Tampilkan postingan dengan label wilayah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label wilayah. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 02 Juli 2022

PERENCANAAN KOTA DAN WILAYAH UNTUK PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN

Perencanaan kota dan wilayah dapat berkontribusi untuk pembangunan berkelanjutan dalam berbagai cara. Ini terkait erat dengan tiga dimensi yang saling melengkapi pembangunan berkelanjutan: pembangunan sosial dan inklusi, pertumbuhan ekonomi yang berlanjut, serta perlindungan dan pengelolaan lingkungan.

lntegrasi tiga dimensi secara sinergis memerlukan komitmen politik dan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan yang harus berpartisipasi dalam proses perencanaan kota dan wilayah.

A.     Perencanaan Kota dan Wilayah dan Pembangunan Sosial

1.      Prinsip-prinsip:

(a) Perencanaan kota dan wilayah terutama bertujuan untuk mewujudkan standar yang layak bagi kehidupan dan kondisi kerja untuk semua segmen masyarakat saat ini dan masa depan, memastikan pemerataan biaya, kesempatan dan manfaat dari pembangunan perkotaan dan terutama mempromosikan inklusi dan kohesi sosial;

(b) Perencanaan kota dan wilayah merupakan investasi penting di masa depan. lni merupakan prasyarat untuk kualitas hidup yang lebih baik dan  keberhasilan proses globalisasi yang menghormati warisan budaya dan keanekaragaman budaya, dan untuk pengakuan kebutuhan yang berbeda dari berbagai kelompok.

2.      Pemerintah Nasional,

Bekerja sama dengan bidang-bidang pemerintahan lain dan mitra terkait diharapkan dapat:

(a) memantau evolusi kondisi perumahan dan kehidupan di kota­kota dan wilayah dan mendukung upaya perencanaan pemerintah daerah dan masyarakat yang bertujuan untuk meningkatkan kohesi serta inklusi sosial dan wilayah;

(b) berkontribusi untuk menjabarkan dan mewujudkan strategi pengurangan kemiskinan, mendukung penciptaan lapangan kerja, mempromosikan pekerjaan yang layak untuk semua, dan mengatasi kebutuhan spesifik kelompok rentan, termasuk kaum migran dan pengungsi;

(c) berkontribusi dalam pembentukan sistem pembiayaan perumahan yang progresif untuk menjadikan lahan, kapling jadi, dan perumahan terjangkau bagi semua;

(d) memberikan insentif fiskal yang tepat dan subsidi yang ditargetkan dan meningkatkan kapasitas fiskal daerah untuk memberdayakan pemerintah daerah agar dapat memastikan bahwa perencanaan kota dan wilayah memeberikan kontribusi untuk mengatasi ketidak-adilan sosial dan mempromosikan keragaman budaya;

(e) mendorong adanya keterpaduan untuk identifikasi, perlindungan dan pengembangan warisan budaya dan warisan alam dalam proses perencanaan kota dan wilayah.

3.      Pemerintah Daerah,

bekerja sama dengan bidang-bidang pemerintahan lain dan mitra terkait diharapkan dapat:

(a) mempersiapkan dan Menyusun rencana kota dan wilayah yang mencakup adanya:

(i) kerangka prioritas tata ruang yang jelas dan bertahap untuk penyediaan layanan dasar bagi semua;

(ii) panduan strategis dan peta fisik tentang tanah, pembangunan perumahan dan transportasi, dengan perhatian khusus pada kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah dan kelompok rentan sosial, baik untuk saat ini maupun antisipasi yang akan datang;

(iii) instrumen untuk mendukung realisasi hak-hak asasi manusia di kota-kota;

(iv) peraturan yang mendorong pembauran sosial dan penggunaan campuran atas lahan, dengan maksud secara menarik mendapatkan keterjangkauan spektrum pelayananan, perumahan dan kesempatan bekerja bagi berbagai kalangan penduduk;

(b) mempromosikan inklusi serta integrasi sosial dan tata ruang , terutama melalui peningkatan akses ke semua bagian kota dan wilayah, karena setiap penduduk (termasuk pekerja migran dan pengungsi) harus dapat menikmati kehidupan kota, peluang­peluang sosial ekonominya, pelayanan perkotaan dan ruang publik, serta turut berkontribusi pada kehidupan sosial dan budaya;

(c) menyediakan ruang publik yang berkualitas baik, meningkatkan dan merevitalisasi ruang publik yang ada, seperti alun-alun, jalan-jalan, Kawasan hijau dan kompleks olahraga, menjadikannya lebih aman, sejalan dengan kebutuhan dan perspektif perempuan, laki-laki, anak-anak perempuan dan laki-laki, dan sepenuhnya mudah diakses oleh semua. lni harus diperhitungkan bahwa tempat-tempat tersebut merupakan serambi ruang yang sangat diperlukan untuk sebuah kehidupan kota yang inklusif dan bersemangat, serta merupakan dasar

untuk pembangunan infrastruktur;

(d) memastikan bahwa Kawasan masyarakat berpenghasilan rendah , permukiman informal dan kumuh dibangun dan diremajakan Kembali serta diintegrasikan ke dalam struktur kehidupan urban dengan sesedikit mungkin mengakibatkan penggusuran, relokasi, atau gangguan terhadap mata pencaharian rakyat. Kelompok yang terkena dampak harus diberi kompensasi yang memadai ketika gangguan tidak dapat dihindari;

(e) memastikan setiap warga memiliki akses terhadap air bersih yang layak dan terjangkau serta layanan sanitasi yang memadai;

(f) memfasilitasi jaminan hak bermukim pada lahan dan akses untuk control atas tanah dan properti, termasuk juga akses pembiayaan bagi rumah tangga yang berpenghasilan rendah ;

(g) mengurangi waktu perjalanan komuter antara kawasan tempat tinggal , tempat bekerja dan area pelayanan dengan menerapkan penggunaan campuran atas lahan, serta system transportasi yang aman, nyaman, terjangkau dan dapat diandalkan, dan dengan mempertimbangkan variasi

harga tanah dan rumah di lokasi yang berbeda, serta kebutuhan untuk mendapatkan solusi perumahan yang terjangkau ;

(h) meningkatkan keamanan di perkotaan, terutama bagi perempuan, kaum muda, orang tua, kaum penyandang cacat dan kelompok rentan , didasarkan faktor keamanan, keadilan , dan kohesi sosial ;

(i) mendorong dan menjamin kesetaraan gender dalam desain, produksi, dan penggunaan ruang dan jasa perkotaan dengan mengidentifikasi kebutuhan khusus perempuan dan laki-laki, anak-anak perempuan dan laki-laki;  

(j) memastikan bahwa tindakan-tindakan yang dapat mempengaruhi pasar properti dan tanah tidak memperburuk keterjangkauan melalui cara-cara yang merugikan bagi rumah tangga berpendapatan rendah dan usaha kecil ;

(k) mendorong kegiatan budaya, baik di dalam ruangan (museum, teater, bioskop, ruang konser, dll.) maupun di tempat terbuka (seni jalanan, parade musik, dll.), dengan memahami bahwa pengembangan budaya urban dan penghargaan terhadap keragaman sosial adalah bagian dari

pembangunan sosial dan memiliki dimensi tata ruang yang penting;

(l) melindungi dan menghargai warisan budaya, termasuk permukiman tradisional dan kawasan bersejarah, monumen dan situs keagamaan , daerah arkeologi dan lanskap budaya.

