Tampilkan postingan dengan label Transportasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Transportasi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 27 Mei 2022

ANALISIS DAMPAK LALU LINTAS

Untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja dan sebagai upaya untuk mendorong kemajuan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yaitu dilakukan dengan cara memberikan kemudahan berusaha untuk mendorong investasi di bidang penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Oleh karena itu, perlu dilakukan penyederhanaan terhadap proses pertzinan penyelenggaraan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Peraturan Pemerintah ini mengatur antara lain mengenai ketentuan-ketentuan terkait analisis dampak Lalu Lintas, pengujian dan rancang bangun Kendaraan Bermotor, penyelenggaraan Terminal, Perizinan Berusaha bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta subsidi penyelenggaraan angkutan, sebagaimana diamanatkan dalam UndangUndang Nomor 11 Tahun 2O2O tentang Cipta Kerja.

Dalam rangka menjamin keamanan, keselamatan, ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, rencana pembangunan suatu pusat kegiatan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas sesuai dengan kategori skala dampak bangkitan Lalu Lintas yang ditimbulkan. Untuk memberikan kemudahan berusaha bagi para pelaku usaha, dokumen analisis dampak Lalu Lintas dimaksud terintegrasi dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup. Berikut akan diuraikan hal-hal yang perlu dilakukan dalam penyusunan analisis dampak lalu lintas.

Setiap rencana pembangunan pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang akan menimbulkan gangguan keamanan, keselamatan, ketertiban, dan Kelancaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas. Dokumen analisis dampak Lalu Lintas terintegrasi dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup.

Pusat kegiatan sebagaimana dimaksud diatas berupa bangunan untuk: a. kegiatan perdagangan; b. kegiatanperkantoran; c. kegiatan industri; d. kegiatan pariwisata; e. fasilitas pendidikan; f. fasilitas pelayanan umum; dan/atau g. kegiatan lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan Lalu Lintas. Permukiman sebagaimana dimaksud diatas berupa: a. perumahan dan permukiman; b. rumah susun dan apartemen; dan/atau c. permukiman lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan Lalu Lintas. Infrastruktur sebagaimana dimaksud diatas berupa: a. akses ke dan dari Jalan tol; b. pelabuhan; c. bandar udara; d. Terminal; e. stasiun kereta api; f. tempat penyimpanan Kendaraan; g. fasilitas Parkir untuk umum; dan/atau h. infrastruktur lain yang dapat menimbulkan bangkitan dan/atau tarikan Lalu Lintas.

Pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur yang wajib dilakukan analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas digolongkan dalam 3 (tiga) kategori skala dampak bangkitan Lalu Lintas yang ditimbulkan sebagai berikut:

a. kegiatan dengan bangkitan Lalu Lintas yang tinggi;

b. kegiatan dengan bangkitan Lalu Lintas yang . sedang dan

c. kegiatan dengan bangkitan Lalu Lintas yang rendah.

Pengembang atau pembangun wajib melaksanakan ana-lisis dampak Lalu Lintas sesuai dengan skala dampak bangkitan Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas untuk kegiatan yang diajukan oleh pengembang atau pembangun. Analisis dampak Lalu Lintas dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut:

a. untuk kegiatan dengan bangkitan Lalu Lintas yang tinggi, pengembang atau pembangun diwajibkan untuk menyampaikan dokumen analisis dampak Lalu Lintas yang disusun oleh tenaga ahli yang memiliki Sertifikat Kompetensi pen5rusun analisis dampak Lalu Lintas;

b. untuk kegiatan dengan bangkitan Lalu Lintas yang sedang, pengembang atau pembangun diwajibkan untuk menyampaikan rekomendasi teknis penanganan dampak Lalu Lintas yang disusun oleh tenaga ahli yang memiliki Sertifikat Kompetensi pen)rusun analisis dampak Lalu Lintas; atau

c. untuk kegiatan dengan bangkitan Lalu Lintas yang rendah, pengembang atau pembangun diwajibkan untuk:

1. memenuhi standar teknis penanganan dampak Lalu Lintas yang telah ditetapkan oleh Menteri; dan

2. menyampaikan gambaran umum lokasi dan rencana pembangunan atau pengembangan yang akan dilaksanakan.

