Tampilkan postingan dengan label Tata Ruang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tata Ruang. Tampilkan semua postingan

Jumat, 19 Januari 2024

Tantangan Penataan Ruang Menuju Indonesia Emas 2045

Penataan ruang merupakan kebijakan penting dalam rangka menegosiasikan antara peningkatan kebutuhan ruang dan kondisi keterbatasan ruang yang ada. Penataan ruang juga berperan sebagai alat dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan secara komprehensif, terpadu, efektif dan efisien. Penataan ruang dimaksudkan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas fungsi kota dan wilayah serta pengelolaan pemanfaatan ruang untuk peningkatan kualitas hidup di samping mengurangi dampak negatifnya. Penataan ruang diharuskan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjawab permasalahan kota dan wilayah, saat ini maupun di masa yang akan datang.

Lantas Apa itu Penataan Ruang?

Menurut UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan adanya penataan ruang, diharapkan dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

Di Indonesia, penataan ruang menjadi persoalan laten di semua daerah. Mengapa demikian? sebab, perubahannya terjadi secara visual, tidak terasa. Hanya perubahan petak per petak saja sudah dapat menimbulkan dampak yang terasa maupun tidak. Jika perubahan petak per petak saja dapat menimbulkan dampak, maka demikian juga perubahan lahan dan bangunan. Hal inilah yang menyebabkan persoalan tata ruang bisa disebut dengan persoalan laten, karena tata ruang dapat secara sekejap mengubah keadaan suatu daerah. Jika kunci-kunci ketahanan ruang menjadi rusak yang kemudian bisa merusak segalanya. (Ilham Malik, 2021).

Palu menjadi contoh dimana tata ruangnya berubah dalam satu waktu karena adanya bencana pergerakan tanah. Alam yang semula hijau karena dipenuhi oleh tanaman dalam berbagai jenis, secara perlahan-lahan berubah menjadi permukiman. Persoalan tata ruang sebenarnya sudah muncul pada fase ini, tetapi tidak langsung terasa begitu saja. Sehingga ketika titik ketahanan lahan terlepas, dan akhirnya mendorong terjadinya “pelepasan” pergerakan lahan, akhirnya persoalan tata ruang muncul karena ia menyebabkan munculnya masalah. Jadi, yang namanya tata ruang berfungsi mengatur fungsi ruang, fungsi tiap petak lahan (tentu dalam skalanya masing-masing), agar dapat terus berfungsi secara berkelanjutan dan memberikan manfaat yang baik. Manfaat ini bisa berupa nilai (value), maupun uang. (Ilham Malik, 2021).

Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat juga menjadi salah satu persoalan penataan ruang. Baik di provinsi, kota/ kabupaten, kebutuhan akan lahan untuk pemukiman masyarakat ataupun kegiatan ekonomi menjadi isu krusial. Mengapa demikian? karena lahan tersebut riskan dengan terjadinya pengalihan fungsi. Sebagai contoh, jika seharusnya suatu ruang diperuntukkan sebagai lahan konservasi dan/atau ruang terbuka hijau namun beralih fungsi menjadi pemukiman, hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya daerah resapan. Persoalan tersebut dapat memicu dampak lingkungan, salah satunya adalah peningkatan aliran permukaan yang menyebabkan banjir dan erosi di daratan.

Dengan adanya berbagai permasalahan dalam perencanaan tata ruang yang tidak sesuai dengan pemanfaatan ruangnya, penataan ruang yang berkualitas dapat memberikan “angin segar” dalam mengatasi permasalahan tersebut, juga sekaligus mencapai tujuan perencanaan pembangunan. Karena sejatinya, rencana tata ruang merupakan panglima dalam rencana pembangunan.

Regulasi Penataan Ruang Sebagai Kunci dalam Menjawab Tantangan Penataan Ruang

Pasal 33 Ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Pasal tersebut menegaskan bahwa negara memiliki peran penting dalam pengelolaan wilayah (bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya). Negara dalam hal ini, hendaknya memaksimalkan seluruh potensi yang ada pada wilayahnya untuk mencapai kemakmuran rakyat yang salah satunya dapat diupayakan dengan penataan ruang yang berkualitas (Tarigan, B. M. Habibullah dkk, 2021).

Persoalan penataan ruang di Indonesia, baik tata ruang nasional maupun tata ruang wilayah merupakan salah satu isu krusial yang sangat dinamis perkembangannya beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut tidak terlepas dari urgensi keberadaan ruang dalam kehidupan manusia, sehingga pada akhirnya membutuhkan pengaturan secara konkret mengenai keberadaan ruang melalui sejumlah peraturan perundangundangan. Penataan ruang telah ditempatkan sebagai salah satu komponen penting yang turut menentukan berhasil tidaknya proses pembangunan suatu wilayah, khususnya dalam rangka proses pembangunan berkelanjutan (Janpatar & Andri, 2022).

a.     Penataan Ruang dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

Pengaturan Penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia telah diatur dengan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (yang selanjutnya disebut dengan UU PR). UU PR terdiri dari 13 BAB dan 80 Pasal. UU PR pada pokoknya mengatur tentang Klasifikasi Penataan Ruang, Tugas dan Wewenang, Pengaturan dan Pembinaan Penataan Ruang, Pengawasan Penataan Ruang, Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat, Penyelesaian Sengketa, Penyidikan, dan Ketentuan Pidana (Tarigan, B. M. Habibullah dkk. (2021).

Ditetapkannya UU PR yang menggantikan UndangUndang No. 24 Tahun 1992 mengatur kembali pembagian wewenang antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang. Struktur rencana umum tata ruang masih seperti sebelumnya Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK), sedangkan rencana rinci tata ruang terdiri dari: (1) Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional; (2) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi; dan (3) Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota.

Pendekatan keterpaduan pemanfaatan dan pengelolaan kawasan menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud suatu one plan and one management” DARWANTO (2004)

Tak kalah pentingnya dari penyusunan rencana tata ruang, dalam UU PR juga diatur mengenai hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Diaturnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, guna mewujudkan prinsip penataan ruang yang bukan lagi top-down namun menjadi bottomup. Harapannya, tidak ada lagi muncul permasalahan masyarakat yang mengalami kerugian akibat adanya penyelenggaraan penataan ruang di daerah mereka masing-masing. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang diatur dengan peraturan pemerintah. Jadi, yuk mulai ikut andil dalam penyelenggaraan penataan ruang di daerah kita masingmasing, agar tidak merugi di masa depan.

Terakhir, melalui UU PR ini, diharapkan dapat terwujud penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

b.     Penataan Ruang dalam Pandangan Undang-Undang Cipta Kerja

Penataan ruang juga menjadi bagian dari agenda penyederhanaan segala bentuk kendala regulasi melalui penetapan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Melalui UU CK, terdapat tujuan yang diemban. Di antaranya, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, khususnya pada aspek penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha. Di sisi lain juga untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.

Secara keseluruhan, apabila dilihat dari substansi aktivitas penataan ruang dalam UU CK, bahwa Undang-Undang tersebut tidak mengubah struktur dari substansi UndangUndang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 (Dimas, 2021). Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai Amanah UU CK, bertujuan untuk peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Berikut adalah penjelasan secara singkatnya :



Penyederhanaan persyaratan investasi dalam kegiatan pemanfaatan ruang dari berbasis izin pemanfaatan ruang menjadi berbasis Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). KKPR mengacu pada RDTR, apabila RDTR belum tersedia, maka sistem perizinan elektronik akan mengacu kepada RTRW Kabupaten/Kota, RTRW Provinsi, RTR KSN, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN.

Undang-Undang Cipta Kerja mengubah arah peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha melalui pemanfaatan ruang. UU CK diharapkan memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi pelaku usaha, terutama UMK-M, serta peningkatan ekosistem investasi melalui penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha. Untuk mewujudkan kemudahan berusaha tersebut, oleh karena itu, peran RDTR menjadi sangat penting dan dituangkan di UU CK sebagai persyaratan dasar untuk perizinan berusaha untuk penerbitan KKPR. Dengan adanya KKPR, penataan ruang menjadi pintu gerbang investasi karena dijadikan sebagai acuan pemanfaatan ruang dan administrasi pertanahan yang diberikan kepada pelaku usaha.

Dalam mewujudkan kemudahan berusaha melalui penataan ruang khususnya, Kementerian ATR/BPN berkolaborasi dengan berbagai stakeholder terkait lainnya. Kolaborasi tersebut juga sebagai upaya dalam rangka menjawab isu-isu dan tantangan penataan ruang di masa depan.

Berdasarkan UndangUndang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang diatur bahwa penyelenggaraan penataan ruang meliputi aspek pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan (turbinlakwas).

 


Tantangan Penataan Ruang di Masa Depan

1.     Menuju Tata Ruang Terintegrasi

Pada tataran implementasinya di Indonesia, penataan ruang terintegrasi sejatinya telah dihadirkan, bahkan menjadi salah satu dasar pertimbangan saat ditancapkannya tonggak hukum penataan ruang di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Dalam praktek penerapan UU Penataan Ruang tersebut menjadi semakin terlihat bahwasanya penataan ruang terintegrasi baru sebatas cara pandang atau pemaknaan filosofis. Hal ini ditunjukkan dengan produk-produk perencanaan tata ruang yang dihasilkan yang sangat berorientasi darat. Secara umum, struktur dan pola pemanfaatan ruang yang ditetapkan pada produk-produk perencanaan tata ruang tersebut lebih merepresentasikan aktivitas pembangunan dan pemanfaatan sumber daya di ruang daratan. Namun demikian, meskipun terbatas, terdapat pengaturan di wilayah laut, seperti penetapan kawasan laut, alur laut dan kabel laut.

Akhirnya, di tahun 2020, tatkala Pemerintah berusaha bangkit dari badai Pandemi Covid-19 dan ancaman resesi ekonomi global melalui skema peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, dihadapkan pada berbagai persoalan yang diantaranya terkait aturan, acuan dan pelayanan pemanfaatan ruang. Salah satu solusi praktis yang dianggap mampu memberikan kepastian dan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang adalah dengan penetapan penetapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berusaha membangun keseragaman persepsi dan tindakan, khususnya pada ranah perencanaan tata ruang, perizinan pemanfaatan ruang, serta data dan informasi tata ruang. (Deputi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Dan Investasi Republik Indonesia: 2021).

Melalui peraturan tersebut maksud dan arah pengintegrasian dapat ditangkap dalam beberapa hal, pertama, pengintegrasian dokumen rencana tata ruang, meliputi Rencana Tata Ruang Laut (RTRL) yang diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K) yang diintegrasikan ke dalam RTRW Provinsi, Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (RZ KSN) diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN), RZ KSNT (Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu) yang diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang, rencana zonasi kawasan antar wilayah, dan rencana tata ruang laut. Kedua, penyederhanaan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang melalui pemaduan dokumen yang dijadikan acuan serta pemaduan mekanisme pelayanan perizinan kesesuaian pemanfaatan ruang. Ketiga, pemantapan kebijakan satu peta (one map policy) sebagai kebijakan yang telah dikembangkan dan diimplementasikan sebelumnya.

Bagi Indonesia, penataan ruang terintegrasi menjadi pekerjaan yang tidak mudah dan sangat panjang, dimulai dari perjalanan panjang dalam menyiapkan tatanan hukum penataan ruang, gontaganti formasi kelembagaan, peningkatan sumber daya manusia (planner) yang handal, akselerasi produkproduk penataan ruang nasional dan daerah, hingga dalam menerapkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang, yang sampai saat ini masih belum mencapai hasil yang dicita-citakan.

