Pembangunan berkelanjutan sejak Brundtland Commission menyampaikan gagasan dengan rumusan dengan definisi sebuah istilah pembangunan berkelanjutan. Adapun Prinsip yang mendasari pembangunan berkelanjutan yaitu “Memenuhi kebutuhan saat ini dengan tidak tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang” (Grafika, 2015). Berkaitan dengan definisi di atas bahwa pembangunan wilayah tidak bisa dilakukan secara parsial sehingga perlu disusun secara sistematis, sinergis kolaboratif dan partisipatif yang dilakukan secara berkesinambungan agar pembangunan yang dilaksanakan dapat memberikan dampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Maka
dari itu, perlu adanya upaya sinkronisasi program pembangunan antar pemerintah,
lembaga dan juga swasta. Penting diperhatikan di dalam menyusun program
pembangunan berkelanjutan adalah menciptakan peningkatan investasi dan
mewujudkan kesetaraan untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk mencapai itu semua,
perlu memperhatikan pembangunan yang berbasis gender dan mendukung kebutuhan
disabilitas, hal ini bertujuan untuk terciptanya kesamaan hak dan peran serta
di setiap kalangan untuk berperan aktif di dalam memperoleh kesempatan usaha
dan dunia kerja serta saling membahu di dalam menciptakan lapangan kerja.
Pendapat
dari beberapa penulis diantaranya John Naisbitt, Patricia Aburdene dan Anthony
Giddens, (2000), termasuk Ted Gaebler dan David Osborn, memperhatikan tentang
pergeseran peran pemerintah dalam pembangunan dan didominasi oleh investasi
swasta atau dengan menggunakan konsep Kerjasama Pemerintah
dan Badan Usaha (KPBDU) seperti era globalisasi saat ini (Rosada). Model
pembangunan kolaboratif antara swasta dan pemerintah saat ini sangat membantu
mempercepat pembangunan infrastruktur dan juga membantu meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, dan meningkatkan daya saing Indonesia dalam
persaingan global sebagaimana telah diamanatkan di dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerjasama Pemerintah
dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
Dapat
dikatakan bahwa Pembangunan Berkelanjutan adalah suatu proses dalam memenuhi
kebutuhan sosial, ekonomi dan lingkungan hidup masa kini dan untuk yang akan
datang, harus dilakukan secara terencana, terukur, sistematis, dan ramah
terhadap generasi berikutnya. Oleh sebab itu, perlu dilakukan penyesuaian
program pembangunan yang terintegrasi dan sinergis sehingga mewujudkan
harmonisasi program pembangunan. Berdasarkan kondisi demikian maka pemikiran
komprehensif dibutuhkan untuk menganalisa kebutuhan program pembangunan wilayah
berbasis kepulauan. Pembangunan berbasis kepulauan ini akan bersinggungan
dengan aspek sosial kultural dan gaya hidup masyarakat. Kebiasaan hidup tentu
sulit untuk diubah karena mengandung nilai budaya masyarakat, namun yang
penting diperhatikan proses transformasi dari pola hidup tradisional ke arah
teknologi modern dan menuju arah pola sosial yang setara
dengan negara maju, dalam arti bahwa pembangunan menurut Mustopadidjaja (1995:
473). Artinya, pembangunan harus stabil dan minim disparitas baik dari
pembangunan wilayah maupun kesamaan hak di setiap kesempatan berkarya (Rosada).
Dalam
mewujudkan pembangunan di wilayah yang berbasis kepulauan ada beberapa aspek
untuk peningkatan dan pemerataan pembangunan secara berkesinambungan di Wilayah
Kepulauan yaitu sebagai berikut:
1.
Tata Ruang
Sebagaimana
amanat di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang
Penataan Ruang, bahwa ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merupakan negara kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah yang
meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam
bumi, maupun sebagai sumber daya, perlu ditingkatkan upaya pengelolaannya
secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna dengan berpedoman pada kaidah
penataan ruang sehingga kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga
keberlanjutannya demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial sesuai
dengan landasan konstitusional Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Oleh sebab
itu, perlu dilakukan penyusunan rencana tata ruang agar dapat memastikan
peruntukan fungsi ruang dan pemanfaatannya diatur
dengan baik dan mewujudkan ruang yang aman, nyaman dan sustainable yang dapat
dilaksanakan dengan teratur dan akhirnya berdampak kepada kemajuan wilayah.