Hasil analisis dampak Lalu Lintas merupakan bagian dokumen analisis dampak Lalu Lintas yang terintegrasi dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan hidup atau upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup. Sertifikat Kompetensi penyusun analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas diterbitkan oleh Menteri.

Dokumen analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas paling sedikit memuat:

a. perencanaan dan metodologi analisis dampak LaJu Lintas;

b. analisis kondisi La-lu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini;

c. analisis bangkitan/tarikan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan akibat pembangunan berdasarkan kaidah teknis transportasi dengan menggunakan faktor trip rate yartg ditetapkan secara nasional;

d. analisis distribusiperjalanan;

e. analisis pemilihan moda;

f. analisis pembebanan perjalallan;

g. simulasi kinerja Lalu Lintas yang dilakukan terhadap analisis dampak Lalu Lintas;

h. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak Lalu Lintas;

i. rincian tanggung jawab Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam huruf h;

j. rencana pemantauan dan evaluasi; dan

k. gambaran umum lokasi yang akan dibangun atau dikembangkan.

Rekomendasi teknis penanganan dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas paling sedikit memuat:

a. analisis kondisi Lalu Lintas dan Angkutan Jalan saat ini;

b. simulasi kinerja Lalu Lintas yang dilakukan terhadap analisis dampak Lalu Lintas;

c. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak Lalu Lintas;

d. rincian tanggung jawab Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan pengembang atau pembangun dalam penangarlan dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam huruf c;

e. rencana pemantauan dan evaluasi; dan

f. gambaran umum lokasi yang akan dibangun atau dikembangkan.

Pemenuhan standar teknis penanganan dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas meliputi:

a. rekomendasi dan rencana implementasi penanganan dampak Lalu Lintas;

b. rincian tanggung jawab Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah dan pengembang atau pembangun dalam penanganan dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud dalam huruf a; dan

c. rencana pemantauan dan evaluasi.

Hasil analisis dampak Lalu Lintas sebagaimana dimaksud diatas harus mendapat persetujuan dari:

a. Menteri, untuk Jalan nasional;

b. gubernur, untuk Jalan provinsi;

c. bupati, untuk Jalan kabupaten dan atau Jalan desa; atau

d. walikota, untuk Jalan kota.

Untuk memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud diatas, pengembang atau pembangun harus menyampaikan hasil analisis dampak Lalu Lintas sesuai dengan skala dampak bangkitan Lalu Lintas kegiatan yang ditimbulkan kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Penyampaian hasil analisis dampak Lalu Lintas dilakukan melalui sistem elektronik yang terintegrasi dengan Perizinan Berusaha lingkungan hidup. Sistem elektronik dilaksanakan pada Kementerian, kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang lingkungan hidup dan kehutanan, dan lembaga pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang koordinasi penanaman modal melalui pelayanan terpadu satu pintu. Menteri, gubernur, atau bupati/walikota memberikan persetuiuan paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah seluruh dokumen lengkap. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian persetujuan hasil analisis dampak Lalu Lintas diatur dengan Peraturan Menteri.

Dalam hal hasil analisis dampak Lalu Lintas berupa dokumen analisis dampak Lalu Lintas untuk kegiatan dengan skala dampak bangkitan Lalu Lintas yang tinggi, maka persetujuan diberikan setelah mendapat persetujuan teknis dari tim evaluasi penilai analisis dampak Lalu Lintas.  Tim evaluasi penilai analisis dampak Lalu Lintas dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Tim evaluasi penilai analisis dampak Lalu Lintas merupakan unsur pembina sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang berjumlah sebanyak 3 (tiga) orang.

Tim evaluasi penilai analisis dampak Lalu Lintas mempunyai tugas:

a. melakukan penilaian terhadap hasil analisis darnpak Lalu Lintas yang berupa dokumen analisis dampak Lalu Lintas untuk kegiatan dengan skala dampak bangkitan Lalu Lintas yang tinggi; dan

b. menilai kelayakan persetujuan yang diusulkan dalam hasil analisis dampak Lalu Lintas.

Dalam hal hasil analisis dampak Lalu Lintas telah memenuhi persyaratan, Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya meminta kepada pengembang atau pembangun untuk membuat surat pernyataan kesanggupan melaksanakan semua kewajiban analisis dampak Lalu Lintas. Surat pernyataan kesanggupan ditandatangani oleh penanggung jawab perusahaan di atas materai. Surat pernyataan kesanggupan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hasil analisis dampak LaIu Lintas. Kewajiban harus terpenuhi sebelum dan selama pusat kegiatan, permukiman, dan infrastruktur dioperasikan.