 

B.      Perencanaan Kota dan Wilayah dan Pertumbuhan Ekonomi yang Berlanjut

1.      Prinsip-prinsip:

(a) Perencanaan kota dan wilayah adalah katalis untuk pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan

berkelanjutan , yang menyediakan kerangka kerja untuk membuka peluang baru ekonomi, regulasi lahan dan pasar perumahan dan penyediaan infrastruktur dan pelayanan dasar yang memadai secara tepat waktu ;

(b) Perencanaan kota dan wilayah merupakan mekanisme pengambilan keputusan yang ampuh untuk memastikan bahwa kelanjutan pertumbuhan ekonomi, pembangunan sosial dan lingkungan yang keberlanjutan berjalan beriringan guna mewujudkan konektivitas yang lebih baik di semua tingkatan wilayah.,

2.      Pemerintah Nasional

bekerja sama dengan bidang-bidang pemerintahan lain dan mitra terkait, diharapkan dapat:

(a) menyiapkan dan mendukung pengembangan wilayah perkotaan secara polisentris yang saling

terhubungkan, yakni melalui pengelompokan yang sesuai bagai industri, jasa dan Lembaga pendidikan, sebagai strategi untuk meningkatkan spesialisasi, kesaling­lengkapan atau komplementaritas, sinergi dan skala ekonomi, serta membentuk aglomerasi antara kota tetangga dan wilayah desa pedalaman;

(b) terlibat dalam kemitraan yang dinamis, termasuk dengan sector swasta, untuk memastikan bahwa perencanaan kota dan wilayah akan mengkoordinasikan lokasi tata ruang dan distribusi kegiatan ekonomi, dibangun mengikuti skala ekonomi dan aglomerasi, kedekatan dan konektivitas sehingga memberikan kontribusi untuk peningkatan produktivitas, daya saing , dan

kemakmuran ;

(c) mendukung kerja sama antar­pemerintah-kota untuk memastikan mobilisasi optimal sumber daya dan pemanfaatannya secara berkelanjutan dan mencegah persaingan tidak sehat di antara

otoritas lokal;

(d) merumuskan kerangka kebijakan pembangunan ekonomi daerah dengan mengetengahkan konsep­konsep kunci pembangunan ekonomi lokal yang mendorong inisiatif individu dan swasta untuk memperluas atau melakukan regenerasi ekonomi lokal dan meningkatkan kesempatan kerja local dalam proses perencanaan kota dan wilayah ;

(e) merumuskan kerangka kebijakan teknologi informasi dan komunikasi yang memperhitungkan kendala dan peluang geografis, serta bertujuan untuk meningkatkan konektivitas antara satuan wilayah dan para pelaku ekonomi.

3.      Pemerintah Daerah

bekerja sama dengan bidang-bidang pemerintahan lain dan mitra terkait diharapkan dapat:

(a) mengakui bahwa peran utama dari perencanaan kota dan wilayah adalah untuk membentuk dasar yang kuat bagi pembangunan jalur infrastruktur yang efisien, meningkatkan mobilitas, dan

mewujudkan simpul-simpul perkotaan ;

(b) memastikan bahwa perencanaan kota dan wilayah adalah untuk menciptakan kondisi yang mendukung pengembangan system transit massal dan angkutan barang yang aman dan terpercaya, sekaligus meminimalkan penggunaan kendaraan pribadi guna memfasilitasi mobilitas perkotaan yang hemat energi dan terjangkau ;

(c) memastikan bahwa perencanaan kota dan wilayah dapat membentuk peningkatan akses infrastruktur digital dan pelayananan yang seimbang dan terjangkau bagi pelaku ekonomi dan para warga, serta mengembangkan kota dan wilayah berbasis pengetahuan;

(d) memasukkan komponen yang jelas dan rinci tentang perencanaan investasi ke dalam perencanaan kota dan wilayah, termasuk kontribusi yang diharapkan dari masyarakat dan sektor swasta guna mencukupi modal, biaya operasi dan pemeliharaan dalam rangka memobilisasi sumber-sumber daya yang diperlukan (pajak daerah,  pendapatan asli, mekanisme transfer yang dapat diandalkan, dsb.);

(e) mengambil manfaat adanya perencanaan kota dan wilayah berikut peraturan zonasi progresif yang terkait, seperti peraturan berdasar bentuk fisik bangunan atau zonasi berbasis kinerja, untuk mengelola pasar tanah, memungkinkan peran pasar bagi hak usaha pengembangan dan memobilisasi pembiayaan perkotaan, termasuk pembiayaan berbasis lahan, dan pengembalian

kembali bagian investasi publik untuk infrastruktur dan pelayanan perkotaan;

(f) memanfaatkan perencanaan kota dan wilayah untuk memandu dan mendukung pembangunan ekonomi lokal, khususnya membuka lapangan kerja, dalam organisasi komunitas

lokal, koperasi, usaha kecil dan mikro serta aglomerasi ruang bagi industry dan jasa yang sesuai;

(g) memanfaatkan perencanaan kota dan wilayah guna menyiapkan ruang yang cukup untuk jalan raya, dalam rangka mengembangkan jaringan jalan yang aman, nyaman dan efisien, yang memungkinkan tingkat konektivitas yang tinggi dan mendukung transportasi tak-bermotor, dalam rangka meningkatkan produktivitas ekonomi dan memfasilitasi pertumbuhan ekonomi lokal;

(h) menggunakan perencanaan kota dan wilayah untuk merancang lingkungan perumahan dengan kepadatan yang memadai melalui pembangunan dari dalam lingkungan (infi/1) atau strategi perluasan yang sengaja direncanakan untuk menggerakkan skala ekonomi, mengurangi kebutuhan perjalanan dan biaya penyediaan layanan, serta memungkinkan terciptanya system transportasi umum yang hemat biaya.

