Tampilkan postingan dengan label rawan bencana. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label rawan bencana. Tampilkan semua postingan

Minggu, 17 Juli 2022

PENATAAN KAWASAN DI DAERAH RAWAN BENCANA BANJIR DAN LONGSOR

Banjir dan Longsor di Indonesia

Berdasarkan data historis, banjir dan longsor adalah bencana dengan peringkat tertinggi frekuensi kejadiannya di Indonesia, dengan kecenderungan terus meningkat, serta pola yang berulang pada kawasan yang sama atau jenis ancaman yang relatif permanen di kala musim penghujan tiba. menurut BNPB melalui Data Informasi Bencana Indonesia (http://dibi.bnpb.go.id), jumlah kejadian banjir tertinggi terjadi pada tahun 2010 dan 2017 dimana jumlah kejadian pada tahun 2010 yaitu 1.035 kejadian dan pada tahun 2017 sejumlah 978 kejadian. Bahkan pada tahun 2010, lebih dari 50% kejadian bencana di Indonesia merupakan kejadian banjir, sedangkan jumlah kejadian tanah longsor tertinggi terjadi pada tahun 2017 dimana jumlah kejadian mencapai 846 kejadian. Pada banyak kasus, kejadian tanah longsor diikuti dengan kejadian banjir akibat curah hujan yang cukup tinggi sehingga menyebabkan banjir lumpur, contoh kejadian banjir di Bogor dan Lebak di awal 2020.  Ejadian banjir dan longsor terbesar terkini lainnya adalah banjir bandang Sentani Jayapura 2019 dan banjir bandang Garut 2016.

Faktor Penyebab Banjir dan Longsor

Bencana banjir terdiri atas beberapa jenis yang berbeda karakteristik bahaya bencananya, yaitu: a) banjir bandang yang umumnya terjadi di subDAS hulu dengan kecepatan arus tinggi berdurasi singkat dan sering menimbulkan korban jiwa; b) banjir sungai atau banjir fluvial yang dikenal banjir kiriman dari hulu DAS dan berdampak pada dataran banjir di Kawasan perkotaan di hilir DAS; c) banjir fluvial atau banjir lokal akibat drainase dan curah hujan local yang tinggi; dan d) banjir rob atau banjir pesisir yang dipengaruhi pasang laut. Pada scenario terburuk, ke empat jenis banjir ini dapat terjadi bersamaan dan lintas wilayah administrasi, artinya berdampak pada semua segmen DAS (hulu, tengah, hilir, dan pesisir), serta didahului oleh longsor di perbukitan hulu DAS.

Penyebab bencana banjir dan longsor umumnya terdiri atas beberapa faktor dan kombinasi antara faktor alam dan factor manusia, kemudian dari tiap kejadian dapat bervariasi factor mana yang paling dominan sebagai penyebab utama bencana. Misal untuk bencana banjir dapat disebabkan oleh 13 faktor mulai dari alih fungsi lahan, curah hujan tinggi, hingga kapasitas pengaliran sungai yang mengecil, lebih rinci dapat dilihat pada Tabel 2. Untuk penyebab banjir yang dipengaruhi oleh faktor manusia, sangat berkaitan erat kondisi tata ruang dan dapat diintervensi upaya mitigasinya melalui penataan ruang. Contoh alih fungsi lahan dari hutan menjadi permukiman dapat menyebabkan 5 hingga 20 kali peningkatan debit puncak (Kodoatie,2018).