Tantangan terbesar kedepannya adalah menemukan pendekatan penataan ruang yang dapat dikatakan ideal sesuai dengan ciri khas wilayah di Indonesia untuk dapat diimplementasikan. Hal ini menjadi sebuah hambatan dalam proses pengintegrasian penataan ruang, dimana proses integrasi tidak hanya sekedar substansinya saja namun diperlukan pendekatan holistik dan terpadu yang menyatukan seluruh pemikiran dari antara stakeholder sehingga dapat merepresentasikan karakter dan kebutuhan penataan ruang di wilayah masing-masing.

Dengan terintegrasi tata ruang, diharapkan pengelolaan sumber daya dan proses pembangunan dapat sejalan dan selaras dengan pembangunan berkelanjutan. Dengan predikat kita saat ini sebagai Negara Maritim dan Negara Agraris, kedepannya dibutuhkan bentuk pendekatan penataan ruang yang terintegrasi, yang tidak hanya berfokus di darat namun juga di laut. Untuk dapat mewujudkan itu semua, dibutuhkan pemikiran bersama pihak-pihak terkait, termasuk para pakar dari multidisiplin ilmu yang berelevansi dengan penataan ruang.

Penataan ruang terintegrasi bukanlah penggabungan, akan tetapi menegaskan pada upaya pemaduserasian. Penggabungan hanya membuahkan agregasi dan akumulasi, sedangkan pemaduserasian membuahkan harmonisasi dan sinergi, dimana secara proses, penggabungan mencerminkan perbesaran konstruksi, sedangkan pemaduserasian mencerminkan rekonstruksi” DEPUTI SUMBER DAYA MARITIM KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KEMARITIMAN DAN INVESTASI REPUBLIK INDONESIA (2021)

2.     SDGS dan Penataan Ruang

Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) telah dirumuskan di tingkat global dengan melibatkan para pemimpin dari 193 negara anggota PBB pada akhir September 2015. Pembangunan berkelanjutan sebagai rencana aksi global yang dilaksanakan hingga tahun 2030 memiliki lima prinsip dasar: people, planet, prosperity, peace, and partnership dalam tiga dimensi: economic, social, and environmental harmony. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terdiri dari 17 Tujuan dan 169 Target yang tercakup dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terintegrasi.

Konsep pembangunan berkelanjutan bermula dari kesadaran manusia terhadap kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga pilar penting di dalam pelaksanaannya, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Lingkungan hidup merupakan salah satu hal yang penting untuk diperhatikan karena lingkungan mencerminkan dan menggambarkan keadaan atau keadaan di suatu daerah tertentu sehingga dapat mencerminkan aktivitas dan perilaku masyarakat di daerah tersebut. Lingkungan yang mempunyai kualitas yang baik, berarti sumber daya yang ada di dalamnya juga terjaga dengan baik.

Lantas, apa kaitannya SDGs dengan Penataan Ruang?

Pada hakikatnya, tata ruang yang baik dapat dijadikan sebagai tools atau instrumen dalam mewujudkan goals dari SDGs. Dalam penyusunan tata ruang selalu melibatkan tiga jenis aspek kehidupan, yaitu aspek sosial budaya, ekonomi, dan fisik lingkungan. Oleh karena itu, setiap penyusunan rencana tata ruang pada skala wilayah yang berbeda-beda selalu berkaitan dengan ketiga aspek kehidupan tersebut. Hal ini sejalan dengan orientasi pembangunan berkelanjutan dari perspektif pengelolaan lahan seperti yang dikemukakan oleh Enemark dkk, 2005. Terlihat bahwa orientasi utama paradigma pengelolaan lahan adalah Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development), yang melibatkan aspek ekonomi, sosial, dan fisik lingkungan.

Penataan ruang yang diwujudkan dalam dokumen perencanaan tata ruang diharuskan dapat memuat indikator-indikator dalam SDGs, seperti: peningkatan akses terhadap air minum dan sanitasi yang layak dan aman, pengembangan kawasan industri, kawasan ekonomi khusus dan pariwisata, serta menjamin akses bagi semua terhadap perumahan yang layak, aman, terjangkau dan pelayanan dasar, serta menata kawasan kumuh sebagai agenda pembangunan 2030 (Peta Jalan SDGs Indonesia, Bappenas).

3.     Pertambahan Penduduk (Bonus Demografi vs Aging Population)

Struktur demografi Indonesia saat ini didominasi oleh penduduk usia produktif (15-64) yakni sebanyak 69% dari total penduduk sekitar 275.773.800 juta pada tahun 2022 (Statistik Indonesia 2023, BPS). Komposisi demografi seperti ini memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia karena populasi usia muda memberikan potensi angkatan kerja yang besar yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Indonesia dituntut untuk dapat memaksimalkan potensi bonus demografi ini dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Dalam satu dekade ke depan, sementara populasi usia muda masih mendominasi, populasi berusia lanjut (lansia) sudah mencapai 8% dari total penduduk Indonesia tahun 2022. Diproyeksikan pada tahun 2045 Indonesia akan menuju masa aging population dimana populasi penduduk dengan usia manula akan semakin bertambah dibandingkan jumlah usia pekerja. Masa transisi tersebut menuntut kebijakan yang lebih berpusat di sektor kesehatan, perawatan, dan perlindungan sosial.

Dua fenomena tersebut menjadi sebuah potensi dalam penataan ruang. Dimana pada saat bonus demografi berlangsung, tata ruang berperan penting dalam peningkatan investasi dan kemudahan berusaha. Peningkatan investasi dan kemudahan berusaha, diharapkan dapat membuka peluang lapangan pekerjaan semakin terbuka luas. Dengan adanya peluang ketersediaan lapangan pekerjaan yang luas, maka berpotensi dalam menyerap masyarakat dengan usia produktif. Selain itu, dibutuhkan penyediaan infrastruktur yang memadai, baik fasilitas umum dan sosial juga dapat dimanfaatkan bagi masyarakat dalam melakukan mobilisasi maupun sekedar melepas penat di ruang terbuka hijau yang tersedia.

Untuk menyikapi fenomena aging population, harus dilakukan persiapan sejak dini. Peran tata ruang adalah mengatur keselamatan dan aktivitas lansia untuk tetap produktif dan sehat. Dengan perencanaan tata ruang yang ramah akan lansia sesuai dengan deklarasi kelanjutusiaan dalam pertemuan akbar kelanjutusiaan di Madrid tahun 2012 (dikenal sebagai MIPAA 2002/ The Madrid International Plan of Action on Ageing) dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia diharapkan dapat diwujudkan sebagai langkah dalam menghadapi aging population. Namun, dengan keadaan Indonesia saat ini, dan aspek lain seperti: budaya dan adat istiadat harus menjadi pertimbangan pada saat merencanakan tata ruang ramah lansia.

4.     Pemindahan Ibu Kota Negara Simbol Perkotaan di Masa Depan

Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara merupakan upaya pemerintah untuk mengusung pembangunan ekonomi yang inklusif, dengan menyebarluaskan magnet pertumbuhan ekonomi baru, sehingga tidak hanya bertumpu di Pulau Jawa semata.

Ibu Kota Negara Nusantara akan dibangun untuk mencapai target Indonesia sebagai negara maju, sesuai Visi Indonesia 2045. Dibangun dengan identitas nasional, Ibu Kota Negara Nusantara akan mengubah orientasi pembangunan menjadi Indonesia-sentris, serta mempercepat Transformasi Ekonomi Indonesia. Berdasarkan pemaparan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Bambang Susantono dalam 6th Spatial Planning Platform (SPP) Conference, Ibu Kota Negara Nusantara merupakan bagian dari Visi Indonesia 2045, diantaranya:

• Human development and technological advancement

• Sustainable economic development

• equitable development

• Enhancing national resilience and governance

Ibu Kota Negara Nusantara juga aktif berkontribusi dalam 3 (tiga) kampanye global diantaranya:

• Biodiversity

• Sustainable Development Goals

• dan Climate Change

Berdasarkan hal tersebut Ibu Kota Nusantara direncanakan dan dibangun sudah sesuai dengan permasalahan dan isuisu global serta selaras dengan visi Indonesia 2045, Visi Ibukota Nusantara yaitu :

1.     Kota Paling Berkelanjutan di Dunia (Aman dan terjangkau, harmoni dengan alam, emisi nol karbon, sirkular dan berketahanan, terhubung aktif dan dapat diakses)

2.     Mesin Ekonomi Baru bagi Indonesia (Peluang ekonomi untuk semua dan Kenyamanan dan Efisiensi melalui Teknologi)

3.     Simbol Identitas Nasional, Ibu Kota Negara Nusantara menggambarkan wujud simbol identitas bangsa, green economy, green energy, smart transportation, dan tata Kelola pemerintahan yang efisien dan efektif sebagai milestone transformasi besar bangsa Indonesia.

Pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara dirancang untuk menjawab isu penataan ruang di masa depan seperti ketangguhan bencana, pemerataan pembangunan, bonus demografi, dan lainlain, IKN Nusantara diharapkan membuka potensi ekonomi dan dapat membawa multiplier effect dengan menjadikan episentrum pertumbuhan yang akan semakin merata ke wilayah luar Jawa guna mendukung pembangunan Indonesia Sentris menuju Indonesia Emas 2045.

5.     Perubahan Iklim

Krisis iklim sudah semakin nyata ditandai dengan pemanasan global, kenaikan permukaan laut, anomali cuaca dan bencana alam yang semakin sering terjadi. Maraknya bencana ekologi ini tak bisa dilepaskan dari krisis iklim. Badan PBB, Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) tahun ini mengeluarkan laporan bahwa krisis iklim kini makin cepat. Kehidupan di bumi benar-benar dalam bahaya. Bencana ekologi akan datang lebih sering dan dalam skala yang masif.

Kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi pada akhirnya terakumulasi menjadi satu ancaman serius yang meneror kota dan wilayah di seluruh Indonesia. Hal tersebut menyebabkan Indonesia harus siap dalam menghadapi bencana yang akan terjadi akibat perubahan iklim. Di Indonesia, bencana ekologi tidak hanya disebabkan oleh krisis iklim, namun sebuah perpaduan sempurna antara krisis iklim dan buruknya tata kelola lingkungan hidup.

Saat ini kita hidup di tengah buruknya tata kelola lingkungan hidup dan krisis ancaman bencana akibat perubahan iklim. Untuk itu, dalam proses penyusunan tata ruang menjadi salah satu kunci dalam menyediakan ruang-ruang hijau dan dilindungi untuk mewujudkan keseimbangan lingkungan.

Fakta dalam penyusunan rencana tata ruang, terdapat kajian mengenai tren perubahan iklim. Data mengenai perubahan iklim terakumulasi dalam data mengenai fisik lingkungan. Data tersebut didapatkan dari BMKG atau instansi terkait. Nantinya, data mengenai trend perubahan iklim akan dianalisis dalam analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta analisis mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis.

Komitmen pemerintah saat ini adalah bagaimana mengupayakan untuk dapat terintegrasi antara pengarusutamaan perubahan iklim ke dalam dokumendokumen perencanaan sehingga nantinya dapat diimplementasikan dengan baik.

Penataan Ruang dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045

Sejatinya penataan ruang melalui penyusunan rencana tata ruang merupakan panglima juga acuan dalam rencana pembangunan. Hal tersebut berlaku baik di masa kini maupun di masa depan. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan Indonesia Emas 2045, terdapat tiga arahan dari Bapak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Arahan tersebut di antaranya, stabilitas Bangsa Indonesia, keberlanjutan dan kesinambungan, serta pembangunan Indonesia Centrist. Arahan Bapak Joko Widodo, dituangkan ke dalam lima sasaran serta delapan agenda utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045.