C.      Perencanaan Kota dan Wilayah dan Lingkungan Hidup

1.      Prinsip-prinsip:

(a) Perencanaan kota dan wilayah menyediakan kerangka tata ruang untuk melindungi dan mengelola lingkungan alam dan terbangun untuk kota dan wilayah , termasuk keanekaragaman hayati, tanah dan sumber daya alam, dan untuk memastikan pembangunan yang terpadu dan berkelanjutan;

(b) Perencanaan kota dan wilayah memberikan sumbangan bagi peningkatan keamanan manusia

dengan memperkuat ketangguhan lingkungan dan sosial ekonomi, meningkatkan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim serta meningkatkan pengelolaan resiko bencana alam dan lingkungan.

2.      Pemerintah Nasional

bekerja sama dengan bidang-bidang pemerintahan lain dan mitra terkait, diharapkan dapat:

(a) menetapkan standar dan peraturan untuk perlindungan air, udara dan sumber daya alam lainnya, lahan pertanian , ruang terbuka hijau , titik­titik rawan dalam ekosistem dan keanekaragaman hayati serta pengelolaannya secara berkelanjutan.

(b) mempromosikan perencanaan kota dan wilayah , meningkatkan kesaling­lengkapan atau komplementaritas urban-rural dan ketahanan pangan , memperkuat hubungan dan sinergi antar-kota, dan memadukan perencanaan kota dengan pengembangan wilayah guna memastikan kohesi wilayah di tingkat wilayah-kota, termasuk di daerah­daerah lintas batas;

(c) meningkatkan penilaian dampak lingkungan melalui pendayagunaan dan pemanfaatan teknik-teknik dan metode yang tepat dan menerapkan langkah-langkah regulasi dan system insentif;

(d) mempromosikan kota yang kompak, mengatur dan mengontrol perkembangan perkotaan yang acak, mengembangkan strategi kapadatan lahan secara progresif yang dikombinasikan dengan regulasi terhadap pasar tanah, mengoptimalkan penggunaan ruang kota , mengurangi biaya infrastruktur dan permintaan untuk transportasi, dan membatasi tapak ekologis kawasan perkotaan agar dapat secara efektif mengatasi tantangan perubahan iklim;

(e) memastikan bahwa rencana kota dan  wilayah dapat mengatasi kebutuhan layanan untuk mengembangkan energi berkelanjutan , dengan tujuan untuk meningkatkan akses pada energi bersih , mengurangi konsumsi bahan bakar fosil dan mengembangkan secara tepat energi campuran , termasuk efisiensi energi di gedung-gedung, industri dan jasa transportasi multimoda.

3.      Pemerintah Daerah

bekerja sama dengan bidang-bidang pemerintahan lain dan mitra terkait, diharapkan dapat:

(a) merumuskan rencana kota dan wilayah sebagai kerangka mitigasi dan adaptasi dalam menanggapi perubahan iklim dan untuk meningkatkan ketangguhan permukiman, terutama yang terletak di kawasan informal dan rawan ;

(b) mengatur dan mengadopsi bentuk dan pola pengembangan perkotaan rendah karbon yang efisien sebagai kontribusi untuk meningkatkan efisiensi energi dan memperbanyak akses dan pemanfaatan sumber energi terbarukan ;

(c) menempatkan pelayanan penting perkotaan, infrastruktur dan pengembangan perumahan di

kawasan berisiko rendah, dan memukimkan kembali, dengan cara partisipatif dan sukarela, mereka yang tinggal di daerah berisiko tinggi ke lokasi yang lebih tepat;

(d) menilai implikasi dan potensi dampak perubahan iklim dan mempersiapkan kelangsungan fungsi-fungsi utama perkotaan pada saat terjadi bencana atau krisis;

(e) menggunakan perencanaan kota dan wilayah sebagai rencana aksi untuk meningkatkan akses ke pelayanan air bersih dan sanitasi serta mengurangi polusi udara dan jumlah air yang terbuang sia-sia;

(f) menerapkan perencanaan kota dan wilayah untuk mengidentifikasi, merevitalisasi, melindungi dan menghasilkan ruang hijau publik yang berkualitas tinggi yang memiliki nilai khusus secara ekologis atau sebagai warisan alam, mengintegrasikan kontribusi dari sektor swasta dan organisasi masyarakat sipil dalam usaha tersebut, dan untuk menghindari terbentukan kawasan­

panas atau heat islands pada kota, melindungi keanekaragaman hayati lokal dan mendukung terciptanya ruang hijau publik multifungsi, seperti lahan basah untuk resapan dan penampungan air hujan;

(g) mengidentifikasi dan memahami nilai lingkungan terbangun yang mengalami kerusakan dengan maksud untuk dapat melakukan revitalisasi, mengambil manfaat dari aset yang ada, dan memperkuat identitas sosialnya;

(h) mengintegrasikan pengelolaan limbah padat dan cair dan melakukan daur ulang dalam perencanaan tata ruang, termasuk lokasi tempat pembuangan sampah dan situs daur ulang ;

(i) berkolaborasi dengan penyedia layanan , pengembang lahan, dan pemilik tanah untuk memperkuat hubungan antara perencanaan tata ruang dan perencanaan sektoral serta meningkatkan koordinasi dan sinergi lintas sektor di antara berbagai pelayanan seperti air bersih , saluran limbah dan sanitasi , energi dan listrik, telekomunikasi dan transportasi;

(j) mendorong pembangunan, penambahan komponen dan manajemen "bangunan hijau" dengan memberikan insentif dan disinsentif, serta memantau dampak ekonomi yang terjadi;

(k) merancang jalan raya yang mempergiatkan berjalan kaki, berkendaraan tak bermotor dan pemakaian angkutan umum, serta menanam pohon untuk keteduhan dan penyerapan karbon dioksida.