Karena pentingnya Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang berbasis kepulauan
maka upaya integrasi produk RTR sangat diperlukan baik RTRW Provinsi Kepulauan
Riau dan Dokumen Rencana Zonasi Wilayah Perairan dan PulauPulau Kecil (RZWP3K)
Provinsi Kepulauan Riau. Sebagaimana amanat di dalam UndangUndang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Perundangan lainnya. Dengan
demikian, akan dapat menjaga keberlangsungan pembangunan dan menjaga
keseimbangan fungsi ruang dan kelestarian alam
sehingga memberikan kenyamanan dan rasa aman dan mewujudkan kesejahteraan.
2. Sosial
Budaya dan Ekonomi
Sebelum
masuk ke dalam kondisi sosial budaya di Kepulauan Riau maka perlu menggali
Sejarah Kepulauan Riau. Nama Riau sendiri berasal dari nama Riau dimana kata
tersebut dapat diduga dari kata "riuh" yang bermakna “ramai”.
Dimaknai ramai mungkin karena ini merupakan pusat perdagangan di bagian
Kepulauan Riau berada dekat dengan negara tetangga. Lebih lanjut lagi nama
tersebut berkembang menjadi Nama Riuh pada masa Kesultanan Lingga dengan ejaan
Bahasa Belanda yaitu "Riouw”.
Dengan
diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia, maka wilayah Riau (Kepulauan Riau) disatukan
bersamaan dengan wilayah Kesultanan Siak di daratan Sumatera yang saat ini
telah dimekarkan menjadi Provinsi Kepulauan Riau. (Lovina, 2022).
Gugusan pulau-pulau dan kawasan pesisir di wilayah Provinsi Kepulauan Riau
yang letaknya tersebar dan dengan jarak yang cukup jauh, dan umumnya
penduduknya tinggal di wilayah pesisir dengan berbagai suku seperti Melayu,
Bugis, Minangkabau, dan masyarakat transmigrasi dari pulau Jawa serta etnis
Tionghoa. Dengan demikian, dapat dikatakan di wilayah Kepulauan Riau telah
tumbuh masyarakat multietnis dan multikultural dan dalam menjalani hidup saling
berdampingan. Berkaitan dengan masyarakat pesisir juga dikenal dengan orang
laut atau banyak orang menyebut suku laut yaitu sekelompok masyarakat memiliki
budaya bahari asli. Saat ini, orang suku laut telah banyak yang hidup menetap.
Adrian B Lapian (1986 dan 2009), mengatakan bahwa orang suku laut adalah suku
pada suatu bangsa tinggal di atas perahu dan hidup wilayah di Perairan Provinsi
Kepulauan Riau sekitarnya, dan juga beberapa pantai Johor Selatan. Kebanyak
mereka tinggal di Pulau Mantang, Mapor Pulau Bintan, Orang Tambus di Galang)
Pulau Batam (Arman, https:// kebudayaan.kemdikbud.
go.id/bpnbkepri/orang-lautkepulauan-riau/, 2016).
Sebagaimana
diketahui bahwa Provinsi Kepulauan Riau merupakan salah satu pintu gerbang
ekonomi dimana berdekatan dengan negara tetangga dan berada pada jalur
pelayaran internasional sehingga berperan di dalam perekonomian
global yaitu perekonomian di Kepulauan Riau. Adapun potensi yang dimiliki
Provinsi Kepulauan Riau adalah industri, pariwisata, pertanian, pertambangan,
transportasi, perdagangan serta kelautan dan perikanan karena memiliki luas 96%
dari luas daratan selain itu juga ada potensi lainnya yang dapat dikembangkan sebagai
pendukung kebutuhan masyarakat Provinsi Kepulauan Riau. Yang perlu dilakukan
adalah menjaga kelestarian dan meningkatkan peran budaya dan dengan pendekatan
ekonomi yang berbasis kearifan lokal (local wisdom).