Sedangkan bencana Gerakan tanah termasuk longsor, dapat dibedakan oleh pemicu utamanya, yaitu: longsor karena curah hujan yang tinggi (rain-induced landslide) dan longsor yang dipicu gempa bumi yang kuat (earthquakeinduced landslide) seperti gempa Lombok dan Palu 2018. Faktor-faktor penyebab tanah longsor diantaranya: curah hujan tinggi, kemiringan lahan atau lereng yang terjal, tata guna lahan misalnya persawahan di kelerengan tinggi, jenis tanah yang tebal dan kurang padat serta batuan yang kurang kuat atau mudah lepas, getaran termasuk gempabumi, beban tambahan seperti bangunan pada lereng, pengikisan akibat erosi di tebing sungai, cut and fill dalam perluasan permukiman, deforestasi, serta pemotongan lereng akibat pertambangan dan jaringan jalan. Kesemua factor tersebut mengganggu kestabilan lereng atau pembebanan berlebih di bagian atas lereng sehingga faktor keamanan menurun. Sebagian besar faktor tersebut juga sangat berkaitan dengan tekanan aktivitas manusia sebagai penyebab bencananya. Maka penataan ruang pada dasarnya dapat berperan besar sebagai instrumen mitigasi.

Bencana banjir dan longsor seringkali dikaitkan dengan kondisi tata ruang. Karena karakteristik pemanfaatan ruang berupa jenis dan intensitas penggunaan lahan mempengaruhi kondisi sumberdaya air suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) melalui proses run-off atau air limpasan permukaan, erosi, infiltrasi, dan sedimentasi. Pengaruh guna lahan tersebut berdampak pada kuantitas dan kualitas air pada air permukaan maupun air tanah, sehingga Banjir dan kekeringan, lahan/DAS kritis dan sedimentasi, deforestasi dan laju urbanisasi, ketersediaan air bersih dalam kuantitas dan kualitas yang memadai, merupakan segelintir dari banyak isu bersama antara tata ruang, pengelolaan DAS, dan mitigasi bencana. Probabilitas dan intensitas bahaya banjir bandang di hilir juga dapat dipengaruhi oleh kejadian longsor dan guna lahan di hulu DAS. Oleh karena itu, seringkali penataan KRB banjir di hilir tidak dapat dipisahkan dengan penataan KRB longsor di hulu. Maka sebagai solusi terpadu dan berkelanjutan terhadap masalah banjir, yaitu melalui tata ruang kawasan rawan bencana (KRB) berbasis DAS, dimana upaya pengelolaan/penataan hulu dan hilir DAS serta mitigasi struktural dan nonstruktural bencana, kemudian rencana dan program lintas kewenangan, seluruhnya diintegrasikan dan dilegalkan dalam rencana tata ruang.

 

FAKTOR PENYEBAB BANJIR DAN LONGSOR

No

PENYEBAB BANJIR

ALAM

MANUSIA

No

PENYEBAB LONGSOR

ALAM

MANUSIA

1.


2.

 

 

3.

 


4.

 

 

 5.

 

6.

 

 

 

7.

 

 

8.

 

 

 

 

 

 

9.

 

 

10.

 

 

11.

 

 

 

12.

 

 

 

13.

Alih fungsi lahan

Pembuangan dan penumpukan

Sampah

Erosi dan sedimentasi tinggi (mis. >

60 ton/ha/th)

Deforestasi, peladang berpindah,

degradasi lahan

Pengaruh pasang air laut (rob)

Kapasitas pengaliran sungai menurun

atau kecil

Curah Hujan tinggi durasi lama (mis.>

100 mm/hari)

Karakteristik DAS rentan banjir

(bentuk DAS, geometri sungai,

morfologi lahan, permeabilitas tanah)

Pembendungan alami (longsor di

hulu DAS)

Amblesan atau penurunan muka

Tanah

Permukiman & kawasan kumuh di

badan dan sempadan sungai

Sistem drainase tersumbat, tidak

memadai, tidak terintegrasi

Alokasi, operasi, dan pemeliharaan

bangunan pengendali banjir

(kegagalan tanggul, pompa, pintu

air, dll)

 

 

 

 


Ö

 

 

 

 

 

Ö

 

Ö

 

 

 

Ö

 

 

Ö

 

 

 

 

 

 

Ö

 

 

Ö

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Ö


Ö

 

 

Ö

 

 

 

Ö

 

 

 

 

 

Ö

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Ö

 

 

Ö

 

 


Ö

 

 

 

Ö

 

 

 

 

 

 

 

 

 

1.