 

 

 

 

Sumber : Panduan lnternasional tentang Perencanaan Kola dan Wilayah Oleh Badan Pengembangan Infrastruktur Wilayah Kementerian PUPR

Senin, 11 Mei 2020

Konsep Wilayah Peri-Urban



A.      Pendahuluan
Daerah pinggiran kota adalah suatu daerah yang juga dikenal sebagai daerah “urban fringe” atau daerah “peri urban” atau nama lain yang muncul kemudian merupakan daerah yang memerlukan perhatian yang serius karena begitu pentingnya daerah tersebut terhadap peri kehidupan penduduk baik desa maupun kota di masa yang akan datang (Yunus, 2008:1). Untuk mencari pemaknaan yang tepat mengenai pemakaian istilah peri urban, dalam Webster’s Third New International Dictionary sebagaimana dikutip oleh Yunus (2008:11) dijelaskan bahwa istilah peri berarti “all about, about, around, enclosing, surrounding, having substituents in or relating.”
Dengan demikian istilah peri adalah kata sifat yang diberi makna pinggiran atau sekitar dari sesuatu objek tertentu. Sementara itu istilah urban juga merupakan kata sifat yang berarti sifat kekotaan atau sesuatu yang berkenaan dengan kota. Penggabungan istilah peri dan urban membentuk kata sifat baru yang secara harfiah berarti sifat kekotaan dan sekitar sehingga apabila digabungkan dengan kata region, maka peri urban region (Wilayah Peri-Urban) mempunyai makna sebagai suatu wilayah yang berada di sekitar kota.
Sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk perkotaan serta meningkatnya tuntutan kebutuhan kehi dupan dalam aspek-aspek politik, ekonomi, sosial, budaya dan teknologi telah mengakibatkan meningkatnya kegiatan penduduk perkotaan dan hal tersebut berakibat pada meningkatnya kebutuhan ruang kekotaan yang besar (Yunus, 2010b:124).
Oleh karena ketersediaan ruang di dalam kota tetap dan terbatas, maka secara alamiah terjadi pemilihan alternatif dalam memenuhi kebutuhan ruang untuk tempat tinggal dan kedudukan fungsi-fungsi selalu akan mengambil ruang di daerah pinggiran kota. Yunus (2010b:125) mengungkapkan bahwa:
“Gejala pengambilalihan lahan non urban oleh penggunaan lahan urban di daerah pinggiran kota disebut “invasion”. Proses perembetan kenampakan fisik kekotaan ke arah luar disebut sebagai urban sprawl.”
Wilayah Peri-Urban merupakan wilayah yang terletak diantara dua wilayah yang sangat berbeda kondisi ling kungannya, yaitu antara wilayah yang mempunyai kenampakan kekotaan di satu sisi dan wilayah yang mempunyai kenampakan kedesaan di sisi yang lain (Yunus, 2008:1).
Wilayah Peri-Urban ini menentukan peri kehidupan kekotaan karena segala bentuk perkembangan fisikal baru akan terjadi di wilayah ini, sehingga tatanan kehidupan kekotaan pada masa yang akan datang sangat ditentukan oleh bentuk, proses dan dampak perkembangan yang terjadi di WPU tersebut.
B.      Permasalahan Wilayah Peri-Urban
Salah satu permasalahan Wilayah Peri-Urban adalah pola perkembangan kota tidak terstruktur (urban sprawl), pesatnya perkembangan perumahan dan permukiman pada Wilayah Peri-Urban (urban fringe) dengan peren canaan guna lahan tidak seimbang, kepadatan rendah, banyak lahan yang terbuang atau terabaikan fungsinya. Hal tersebut telah menyebabkan kota kehilangan orientasi/identitas ruang, monoton, tersebar, dan pem borosan lahan. Kondisi tersebut menurut Wunas (2011:22) menyebabkan inefisiensi dan pemborosan dalam pengembangan sistem transportasi dan sistem perkotaan antara lain: (1) pemborosan energi: (2) waktu; (3) tenaga; dan (4) pemborosan biaya.
Maka dalam upaya memberikan pelayanan kepada masyarakat utamanya terkait peningkatan sumber daya manusia, maka dibutuhkan fasilitas pendidikan. Koestoer (2007:136) menyatakan bahwa hal ini dapat diseleng garakan sesuai dengan besarnya kelompok komunitas dalam masyarakat. Dengan dasar ini dapat ditentukan perencanaan awal mengenai jumlah siswa yang memerlukan pelayanan fasilitas pendidikan dan daya tampung yang mungkin tersedia.
1.       Urbanisasi dan Ketersediaan Sumber Daya Lahan
Yudono dalam Surya (2011:vii) menyatakan bahwa fenomena urbanisasi adalah proses peningkatan rasio jumlah penduduk perkotaan dibanding jumlah seluruh penduduk suatu wilayah. Urbanisasi didukung oleh proses migrasi penduduk desa ke kota dengan berbagai motivasinya serta berubahnya daerah pedesaan atau pinggiran kota yang semula didominasi oleh kegiatan sektor pertanian menjadi daerah perkotaan yang didominasi oleh sektor industri manufaktur, perdagangan dan jasa.
Lebih lanjut, Sjafrizal (2012:185) menyatakan bahwa urbanisasi pada dasarnya adalah proporsi jumlah penduduk yang hidup di wilayah perkotaan yang ditentukan oleh tiga unsur utama, yaitu: (a) pertumbuhan penduduk (population growth); (b) perpindahan penduduk dari desa ke kota (urban-rural migration); dan (c) terjadinya pemekaran wilayah perkotaan.  
Yunus (2010a:10) mengemukakan bahwa identifikasi sifat kekotaan secara fisikal pada umumnya didasarkan pada konsep morfologi kekotaan (urban morphology). Menurut Smailes dalam Yunus (2010a:10) menyatakan bahwa tiga elemen utama morfologi kota yang dapat digunakan sebagai indikator untuk mengenali sifat kekotaan dari segi fisikal adalah land use characteristics, building characteristics dan circulation characteristics.
Pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi telah memacu perkembangan wilayah kota ke pinggiran. Kondisi ini didukung dengan meningkatnya wilayah yang memiliki ciri kekotaan. Perubahan penggunaan lahan non urban ke arah luar kota terutama oleh kegiatan manusia untuk bermukim berlangsung secara bertahap seiring dengan waktu dan berkembangnya kota. Proses perubahan sebagai peristiwa perembetan kenampakan fisik kota kearah luar tersebut pada umumnya terjadi karena adanya penetrasi dari suatu kelompok penduduk area terbangun kota ke arah luar.
Terkait fenomena urbanisasi, Sandy dalam Koestoer (2001:43) menyatakan bahwa kehidupan masyarakat kota yang serba kompleks memerlukan dukungan prasarana kota yang memadai baik secara kuantitatif maupun kualitatif, agar seluruh aktivitas penduduk dapat berjalan dengan aman, tertib, lancar dan sehat. Namun demikian, ketersediaan prasarana kota yang lengkap bukan faktor utama berkembangnya suatu kota, karena eksistensi suatu kota ditentukan oleh keberadaan sumber daya yang mampu menghidupi masyarakat kota.
Selanjutnya Nurmandi (2014:26) menyatakan bahwa pertumbuhan kota yang cepat secara langsung berimplikasi pada pembangunan infrastruktur dasar dan pelayanan publik. Kurangnya pelayanan air bersih, sistem sanitasi yang baik, penyediaan rumah, fasilitas pendidikan dan kesehatan serta transportasi yang baik untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan penduduk kota menjadi penyebab utama timbulnya berbagai masalah di kota-kota negara yang sedang berkembang.
Di lain pihak, sumberdaya lahan perkotaan relatif terbatas untuk memenuhi perkembangan jumlah penduduk (urbanisasi) dan kegiatan pembangunan di perkotaan (industrialisasi). Oleh karena itu perlu dilakukan penata laksanaan lahan (land management) secara harmonis dan dinamis (Adisasmita, 2006:160).
Saat ini perkembangan atau perembetan kota-kota besar di Indonesia lebih mengutamakan pembangunan fungsional, cenderung dengan pola kota yang tidak terstruktur (urban sprawl) di wilayah sub urban. Perkembangan kelompok perumahan permukiman terpisah dengan fasilitas publik, seperti sarana perbelanjaan, sarana kesehatan, pendidikan serta sarana perdagangan dan jasa lainnya, sehingga penghuni harus memenuhi kebutuhan tersebut dengan kendaraan bermotor dengan jarak capai lebih dari 2.000 meter, yang seharusnya tersedia dalam radius pelayanan 500-1.000 meter (Wunas, 2011:4).
Menurut Yunus (2011:56) bahwa pertambahan penduduk kota yang terus-menerus dan masih tergolong tinggi membawa konsekuensi spasial yang serius bagi kehidupan kota, yakni adanya tuntutan akan space yang terus-menerus pula untuk dimanfaatkan sebagai tempat hunian. Bertambahnya kegiatan penduduk di kota yang dipicu oleh meningkatnya jumlah penduduk itu sendiri maupun meningkatnya tuntutan kehidupan masyarakat telah mengakibatkan meningkatnya volume dan frekuensi kegiatan penduduk. Konsekuensi keruangannya sangat jelas yaitu meningkatnya tuntutan akan ruang untuk mengakomodasikan sarana atau struktur fisik yang diperlukan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tersebut.
Yunus (2008:3) menegaskan bahwa tidak berlebihan kiranya mengatakan bahwa Wilayah Peri-Urban ini seolah olah merupakan ajang pertempuran (battle front) antara sektor kedesaan dan sektor kekotaan, dimana tidak pernah ada kenyataan empiris yang mengemukakan bahwa sektor kedesaan memenangkan peperangan ini. Jelas kiranya dampak yang akan muncul di masa yang akan datang berkenaan dengan pemekaran fisikal kekotaan (urban sprawl) terhadap Wilayah Peri-Urban yang terkait dengan peri kehidupan dan penghidupan kedesaan.
Adanya gejala tersebut, maka akan memperlihatkan ciri-ciri kekotaan pada daerah yang terletak di perbatasan kota, baik yang termasuk dalam wilayah kota maupun diluar wilayah kota, wilayah inilah yang kemudian kita kenal dengan nama Wilayah Peri-Urban atau daerah pinggiran kota.
2.       Ekspresi Spasial Kenampakan Fisik Kota
Menurut Ruswurm sebagaimana dikutip oleh Yunus (2010:131), mengatakan bahwa terdapat 7 (tujuh) buah faktor utama yang berpengaruh terhadap ekspresi keruangan kenampakan kota, yaitu:
a. Pertumbuhan penduduk (population growth).
b. Persaingan memperoleh lahan (competition for land).
c. Hak-hak kepemilikan (property right).
d. Kegiatan pengembang (developers activities).
e. Perencanaan (planning controls).
f. Perkembangan teknologi (technological development).
g. Lingkungan fisik (physical environment).