Setelah terciptanya visi Indonesia Emas 2045, maka tercetuslah potensi pengembangan ekonomi dalam penataan ruang. Potensi tersebut berupa, bonus demografi, hilirisasi industri, pariwisata dan ekonomi kreatif, berkembangnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), serta peningkatan iklim investasi. Di samping adanya potensi yang dapat dikembangkan untuk penguatan aspek ekonomi melalui penataan ruang, terdapat pula tantangan yang menyertainya. Tantangan dalam penataan ruang terbagi menjadi dua klaster utama, di antaranya;

 


 

 

Sumber: BULETIN PENATAAN RUANG Edisi II | Agustus - Oktober 2023

Kamis, 06 Oktober 2022

EKONOMI DAN PERANANNYA DALAM TATA RUANG

Indonesia sebagai negara yang memiliki tanah yang subur, memiliki berbagai komoditas pertanian yang jarang dihasilkan oleh negara-negara lain. Tembakau misalnya, tumbuh subur dan menopang perkembangan industri kretek. lndustri yang bersifat padat karya ini telah berkembang sejak dulu hingga menarik kaum Vreemde Oosterlingen (Timur Asing) keturunan Arab dan Cina untuk turut berdagang.

Selain tembakau, rempah-rempah merupakan hasil bumi yang tak kalah penting dan telah menarik pendatang untuk bertransaksi bahkan bermukim. Potensi tambang seperti emas, batubara, timah dan minyak bumi, juga memancing pendatang bahkan sejak zaman kolonial. Demikian pula kerajinan batik yang belakangan ini berkembang menjadi industri, tak kurang menarik dalam merebut perhatian pendatang.

Semua aktifitas ekonomi tersebut, tentu saja berpengaruh terhadap penataan ruang. Pada tataran tertentu, dinamika ekonomi yang berinteraksi dengan aspek keruangan merangsang sekaligus mendorong pertumbuhan kota-kota di negeri ini. Kebutuhan ruang untuk melangsungkan aktifitas ekonomi, kerap menghadirkan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan wilayah maupun kota.

Dalam tulisan ini ditinjau perkembangan wilayah dan kota di Indonesia sehubungan dengan persebaran potensi serta dinamika ekonomi. Peran pemerintah dalam perencanaan pembangunan- terutama semasa Orde Baru - dalam kerangka menyebar aktifitas ekonomi tentu tak dapat dikesampingkan. Oleh karena hal ini mengantarkan pada pemerataan pembangunan semua sektor di seluruh wilayah tanah air.

 

EKONOMI DAN PERTUMBUHAN KOTA PRA-1950

Letak geografis yang strategis, menyebabkan Indonesia sejak zaman Majapahit telah menjadi bag ian penting bagi jalur pelayaran para pedagang dari barat ke timur maupun sebaliknya. Kesederhanaan teknologi pelayaran saat itu mengharuskan ada perhentian di setiap jarak tertentu. Maka, tumbuhlah kota-kota pelabuhan di sepanjang jalur pelayaran (Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500- 1900).

Sejalan dengan rancangan perdagangan, potensi Nusantara semakin merangsang pedagang untuk berdatangan. Maluku misalnya, kebanjiran pedagang I ada untuk dijual ke Eropa dan Arab. Pada gilirannya, ketika produksi menurun sedangkan permintaan terus menambah, tejadilah "perebutan". Para pedagang yang berasal Belanda, Portugis, Makao, Cina, Sailan, Jepang, Gujarat, lnggris dan Denmark mulai melancarkan strategi dagang masing-masing.

Belanda mendirikan Vereenigde Oost lndische Compagnie (VOC) dan menjalin kontrak dengan petani. Lebih lanjut, VOC berupaya memonopoli perdagangan di Indonesia. Akhirnya Belanda butuh tempat penyimpanan hasil bumi sebelum dipasarkan ke mancanegara. Tempat itu tentu dilengkapi dengan prasarana dan sarana, termasuk benteng pertahanan untuk keamanannya. Mulai dari sinilah kota-kota di Indonesia berkembang.

Fenomena tersebut, dalam pandangan Frederich List, dikategorikan sebagai keadaan yang berada pada fase perkembangan kedua dan ketiga. Fase ini ditandai dengan perkembangan suatu wilayah yang bertumpu pada potensi alam (hasil bumi) yang disertai industri. Ada pun fase pertama dikatakan sebagai fase primitif. Meski teori ini ditentang oleh ekonom lain, agaknya cukup sesuai untuk keadaan Indonesia pada saat itu, terlebih jika dikaitkan dengan pengaruh pertumbuhan ekonomi terhadap penataan ruang.

Sejarah membuktikan, industri rokok kretek -salah satu industri genuine khas Indonesia, tersebar mulai dari Kudus, Jawa Tengah, hingga Kediri, Tulungagung bahkan Malang, Jawa Timur. Ada pun industri batik -industri genuine khas Indonesia lainnya, bertebaran di pesisir utara Jawa, mulai dari Pal Merah, Jakarta, Gresik hingga Madura. Batik juga berkembang marak di bagian tengah dan selatan Jawa, mulai dari Tasikmalaya, Banyumas, Yogyakarta, Surakarta, Ponorogo, Tulungagung hingga Blitar.

 

EKONOMI DAN TATA RUANG

Sebenarnya, tidak ada hubungan langsung antara tata ruang dan ekonomi, melainkan keduanya saling mempengaruhi. Penataan ruang mempengaruhi perkembangan ekonomi masyarakat di suatu wilayah. Sebaliknya, dinamika ekonomi berpengaruh terhadap penataan ruang , teramati kasat mata dalam pemanfaatan ruang . Tata ruarig mempengaruhi dinamika ekonomi, sebaliknya dinamika ekonomi mempengaruhi perkembangan tata ruang.

Tata ruang suatu kota tidak lahir karena maksimalisasi teknologi atau ekonomi, tetapi karena suatu pola sosio-kultural. Namun pemilihan pemukiman kota dapat merujuk pada alasan ekonomis. Kaitan ekonomi dengan penataan ruang dapat digambarkan sebagai berikut:

• Kandungan sumber daya alam yang bernilai jual tinggi (potensi ekonomi) di suatu wilayah mempengaruhi perkembangan wilayah bersangkutan;

• Semakin besar potensi ekonomi di suatu wilayah, semakin besar pula prospek perkembangan wilayah bersangkutan;

• Aktifitas ekonomi di suatu wilayah akan mengundang pemukim yang tentu membutuhkan ruang.

• Aktifitas ekonomi membutuhkan prasarana dan sarana yang juga membutuhkan ruang.

 

EKONOMI DAN PERKEMBANGAN KOTA

Frederich List -penganut mazhab historis dalam pertumbuhan ekonomi, menganggap sistem laissez faire dapat menjamin alokasi sumber daya secara optimal. Lebih lanjut, perkembangan ekonomi bergantung pada peranan pemerintah. Maka, berbagai kebijakan pemerintah dalam mengoptimalkan potensi sumber alam menjadi upaya "termudah" untuk menaikkan taraf kesejahteraan (ekonomi) masyarakat.

Secara alami, dinamika ekonomi merangsang perkembangan wilayah, seperti kota yang tumbuh pesat terdorong oleh perkembangan industri. Peranan pemerintah yang dikategorikan sebagai kebijakan publik, mempengaruhi skala dampak industri terhadap perkembangan suatu wilayah. Sejalan dengan itu, pada era tahun 1970-an diterapkan sistem Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) untuk memudahkan pemenuhan kebutuhan barang dan jasa (Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia, Poernomosidhi Hadjisarosa).

Dari konsep itu, dapat diperkirakan perekonomian suatu wilayah akan tumbuh sebagai dampak pemberian kemudahan berupa prasarana dan sarana. Konsep ini memperhatikan faktor aksesibilitas pergerakan barang dan jasa, termasuk modal, di suatu wilayah. Sasarannya adalah pertumbuhan dan pemerataan pembangunan. Dengan membangun sarana dan prasarana di lokasi yang tepat, tentu pertumbuhan ekonomi akan pesat.

Untuk menetapkan lokasi secara tepat, digunakanlah konsep pengembangan wilayah. Dalam hal ini, penentuan lokasi SWP terutama didasarkan pada aktifitas ekonomi. Lebih jauh, konsep tersebut mendefinisikan kota sebagai simpul ekonomi. Kota adalah pusat konsentrasi penduduk terbesar. Ada pun penduduk merupakan tenaga ke~a. sekaligus pangsa pasar. Kota juga disebut pusat jasa distribusi.

Perbedaan volume kegiatan ekonomi berpengaruh terhadap besaran kota. Dalam hal ini, dikenal hirarki kota (orde kota). Katakanlah, orde kota terbesar-orde satu, dicirikan memiliki kelengkapan prasarana dan sarana sebagai simpul kegiatan ekonomi, seperti terminal cargo (peti kemas), pelabuhan laut, bandar udara, jasa angkutan darat, pasar regional dan kelengkapan penunjang lainnya.

Dalam konsep Poernomosidhi disebutkan, "Kegiatan ekonomi berm uta pada sumber a/am dan berakhir pada konsumen. Sumber a/am letaknya tersebar, demikian pula konsumen akhir''. Dari konsep ini jelas, aktifitas ekonomi berpengaruh pada penataan ruang. Demikian pula penataan ruang akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi. Dengan "intervensi" penataan ruang di suatu lokasi aktifitas ekonomi, maka akan terjadi efesiensi sehingga menghasilkan keuntungan optimal.

llmu ekonomi merupakan suatu studi tentang alokasi ekonomis tentang alat-alat (sumber-sumber) fisik dan manusia yang langka adanya antara kegiatan-kegiatan yang bersaingan satu sama lain, suatu alokasi yang mencapai suatu sasaran yang mengoptimalkan menu rut ketentuan yang ditetapkan, atau sasaran yang memaksimilisasi.

Dalam kaitan itu, Departemen Pekerjaan Umum tidak hanya berperan sebatas merumuskan konsep pengembangan wilayah. lnstansi ini juga membangun prasarana dan sarana dasar guna mewujudkan pertumbuhan ekonomi wilayah. Selain itu, de parte men ini juga berperan bahkan dominan dalam membangun prasarana dan sarana perkotaan, seperti drainase, air bersih, persampahan, perbaikan kampung, jalan kota dan sanitasi.

Departemen PU dituntut berperan efektif karena desakan keadaan. Pengembangan perkotaan tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah daerah setempat. Pada dasarnya, kota berkembang karena urbanisasi akibat kepesatan pertumbuhan ekonomi. Kota kian dipadati penduduk, kebutuhan prasarana dan sarana pun terus meningkat. Pada gilirannya, timbul berbagai persoalan, berkaitan dengan aspek fisik maupun non fisik (sosial).

Kata pepatah, ada gula ada semut. Semakin banyak gulanya, maka semakin banyak pula semut yang cnengerumuninya. Eko Budihardjo dalam buku "Sejumlah Masalah Permukiman Kota" (halaman 202) menyebutkan, "Kegagalan di bidang arsitektur dan perencanaan kota terjadi, antara lain, karena bangunan dan linghkungan binaan dipandangsebagai hal statis. Lebih tragis lagi, bila masyarakat penghuninya dipandang dari sudut statistik saja".