 

 

2.

 

3.

 

4.

5.

6.

7.

 

 

8.

 

 

9.

 

 

10.

11.

12.

13.

Alih fungsi lahan, tata guna lahan,

pola tanam

Penggalian dan pemotongan lereng

Kemiringan Lahan / lereng terjal

Deforestasi

Curah hujan

Kegempaan

Kondisi Tanah yang tebal dan kurang

Padat

Batuan penyusun lereng kurang kuat

atau mudah lepas

Beban tambahan seperti konstruksi

bangunan pada lereng

Drainase

Erosi di tebing sungai

Kepadatan penduduk

Tata air lereng

 

 

 

 

 

Ö

 

 

Ö

Ö

Ö

 

 

Ö

 

 

 

 

 

 

Ö

 

Ö

 

Ö

 

 

Ö

 

 

 

Ö

 

 

 

 

 

 

 

 

Ö

 

 

Ö

 

Ö

Ö

 

 

Regulasi Penataan Ruang Kawasan Rawan Bencana (KRB) Banjir dan Longsor

Penataan ruang berkaitan erat dengan penanggulangan bencana. Penataan Ruang merupakan bagian dari penyelenggaraan penanggulangan bencana, khususnya dalam hal Pengurangan Risiko Bencana (PRB) pada tahap pra bencana, sedangkan kebencanaan tentunya merupakan pertimbangan mendasar dalam proses perencanaan tata ruang. Hal ini ditegaskan dalam konsideran menimbang huruf e UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menimbang bahwa NKRI berada pada kawasan rawanbencana, sehingga diperlukanpenataan ruang yang berbasismitigasi bencana. Bila ditinjaudari amanat UU 24 Tahun2007 tentang PenanggulanganBencana, setidaknya terdapatempat peran penataan ruangdalam penyelenggaraanpenanggulangan bencana,yaitu: pencegahan, mitigasi,pelaksanaan dan penegakanrencana tata ruang, dan acuanrekonstruksi pasca bencana.

Melalui revisi pedomanpenyusunan rencana tata ruangwilayah provinsi, kabupaten, kotadengan ditetapkannya PermenATR/Kepala BPN No. 1 tahun2018, dilakukan penguatan aspekmitigasi/pengurangan risikobencana dalam tiap tahapanpenyusunan rencana tata ruang(RTR) mulai dari input data yangdigunakan, proses analisis, danoutput berupa muatan rencanadi berbagai hierarki RTR.

Rencana Tata Ruang Berbasis Pengurangan Risiko Bencana Banjir dan Longsor

Berbeda dengan jenis bencana lainnya, penataan KRB banjir tidak dapat hanya difokuskan pada lokasi rawannya atau di hilir DAS saja, namun juga menata kawasan hulu DAS yang menjadi kontributor atau sumber limpasannya. Maka pokokpokok upaya mitigasi bencana banjir dan longsor berbasis pengelolaan DAS terpadu, perlu diintegrasikan ke dalam seluruh hierarki perencanaan tata ruang daerah, baik pada tataran rencana umum tata ruang yaitu RTRW, maupun pada tataran rencana rinci yaitu RDTR sebagai operasionalisasinya pada Kawasan yang rawan bencana. Selanjutnya RDTR menjadi dasar penataan kawasan pada level tapak seperti Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL).

Kemudian sebagai negara rawan bencana dimana Indonesia hampir tidak ada daerah yang benar-benar aman dari ancaman segala jenis bencana, sehingga pendekatan yang digunakan dalam menata KRB banjir dan longsor adalah dengan pengurangan risiko bencana karena seutuhnya menghindar dari kawasan rawan sulit dilakukan.