Berdasarkan peristiwa perkembangan tersebut, maka yang dapat dilihat adalah banyaknya terjadi perubahan baik secara fisik maupun non fisik pada Wilayah Peri Urban dan dalam perkembangannya, wilayah ini ditandai oleh berbagai karakteristik, seperti peningkatan harga tanah yang drastis, perubahan fisik penggunaan tanah, perubahan komposisi penduduk dan tenaga kerja, serta berbagai aspek sosial lainnya.
Tingkat urbanisasi yang tinggi, membawa dampak bagi perkembangan Wilayah Peri-Urban, dan telah mengubah drastis wilayah permukiman desa-kota hal itu dikarenakan adanya kebutuhan penampungan bagi penduduk pendatang maupun penduduk lama yang ingin mencari keleluasaan. Kebutuhan akan perumahan bagi penduduk dan belum lagi penyediaan ruang terbatas bagi kawasan industri menjadikan perubahan pola penggunaan tanah yang siginifikan, terutama wilayah permukiman.
Proses pertumbuhan kota yang melibatkan perpindahan penduduk dari pusat kota ke daerah pinggiran, lebih menunjukkan proses alamiah, daripada terencana, perkembangan ini merupakan suatu gejala sub urbanisasi prematur dan tidak terencana, sehingga menciptakan perluasan kota yang liar dan tidak teratur, serta tidak terkendali.
Terkait dengan proses perembetan kenampakan fisik kota, Domouchel dalam Yunus (2010b:125) mengatakan bahwa, “urban sprawl can be defined of the growth of metropolitan area through the process of development of miscellaneous types of land use in the urban fringe areas”.
Menurut Yunus (1999) sebagaimana dikutip oleh Heryanto (2011:32) bahwa secara garis besar, jenis perembetan kenampakan fisik kota yang kemudian membentuk pola permukiman dibagi kedalam 3 (tiga) macam proses perluasan areal permukiman kota (urban sprawl), yaitu:
a.       Perembetan konsentris (concentric development atau low density continuous development) yaitu merupakan jenis perembetan areal kekotaan secara merata di semua bagian luar kenampakan kota yang sudah ada dan merupakan jenis perembetan areal kekotaan yang paling lambat dimana perembetan berjalan perlahan lahan terbatas pada semua bagian-bagian luar kenampakan fisik kota.
b.       Perembetan memanjang (ribbon development atau linear development atau axial development) yaitu perembetan kota yang tidak merata di semua bagian sisi-sisi luar daripada daerah kota utama. Perembetan paling cepat terlihat di sepanjang jalur trasnsportasi yang ada, khususnya yang bersifat menjari (radial) dari pusat kota.
c.       Perembetan yang meloncat (leap frog development atau chekerboard development) dimana perkem bangan lahan kekotaannya terjadi berpencaran secara sporadis dan tumbuh di tengah-tengah lahan pertanian.