Sementara itu, Peter J.M. Nas dalam buku "The Indonesian City, From Problem to Planning" (halaman 91 ), menyatakan permasalahan perkotaan yang nyata adalah permasalahan fisik, juga permasalahan pertumbuhan penduduk. Menurutnya, untuk menghadapi permasalahan di kampung miskin yang padat, diperlukan sediaan tanah cadangan. "More ground should be reserved for kampung expansion and ... ". Pernyataan ini mengingatkan, bahwa tiap kampung di perkotaan perlu perencanaan penggunaan lahan.

 

PEMBANGUNAN EKONOMI DAN PENATAAN RUANG

Pembangunan ekonomi bukanlah hal mudah. Pembangunan ekonomi tidak sekedar menerapkan teori mengembangkan aktifitas ekonomi masyarakat di suatu wilayah atau mengembangkan suatu wilayah agar perekonomiannya tumbuh dan berkembang pesat. Pembangunan ekonomi bukan hanya menggali sumber alam, tetapi juga menuntut pengelolaannya secara bijaksana.

Emil Salim menyatakan, " ... karena Indonesia dapatdibagi-bagi ke dalam berbagai daerah ekologi, kita akan mengambillangkah sehingga di setiap derah ini paling tidak 10% disisihkan sebagai wilayah ekosistem. Wilayah ini dinyatakan sebagai eagar alam yang tetap, tidak disentuhsentuh kecuali sebagai laboratorium hid up untuk kepentingan ilmiah ... " (Pembangunan Berwawasan Lingkungan, halaman 137).

Pembangunan ekonomi merupakan proses meningkatkan pendapatan masyarakat dalam kurun waktu tertentu. Di suatu wilayah tertentu, keberhasilan pembangunan ekonomi dapat diukur dari pendapatan per kapita. Namun, karena pembangunan ekonomi membutuhkan waktu, dapat saja besaran pendapatan per kapita yang telah diperkirakan di awal pembangunan tidak dicapai ketika pada kurun waktu tertentu jumlah penduduk meningkat,.

Begitu kompleksnya pembangunan ekonomi, terlebih di negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, menuntut keterpaduan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan non ekonomi, seperti pemberdayaan masyarakat. Pembangunan ekonomi, dengan demikian, memerlukan perencanaan matang agar dapat mencakup seluruh aspek dan dapat diukur keberhasilannya.

Pada masa orde lama cenderung lebih banyak membangun kehidupan politik, sedangkan pada masa orde baru mulai mengarah pada pembangunan ekonomi. Pada 1 April1969 mulai dilaksanakan kebijakan pembangunan jangka panjang yang dikenal dengan Pembangunan Jangka Panjang Tahap I (PJPT I) yang dibagi dalam 5 (lima) tahapan pembangunan lima tahunan (Pelita).

Dalam Pelita I (1969-1974), pembangunan ekonomi diarahkan pada pemeliharaan stabilitas ekonomi, pertumbuhan dan pemerataan hasil per:nbangunan. Pelita II (1974-1979) mem prioritaskan pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Pelita 111-V (1979-1984, 1984-1989 dan 1989- 1994) tetap memprioritas pertumbuhan, pemerataan dan stabilitas. Keberhasilan pembangunan ekonomi di Indonesia pada era PJPT I berpengaruh pada era PJPT II.

Selanjutnya, pada era PJPT II yang diawali Pelita VI (1994- 1999) mengalami perubahan pendekatan dalam pencapaian pembangunan. Pembangunan lebih ditekankan pada pengembangan sumber daya manusia dan teknologi. Sasaran Pelita VI tidak pernah dievaluasi, namun berbagai komentar yang berbau politik dan ekonomi sering menyinggung tentang besaran hutang luar negeri, kesenjangan dan kelemahan penguasaan teknologi.

 



Dari grafik di atas, Roeslan Zaris menjelaskan pengelompokkan berikut:

• Propinsi miskin (PDRB lebih kecil dari Rp. 30.000) berciri sumber alam sedikit dengan penduduk tidak padat;

• Propinsi berciri sebagai daerah agraris dan berpenduduk padat, termasuk kelompok miskin dan sulit berkembang;

• Propinsi berciri memiliki PDRB tinggi, kaya sumber alam dan berpenduduk padat (kecuali DKI sebagi ibukota negara);

• Propinsi yang pertumbuhannya pesat, kaya sumber alam dan berpenduduk jarang.

Dengan demikian, dapat dilihat dengan jelas, bahwa pertumbuhan ekonomi erat kaitannya dengan sumber daya alam di tiap wilayah.

Sejalan dengan pembangunan ekonomi (mulai dari PJPT I hingga Pelita VI), jumlah penduduk bertambah pula. Pada tahun 1979, penduduk masih berjumlah 139 juta jiwa, sedangkan pada tahun 1983 menjadi 151 juta jiwa. Pertumbuhan penduduk, meski berhasil ditekan melalui program Keluarga Berencana, mempunyai implikasi terhadap kesempatan kerja. Seperti dialami selama tahun 1979-1983, pencari ke~a baru berkisar 50-56 juta jiwa (sekitar 37% dari jumlah penduduk) yang membutuhkan lapangan kerja.

Selain kesempatan kerja, pertumbuhan penduduk juga berpengaruh terhadap kebutuhan ruang. Di Jawa, Madura dan Bali, tingkat kepadatan penduduk meningkat dari 644 jiwa per km2 (1978) menjadi 704 jiwa per km2 (1983). Pola pembangunan pada masa Pelita dipengaruhi oleh keadaan di Jawa, Madura dan Bali. Keadaan tersebut menuntut lahan baru yang dapat dimanfaatkan untuk permukiman lengkap dengan prasarana dan sarana untuk aktifitas ekonomi dan sosial.

 

 

 

Sumber: Lina Marlia Dalam Sejarah Penataan Ruang Indonesia Penerbit DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH , DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Tahun 2003

Minggu, 10 Juli 2022

PERKEMBANGAN TATA RUANG DI INDONESIA

Sejarah perencanaan wilayah dan kota di Indonesia tidak terlepas dari sejarah pendudukan colonial Belanda yang berlangsung selama hampir 350 tahun. Pada tahap awal perkembangannya, wilayah dan kota di Nusantara tidak memiliki dasar perencanaan yang dapat dipelajari oleh generasi saat ini. Untuk menyebutkan sebuah "kota" pada masa pra-kolonial, berarti kota-kota kerajaan yang berkembang saat ini. Masalah yang terkait dengan urbanisasi sama sekali tidak pernah dicatat dan hanya sedikit informasi yang dapat digali terkait perencanaan kota pada masa pra-kolonial.

Penataan ruang sendiri merupakan preseden modern yang melibatkan kemampuan untuk mengatasi masalah melalui intervensi yang sifatnya teknis dan rasional. Hal ini semakin mengaburkan keberadaan perencanaan kota-kota kerajaan yang saat itu sebenarnya sudah mulai muncul. Untuk konteks perencanaan wilayah dan kota di Indonesia saat itu, pengaruh kepercayaan terhadap roh atau kek"uatan alam sangat menentukan pola pengaturan ruang masyarakat. Apabila ditelusuri lebih jauh diperoleh bahwa pola pengaturan ini berkaitan erat qengan praktek kepercayaan yang dimiliki oleh masyarakat dan terkait pula dengan hierarki sosial yang terbentuk saat itu. Pola ruang ditentukan oleh pengetahuan dan persepsi masyarakat terhadap keseimbangan kekuatan alam dan roh. Raja, sebagai penguasa wilayah yang berada di kota, merupakan pusat dari kekuatan penyeimbang tersebut, sehingga menempati kedudukan sentral pada sebuah kota.

Pengetahuan dan praktek lokal menentukan pola pengaturan ruang dalam upaya menyeimbangkan antara kekuatan roh, a lam, dan hubungan antarmanusia. Berdasarkan pengetahuan lokal tersebut. Ruang diatur secara terpusat di tengah-tengah kota. Adapun elemen-elemen umum yang berada di pusat, diantaranya adalah tempat kediaman raja, alun-alun, atau pasar. Di sekeliling dari pusat terdapat rumah kediaman para pembantu raja yang kemudian menyebar ke seluruh bagian kota sebagai permukiman warga kota biasa. Monumen-monumen penting pada masa ini, selain puing-puing bekas kerajaan diantaranya adalah adanya candi-candi pemujaan. Candi-candi yang sangat terkenal karena masih bertahan hingga saat ini seperti, Borobudur, Prambanan, Kompleks Candi di Dieng, Pura Besakih dan Pura Tanah Lot di Bali, d.an masih banyak lagi lainnya .

Pergeseran kota-kota ke arah pesisir muncul seiring dengan interaksi dengan warga dari berbagai bangsa . Tumbuhnya kota-kota pesisir pada tahap awal dimulai oleh perdagangan antarbangsa yang kemudian menciptakan struktur penduduk baru yang didasarkan atas pola hubungan dagang. Penyebaran agama Islam yang intensif menciptakan pusat-pusat baru kekuasaan yang semakin mengurangi daya magis kekuasaan lama di pedalaman . Perubahan struktur penduduk ini menciptakan elemen-elemen penting sebuah kota, terutama untuk n:endukung kehidupan kota. Dibangunnya elemen-elemen utama, seperti pelabuhan, masjid, dan pasar yang lebih besar merupakan imbas dari perkembangan baru saat itu. Dalam banyak hal, "perencanaan" masih belum muncul dalam masyarakat Nusantara yang tengah berubah pesat dalam bidang ekonomi ini. Masuknya penjajah kolonial dimulai dari kota-kota yang menjadi pusat perdagangan utama. Batavia yang sekarang bernama Jakarta adalah salah satunya. Elite kota adalah orang-orang Belanda wakil VOC. Urbanisasi, meskipun dalam taraf yang masih rendah, memberikan tekanan terhadap kota yang multikultural. Persoalan yang dihadapi oleh pemerintah kolonial untuk menjaga kepentingannya adalah melalui pengaturan ruang kota yang membagi lahan-lahan di dalam kota untuk kelompok-kelompok bangsa.

Bentuk wilayah dan kota-kota saat itu digambarkan oleh Karsten dengan kondisi perumahan orang­orang Eropa yang tinggal di rumah-rumah 'India Kuno' yang besar dan luas dengan pekarangan yang terhampar. Kampung-kampung dideskripsikan dengan lingkungan yang sangat luas, tetapi bangunannya tetap primitif dan tidak tertata . Sejumlah kebun berada di atas tanah kosong ini. Areal kampung ini mencerminkan karakter desa yang sangat kental. Sementara itu, orang China diharuskan untuk tinggal di dalam perkampungan China yang didirikan bersama dengan orang Belanda pada abad ke-17 dan 18, dengan fasilitas yang luas. Golongan kolonial yang kurang beruntung tinggal di koridor jalan utama maupun di kawasan kota lama. Gambaran lni merupakan bentuk pengaturan awal yang muncul dari penataan kota.

Dilihat dari struktur ruang, tidak ada perubahan berarti dibandingkan dengan struktur ruang tradisional yang diambil dari kota-kota Jawa. Kota Batavia dibangun dengan jalan besaryang melingkari kota dan dilengkapi dengan alun-alun yang luas. Sarna halnya dengan Bandung yang baru dipindahkan dari Dayeuh Kolot (untuk dijadikan pusat pemerintahan dan mengatasi persoalan banjir di Citarum) dirancang dengan pusat pemerintahan dan agama yang mengelilingi alun-alun, dengan tempat tinggal penduduk biasa berkelompok di sekitarnya . Jalan-jalan diperkeras dengan pecahan batu atau kerikil yang ditimbris sehingga dapat digunakan untuk berjalan . Rumah-rumah berjarak satu dengan yang lainnya sehingga menyediakan ruang untuk kebun dan pohon.