Melalui penataan ruang dikembangkan skenarioskenario bagaimana komponen pembentuk risiko banjir yaitu bahaya, kerentanan, dan kapasitas, dikelola agar dapat diturunkan sehingga Ketika bencana terjadi, dampak bisa diminimalisir. Langkah-langkah penataan KRB dimulai dari mengenali karakteristik bahaya banjir yaitu probabilitas kejadian yaitu periode ulangnya (return period) dan intensitasnya seperti kedalaman dan kecepatan arus banjir. Disini pemetaan KRB banjir maupun longsor pada skala rinci dan akurat sangat krusial. Selanjutnya pahami lebih baik risiko yang ada berdasarkan tingkat kerentanan yaitu berapa besar aset dan jumlah jiwa yang berada di KRB dan seberapa rentan, kemudian seberapa tinggi tingkat kapasitas masyarakat dan sistem yang ada terhadap bahaya yang akan dihadapi. Kemudian sepakati tingkat risiko yang akan dimitigasi berdasarkan kondisi sosial, ekonomi, lingkungan dan kapasitas pembiayaan, misal apakah risiko debit banjir kala ulang 100 tahunan atau 25 tahunan. Semakin besar kala ulangnya maka semakin besar kebutuhan investasi mitigasi yang diperlukan. Tingkat risiko yang disepakati tersebut kemudian dianalisis mitigasi/ PRBnya untuk dirumuskan dan disepakati opsi mitigasi, baik berupa mitigasi struktural, non struktural atau kombinasinya, baik kebijakan menghindari atau relokasi, atau proteksi, dan adaptasi. Hal tersebut menjadi dasar muatan rencana tata ruang berbasis mitigasi bencana yang dituangkan dalam rencana struktur dan pola ruang, program pembangunan, dan peraturan zonasi di KRB banjir. Konsistensi implementasi rencana yaitu komitmen berbagai pihak dalam program investasi dan pembiayaan untuk melaksanakan dan menegakan rencana tata ruang menjadi kunci keberhasilan bersama. Kerangka kerja bagaimana langkah-langkah Penataan Kawasan Rawan Bencana (KRB) dan bagaimana Penataan KRB Banjir dan Longsor dilakukan \ Berbasis Pengurangan Risiko Bencana (PRB), Pengelolaan DAS Terpadu (PDAST), dan Manajemen Banjir Terpadu (MBT).

Upaya Meningkatkan Kualitas Tata Ruang KRB Banjir dan Longsor di Indonesia

Upaya Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Tata Ruang cq. Dit. Penataan Kawasan dalam menata KRB banjir dan longsor di Indonesia, salah satunya melalui Rekomendasi Teknis (Rekomtek) dan pendampingan penyempurnaan RTR daerah dari aspek mitigasi/pengurangan risiko bencana untuk berbagai jenis bencana (banjir, longsor, letusan gunungapi, gempabumi, dan tsunami) di lebih dari 30 lokasi prioritas 2015-2019. Lokasi tersebut dipilih sebagai percontohan bagi daerah lain dengan tipologi kerawanan serupa, dengan kriteria pemilihan lokasi berdasarkan 136 lokasi prioritas PRB dalam RPJMN 2015-2019, wilayah terentan perubahan iklim dalam RAN API, permohonan bantuan teknis dan pemda, lokasi bencana besar terkini, serta status review/revisi perda RTR. Salah satu lokasi yang terkait bencana dominan berupa banjir dan longsor adalah Kabupaten Garut yang terdampak banjir bandang September 2016, dimana Rekomtek Penataan KRB yang sebelumnya disepakati bersama pimpinan daerah serta multi-pihak lintas sektor dan lintas wilayah menjadi bagian muatan mendasar dalam Perda No. 6 tahun 2019 Tentang Perubahan atas Perda No. 29 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Garut 2011-2031, serta penyempurnaan draft RDTR Kawasan Perkotaan Garut. Lokasi serupa lainnya adalah di Kota dan Kabupaten Bima, Kota Manado, Kota Sorong, Kota Ambon, dan Kawasan Perkotaan Sentani Kabupaten Jayapura.