C.      Kebijakan Pengembangan Wilayah Peri-Urban

Fenomena fungsi ruang yang berkembang saat ini adalah unit hunian atau perumahan yang terisolasi dengan sarana perbelanjaan, rekreasi, pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan, sehingga penghuni dominan mempergunakan sarana sosial dan ekonomi dengan jarak capai yang tidak sesuai dengan standar pelayanan minimal, sehingga penghuni harus menggunakan moda transportasi pribadi dengan akses tunggal yaitu jalan poros penghubung antara wilayah urban dengan Wilayah Peri-Urban.
Pembangunan hunian di Wilayah Peri-Urban seharusnya mempertimbangkan sarana kebutuhan untuk kegiatan sosial dan ekonomi penghuninya, mem pertimbangkan perencanaan dengan konsep fungsi lahan campuran (mixed land use), yaitu mendekatkan lahan fungsi hunian dengan fasilitas pelayanan umum dengan jarak capai yang memungkinkan kendaraan non-motorisasi seperti berjalan kaki, bersepeda dengan tata hijau yang teduh romantis, serta dimudahkan dengan akses angkutan bus dan sistem transit, agar dapat mereduksi mobilitas kendaraan, dan sekaligus mereduksi dana transportasi penghuni (Wunas, 2011:23).
Hasil penelitian Governance Assesment Survey sebagaimana dikutip Suryokusumo (2008:vii) menunjukkan bahwa akses masyarakat di bidang kesehatan, pendidikan dan permodalan masih rendah. Tidak seimbangnya prasarana dan sarana perkotaan dibandingkan dengan kebutuhan perkotaan menurut Adisasmita (2005:110) menimbulkan ketidakefektifan dan ketidakefisienan dalam penggunaan fasilitas yang tersedia. Lebih lanjut Adisasmita (2010:140) menyatakan bahwa:
”Masalah utama dalam penyediaan sarana hunian khususnya di permukiman perkotaan antara lain masih rendahnya kualitas pelayanan prasarana dan sarana permukiman. Sehingga tantangan utamanya adalah meningkatkan peran kota untuk memenuhi kebutuhan sosial, ekonomi dan budaya masyarakat seperti lapangan kerja, tempat hunian, pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum lainnya.”
Terkait dengan pemenuhan dan dampak dari ruang pendidikan, Fawaid dalam Erlangga (2011:146) menyatakan bahwa ruang pendidikan ibarat gula yang akan selalu didatangi dan dikelilingi oleh semut-semut yang memanfaatkan gula tersebut. Dari ruang pendidikan ini akan tercipta sebuah kondisi yang mana akan membentuk pusat ruang-ruang di sekitar sentral ruang pendidikan.
Apa yang dinyatakan oleh Fawaid tersebut pada dasarnya adalah dinamika yang berkembang didalam masyarakat tumbuh dan berkembang secara alamiah, karena masyarakat yang hidup selalu ingin memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengekspresikannya di dalam setiap perkembangannya. Oleh karena itu, perubahan dalam setiap aspek kehidupan kota baik itu perubahan sosial, ekonomi, budaya, politik dan pendidikan sebaiknya dipandang sebagai suatu dinamika kehidupan yang selalu akan berkesinambungan.
Namun demikian, perkembangan pesat yang terjadi di dalam sebuah kota pada kenyataannya tidak selalu diikuti pengembangan-pengembangan serta perubahan perubahan yang mendukung dalam kawasan tersebut sehingga terjadilah ketimpangan-ketimpangan baik secara sosial, ekonomi, budaya, politik dan pendidikan (Mirsa, 2012:3).
Oleh karena itu, menurut Yunus (2008:449) secara garis besar beberapa prioritas pengembangan Wilayah Peri-Urban adalah:
1.       Pengembangan kompleks perdagangan.
2.       Pengembangan kompleks pendidikan.
3.       Pengembangan industri.
4.       Pengembangan pertanian.
5.       Pengembangan permukiman.
6.       Pengembangan jalur hijau.
Lebih lanjut Yunus (2008:450) menyatakan bahwa pembangunan fisikal yang menunjang kesejahteraan sosial adalah pembangunan fasilitas pendidikan baik formal maupun non formal. Remaja usia sekolah sebaiknya tidak usah pergi ke tempat yang jauh untuk belajar dan hal ini hanya mungkin apabila di lingkungannya sudah tersedia fasilitas pendidikan yang dimaksudkan.
Dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 494/PRT/M/2005 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Perkotaan (KSNP-Kota) dinyatakan bahwa upaya dalam mengembangkan keseimbangan dan keterkaitan antar kota dan antara kota-desa melalui upaya pengembangan perkotaan seiring dengan peningkatan efektifitas keterkaitan sosial ekonomi antara kota dan desa (wilayah hinterlandnya) agar saling menguntungkan dan memperkuat dalam kerangka pengembangan kawasan.
D.      Pertumbuhan Penduduk dan Tingkat Pendidikan
Aspek kependudukan dan interaksi kependudukan (mobilitas penduduk) menurut Rustiadi, Saefulhakim dan Panuju (2009:295) merupakan informasi yang mendasar terkait dengan perkembangan suatu wilayah. Perkembangan suatu wilayah berimplikasi terhadap pertumbuhan dan kepadatan penduduk. Tarigan (2008:185) juga menyatakan bahwa penduduk merupakan faktor yang sangat penting untuk diperhatikan dalam perencanaan wilayah. Jumlah penduduk adalah faktor utama untuk menentukan banyaknya permintaan bahan konsumsi dan banyaknya fasilitas umum yang perlu dibangun di suatu wilayah. Klasifikasi atas umur misalnya, dapat dipakai untuk menentukan jumlah fasilitas pendidikan yang dibutuhkan untuk tingkat TK, SD, SMP, SMA dan universitas.
Pertambahan penduduk yang cepat, lepas daripada pengaruhnya terhadap kualitas dan kuantitas pendidikan, cenderung untuk menghambat perimbangan pendidikan. Kekurangan fasilitas pendidikan menghambat program perimbangan antara laki-laki dan wanita, pedesaan dan kota, dan antara bagian masyarakat yang kaya dan miskin.
1.       Penduduk Sebagai Modal Pembangunan
Djunaedi (2014:14) mengemukakan bahwa ada tiga isu utama yang dihadapi oleh negara berkembang yaitu: (a) jumlah penduduk terlalu banyak; (b) pendapatan penduduk rata-rata rendah; dan (c) tingkat pendidikan rata rata rendah. Tiga isu utama ini umumnya diatasi dengan tiga program besar yaitu: (a) keluarga berencana; (b) pengentasan kemiskinan; dan (c) wajib belajar dan alokasi anggaran besar untuk pendidikan.
Penduduk dengan jumlah yang banyak merupakan modal pembangunan suatu bangsa jika kualitas pengetahuannya memadai. Dengan kata lain, jumlah penduduk merupakan aset negara, ia merupakan stok suatu bangsa, apabila kualitasnya bagus, maka ia merupakan human capital yang dapat memuluskan pertumbuhan ekonomi dari pembangunan suatu negara. Sebaliknya jika kualitas penduduknya buruk ia akan menjadi beban pemerintah yang harus diberi konsumsi supaya tidak menjadi malapetaka (Suhardan, Riduwan dan Enas, 2012:50).
Oleh karena itu, kualitas populasi penduduk suatu bangsa dimulai dan disebabkan karena pengetahuan yang diperoleh dari pendidikannya. Menurut Commission on Teacher Education, Washington DC (1944) sebagaimana dikutip oleh Suhardan, Riduwan dan Enas (2012:51) bahwa kualitas suatu bangsa tergantung pada kualitas penduduknya dan kualitas penduduk tergantung pada kualitas pendidikan yang diperolehnya.
Dewasa ini, tidak ada lagi keraguan dalam masyarakat tentang fungsi dan peranan pendidikan dalam merubah kondisi kehidupan seseorang. Menurut Suhardan, Riduwan dan Enas (2012:1) pendidikan telah menjadi kebutuhan masyarakat, setara dengan kebutuhan lainnya seperti kesehatan, gizi dan lingkungan hidup. Pendidikan tidak lagi dianggap sebagai pengeluaran yang konsumtif yang tidak memiliki fungsi investatif bagi masa depan, apalagi produktif. Dengan kata lain, bahwa pendidikan dewasa ini telah ditempatkan sebagai suatu investasi.
Pendidikan merupakan sektor unggulan untuk merubah dan memperbaiki keadaan masyarakat suatu kaum pada kehidupan bernegara. Investasi pendidikan adalah investasi manusia, investasi yang dapat menjadikan manusia lebih berdaya, lebih banyak memiliki kemampuan untuk berkarya, lebih mampu dalam memecahkan segala kesulitan hidup dan jalan untuk memperoleh penghidupan yang lebih layak.
Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:100) menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk seperti yang kita alami sekarang menimbulkan banyak masalah kependudukan, tidak hanya kekurangan makanan pada sebagian besar penduduk, tetapi juga kekurangan kesempatan kerja, sekolah, kekurangan tempat tinggal, kekurangan air dan berbagai macam ekses lainnya.
Dalam rangka mempelajari penduduk, kita dapat mengadakan pendekatan secara demografi, yaitu mengenai jumlahnya, mengenai ciri-cirinya seperti umur dan jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan dan pekerjaan, serta distribusi tempat tinggalnya. Perubahan jumlah, ciri serta distribusinya menurut Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:101) dapat disebabkan karena adanya perubahan kelahiran (fertilitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi).
Selain pendekatan demografi, kita juga dapat mempelajari penduduk sehubungan dengan kebutuhan hidupnya, seperti kebutuhan akan pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, pekerjaan, kesehatan dan lain lain. Pada umumnya, untuk dapat memahami hal ikhwal kependudukan, diperlukan pengetahuan mengenai demografi yang dikumpulkan melalui sensus dan survei penduduk.
Perubahan jumlah, ciri serta distribusi penduduk harus diimbangi dengan prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Demikian juga halnya dengan gedung sekolah disediakan dengan cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan kepada anak-anak dan remaja yang jumlahnya setiap tahun selalu mengalami peningkatan. Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:101) menyebut hal ini sebagai kebijaksanaan kependudukan yang meliputi penyediaan lapangan kerja, memberikan kesempatan pendidikan, meningkatkan kesehatan serta usaha-usaha menambah kesejahteraan penduduk.
2.       Pengukuran Perkembangan Penduduk
Jika suatu daerah mempunyai suatu sistem pencatatan penduduk berjalan dengan baik, menurut Soerjani, Ahmad dan Munir (2008:116) maka jumlah penduduk pada akhir suatu periode waktu dari daerah yang bersangkutan dapat diperkirakan dengan menggunakan persamaan penduduk berimbang (balancing equation) sebagai berikut:

