) tingkat pendidikan rata rata
rendah. Tiga isu utama ini umumnya diatasi dengan tiga program besar yaitu: (a)
keluarga berencana; (b) pengentasan kemiskinan; dan (c) wajib belajar dan
alokasi anggaran besar untuk pendidikan.
Penduduk dengan jumlah yang banyak merupakan modal pembangunan suatu
bangsa jika kualitas pengetahuannya memadai. Dengan kata lain, jumlah penduduk
merupakan aset negara, ia merupakan stok suatu bangsa, apabila kualitasnya
bagus, maka ia merupakan human capital yang dapat memuluskan pertumbuhan
ekonomi dari pembangunan suatu negara. Sebaliknya jika kualitas penduduknya
buruk ia akan menjadi beban pemerintah yang harus diberi konsumsi supaya tidak
menjadi malapetaka (Suhardan, Riduwan dan Enas, 2012:50).
Oleh karena itu, kualitas populasi penduduk suatu bangsa dimulai dan
disebabkan karena pengetahuan yang diperoleh dari pendidikannya. Menurut
Commission on Teacher Education, Washington DC (1944) sebagaimana dikutip oleh
Suhardan, Riduwan dan Enas (2012:51) bahwa kualitas suatu bangsa tergantung
pada kualitas penduduknya dan kualitas penduduk tergantung pada kualitas pendidikan
yang diperolehnya.
Dewasa ini, tidak ada lagi keraguan dalam masyarakat tentang fungsi dan
peranan pendidikan dalam merubah kondisi kehidupan seseorang. Menurut Suhardan,
Riduwan dan Enas (2012:1) pendidikan telah menjadi kebutuhan masyarakat, setara
dengan kebutuhan lainnya seperti kesehatan, gizi dan lingkungan hidup.
Pendidikan tidak lagi dianggap sebagai pengeluaran yang konsumtif yang tidak
memiliki fungsi investatif bagi masa depan, apalagi produktif. Dengan kata
lain, bahwa pendidikan dewasa ini telah ditempatkan sebagai suatu investasi.
Pendidikan merupakan sektor unggulan untuk merubah dan memperbaiki
keadaan masyarakat suatu kaum pada kehidupan bernegara. Investasi pendidikan
adalah investasi manusia, investasi yang dapat menjadikan manusia lebih
berdaya, lebih banyak memiliki kemampuan untuk berkarya, lebih mampu dalam
memecahkan segala kesulitan hidup dan jalan untuk memperoleh penghidupan yang
lebih layak.
Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:100) menyatakan bahwa pertumbuhan
penduduk seperti yang kita alami sekarang menimbulkan banyak masalah
kependudukan, tidak hanya kekurangan makanan pada sebagian besar penduduk,
tetapi juga kekurangan kesempatan kerja, sekolah, kekurangan tempat tinggal,
kekurangan air dan berbagai macam ekses lainnya.
Dalam rangka mempelajari penduduk, kita dapat mengadakan pendekatan
secara demografi, yaitu mengenai jumlahnya, mengenai ciri-cirinya seperti umur
dan jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan dan pekerjaan, serta
distribusi tempat tinggalnya. Perubahan jumlah, ciri serta distribusinya
menurut Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:101) dapat disebabkan karena adanya
perubahan kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan
penduduk (migrasi).
Selain pendekatan demografi, kita juga dapat mempelajari penduduk
sehubungan dengan kebutuhan hidupnya, seperti kebutuhan akan pangan, sandang,
pemukiman, pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan lain lain. Pada umumnya, untuk
dapat memahami hal ikhwal kependudukan, diperlukan pengetahuan mengenai
demografi yang dikumpulkan melalui sensus dan survei penduduk.
Perubahan jumlah, ciri serta distribusi penduduk harus diimbangi dengan
prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian juga halnya
dengan gedung sekolah disediakan dengan cukup untuk memenuhi kebutuhan
pendidikan kepada anak-anak dan remaja yang jumlahnya setiap tahun selalu
mengalami peningkatan. Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:101) menyebut hal ini
sebagai kebijaksanaan kependudukan yang meliputi penyediaan lapangan kerja,
memberikan kesempatan pendidikan, meningkatkan kesehatan serta usaha-usaha
menambah kesejahteraan penduduk.
2.
Pengukuran Perkembangan Penduduk
Jika suatu daerah mempunyai suatu sistem pencatatan penduduk berjalan
dengan baik, menurut Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:116) maka jumlah penduduk
pada akhir suatu periode waktu dari daerah yang bersangkutan dapat diperkirakan
dengan menggunakan persamaan penduduk berimbang (balancing equation) sebagai
berikut:
P t = Po + B – D + I – E
dengan:
Pt : Jumlah penduduk pada akhir
periode t
Po : Jumlah penduduk pada awal periode
B : Jumlah kelahiran yang terjadi dalam periode t
D : Jumlah kematian yang terjadi dalam periode t
I : Jumlah imigran atau migran yang masuk
E : Jumlah emigran atau migran yang keluar
Jika angka-angka jumlah kematian dan kelahiran tidak tersedia dan yang
tersedia hanya angka jumlah penduduk pada waktu-waktu tertentu seperti pada
waktu sensus, maka perkembangan penduduk dapat diperlakukan dengan menggunakan
rumus geometrik sebagai berikut (Koestoer, 1996:86) dan (Tarigan, 2008:190):
Pt = Po (1+r)t
dengan:
Pt : Jumlah penduduk pada akhir periode t
Po : Jumlah penduduk pada awal periode
r : Pertumbuhan penduduk
t
: Interval waktu (tahun)
E.
Aksesibilitas dan Kapasitas Pelayanan
Tingkat kemudahan untuk
memperoleh pelayanan umum merupakan tolok ukur pemerintahan yang baik. Tingkat
kemudahan pencapaian tersebut disebut dengan tingkat aksesibilitas
(Sadyohutomo, 2009:123). Aksesibilitas mencakup pengertian fisik, ekonomi,
sosial, budaya, maupun politis. Salah satu kriteria yang menentukan tingkat
kemudahan tersebut adalah seberapa besar pilihan-pilihan yang tersedia bagi
masyarakat untuk memenuhi layanan yang dibutuhkan.
Penyediaan pilihan-pilihan
layanan perlu memperhitungkan konsekuensi biaya modal dan tingkat efisiensi
operasional layanan. Semakin banyak layanan yang disediakan tentunya memerlukan
biaya modal dan biaya operasional yang semakin besar. Efisiensi biaya bisa
dicapai apabila jumlah masyarakat yang menggunakan layanan semakin besar.
Rushton (1973) sebagaimana
dikutip oleh Sadyohutomo, (2009:124) menyatakan bahwa peletakan rencana lokasi
pelayanan utilitas pada suatu wilayah perlu dipilih yang paling aksesibel (most
accessible) dengan kriteria aksesibilitas sebagai berikut:
1. Total jarak dari seluruh
penduduk terhadap calon lokasi fasilitas adalah terkecil (minimizing aggregate
distance).
2. Jarak terjauh penduduk
terhadap calon lokasi fasilitas adalah minimum (minimax distance criterion).
3. Jumlah penduduk yang dilayani
oleh setiap unit pelayanan harus lebih besar dari angka tertentu sebagai
kriteria ambang batas kelayakan unit pelayanan tersebut.
4. Jumlah penduduk yang dilayani
harus lebih kecil dari kapasitas pelayanan yang akan diletakkan (capacity
constraint criterion).
Disadur dari buku “Perencanaan
Prasarana Perkotaan” oleh I Putu Jati Arsana, dkk, selengkapnya
dapat dilihat disini