Pemisahan atas ruang - ruang masih merupakan ciri dari kota kolonial, yang terutama didasarkan pada kebangsaan . Orang-orang pribumi menempati bagian selatan beserta alun-alun, Mesjid Agung, yang dibangun dengan biaya pemerintah tahun 1850, beserta rumah bupati dan jabatan penting pribumi. Sementara itu, di bagian utara ditempati oleh orang-orang Eropa, termasuk Asisten Residen .

Karya-karya hasil penataan wilayah dan ruang yang dilakukan kolonial dapat dikatakan merupakan  pondasi dari seluruh penataan ruang dan wilayah yang dilakukan saat ini di Indonesia. Contoh karya besar yang masih digunakan, bahkan terus dikembangkan, hingga saat ini salah satunya adalah jalan lintas pantai utara pulau Jawa (Pantura) dari Merak hingga Panarukan . Belum lagi jika kita menyebutkan bangunan­ bangunan megah yang dipergunakan sebagai kantor Pemerintahan saat ini, seperti lstana Merdeka di Jakarta, lstana Bogar, kanal-kanal saluran air di Jakarta, Surabaya dan kota besar lainnya.

Masa Pasca Kemerdekaan

Kota-kota pasca-kemerdekaan adalah kota-kota besar yang menjadi tonggak sejarah perjuangan kemerdekaan nasional. Kota-kota ini mengalami pertumbuhan yang pesat seiring terjadi migrasi. Pada saat ini, kondisi infrastruktur masih kurang baik akibat perang fisik yang berkepanjangan . Masalah yang dihadapi kota-kota di Indonesia adalah bidang ekonomi yang ditandai dengan tingkat inflasi tinggi. Pembangunan infrastruktur pun direncanakan sebagai bagian dari unjuk kekuatan ekonomi Indonesia oleh Presiden Soekarno.

Masa Orde Baru

Pada masa pemerintahan Orde Baru disusun perencanaan yang sifatnya bertahap atau dikenal dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Namun, wilayah dan kota-kota masih belum menjadi fokus dari kebijakan di dalamnya. Pada tahun 1970, rencana pada tingkat regional muncul dengan Rencana Jabotabek yang diikuti dengan perencanaan-perencanaan untuk proyek khusus yang did;;mai oleh lembaga-lembaga internasional. Salah satunya adalah KIP (Kampong Improvement Programme) yang dilaksanakan pada akhir tahun 1970-an. Secara sistematis, kelembagaan perencanaan diwujudkan mulai dari level nasional hingga ke daerah (BAPPEDA). Dengan adanya Undang-Undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah, perencanaan daerah berkembang menjadi kewajiban bagi daerah dalam penyelenggaraannya.

Pada tahun 1980, Nasional Urban Development Strategy berhasil dirumuskan. Tahun ini adalah  tonggak bagi perencanaan spasial. Mengintegrasikan rencana pengembangan dan perencanaan fisik menjadi bagian dari program IUIDP (Integrated Urban Infrastructure Development Program). IUIDP dapat dikatakan berhasil untuk mengintegrasikan investasi publik untuk meningkatkan produktivitas kota dan mengarahkan investasi swasta .

Pada tahun 1992, lahir Undang-Undang No. 24 Tahun 1994 tentang Penataan Ruang yang lebih tegas mengarahkan perencanaan pada berbagai tingkatan dan menciptakan integrasi ruang antar tingkatan tersebut. Lah irnya UU tersebut mempengaruhi praktek perencanaan di Indonesia berikutnya. Pada tahun 1997, Indonesia mengalami krisis ekonomi. Kota-kota mengalami masalah serius terkait 'macetnya' investasi dan kondisi perekonomian warga. Dalam kondisi yang demikian, kota-kota besar justru tidak dapat diharapkan dalam mengatasi kecenderungan terhadap penurunan kualitas kota-kota di Indonesia. Gaya perencanaan yang cenderung top-down dengan menempatkan kota-kota utama sebagai motor penggerak ekonomi ternyata tidak berhasil.

Hal ini menunjukkan bahwa pendekatan perencanaan spasial yang demikian telah mengalami kegagalan, yang kemudian memberikan pelajaran berharga dalam menyusun Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU Pemerintahan Daerah yang dikeluarkan tahun 1999 yang kemudian direvisi di dalam UU No. 32 Tahun 2004, memberikan ketegasan tentang kewenangan pemerintah daerah dalam kerangka otonomi. UU NO. 32 Tahun 2004 memungkinkan pengelolaan kota yang dilakukan bersama antar daerah otonom.

 

 

 

Sumber: Penataan Ruang: Sebuah Cermin Peradaban Penerbit Direktorat Jenderal Penataan Ruang Departemen Pekerjaan Umum 

Senin, 20 Juni 2022

ANALISIS ASPEK FISIK DAN LINGKUNGAN DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG

 

Mengapa harus menganalisis Aspek Fisik dan Lingkungan dalam Penyusunan Rencana Tata Ruang?

Lahan pada kawasan/wilayah perencanaan merupakan SUMBER DAYA ALAM yang memiliki KETERBATASAN dalam menampung kegiatan manusia dalam pemanfaatannya. Banyak contoh kasus kerugian ataupun korban yang disebabkan oleh ketidaksesuaian penggunaan lahan yang melampaui kapasitasnya. Untuk itu, perlu dikenali sedini mungkin karakteristik fisik suatu wilayah maupun kawasan yang dapat dikembangkan untuk dimanfaatkan oleh aktivitas manusia.

TUJUAN

Menemukenali berbagai karakteristik sumber daya alam melalui telaah kemampuan dan kesesuaian lahan, agar penggunaan lahan dalam perencanaan pengembangan wilayah/kawasan dapat dilakukan secara optimal dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem untuk keberlanjutan pembangunan wilayah/kawasan tersebut

OUTPUT

• Peta Kemampuan Lahan

• Peta Kesesuaian Lahan

• Rekomendasi Kesesuaian Lahan

Langkah-langkah yang harus dilakukan:

a.       PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan Data adalah langkah pertama yang harus dilakukan.  Data-data ini merupakan data dasar yang kemudian diolah untuk mendapatkan peta kemampuan dan kesesuaian lahan yang kemudian diusulkan rekomendasi penggunaannya.

Jenis Data:

1. Klimatologi

2. Topografi

3. Geologi

4. Hidrologi

5. Sumber Daya Mineral/

Bahan Galian

6. Bencana Alam

7. Penggunaan Lahan

8. Studi yang ada

9. Kebijakan pemerintah

 

1.       DATA KLIMATOLOGI

Jenis  Data

Sumber Data

Kedalaman Data

Curah Hujan

BMG/Stasiun Klimatogi

terdekat

Rentang waktu 10

tahun

Hari Hujan

BMG/Stasiun Klimatogi

terdekat

Rentang waktu 10

tahun

Intensitas Hujan

BMG/Stasiun Klimatogi

terdekat

Rentang waktu 10

tahun

Temperatur Rata -rata

BMG/Stasiun Klimatogi

terdekat

Rentang waktu 10

tahun

Kelembaban Relatif

BMG/Stasiun Klimatogi

terdekat

Rentang waktu 10

tahun

Kecepatan dan Arah

Angin

BMG/Stasiun Klimatogi

terdekat

Rentang waktu 10

tahun

Penyinaran Matahari

BMG/Stasiun Klimatogi

terdekat

Rentang waktu 10

tahun

 

Data klimatologi ini bisa diperoleh dari Stasiun Meteorologi Penerbangan, Stasiun

Meteorologi Maritim, Stasiun Meteorologi dan Klimatologi, atau Stasiun Meteorologi dan

Geofisika yang terdekat atau berada di wilayah/kawasan perencanaan.  Stasiun-stasiun ini

mengirimkan datanya pada Balai Besar Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) yang di

Indonesia terbagi dalam lima wilayah yaitu:

1. Balai Besar BMG Wilayah I yang berkedudukan di Medan (Jl. Ngumban Surbakti No. 15

Selayang II Medan), telp: 061-8222877, 8222878, fax: 061-8222878.

2. Balai Besar BMG Wilayah II yang berkedudukan di Ciputat (Jl. KP Bulak Raya Cempaka

Putih - Ciputat ) telp: 021-7402739, 7444338, 7426485, fax: 021-7402739.

3. Balai Besar BMG Wilayah III yang berkedudukan di Denpasar (Jl. Raya Tuban, Badung,

Bali), telp: 0361-751122, fax: 0361-757975.

4. Balai Besar BMG Wilayah IV yang berkedudukan di Makassar (Jl. Racing Centre No 4

Panaikang KP 1351 Makassar), telp: 0411-456493, 449243, fax: 0411-449286, 455019.

5. Balai Besar BMG Wilayah V yang berkedudukan di  Jayapura (Jl. Raya Abepura Entrop Kp

1572 Jayapura 99224), telp: 0967-535418, 534439, 535419.

 

2.       DATA TOPOGRAFI

Jenis  Data

Sumber Data

Kedalaman Data

Peta Rupabumi

Bakosurtanal

Skala

1: 20.000

1: 25.000

1: 30.000

1: 50.00

Peta Topografi

Badan Pertanahan Nasional (BPN)

Direktorat TNI-AD

Skala terbesar yang ada

Ditjen Geologi dan Sumber Daya

Mineral, Departemen ESDM

Bapeda 

Peta Morfologi

·  Bakosurtanal

Turunan dari

data topografi

Gambar 2.2

·  Badan Pertanahan Nasional

(BPN)

·  Ditjen Geologi dan Sumber Daya

Mineral, Departemen ESDM

Bapeda

Turunan dari data topografi

Peta Kemiringan Lereng  (Peta Lereng)

·  Bakosurtanal

Turunan dari

data topografi

Gambar 2.2

·  Badan Pertanahan Nasional

(BPN)

·  Ditjen Geologi dan Sumber Daya

Mineral, Departemen ESDM

Bapeda

Turunan dari data topografi

 

Data Topografi seringkali menjadi peta dasar dari berbagai peta lainnya.  Peta ini bisa didapatkan di Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional yang berkedudukan di Cibinong dalam bentuk peta rupabumi baik dalam format cetak maupun digital.  Dengan pengolahan secara spasial, peta ini dapat diturunkan menjadi peta morfologi dan peta lereng.

 

Klasifikasi Kelas Lereng

Terdapat berbagai macam pembagian kelas lereng.  Pada umumnya, pembagian kelas lerengan

ini disesuaikan dengan kebutuhan analisa.  Pada analisis aspek fisik wilayah, kelas lereng yang

biasa dipakai adalah sebagai berikut:

1) Lereng 0 % - 2%

2) Lereng 2% - 5%

3) Lereng 5% - 15%

4) Lereng 15% - 40%

5) Lereng > 40%

Pada  peta  topografi  dengan  skala  dan  kelengkapan yang memungkinkan, selang kelas lereng 5% -15%, dapat dibagi lagi menjadi  kelas lereng 5% - 8%, dan  8% - 15%.  Pada dasarnya, semakin banyak pembagian kelas lereng ini akan semakin baik, karena akan semakin diketahui kondisi lahan dengan lebih detil dimana setiap aktivitas pemanfaatan lahan akan membutuhkan kesesuaian lahan dengan kriteria kelas lereng tertentu.

 

3.       DATA GEOLOGI

Jenis  Data

Sumber Data

Kedalaman Data

Geologi Umum

Departemen ESDM

Peta Geologi tata

lingkungan

Geologi Wilayah

Departemen ESDM

Pengamatan

Lapangan

Turunan peta

geologi Umum &

Pengecekan

Lapangan

Geologi Permukaan

Penelitian Lapangan

Kondisi geologi

tanah permukaan

dan sebarannya

lateral dan

vertikal.