P t = Po + B – D + I – E

dengan:
Pt  : Jumlah penduduk pada akhir periode t
Po : Jumlah penduduk pada awal periode
B : Jumlah kelahiran yang terjadi dalam periode t
D : Jumlah kematian yang terjadi dalam periode t
I : Jumlah imigran atau migran yang masuk
E : Jumlah emigran atau migran yang keluar

Jika angka-angka jumlah kematian dan kelahiran tidak tersedia dan yang tersedia hanya angka jumlah penduduk pada waktu-waktu tertentu seperti pada waktu sensus, maka perkembangan penduduk dapat diperlakukan dengan menggunakan rumus geometrik sebagai berikut (Koestoer, 1996:86) dan (Tarigan, 2008:190):

Pt = Po (1+r)t

dengan:
Pt : Jumlah penduduk pada akhir periode t
Po : Jumlah penduduk pada awal periode
r : Pertumbuhan penduduk
t : Interval waktu (tahun)

E.       Aksesibilitas dan Kapasitas Pelayanan
Tingkat kemudahan untuk memperoleh pelayanan umum merupakan tolok ukur pemerintahan yang baik. Tingkat kemudahan pencapaian tersebut disebut dengan tingkat aksesibilitas (Sadyohutomo, 2009:123). Aksesibilitas mencakup pengertian fisik, ekonomi, sosial, budaya, maupun politis. Salah satu kriteria yang menentukan tingkat kemudahan tersebut adalah seberapa besar pilihan-pilihan yang tersedia bagi masyarakat untuk memenuhi layanan yang dibutuhkan.
Penyediaan pilihan-pilihan layanan perlu memperhitungkan konsekuensi biaya modal dan tingkat efisiensi operasional layanan. Semakin banyak layanan yang disediakan tentunya memerlukan biaya modal dan biaya operasional yang semakin besar. Efisiensi biaya bisa dicapai apabila jumlah masyarakat yang menggunakan layanan semakin besar.
Rushton (1973) sebagaimana dikutip oleh Sadyohutomo, (2009:124) menyatakan bahwa peletakan rencana lokasi pelayanan utilitas pada suatu wilayah perlu dipilih yang paling aksesibel (most accessible) dengan kriteria aksesibilitas sebagai berikut:
1. Total jarak dari seluruh penduduk terhadap calon lokasi fasilitas adalah terkecil (minimizing aggregate distance).
2. Jarak terjauh penduduk terhadap calon lokasi fasilitas adalah minimum (minimax distance criterion).
3. Jumlah penduduk yang dilayani oleh setiap unit pelayanan harus lebih besar dari angka tertentu sebagai kriteria ambang batas kelayakan unit pelayanan tersebut.
4. Jumlah penduduk yang dilayani harus lebih kecil dari kapasitas pelayanan yang akan diletakkan (capacity constraint criterion).