Terhadap pelaksanaan pemenuhan kewajiban pengembang atau pembangun yang tercantum dalam persetujuan hasil analisis dampak Lalu Lintas dilakukan monitoring dan evaluasi secara berkala.  Monitoring dan evaluasi secara berkala dilaksanakan oleh tim monitoring dan evaluasi yang dibentuk oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. Tim monitoring dan evaluasi diketuai oleh instansi pembina di bidang sarana dan Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta beranggotakan unsur dari instansi pembina di bidang Jalan dan Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Tim monitoring dan evaluasi sebagaimana dimaksud diatas mempunyai tugas:

a. melakukan pemantauan dan pengawasan terhadap pelaksanaan persetujuan hasil analisis dampak Lalu Lintas baik pada masa kontruksi maupun operasional kegiatan usaha; dan

b. melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan dan pemenuhan atas persetujuan hasil analisis dampak Lalu Lintas yang telah ditetapkan.

Setiap pengembang atau pembangun yang melanggar pernyataan kesanggupan sebagaimana dimaksud diatas dikenai sanksi administratif oleh pemberi izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sanksi administratif berupa:

a. peringatan tertulis;

b. penghentian sementara kegiatan/pelayanan umum;

c. denda administratif; dan/atau

d. pembatalan persetujuan hasil analisis dampak Lalu Lintas dan/ atau Perizinan Berusaha.

Sanksi administratif berupa peringatan tertulis sebagaimana dimaksud diatas dikenai sebanyak 3 (tiga) kali dengan jangka waktu masing-rnasing 30 (tiga puluh) hari kalender. Dalam hal pengembang atau pembangun tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu peringatan tertulis ketiga, . dikenai sanksi administratif berupa penghentian sementara kegiatan/pelayanan umum selama 30 (tiga puluh) hari kalender. Dalam hal pengembang atau pembangun tetap tidak melaksanakan kewajiban setelah berakhirnya jangka waktu), dikenai denda administratif paling banyak 1% (satu persen) dari nilai kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengembang atau pembangun sebagaimana dimaksud diatas. Dalam waktu 10 (sepuluh) hari kalender sejak tanggal pengenaan sanksi denda administratif atau 9O (sembilan puluh) hari kalender sejak pembayaran denda, pengembang atau pembangun tidak melaksanakan kewajibannya, maka persetujuan hasil analisis dampak Lalu Lintas dan/atau Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud diatas dibatalkan

 

 

 

 

Sumber: PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2O21 TENTANG PENYELENGGARAAN BIDANG LALU LINTAS DAN ANGKUTAN JALAN 

Rabu, 13 Mei 2020

TATA GUNA LAHAN DAN TRANSPORTASI

Dalam sistem transportasi, tata guna lahan merupakan salah satu hal yang mempunyai pengaruh besar. Letak daerah pemukiman, pertanian, industri dll yang berbeda tiap daerah mnghasilkan pola dan karateristik pergerakan/transportasi yang berbeda pula masing-masing daerah. Perubahan dan perkembangan daerah baru akan menimbulkan arus pergerakan orang dan barang, artinya timbul transportasi baru untuk melayani daerah tersebut.Termasuk dalam hal ini adalah pemekaran kota sebagai akibat bertambahnya jumlah penduduk dan aktifitas manusia.
Tata guna lahan merupakan salah satu dari penentu utama pergerakan dan aktifitas dimana aktivitas ini dikenal dengan istilah bangkitan perjalanan (trip generation), yang menentukan fasilitas-fasilitas transportasi apa saja seperti jalan, bus dan sebagainya yang akan dibutuhkan untuk melakukan pergerakan (Khisty dan Lall; 2005; 10). Pola tata guna lahan kota yang sesuai dengan fungsi dan kegiatan penduduk dapat digunakan untuk mengetahui bentuk, karakter atau profil dari perjalanan penduduk kota. Profil atau karakter perjalanan penduduk dapat digunakan untuk mengetahui dan memperkirakan kebutuhan akan transportasi (demand transport).