 

Untuk data geologi umum, bisa didapat dengan skala 1 : 250.000, walaupun dimungkinkan data geologi wilayah dengan informasi yang lebih rinci dan dengan skala yang lebih besar. Seringkali mengingat keterbatasan waktu dan biaya, maka peta geologi wilayah perencanaan lebih bersifat geologi tinjau yang berpegang pada geologi umum, dan lebih menekankan pada rincian karakteristik litologi dan struktur geologinya, dengan tidak mengabaikan stratigrafi serta unsur-unsur geologi lainnya.

 

4.       DATA HIDROLOGI

Jenis  Data

Sumber Data

Kedalaman Data

Air Permukaan

 

Dilengkapi data:

·  Sungai (DAS& WS)

Instansi Pengairan

setempat

·  Pola Aliran 

·  Arah Aliran

·  Debit air setiap musim

·  Danau

·  Mata Air

Peta Hidrologi BPN

Air Tanah

 

 

·  Air tanah Dangkal

Kedalaman sumur

penduduk

Mutu & Kualitas Air

·  Air tanah Dalam

·  Ditjen Geologi & Sumber daya Mineral, Dep. ESDM

·  Ditjen Sumber daya Air Dep. PU

·  Hasil Penelitian

 

 

Data hidrologi merupakan data yang terkait dengan tata air yang ada, baik di permukaan maupun di dalam tanah/bumi. Tata air yang berada di permukaan tanah dapat berbentuk badan-badan air terbuka seperti sungai, kanal, danau/situ, mata air, dan laut.  Sedangkan tata air yang berada di dalam tanah (geohidrologi) dapat berbentuk aliran air tanah atau pun sungai bawah tanah.  Data tata air diperlukan untuk dapat melihat dan memperkirakan ketersediaan air untuk suatu wilayah. Informasi yang dibutuhkan dari data hidrologi ini adalah kuantitas dan kualitas air yang ada.  Data kuantitas terkait dengan pola dan arah aliran serta debit air yang ada dari masing-masing badan air.  Sedangkan data kualitas terkait dengan mutu air (dilihat dari sifat fisik, kimia dan biologi).  Namun data yang terkait dengan kondisi hidrologi ini biasanya sukar didapat karena harus melakukan pengambilan data primer/pengamatan langsung. Data sekunder biasanya didapat dari instansi yang terkait dengan lingkungan dan PAM. Data umum hidrologi yang biasa tersedia adalah peta lokasi badan air (sungai, danau, laut) yang dapat dilihat dari peta rupabumi.  Dari peta ini biasanya bisa didapat informasi wilayah sungai dan daerah aliran sungai, termasuk pola dan arah alirannya.

 

5.       DATA SUMBERDAYA MINERAL DAN BAHAN GALIAN

Jenis  Data

Sumber Data

Kedalaman Data

Potensi Bahan Galian

Golongan C

• Departemen

ESDM

 • Analisis Peta

Geologi

 • Informasi Pemda

setempat

 

Peta jenis bahan

galian

Sumber daya lainnya

(minyak bumi, batu bara,

mineral logam)

• Departemen

ESDM

 • Informasi Pemda

setempat

Peta sumber daya

mineral

 

Data sumber daya mineral dan bahan galian merupakan data lokasi dari berbagai jenis bahan tambang dan galian yang ada di wilayah/kawasan perencanaan.  Peta ini dapat diperoleh di instansi terkait (misal: Departemen ESDM), pemerintah setempat yang telah mengidentifikasinya, serta dari hasil analisis peta geologi berdasarkan jenis dan formasi batuan pembentuk wilayah.

 

6.       DATA BENCANA ALAM

Jenis  Data

Sumber Data

Kedalaman Data

Letusan Gunung Api

• Informasi kondisi geologi

Tipologi Kerawanan bencana

Gempa Bumi

• Informasi kondisi geologi

Tipologi Kerawanan bencana

Tanah Longsor

• Informasi kondisi geologi

Tipologi Kerawanan bencana

Banjir

• Informasi kondisi

topografi dan

klimatologi

Tipologi Kerawanan bencana

 

Data bencana alam merupakan informasi penting yang harus dimiliki oleh wilayah/kawasan

perencanaan.  Pendeliniasian serta penentuan tipologi wilayah berdasarkan kerawanan atas

bencana ini dapat dilihat lebih detil pada buku pedoman Penataan Ruang Kawasan Rawan Letusan Gunung Berapi dan Kawasan Rawan Gempa Bumi serta buku pedoman Penataan RuangKawasan Rawan Bencana Longsor.  Dari masing-masing data/peta kerawanan ditumpang tindih sehingga didapat peta kerawanan wilayah terhadap bencana alam.

 

7.       DATA PENGGUNAAN LAHAN

Jenis  Data

Sumber Data

Kedalaman Data

Luas Permukiman

Luas Perdagangan

Luas Industri

Luas Sawah

Luas Kebun

Luas Hutan

Luas Rawa

Luas Danau, sungai,

kolam

Luas Tambak

Luas penggunaan lainnya

• Peta Rupa Bumi

• Pengamatan Lapang

• Peta citra satelit, ICONOS

• Foto udara

Peta Penggunaan Lahan (Land Use)

 

Data penggunaan lahan (Land Use) didapat dari kombinasi berbagai data dan peta seperti:

• Peta Rupabumi (terdapat informasi lahan permukiman, sawah, kebun/tegalan, hutan, rawa, danau, sungai)

• Peta citra satelit (terdapat informasi penutupan lahan yang dapat dibedakan karakter

vegetasi dan non vegetasi)

• Peta foto udara (terdapat informasi yang lebih detil seperti kawasan perumahan, perdagangan/perniagaan, industri, sawah/ladang, perkebunan, hutan, kolam, tambak, dan

lainnya)

• Pengamatan lapang (observasi) dan informasi/wawancara masyarakat secara langsung.

 

8.       DATA STUDI FISIK/LINGKUNGAN YANG ADA/PERNAH DILAKUKAN

Jenis  Data

Sumber Data

Kedalaman Data

Studi fisik/lingkungan

·  Dinas Tata Kota

Peta peruntukan

lahan

 

·  Hasil penelitian

Peta daya dukung

lahan

 

Data-data yang ada dan dihasilkan dari studi-studi ini dapat menjadi data pendukung yang diperlukan dalam menganalisis aspek fisik dan lingkungan.  Dengan begitu, penting untuk mengumpulkan berbagai studi terkait sebagai bahan referensi dan dalam mempertajam hasil analisis yang dilakukan.

 

9.       DATA KEBIJAKAN PENGEMBANGAN FISIK YANG ADA

Jenis  Data

Sumber Data

Kedalaman Data

Kebijakan

Penggunaan Lahan

·  Pemerintah

·  Pemerintah Daerah 

Bahan pertimbangan

dalam membuat

rekomendasi kesesuaian

lahan

 

Data kebijakan pengembangan fisik ini terkait dengan berbagai program dan kebijakan Pemerintah dan Pemerintah Daerah setempat dalam pemanfaatan ruang.  Misalnya:

• berbagai program pertanian untuk pengembangan komoditas tertentu dapat dilaksanakan

pada lahan-lahan yang sesuai secara fisik dan kondisi agroklimat yang ada di wilayah/kawasan perencanaan.

• Program pembangunan perumahan dari pemerintah dapat dilaksanakan pada lahan-lahan

yang sesuai untuk peruntukan pembangunan rumah.

• Dan sebagainya

 

b.      ANALISIS KEMAMPUAN LAHAN

Analisis Kemampuan Lahan merupakan langkah yang harus dilakukan setelah tahap pengumpulan data sebelumnya yang telah dilakukan.

 

Jenis Analisis Satuan Kemampuan Lahan (SKL):

1. SKL Morfologi

2. SKL Kemudahan Dikerjakan

3. SKL Kestabilan Lereng

4. SKL Kestabilan Pondasi

5. SKL Ketersediaan Air

6. SKL Untuk Drainase

7. SKL Terhadap Erosi

8. SKL Pembuangan Limbah

 

Sebelum memulai langkah penyusunan masing-masing SKL, maka perlu diketahui terlebih dahulu beberapa parameter penting yang digunakan, yaitu:

 

KETINGGIAN

Peta ketinggian dibuat dari peta topografi yang bersumber dari peta topografi dengan skala

terbesar yang tersedia, yang dapat diperoleh pada instansi: Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL), Badan Pertanahan Nasional (BPN), Direktorat TopografiTNI Angkatan Darat, Direktorat Jenderal Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen

Energi dan Sumber Daya Mineral, dan instansi terkait lainnya. Kelas ketinggian dapat dibuat dengan membagi wilayah studi dari titik minimum hingga titik tertinggi menjadi beberapa kelas yang diinginkan.

LERENG

Peta  lereng diturunkan dari peta topografi, karena penataan ruang dan peruntukannya banyak

sekali ditentukan oleh kondisi kemiringan suatu wilayah. Demikian juga pengembangan jaringan

utilitas sangat dipengaruhi oleh kondisi lereng ini. Peta ini memuat pembagian atau klasifikasi

kelas lereng di wilayah dan/atau kawasan perencanaan atas beberapa kelas. Berikut ini adalah

adalah kelas lereng yang biasa dipakai dalam penyusunan rencana tata ruang:

1) Lereng 0 % - 2%

2) Lereng > 2% - 5%

3) Lereng > 5% - 15%

4) Lereng > 15% - 40%

5) Lereng > 40%

(Klasifikasi lereng dapat disesuaikan dengan kondisi lereng wilayah kegiatan)

 

MORFOLOGI

Gunung/Gunung Berapi:

Satuan tubuh gunung/gunung berapi ini hampir sama dengan satuan morfologi perbukitan, dan

umumnya merupakan sub satuan perbukitan sedang hingga terjal, namun membentuk kerucut

tubuh gunung/gunung berapi. Satuan tubuh gunung/gunung berapi ini perlu dipisahkan dari satuan perbukitan, karena tubuh gunung/gunung berapi mempunyai karakterisitk tersendiri dan berbeda dari perbukitan umumnya, seperti banyak dijumpai mata air, kandungankandungan gas beracun, dan sumber daya mineral lainnya yang khas gunung/gunung berapi.

Bukit/Perbukitan:

Satuan morfologi perbukitan adalah bentuk bentang alam yang memperlihatkan relief baik

halus maupun kasar, serta membentuk bukit-bukit dengan kemiringan lereng yang bervariasi.

Secara lebih rinci, satuan morfologi perbukitan dapat dibagi lagi atas tiga sub satuan, yakni :

• Sub satuan morfologi perbukitan landai dengan kemiringan lereng antara 5% - 15% dan

memperlihatkan relief halus;

• Sub satuan morfologi perbukitan sedang dengan kemiringan lereng berkisar antara 15% -

40% dan memperlihatkan relief sedang, dan

• Sub satuan morfologi perbukitan terjal dengan kemiringan lebih dari 40% dan

memperlihatkan relief kasar.

Datar/Dataran:

Satuan morfologi dataran adalah bentuk bentang alam yang didominasi oleh daerah yang relatif

datar atau sedikit bergelombang, dengan kisaran kelas lereng 0% - 5%. Lebih rinci lagi satuan

morfologi dataran ini dapat dibedakan atas dua sub satuan, yakni:

• Sub satuan morfologi dataran berkisar antara 0% - 2%; dan

• Sub satuan morfologi medan bergelombang dengan kisaran kelas lereng lebih dari 2% hingga

5%.