 

 

Sumber : Oleh  MIRWANSYAH PRAWIRANEGARA, ST.,M.SC Dalam BULETIN PENATAAN RUANG  EDISI 1 | JANUARI - FEBRUARI 2020

 

Minggu, 19 Juni 2022

Penetapan, Deliniasi dan Penentuan Tipologi Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi

 a.       PENETAPAN KAWASAN RAWAN BENCANA

Langkah Penetapan Kawasan Rawan Bencana Gempa Bumi

·       Gunakan Peta Kerawanan Bencana Gempa Bumi di Indonesia.

·       Gunakan Peta Seismoteknik di Indonesia.

·       Tentukan lokasi anda, apakah lokasi anda termasuk dalam wilayah rawan bencana?

·       Bila ya, maka tetapkan kawasan anda sebagai kawasan rawan bencana gempa bumi.

·       Bila mencakup areal yang cukup luas sehingga perlu dikoordinasikan dengan wilayah di atasnya (provinsi), maka kawasan tersebut dapat ditetapkan sebagai kawasan strategis yang rawan bencana gempa bumi.

·       Verifikasi kawasan rawan bencana yang telah ditetapkan tersebut dengan data pendukung yang bersifat lokal.

·       Data pendukung tersebut berupa: peta geologi/batuan, peta kelas kelerengan wilayah, kejadian gempa yang pernah terjadi dan dampaknya

b.       DELINEASI KAWASAN RAWAN BENCANA

Langkah deliniasi kawasan didasarkan pada kriteria tipologi masing-masing kerawanan bencana. Hasil dari langkah ini adalah terdeliniasinya kawasan rawan bencana gempa bumi. Data yang dibutuhkan dalam deliniasi kawasan berdasarkan kriteria tipologi rawan bencana gempa bumi

 

 

Jenis Data

Sumber Data

Peta Geologi/Batuan wilayah

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi

Peta Kelerengan Wilayah

Hasil olahan dari data topografi (lihat buku Pedoman Teknik Analisis Aspek Fisik dalam Penataan Ruang)

Peta Seismoteknik Indonesia

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi

Peta Wilayah Rawan Gempa Bumi Indonesia

Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi

Tabel Kegempaan

 

Buku Pedoman Penataan Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi & Kawasan Rawan Gempa Bumi

Kriteria Tipologi Rawan Gempa Bumi

Buku Pedoman Penataan Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi & Kawasan Rawan Gempa Bumi

 

c.       PENENTUAN TIPOLOGI KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI

 

Langkah-langkah dalam menentukan tipologi dilakukan dengan

menumpangtindihkan data-data:

• Sifat Fisik Batuan (Peta Geologi/batuan)

• Kemiringan Lereng (Peta Kelerengan)

• Kegempaan (Peta Wilayah Rawan Bencana Gempa Bumi, dengan skala MMI)

• Struktur Geologi (Peta Seismoteknik)

 

Langkah Pengerjaan:

• Informasi dari keempat peta (Peta Geologi Regional yang berisikan tentang jenis batuan, Peta

Wilayah Rawan Bencana Gempa bumi Indonesia, Peta Struktur Geologi yang

menggambarkan adanya sesar/patahan, Peta Kemiringan Lereng) dipindahkan/

digambarkan di Peta Dasar dengan membuat deliniasi untuk masing-masing kelas dalam

satu variabel. Misalnya untuk variabel kemiringan lahan, kawasan perencanaan dibagi dalam

klas kemiringan lahan 0-7%; 7-30%; 30-70%; dan > 70%. Dengan menggunakan matriks

dibawah selanjutnya masing-masing kelas diberi nilai 1, 2, 3, dan 4. Hal yang sama dilakukan

pembagian klas lahan untuk masing-masing varibel pada satu peta (layer).

• Setelah keempat variabel tersebut digambarkan pada setiap lembar peta dasar, selanjutnya

dilanjutkan dengan penampalan (superimpose) keempat peta/layer secara berurutan yaitu

dari variabel 1 ditampalkan dengan varibel 2 kemudian diikuti dengan variabel 3 dan variabel

4. Sebelum dilakukan penampalan setiap nilai dari kelas lahan dari masing-masing variabel

dikalikan dengan bobot dari variabel tersebut. Contoh: Untuk variabel struktur geologi, kelas

c (pada zona sesar) diberikan skor 4x4=16.