Gambar 3.1. Hubungan transportasi antar tata guna lahan

Konsep
 Konsep yang digunakan dalam interaksi antara guna lahan dan transportasi adalah seperti berikut. 
A.        → guna lahan dan fasilitas transportasi merupakan sistem tertutup
→ kegiatan guna lahan memerlukan pengadaan prasarana transportasi
→ sedang pengadaan prasarana transportasi mendorong timbulnya kegiatan guna lahan.
B.        → besarnya lalu lintas yang terjadi tergantung tingkat kegiatan guna lahan dan karakteristik fisik fasilitas transportasi.
Dengan demikian seorang Land Use Planner dapat menghidupkan dan mematikan suatu daerah dengan mengubah tata guna lahannya. Pengadaan prasarana dan sarana transportasi memacu timbulnya kegiatan guna lahan tampak pada daerah yang baru dibuka, keramaian / perkembangan terjadi di sekitar jalan baru. Pembuatan jalan baru dapat memacu perkembangan daerah, demikian juga sebaliknya keramian suatu daerah atau pembangunan fasilitas umum baru (mall, pasar, kampus dll) akan menyebabkan dibukanya jalan baru. Oleh karena itu pembangunan fasilitas umum yang baru pada daerah yang sudah padat perlu hati-hati. Sebab akan membangkitkan arus lalulintas. Lebih jauh dapat dilihat lagi pada “land use transportation cycle‟.
Perencanaan sistem interaksi land use dan transportasi ini adalah untuk mencapai keseimbangan yang efisien antara kegiatan guna lahan dan kemampuan transportasi.Dengan kata lain, tidak bisa merencanakan suatu tata guna lahan tanpa sekaligus merencanakan system transportasinya.
Contoh Ploting tata guna lahan;

1.       Explisit
Pada sistem ini tiap jenis peruntukan/kegiatan dibedakan lokasinya;
·         Pemukiman
·         Industri
·         Pertokoan

2.       Mix Land Use
Pada sistem ini tiap kegiatan tidak dibedakan lokasinya, jadi lokasi perumahan, pertokoan dan bahkan industri bisa jadi ada di lokasi yang sama. Konsep dasar yang digunakan adalah orang bekerja sedekat mungkin dengan rumah. Sehingga banyak perumahan pegawai yang satu lokasi dengan kantor tempatnya bekerja. Bahkan secara ekstrem ada bangunan bertingkat dimana lantai teratas untuk perumahan, lantai bawahnya untuk kantor dan lantai dasar untuk super market sedang basement untuk parkir. Kondisi seperti ini banyak terjadi pada daerah daerah pusat perdagangan, perkantoran dimana sering terjadi kemacetan lalulintas dan harga tanah yang sangat mahal sehingga orang memanfaatkan tanah seefisien mungkin (sistim Blok / super blok). Pada skala kecil dikenal istilah rumah-toko (ruko) atau rumah kantor (rukan) yang banyak dijumpai di daerah urban.
Ditinjau dari segi transportasi sistem mix-land-use menguntungkan karena akan mengurangi jumlah pergerakan kendaraan di jalan raya yang pada akhirnya mengurangi kemacetan lalulintas. Mix land use menggambungkan sejumlah tata guna lahan (land use) yang berbeda dalam satu kawasan dengan mampu mengurangi jarak diantara masing-masing tata guna lahan.
Lynn Devereux dalam public transport and land use (2005) menyebutkan beberapa hierarki sebagai akibat dari pengaruh penggunaan lahan yang berbeda dalam konsep mix land use :
a)       Pencampuran tata guna lahan (mix land use) atau pengelompokan toko, rumah dan kantor menjadi satu kawasan komersial dapat membuat penduduknya menjadi lebih nyaman untuk berjalan dari rumah kantor-toko dengan berjalan kaki (pedestrian) atau menggunakan angkutan umum (public transport).
b)      Lokasi perumahan yang dekat ke pusat angkutan umum dengan fasilitas komersil ditambah dengan lingkungan pejalan kaki yang baik dapat mengurangi penggunaan mobil dalam beraktifitas dalam kota.
c)       Kombinasi tata guna lahan dalam skala besar yang mampu menjadi daya tarik pergerakan dalam sebuah kawasan komersial dapat membuat kenyamanan akses bagi pejalan kaki dan dapat menciptakan suasana yang kritis dalam rangka mendukung pelayanan transportasi publik yang efisien.
Mix land use memusatkan aktifitas pekerjaan, pemukiman dan pusat pelayanan dalam satu jaringan. Ciri ciri pembangunan kota baru (new urbanist development) tidak saja membangun jalan untuk kendaraan akan tetapi merencanakan jalan bagi pejalan kaki dengan mengikuti pola jaringan yang mengarah ke pusat perbelanjaan (shopping centre). (Devereux ; 2005). Jalur bagi pejalan kaki (devereux ; 2005) dapat meningkatkan keselamatan bagi pengendara kendaraan. Diamerika utara kesadaran untuk berjalan kaki menuju rumah dari tempat bekerja, atau dari tempat bekerja yang satu dengan yang lainnya merupakan suatu kebudayaan tersendiri yang membentuk new urbanism yang baik. Selain itu penggunaan transportasi publik dalam beraktifitas semakin meningkat karena beberapa faktor pada tabel dibawah :