Disadur dari buku “Perencanaan Prasarana Perkotaan” oleh I Putu Jati Arsana, dkk, selengkapnya dapat dilihat disini

Minggu, 26 Agustus 2012

Proses Penetapan Wilayah Untuk Pengembangan Kota Baru


Kota baru tidak selalu mempunyai pengertian suatu kota yang sama sekali baru diatas lahan yang tidak terbangun, tetapi juga mungkin merupakan pengembangan dari permukiman yang sudah ada berupa desa atau kota kecil. Penetapan wilayah untuk pembangunan suatu kota baru didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan bahwa wilayah tersebut memungkinkan untuk dikembangkan sebagai suatu aktivitas kota berdasarkan potensi-potensi yang dimiliki dari segi fisik, dan sosial-ekonomi. Sedangkan teknisnya penetapan untuk pembangunan kota baru didasarkan pada lokasi yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah sesuai dengan RUTRW atau yang diusulkan oleh pembangunan berdasarkan hasil pembebasan lahannya. Penetapannya juga bisa berdasarkan lokasi-lokasi tertentu berupa kota kecil atau desa yang ada diwilayah tersebut.
Dalam memilih suatu lokasi wilayah untuk pembangunan kota baru perlu mengacu pada berbagai kriteria dan persyaratan sehingga pembangunan kota baru tersebut dapat meningkatkan nilai tambah produktifitas suatu wilayah bukan sebaliknya. Selain itu juga harus memperhatikan motivasi atau tujuan dari pengembangan kota baru (Djoko Sudjarto), yaitu:
  1. Pembentukan pusat-pusat pengembangan baru untuk menahan/ membelokkan arus migrasi ke kota induk (Counter Magnet)
  2. Pengagihan kepadatan penduduk dari kota induk (Overspill)
  3. Pengagihan kegiatan fungsional dari suatu kota induk untuk mengurangi kepadatan kegiatan di dalam kota (Urban Function Relocation),dan;
  4. Motivasi kenyaman dan investasi property (investment property and pleasure)
 Pada dasarnya penilaian kelayakan wilayah untuk pengembangan kota baru harus didasarkan kepada tiga kategori (Djoko Sudjarto), yaitu:
ü      Suatu wilayah yang karena kondisinya baik secara fisik maupun sosial ekonominya tidak layak untuk pengembangan suatu kota baru;
ü      Suatu wilayah yang mungkin dapat dikembangkan sebagai kota baru tetapi akan memerlukan biaya tambahan dan teknologi tertentu untuk mengganti fungsinya minimal sesuai dengan nilai produktifitasnya saat ini;
ü      Wilayah yang dapat dikembangkan tanpa resiko baik secara fisik, sosial maupun ekonomis.

Pemilihan lokasi tersebut didasarkan pada analisa kondisi fisik berupa fisik dasar/ fisik bukan keruangan (a spatial) dan fisik Binaan/ fisik keruangan (spatial) dan kondisi sosial ekonomi. Dasar kriteria penilaian dan persyaratan berdasarkan analisa tersebut adalah:
1.      Fisik dasar/ Fisik Bukan Keruangan (a Spatial)
  • Topografi: Kelerengan lahan untuk bukan pertanian sebaiknya diatas kelerengan 5% dan tidak melebihi 8%. Wilayah dengan ketinggian dibawah 5% umumnya memiliki sisitem pengairan yang baik sehingga lebih tepat penggunaannya untuk pertanian. Wilayah dengan kelerengan lebih dari 10 % sebaiknya untuk wilayah konservasi karena merupakan daerah cadangan air tanah.
  • Geologi: Jenis dan sifat batuan, mineral, daya dukung tanah, sifat tanah akan sangat menentukan sifat produktifitas tanah. Tanah dengan struktur geologi alluvial sangat baik untuk pertanian sawah karena tanahnya yang subur. Sebaiknya tidak dipergunakan untuk kegiatan bukan pertanian.
  •  Hidrologi: wilayah resapan air tanah, wilayah pengairan alami dan teknis yang telah berfungsi untuk meningkatkan produktivitas tanah tidak untuk pembangunan non pertanian.
2.      Fisik binaan/ Fisik keruangan (spatial)
  • Pola penggunaan lahan: untuk pembangunan kota sebaiknya lahan yang tidak digunakan secara produktif seperti lahan bekas perkebunan, dan lahan tidak ada penggunaannya
  • Bangunan : bangunan tempat tinggal dan belum terbangun secara intensif, bangunan yang telah ada sebaiknya menjadi kendala untuk di  integrasikan dalam pembangunan kota baru sebagai bagian dari kota baru tersebut secara serasi. Dan tidak ada bangun bangunan yang berfungsi teknis seperti irigasi teknis ataupun bangun bangunan instalasi.
  • Jaringan jalan: Pembangunan kota baru harus mempertimbangkan jaringan jalan yang sudah ada dan berfungsi efektif sebagai kendala atau bahkan harus mengintegrasikannya dengan meningkatkan kemampuan jalan tersebut.
  • Jaringan utilitas: jaringan utilitas umum (air bersih), listrik, telepon, drainase, sanitasi) yang efektif harus menjadi kendala atau mengintegrasikannya sehingga kapasitasnya dapat ditingkatkan dan tidak meningkatkan beban karena harus melayani kebutuhan kota baru.
  •  Ruang terbuka: wilayah-wilayah lindung harus disisihkan di dalam pembangunan kota baru sebagai suatu kendala maupun limitasi pengembangan wilayah dan diintegrasikan sebagai ruang terbuka dengan fungsi yang sesuai.
  •  Pertanahan: pembangunan kota baru harus memperhatikan status kepemilikan tanah. Pembebasan tanah pada waktu pembangunan dilaksanakan seharusnya sudah jelas status barunya.
3.      Sosial Budaya dan Sosial ekonomi
  •  Pola sosial budaya masyarakat yang telah ada pada wilayah lokasi kota baru perlu menjadi kendala yang diperhatikan didalam pengembangan kota baru. Apabila penduduk asal masih berada pada lokasi asal disekitar kota baru maka pola sosial budaya ini perlu diintegrasikan dalam pembangunan kota baru tersebut.
  •  Kegiatan perekonomian dari masyarakat juga perlu menjadi pertimbangan pokok karena kemungkinan penduduk ini masih tetap berkegiatan usaha lama misalnya petani atau akan berubah ke kegiatan usaha lainnya seperti berdagang atau pekerja pabrik. Tingkat pendapatan masyarakat seyogyanya menjadi lebih baik dibandingkan pendapatan sebelum adanya kota baru.

Untuk lebih jelasnya mengenai proses penentuan lokasi pengembangan kota baru dapat dilihat pada diagram alir dibawah ini:


Proses Penentuan Suatu Lokasi Kota Baru