3. Konektivitas
Kemajuan
sebuah wilayah selain dipengaruhi oleh kekayaan alam dan sumberdaya manusia dan
tidak kalah penting adalah mewujudkan konektivitas antar pulau atau daerah
dalam lingkup Kepulauan Riau dengan wilayah lainnya dengan menghadirkan sistem
sarana dan prasarana transportasi. Konektivitas antar wilayah
memberikan akses bagi masyarakat untuk beraktivitas dari satu tempat ke tempat
yang lainya. Pembangunan dapat dikatakan berkelanjutan apabila memenuhi
beberapa aspek antara lain aspek infrastruktur dan moda transportasi, oleh
karena itu penyediaan sarana transportasi publik dapat disesuaikan dengan
karakter wilayah, seperti halnya Kepulauan Riau
karena wilayahnya memiliki ribuan pulau dan 96 % lautan dari luas daratan, maka
sangat dibutuhkan transportasi multi moda diantaranya angkutan udara, laut dan
darat.
Dengan tersebarnya
pulau-pulau, maka yang dapat mempercepat dan memperpendek rentang waktu dan
jarak adalah dengan menggunakan pesawat terbang. Saat ini, Provinsi Kepulauan
Riau telah memiliki bandar udara di hampir tiap kabupaten dan kota dan berikut
dengan rencana pengembangannya agar Kepulauan Riau mudah diakses dan
mempercepat pembangunan perekonomian wilayahnya (Lovina, 2022).
Adapun
Bandar Udara yang secara eksisting dan dapat mengakses di Kepulauan Riau maupun
ke wilayah lainnya antara lain: 1. Bandara Pengumpul
terletak di Hang Nadim Kota Batam, RH Fisabilillah Kota Tanjungpinang, Ranai
Kabupaten Natuna, RH Abdullah Kabupaten Karimun, Tambelan Kabupaten Bintan, 2
Bandara Pengumpan terletak di Dabo, Kabupaten Lingga, Letung, Kab.Kepulauan
Anambas, Letung, Kab. Kepulauan Anambas, Matak, Kab.Kepulauan Anambas, dan
rencana penyediaan Bandara untuk masa yang akan datang yaitu 1.
Bandara Khusus di Pulau Abang, Kota Batam, Kepala Jeri, Kota Batam, 2 Bandara
Pengumpan di Pulau Laut, Serasan, Subi Besar di Kabupaten Natuna sedangkan 3.
Bandara Pengumpul di Midai, Kabupaten Natuna, Busung, Kabupaten Bintan, Daik,
Kabupaten Lingga. Selain sarana dan prasarana transportasi darat seperti
Penyediaan jalan umum, jalan Tol, dan jalur kereta api Pemerintah Provinsi Kepulauan
Riau juga merencanakan sarana transportasi laut di tiap kabupaten/kota dan
berikut wilayah kepulauan. Agar lebih tertatanya Kawasan transportasi maka
diperlukan perencanaan pelabuhan laut dengan mengatur pelabuhan dengan jarak 5
Mill laut pada garis pantai (mengintegrasikan pelabuhan laut yang berdekatan)
dengan konsep green transportation.
4. Lingkungan
Hidup
Pertumbuhan
penduduk yang menyebabkan kebutuhan manusia selalu bertambah, maka dibutuhkan
penataan wilayah yang dapat menampung itu semua. Melalui perencanaan tata
ruang, maka keseimbangan pemanfaatan ruang dan menjaga lingkungan secara
berkelanjutan dapat dijaga. Di dalam perencanaan ruang, maka upaya pemanfaatan
ruang sebagai syarat mewujudkan fungsi ruang maka diperlukan mewujudkan
keharmonisan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi hal-hal yang berpotensi
menimbulkan konflik fungsi kegiatan perekonomian dengan ekologi. Untuk itu yang
perlu dilakukan adalah perencanaan jangka Panjang dengan menyinkronkan program
pembangunan dan tetap memperhatikan lingkungan (Utomo, Analisis Pemanfaatan
Ruang yang Berwawasan Lingkungan di Kawasan Pesisir Kota Tegal, 2011).