Tabel 3.1. Faktor efektif penggunaan transportasi publik  

  Faktor internal
Faktor pelengkap
Faktor eksternal
Biaya perjalanan
Frekuensi
Kualitas kendaraan
dll
Pedestrian
Kebijakan parkir
Pengaturan lalu lintas
dll
Sosio-ekonomi
Demografi
Kepadatan
lahan
dll
Sumber : Devereux (2005)
Keberhasilan penggunaan transportasi publik bergantung pada kombinasi ketiga faktor tersebut yang mana faktor internal merupakan pengontrol tingkat pelayanan transportasi publik. Ketiga kategori dapat mengidentifikasi keseimbangan penggunaan transportasi dari moda angkutan mobil berubah/beralih pada moda lainnya.

3.       Guna Lahan Dominasi
Merupakan gabungan dari sistem 1 dan 2. Misalnya suatu lokasi dengan dominasi perumahan, tetapi ada juga pertokoan, bengkel, kantor dll, atau sebaliknya suatu lokasi perkantoran tapi ada toko, bengkel dan pemukiman. Ditinjau dari sisi transportasi hal ini tidak baik, karena misalnya bengkel berkembang maka trotoar akan dipakai untuk kegiatan bengkel dan ini akan mengganggu fungsi dari trotoar sebagai fasilitas pejalan kaki.
Konsep ini menjadi dasar berkembangnya kota mandiri, dengan harapan semua kegiatan yang ada ( bekerja, belanja, bertempat tinggal, belajar dll. ) difasilitasi di kota mandiri sehingga tidak menjadi beban kota yang sudah ada. Berkembangnya juga kota-kota satelit di daerah urban yang diharapkan nantinya berkembang sebagai kota sendiri.

Di Indonesia Kota-kota mandiri tumbuh sebagai akibat dari efek perkembangan kota induk bukan sebagai kota yang direncanakan. Ciri dari kota baru seperti ini adalah jarak lokasi dan kondisi geografisnya sangat dekat dengan Kota Induk Sebagai contoh kota baru yang marupakan efek perkembangan kota Induk adalah depok, bekasi, bogor (kota baru) dan Jakarta (kota induk). Sebaliknya efek perkembangan sangat minim bagi wilayah yang jauh dan dibatasi oleh bentang alam.
Pada pusat kota, nilai sewa lokasi untuk perkantoran sangat mahal, semakin jauh dari pusat kota nilai sewa lokasi semakin murah, hal ini akan berbeda jika di luar kota ada daerah/kota satelit atau kota mandiri. Sebaliknya biaya untuk transportasi semakin dekat dengan tempat bekerja, biaya makin murah. Dengan demikian perlu pertimbangan yang matang bagi pemerintah untuk memberikan izin peruntukan suatu lahan. Sebagai contoh adalah pembangunan fasilitas umum (pusat perbelanjaan) dan lain-lain.
a)       Pembangunan Pusat Perbelanjaan
b)      Penyebaran lokasi “kampus” di sekitar kota / di luar kota akan banyak mengurangi kepadatan kota.
c)       Munculnya lokasi-lokasi perumahan yang lagi marak akan membangkitkan perjalanan.
Penentuan zona-zona dalam tata guna tanah (zona industri, jasa perumahan dsb) sebetulnya merupakan “transport demand” yang perlu dilayani (lihat “land use transportation cycle”).

Disadur dari buku “ Pengantar Sistem dan Perencanaan Transportasi” oleh Rudi Aziz, ST, M.Si dan Asrul, ST, Selengkapnya dapat dilihat disini