• Pada waktu penampalan dari variabel 1 (Geologi) ditampalkan dengan variabel 2 (kemiringan

lahan), skor yang dimiliki setiap titik dari kawasan perencanaan untuk masing-masing varibel

dijumlahkan. Contoh: Pada satu titik kawasan perencanaan mempunyai nilai skor 12 untuk

variabel 1 (geologi tanah berupa lempung, lumpur) dan mempunyai nilai skor 9 untuk

variabel 2 (kemiringan curam-sangat curam). Dari kedua variabel titik tersebut mendapat

skor 21. Selanjutnya dilakukan penampalan variabel 3 dengan nilai skor 15 (kegempaan pada

skala VIII), maka dari ketiga variabel titik tersebut mendapat nilai 21+15= 36. Pada

penampalan varibel 4 dengan nilai 8 (struktur geologi dekat dengan daerah sesar), maka nilai

akhir dari penampalan keempat variabel adalah 36+8=44.

• Nilai yang diperoleh pada butir 3 di atas dicocokkan dengan nilai skor masing-masing tipologi

kerawanan bencana gempa bumi yaitu:

o Tipe A jika skor akhir 31-35

o Tipe B jika skor akhir 35-40

o Tipe C jika skor akhir 41-45

o Tipe D jika skor akhir 46-50

o Tipe E jika skor akhir 51-55

o Tipe F jika skor akhir 56-60

 

 

Matriks Pembobotan untuk Kestabilan Wilayah Terhadap Gempa Bumi Komponen (Informasi Geologi) yang Diperhitungkan:

 

NO

INFORMASI GEOLOGI

KELAS INFORMASI

NILAI

KEMAMPUAN

BOBOT

SKOR

1

Geologi (sifat fisik

dan keteknikan

batuan)

a. Andesit, granit, diorit, metamorf, breksi volkanik, aglomerat, breksi sedimen, konglomerat

1

3

3

b. Batupasir, tufa kasar, batulanau, arkose, greywacke, batugamping

2

6

c. Pasir, lanau, batulumpur, napal, tufa halus, serpih

3

9

d. Lempung, lumpur, lempung organik, gambut

4

12

2

Kemiringan Lereng

a. Datar – Landai (0 - 7 %)

1

3

3

b. Miring – Agak Curam (7 – 30 %)

2

6

c. Curam – Sangat Curam (30 – 140 %)

3

9

d. Terjal (> 140 %)

4

12

3

Kegempaan

MMI

a

Richter

 

5

 

I, ii, iii, iv, v

< 0,05 g

< 5

1

5

Vi, vii

0,05 – 0,15 g

5 – 6

2

10

Viii

0,15 – 0,30 g 6

6 – 6,5

3

15

Ix, x, xi, xii

> 0,30 g

> 6,5

4

20

4

Struktur Geologi

a. Jauh dari zona sesar

1

4

4

b. Dekat dengan zona sesar (100 – 1000 m dari zona sesar)

2

8

c. Pada zona sesar (<100 m dari zona sesar)

4

16

 

Untuk menghitung Skor guna mengidentifikasi tipologi zona dan atau kelas kestabilan lahan kawasan rawan gempa adalah dengan mengalikan antara nilai kemampuan dan pembobotan yang diberikan berdasarkan diatas

SKOR = NILAI KEMAMPUAN X BOBOT

Skor tiap informasi teknologi (sifat fisik dan keteknikan batuan, kemiringan lereng, kegempaan dan struktur geologi) dijumlah untuk mendapatkan kelas kestabilan lahan dan zona tipologi kerawanan.

 

Sumber: MODUL TERAPAN PEDOMAN PENATAAN RUANG KAWASAN RAWAN LETUSAN GUNUNG BERAPI DAN KAWASAN RAWAN GEMPA BUMI