 

GEOLOGI

Data geologi yang diperlukan dalam analisis aspek fisik dan lingkungan terdiri dari tiga bagian,

yakni data geologi umum, data geologi wilayah, dan data geologi permukaan. Data geologi umum diperlukan untuk mengetahui kondisi fisik secara umum, terutama pada batuan dasar yang akan menjadi tumpuan dan sumber daya alam wilayah ini, serta beberapa kemungkinan bencana yang bisa timbul akibat kondisi geologinya atau lebih dikenal dengan bencana alam beraspek geologi. Data geologi ini mencakup stratigrafi uraian litologinya, struktur geologi, serta penampang-penampang geologi.

Peta geologi wilayah memuat semua unsur geologi seperti yang dikehendaki pada geologi umum, hanya lebih terinci yang kemungkinan akan berbeda dari peta geologi umum, karena dilakukan penelitian pada skala lebih besar. Mengingat keterbatasan waktu dan biaya, maka peta geologi wilayah perencanaan ini lebih bersifat geologi tinjau yang berpegang pada geologi umum, dan lebih menekankan pada rincian karakteristik litologi dan struktur geologinya, dan tentunya dengan tidak mengabaikan stratigrafi serta unsur-unsur geologi lainnya.

Data geologi permukaan adalah kondisi geologi tanah/batu yang ada di permukaan dan sebarannya baik lateral maupun vertikal hingga kedalaman batuan dasar serta sifat-sifat keteknikan tanah/batu tersebut, dalam kaitannya untuk menunjang pengembangan kawasan. Data geologi permukaan hanya dapat diperoleh dari penelitian lapangan (data primer), dengan penyebaran vertikal diperoleh berdasarkan hasil pemboran dangkal. Sifat keteknikan dengan keterbatasan biaya dan waktu penelitian hanya dapat disajikan berupa pengamatan megaskopis, kecuali daya dukung tanah/batu yang dapat dipertajam dari hasil pengujian sondir.

 

AIR TANAH

Data air tanah dapat dipisahkan atas air tanah dangkal dan air tanah dalam, yang masing-masing

diupayakan diperoleh besaran potensinya. Air tanah dangkal adalah air tanah yang umum digunakan oleh masyarakat sebagai sumber air bersih berupa sumur-sumur, sehingga untuk mengetahui potensi air tanah bebas ini perlu diketahui kedalaman sumur-sumur penduduk, dan

kemudian dikaitkan dengan sifat fisik tanah/batunya dalam kaitannya sebagai pembawa air. Selain besarannya, air tanah ini perlu diketahui mutunya secara umum, dan kalua memungkinkan hasil pengujian mutu air dari laboratorium.

 

AIR TANAH DALAM (GEOHIDROLOGI)

Data air tanah dapat dipisahkan atas air tanah dangkal dan air tanah dalam, yang masing-masing

diupayakan diperoleh besaran potensinya. Air tanah dalam adalah air pada akuifer yang berada diantara dua lapisan batuan geologis tertentu, yang menerima resapan air dari bagian hulunya. PP No. 82/2001 tentang Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air. Selain besarannya, air tanah ini perlu diketahui mutunya secara umum, dan kalau memungkinkan hasil pengujian mutu

air dari laboratorium

HIDROLOGI & KLIMATOLOGI

Untuk data hidrologi, yang dibutuhkan adalah: pola aliran dan karakteristik sungai, serta debit air sungai. Untuk data klimatologi, data yang dibutuhkan untuk analisa SKL adalah : curah hujan, serta kecepatan dan arah angin.

PENGGUNAAN LAHAN

Penggunaan lahan didapat dari citra satelit tahun terakhir yang bisa didapat. Dari hasil interpretasi citra satelit ini, lengkapi pula cara dengan groundcheck dan survei lapangan.

DATA BENCANA ALAM

Data bencana alam untuk mengetahui sejarah dan potensi bancana alam di wilayah studi.  Data tersebut adalah: bencana gunung api, gempa bumi, gelombang pasang/tsunami, dan banjir atau

daerah tergenang.

 

ANALISIS KEMAMPUAN LAHAN

 

Tujuan analisis

Data yang dibutuhkan

Keluaran

Untuk memperoleh

gambaran tingkat

kemampuan lahan

untuk dikembangkan

sebagai perkotaan,

sebagai acuan bagi

arahan-arahan

kesesuaian lahan pada

tahap analisis

berikutnya.

1. Peta-peta hasil

analisis SKL

 

2. Data-data:

• Topografi

• Geologi

• Hidrologi

·  Klimatologi

• Sumberdaya mineral/ bahan galian

• Bencana Alam

• Penggunaan Lahan

• Studi yang ada

• Peta Klasifikasi

kemampuan lahan

untuk pengembangan

kawasan

• Kelas kemampuan lahan

untuk dikembangkan

sesuai fungsi kawasan.

• Potensi dan kendala fisik

pengembangan lahan

 

Langkah Pelaksanaan

1) Melakukan analisis satuan-satuan kemampuan lahan, untuk memperoleh gambaran tingkat kemampuan pada masing-masing satuan kemampuan lahan.

2) Tentukan nilai kemampuan setiap tingkatan pada masing-masing satuan kemampuan lahan, dengan penilaian 5 (lima) untuk nilai tertinggi dan 1 (satu) untuk nilai terendah.

3) Kalikan nilai-nilai tersebut dengan bobot dari masing-masing satuan kemampuan lahan. Bobot ini didasarkan pada seberapa jauh pengaruh satuan kemampuan lahan tersebut pada pengembangan perkotaan. Bobot yang digunakan hingga saat ini adalah seperti terlihat pada Tabel 2.10.

4) Superimpose-kan semua satuan-satuan kemampuan lahan tersebut, dengan cara menjumlahkan hasil perkalian nilai kali bobot dari seluruh satuan-satuan kemampuan lahan dalam satu peta, sehingga diperoleh kisaran nilai yang menunjukkan nilai kemampuan lahan di wilayah dan/atau kawasan perencanaan.

5) Tentukan selang nilai yang akan digunakan sebagai pembagi kelas-kelas kemampuan lahan, sehingga diperoleh zona-zona kemampuan lahan dengan nilai …… - …… yang menunjukkan tingkatan kemampuan lahan di wilayah ini, dan digambarkan dalam satu peta klasifikasi kemampuan lahan untuk perencanaan tata ruang

 

c.       ANALISIS KESESUAIAN LAHAN

Jenis Analisis:

1. Arahan Tata Ruang Pertanian

2. Arahan Rasio Tutupan

3. Arahan Ketinggian Bangunan

4. Arahan Pemanfaatan Air Baku

5. Perkiraan Daya Tampung Lahan

6. Persyaratan dan Pembatas Pengembangan

7. Evaluasi Pemanfaatan Lahan yang Ada terhadap Kesesuaian Lahan

 

1.       ARAHAN TATA RUANG PERTANIAN

Tujuan analisis

Data yang dibutuhkan

Keluaran

Untuk mendapatkan arahan pengembangan pertanian sesuai dengan kesesuaian lahannya

ATLAS Arahan Tata Ruang

Pertanian Indonesia, skala

1:1.000.000 (Sumber:

Departemen Pertanian, Badan

Litbang Pertanian, Pusat Litbang

Tanah & Agroklimat, 2001)

• Peta Arahan Tata Ruang

Pertanian

 

Langkah Pelaksanaan

Deliniasi kawasan perencanaan pada peta arahan tata ruang pertanian yang sudah ada.

Kemampuan Lahan

Arahan Tata Ruang Pertanian

Kelas 

Kemampuan Pengembangan

Klasifikasi

Nilai

Kelas  a

Kemampuan Pengembangan Sangat rendah

Lindung

1

Kelas  b

Kemampuan Pengembangan Rendah

Kawasan Penyangga

2

Kelas  c

Kemampuan Pengembangan Sedang

Tanaman Tahunan

3

Kelas  d

Kemampuan Pengembangan Agak tinggi

Tanaman Setahun

4

Kelas  e

Kemampuan Pengembangan Sangat tinggi

Tanaman Setahun

5

 

2.       ARAHAN RASIO PENUTUPAN

Tujuan analisis

Data yang dibutuhkan

Keluaran

Mengetahui gambaran

perbandingan daerah

yang bisa tertutup

oleh bangunan bersifat

kedap air dengan luas

lahan keseluruhan beserta

kendala fisik pada tiap

tingkatan

Peta-peta:

•Klasifikasi Kemampuan Lahan

• SKL untuk drainase

 • SKL Kestabilan Lereng

• SKL terhadap erosi

• SKL terhadap Bencana alam

• Peta Arahan Rasio

Penutupan Lahan

• Batasan rasio

tutupan lahan untuk

tiap arahan serta

persyaratan

pengembangannya

 

 

Langkah Pelaksanaan

1) Tentukan tingkatan rasio tutupan lahan berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan, dan

pertajam dengan skala SKL untuk drainase.

2) Saring lagi kesesuaian rasio tutupan lahan ini dengan memperhatikan SKL kestabilan lereng,

SKL terhadap erosi, dan SKL terhadap bencana alam.

3) Gunakan kurva keseimbangan tata air untuk menentukan batasan rasio tutupan lahan,

terutama perbandingan peningkatan aliran permukaan akibat peningkatan tutupan lahan.

 

Arahan Rasio Tutupan

Kelas Kemampuan Lahan

Klasifikasi

Nilai

Kelas a

Non Bangunan

1

Kelas b

Rasio Tutupan Lahan maks 10 % 

2

Kelas c

Rasio Tutupan Lahan maks 20 % 

3

Kelas d

Rasio Tutupan Lahan maks 30 % 

Kelas e

Rasio Tutupan Lahan maks 50 %

4

 

1) Arahan rasio tutupan lahan ini lebih memperhatikan kemungkinan kesulitan drainase dan gangguan kestabilan lereng bila terjadi peningkatan tutupan lahan. Sedangkan untuk penurunan muka air tanah memang terjadi, namun konsekuensi dari mengikuti arahan tutupan lahan maksimum adalah sudah memikirkan sumber air lain guna memenuhi kebutuhan air bersih/baku.

2) Arahan rasio tutupan lahan ini adalah merupakan perbandingan bruto, dengan pengertian perbandingan antara luas lahan yang tertutup oleh bangunan bersifat kedap air dengan luas lahan keseluruhan pada tingkat rasio tutupan lahan yang ditekan, terutama dalam satu sistem wilayah sungai atau daerah aliran sungai (DAS).

3) Pengembangan yang kemungkinan diperkirakan akan melampaui arahan ini disarankan untuk dikembangkan secara vertikal atau bertingkat.

3.       ARAHAN KETINGGIAN BANGUNAN

Tujuan analisis

Data yang dibutuhkan

Keluaran

Mengetahui gambaran daerahdaerah yang sesuai untuk dikembangkan

Dengan bangunan berat/tinggi padapengembangan

kawasan

Peta-peta:

• Klasifikasi Kemampuan Lahan

• SKL Kestabilanpondasi

• SKL terhadap Bencana Alam

• Pemanfaatan Lahan saat ini

• Peta Arahan

Ketinggian Bangunan

• Batasan / persyaratan

pengembangan

bangunan tinggi

 

Langkah Pelaksanaan

1) Menentukan arahan ketinggian bangunan berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan dan

memperhatikan SKL kestabilan pondasi dan SKL terhadap bencana alam.