Akibat
adanya pertambahan penduduk yang menjadi dampak adalah kebutuhannya sandang,
papan dan pangan. Salah satu dari indikator yang dihitung adalah kebutuhan
papan. Dapat diasumsikan dengan jumlah penduduk Provinsi Kepulauan Riau tahun
2020 sebanyak 2,064,564 jiwa.
Kemudian
jika 1 kepala keluarga membutuhkan lahan sebanyak 72m2 dengan penghuni 1 rumah
berjumlah 5 orang maka luas lahan yang dibutuhkan sebanyak 29,729,721.60 m2 .
Jika pada wilayah tersebut dengan intensitas bangunan dengan KLB sebesar 60%
maka akan terjadi potensi tutupan diperkirakan seluas 11,891,888.64.m2 Kemudian
ditambah dengan kebutuhan lahan untuk kegiatan sosial, budaya dan ekonomi
lainya. Jika diasumsikan menggunakan lahan seluas 11,891,888.64m2 maka waktu
terjadinya hujan turun akan terjadi
pengalihan limpahan air ke drainase dan akan bermuara pada Kawasan cekungan
atau sungai. Dengan demikian, minimnya run off air dan daya simpan air di bumi
akan berkurang. Selain itu debit air drainase atau sungai atau cekungan akan
bertambah pada saat adanya cuaca ekstrim (Climate Change) akan terjadi limpahan
air hujan atau adanya pontesi banjir. Selain banjir, gerusan air akibat dampak
pembangunan maka akan berdampak kepada kualitas air yang mengalir ke sungai
misalnya sehingga kualitas air sungai akan menurun oleh sebab itu perlu adanya
antisipasi untuk menjaga lingkungan yang bersih aman dan nyaman bagi warga.
Untuk
keberlangsungan ekosistem hal yang perlu dilakukan adalah perencanaan untuk
memanfaatkan air yang terbuang untuk dapat dimanfaatkan kembali. Hal ini dapat
dilakukan dengan mengolah terlebih dahulu untuk dapat dimanfaatkan kembali
yaitu dengan menggunakan metode water treatment plan. Kemudian mengelola limbah
dan sampah secara terpadu dengan teknologi tepat guna hasilnya dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan seperti pupuk, energi listrik, dan lain
sebagainya, yang bernilai wisata, kesehatan lingkungan dan bernilai ekonomis.
Namun juga didukung dalam pengembangan Green Energy dalam bentuk energi baru
terbarukan seperti pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan berbagai model
pengembangan. Khusus untuk kawasan tepian air, laut, danau atau sungai maka
dalam perwujudan pembangunan berkelanjutan langkah
yang diperlukan adalah menata kawasan tepian air yang tertata sesuai jenis dan
fungsinya.
Khusus untuk
kawasan tepian air, laut, danau atau sungai maka dalam perwujudan pembangunan
berkelanjutan langkah yang diperlukan adalah menata kawasan tepian air. Sesuai
dengan jenisnya yakni menjadikan kawasan perairan sebagai halaman atau teras
rumah tinggal, kawasan yang sehat bersih dan asri dan menjaga ekosistem
lingkungan sehingga memberikan harapan hidup sehat dan keberlangsungan
kehidupan dengan tetap mewujudkan lingkungan yang terjaga. Selain itu, juga
diperlukan pemanfaatan energi baru terbarukan untuk mengatasi keterbatasan
bahan fosil sebagai bahan bakar kendaraan bermotor atau untuk kebutuhan listrik
dan juga untuk menjaga kualitas udara agar tidak terjadi pencemaran udara
(green energy) mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan.
Sumber : Oleh Ronaldy
Lovina, S.T , Dalam BULETIN
PENATAAN RUANG Edisi VI | November - Desember 2022