2) Memperhatikan penggunaan lahan yang ada saat ini yang kemungkinan akan memperlemah kekuatan bangunan, seperti penggalian bahan galian golongan C, atau daerah bekas penambangan/pengurukan

3) Menentukan batasan atau persyaratan pengembangan bangunan tinggi pada masingmasing arahan.

 

Arahan Ketinggian Bangunan

Kelas Kemampuan Lahan

Klasifikasi

Nilai

Kelas a

Non Bangunan

1

Kelas b

Non Bangunan

2

Kelas c

Bangunan < 4 lantai

3

Kelas d

Kelas e

Bangunan > 4 lantai

4

 

4.       ARAHAN PEMANFAATAN AIR BAKU

Tujuan analisis

Data yang dibutuhkan

Keluaran

Mengetahui sumber-sumber

air yang dapat dimanfaatkan

sebagai sumber air baku dalam perencanaan tata ruang

1. Peta-peta:

· SKL Ketersediaan Air

· Penggunaan Lahan saat ini

2. Data:

·Hasil Perhitungan Ketersediaan Air 

·Peta Arahan Pemanfaatan Air Baku

·Kapasitas sumber-sumber air yang disarankan untuk

dikembangkan

· Gambaran prioritas

pengembangan sumbersumber air baku

sesuai dengan kapasitas

dan kebutuhan, serta teknis pemanfaatannya

 

Langkah Pelaksanaan

1. Mempelajari SKL ketersediaan air, dan tentukan sumber-sumber air yang paling memungkinkan sebagai sumber air baku untuk pusat-pusat kegiatan dalam wilayah dan/atau kawasan (termasuk memperhitungkan jarak) berdasarkan SKL tersebut.

2. Memperhatikan juga penggunaan lahan yang ada saat ini, terutama yang berkaitan dengan

pemanfaatan air seperti pertanian, industri, dan lainnya.

3. Menentukan prioritas pemanfaatan sumber-sumber yang telah diarahkan tersebut sesuai

dengan tingkat kebutuhan dan ketersediaan, serta teknis eksploitasinya.

 

Arahan Pemanfaatan Air Baku

Kelas Kemampuan Lahan

Klasifikasi

Nilai

Kelas a

Sangat Rendah

1

Kelas b

rendah

2

Kelas c

Cukup

3

Kelas d

Baik

4

Kelas e

Sangat Baik

5

 

1) Dalam memberikan arahan pemanfaatan sumber-sumber air baku, berikan juga tindakan pengamanan pada sumber-sumber tersebut agar kesinambungan ketersediaan air dan keseimbangan tata air tetap terjaga.

2) Untuk arahan pemanfaatan air yang mengambil dari sumber penggunaan lain seperti irigasi, industri dan lainnya, hitung dengan teliti agar tidak menganggu sistem yang sudah ada.

 

5.       PERKIRAAN DAYA TAMPUNG LAHAN

Tujuan analisis

Data yang dibutuhkan

Keluaran

Mengetahui perkiraan jumlah

penduduk yang bisa ditampung di wilayah dan/atau kawasan, dengan pengertian masih dalam batas kemampuan lahan

Peta-peta:

• Proyeksi jumlah penduduk

•Standar kebutuhan air/hari/orang

• Peta Perkiraan Daya

tampung lahan

• Persyaratan

pengembangan

berdasarkan daya

tampung lahan

 

Langkah Pelaksanaan

1) Menghitung daya tampung berdasarkan ketersediaan air, kapasitas air yang bisa

dimanfaatkan, dengan kebutuhan air perorang perharinya disesuaikan dengan jumlah

penduduk yang ada saat ini, atau misalnya rata-rata 100 l/jiwa/hari (tergantung standar

yang digunakan).  Berikut ini merupakan contoh perhitungan ketersediaan sumber air

permukaan pada setiap satuan wilayah sungai

2) Menghitung daya tampung berdasarkan arahan rasio tutupan lahan dengan asumsi

masing-masing arahan rasio tersebut dipenuhi maksimum, dan dengan anggapan luas

lahan yang digunakan untuk permukiman hanya 50% dari luas lahan yang boleh tertutup

(30% untuk fasilitas dan 20% untuk jaringan jalan serta utilitas lainnya). Kemudian dengan

asumsi 1KK yang terdiri dari 5 orang memerlukan lahan seluas 100 m . Maka dapat

diperoleh daya tampung berdasarkan arahan rasio tutupan lahan ini sebagai berikut:

                                           

Daya tampung (n) =            50% {n % x luas lahan (m 2)}          x 5 (jiwa)

                                                               100

 3) Membandingkan daya tampung ini dengan jumlah penduduk yang ada saat ini dan

proyeksinya untuk waktu perencanaan. Untuk daerah yang melampaui daya tampung

berikan persyaratan pengembangannya 

 

6.       PERSYARATAN DAN PEMBATASAN PENGEMBANGAN

Tujuan analisis

Data yang dibutuhkan

Keluaran

Mengetahui persyaratan dan

Pembatasan pengembangan pada masing-masing arahan peruntukan, sesuai dengan

potensi dan kendala fisiknya.

1. Peta-peta:

• Semua SKL

• Klasifikasi kemampuan lahan

2. Data:

• Arahan Kesesuaian Lahan

• Persyaratan dan Batasan

pengembangan dari

masing-masing arahan

peruntukan lahan

•Gambaran penanggulangan kendala fisik

• Gambaran proporsi

pengembangan perkotaan

 

Langkah Pelaksanaan

1) Menginventarisasi kendala fisik masing-masing arahan peruntukan lahan berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan dan satuan-satuan kemampuan lahan.

2) Menginventarisasi batasan-batasan pengembangan pada masing-masing arahan peruntukan lahan menurut arahan-arahan kesesuaian lahan, klasifikasi kemampuan lahan, serta satuan-satuan kemampuan lahan.

3) Menentukan persyaratan dan pembatas pengembangan/pembangunan pada masingmasing peruntukan lahan berdasarkan hasil inventarisasi tersebut di atas.

 

7.       EVALUASI PENGGUNAAN LAHAN YANG ADA TERHADAP KESESUAIAN LAHAN

Tujuan analisis

Data yang dibutuhkan

Keluaran

Mengetahui penyimpangan

Atau ketidaksesuaian penggunaan lahan yang ada saat ini dilihat dari hasil studi kesesuaian lahan ini

1. Peta-peta:

• Penggunaan Lahan saat ini

• Semua SKL

• Klasifikasi Kemampuan

Lahan

2. Data:

• Arahan Kesesuaian Lahan

• Persyaratan dan Pembatas

pembangunan 

•Penyimpangan -penyimpangan

Penggunaan lahan yang ada saat ini dari kemampuan dan

Kesesuaian lahan.

•Arahan-arahan penyesuaian dan pengembangan berikutnya

 

Langkah Pelaksanaan

1) Membandingkan penggunaan lahan yang ada dengan karakteristik fisik wilayah

berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan, satuan-satuan kemampuan lahan, dan arahanarahan kesesuaian lahan.

2) Memberikan arahan penyesuaian penggunaan lahan yang ada saat ini dan pengembangan

selanjutnya berdasarkan persyaratan dan pembatas pembangunan.

 

ANALISIS KESESUAIAN LAHAN

 

Tujuan analisis

Data yang dibutuhkan

Keluaran

Untuk mengetahui

arahan-arahan

kesesuaian lahan,

sehingga diperoleh

arahan kesesuaian

peruntukan lahan

untuk

pengembangan

kawasan

berdasarkan

karakteristik fisiknya

• Klasifikasi Kemampuan

Lahan,

• Arahan Rasio Tutupan

Lahan,

• Arahan Ketinggian

Bangunan,

• Arahan Pemanfaatan Air

Baku,

• Perkiraan Daya Tampung

Lahan,

• Persyaratan/Pembatas

Pengembangan,

• Evaluasi Penggunaan

Lahan yang ada

• Peta Arahan Kesesuaian

Peruntukan Lahan

• Deskripsi pada tiap arahan peruntukan

 

Langkah Pelaksanaan

1) Melakukan lebih dahulu analisis masing-masing arahan kesesuaian lahan untuk memperoleh arahan-arahan kesesuaian lahan yang merupakan masukan bagi analisis peruntukan lahan ini.

2) Menentukan arahan peruntukan lahan berdasarkan klasifikasi kemampuan lahan dan arahan-arahan kesesuaian lahan di atas.

3) Dalam penentuan arahan peruntukan lahan ini, mengarahkan pada kondisi ideal sesuai dengan kemampuan dan kesesuaian lahannya, yang tentunya meliputi persyaratan/pembatas pengembangan, serta telah mengevaluasi penggunaan lahan yang

ada saat ini.

4) Mempertajam arahan ini dengan memasukkan hasil studi fisik/lingkungan yang ada, seperti: studi pertanian, kehutanan, analisis dampak lingkungan, dan lainnya.

5) Mendeskripsikan masing-masing arahan peruntukan, termasuk persyaratan dan pembatas

pengembangannya.

 

d.      Penyusunan Rekomendasi Kesesuaian Lahan

Penyusunan Rekomendasi Kesesuaian Lahan merupakan langkah terakhir yang harus dilakukan pada tahap analisis aspek fisik dan lingkungan ini.

 

Tujuan analisis

Data yang dibutuhkan

Keluaran

Merangkum

semua hasil studi

kesesuaian lahan dalam

satu rekomendasi

kesesuaian lahan untuk

pengembangan

kawasan, yang akan

menjadi masukan

bagi penyusunan

rencana pengembangan

kawasan

• Arahan kesesuaian

peruntukan lahan

• Penggunaan lahan

yang ada saat ini

• Kebijakan

Pengembangan

kota/wilayah yang

ada, baik dari pusat

maupun daerah

• Peta Rekomendasi

Kesesuaian Lahan.

•Kapasitas pengembangan lahan

• Deskripsi masingmasing

Arahan dalam rekomendasi tersebut, termasuk persyaratan

pengembangannya

 

 

 

Langkah Pelaksanaan

1) Membandingkan kembali arahan peruntukan lahan dengan penggunaan lahan yang ada saat ini.

2) Menyesuaikan arahan tersebut dengan penggunaan lahan yang ada saat ini dan perkiraan kecenderungannya, sejauh tidak terlalu menyimpang.

3) Menyesuaikan arahan peruntukan tersebut dengan kebijaksanaan pengembangan yang ada baik kebijaksanaan pusat maupun daerah serta sektoral.

4) Menentukan persyaratan pengembangan pada masing-masing arahan yang direkomendasikan, terutama dalam mengikuti kebijaksanaan yang ada.

5) Menentukan kapasitas pengembangan wilayah perencanaan.

6) Memberikan deskripsi masing-masing arahan kesesuaian lahan yang telah direkomendasikan tersebut.

 

Perhatikan..!!

1) Rekomendasi sejauh mungkin disesuaikan dengan kebijaksanaan pengembangan. Untuk kasus kebijaksanaan yang bertentangan dengan kesesuaian lahannya, arahan kesesuaian lahan diusahakan mengikuti kebijaksanaan namun dilengkapi dengan persyaratan dan pembatas pengembangannya.

2) Untuk arahan kesesuaian lahan yang bertentangan dengan kebijaksanaan tersebut, dalam rekomendasi bila memungkinkan dimasukkan pula perhitungan biaya pembangunan jika mengikuti kebijaksanaan tersebut, sehingga ketidak sesuaian ini bisa diterjemahkan dalam bentuk biaya.



Sumber: MODUL TERAPAN PEDOMAN TEKNIK ANALISIS ASPEK FISIK & LINGKUNGAN, EKONOMI SERTA  SOSIAL BUDAYA DALAM PENYUSUNAN RENCANA TATA RUANG