Tampilkan postingan dengan label Tanah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tanah. Tampilkan semua postingan

Jumat, 03 Juli 2020

Konsolidasi Tanah Perkotaan


a.       Pengertian Konsolidasi Tanah Perkotaan

Pasal 1 butir 1 Peraturan Kepala BPN Nomor 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, yang dimaksud dengan konsolidasi tanah adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Bertitik tolak dari pengertian secara yuridis tersebut, menurut Idham, pengertian yuridis diatas dapat diidentifikasikan menjadi beberapa elemen substansial dari konsolidasi tanah, yaitu (Supriadi, 2007: 263):
1)      Konsolidasi tanah merupakan kebijakan pertanahan;
2)      Konsolidasi tanah berisikan penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan usaha pengadaan tanah;
3)      Konsolidasi tanah bertujuan untuk kepentingan pembangunan, meningkatkan kualitas lingkungan, pemeliharaan sumber daya alam; dan
4)      Konsolidasi tanah harus dilakukan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Menurut A.P. Parlindungan, yang dimaksud dengan konsolidasi tanah perkotaan adalah menata tanah-tanah yang tidak teratur, dijadikan daerah yang teratur, dengan jalan, sanitasi, listrik, air bersih, perlengkapan suatu desa, dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, dan menjaga ekosistem atau lingkungan hidup yang lebih baik (A.P. Parlindungan, 1992 : 73). Sedangkan pengertian konsolidasi tanah perkotaan menurut Eddy Ruchiyat dalam bukunya Politik Pertanahan Nasional Sampai Orde Reformasi, konsolidasi tanah perkotaan adalah merupakan upaya penataan pemilikan atau penguasaan, penggunaan tanah dalam rangka peremajaan kota (Eddy Ruchiyat, 1999: 119).
Dari beberapa definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan konsolidasi tanah perkotaan adalah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah di daerah perkotaan/ permukiman bagi kepentingan pembangunan prasarana dan fasilitas umum serta peningkatan kualitas lingkungan dengan melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat.
Dalam kenyataannya di negara Indonesia, konsolidasi tanah perkotaan merupakan suatu kegiatan penataan kembali penguasaan dan penggunaan tanah yang diperuntukkan bagi areal permukiman. Dalam arti, pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan lebih dititikberatkan pada pengaturan tanah untuk kepentingan permukiman saja.

b.      Konsolidasi Tanah Perkotaan Sebagai Salah Satu Kebijakan Tanah Perkotaan

Menurut J. Zwaenepoel, ciri-ciri khas urbanisasi yang spontan adalah membangun secara serampangan/ kacau. Tingginya tingkat urbanisasi menyebabkan pertumbuhan perkampungan yang tidak teratur dengan kualitas lingkungan yang rendah (permukiman kumuh), karena
kurangnya prasarana dan rendahnya fasilitas lingkungan yang dibutuhkan (Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, 1996: 20).
Hal tersebut menjadikan konsolidasi tanah perkotaan sebagai salah satu alternatif kebijakan tanah perkotaan untuk menanggulangi masalah perkotaan, didasarkan pada bagaimanakah bentuk masalah-masalah perkotaan itu dan hal-hal apa yang menjadi keunggulan konsolidasi tanah perkotaan dalam mengatasi permasalahan tanah perkotaan tersebut. Bentuk masalah tanah perkotaan, khususnya mengenai permukiman adalah sekitar ketidakjelasan dan ketidakteraturan penguasaan dan penggunaannya. Sedangkan keunggulan konsolidasi tanah perkotaan adalah:
1)      merupakan metode pembangunan tanah perkotaan yang sekaligus menata kembali penguasaan dan penggunaan tanah;
2)      mampu mengatasi kelemahan metode pengadaan tanah konvensional, seperti pembebasan tanah; dan
3)      merupakan kegiatan yang mewujudkan dan mengimplementasikan rencana umum tata ruang (RUTR) disuatu daerah (Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, 1996: 20).
Melalui konsolidasi tanah perkotaan status penguasaan akan menjadi berkepastian hukum, karena produk akhir dari konsolidasi tanah perkotaan di Indonesia adalah sertipikat sebagai bukti penguasaan dan pemilikan hak atas tanah yang paling kuat. Melalui konsolidasi tanah perkotaan juga akan dilakukan penataan fisik tanah, sehingga setelah pelaksanaan konsolidasi tanah, penggunaan tanah perkotaan akan semakin efektif dan efisien, dan dengan demikian tanah tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal, seimbang, dan lestari. Jelaslah, bahwa konsolidasi tanah perkotaan dapat dijadikan alternatif pemecahan masalah penguasaan dan penggunaan tanah, karena konsolidasi tanah adalah metode pembangunan pertanahan yang mengkombinasikan aspek hukum dari penguasaan dan pemilikan tanah serta aspek fisik dari penggunaan tanah.

c.       Ciri Karakteristik dan Manfaat Konsolidasi Tanah Perkotaan

Menurut Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, yang menjadi ciri karakteristik dari konsolidasi tanah perkotaan adalah (Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, 1996: 36-37):
1)      Konsolidasi tanah perkotaan bukan sekedar penataan dari segi fisik, melainkan juga dari segi hukum. Bahkan boleh dikatakan, bahwa konsolidasi tanah di Indonesia lebih merupakan persoalan hukum mengenai penguasaan tanah. Karena itulah mengapa hanya BPN yang secara fungsional sebagai pelaksana konsolidasi tanah di Indonesia;
2)      Konsolidasi tanah perkotaan menghemat dana pengadaan tanah. Selama ini pengadaan tanah untuk kepentingan prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya selalu terbentur pada keterbatasan dana pengadaan tanah. Bahkan banyak pula rencana kota sulit dilaksanakan karena meskipun suatu wilayah sudah dialokasikan untuk prasarana dan fasilitas umum lingkungan perkotaan misalnya, namun perolehan tanah itu sangat sulit terealisasi karena keterbatasan dana untuk membebaskannya dari masyarakat; dan
3)      Kesesuaian pranata konsolidasi tanah perkotaan dengan faktor sosial budaya masyarakat Indonesia. Ini merupakan faktor pendorong, apalagi pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan di Indonesia didasarkan pada persetujuan para pemilik tanah. Pelaksanaan musyawarah untuk memperoleh kesepakatan antara pihak BPN sebagai pelaksana konsolidasi tanah perkotaan di satu pihak dengan pemilik tanah atau yang menguasai tanah di lain pihak.
Menurut Peter C.H. Hsieh, salah satu ciri karakteristik konsolidasi tanah perkotaan adalah dinikmatinya keuntungan dan ditanggungnya beban pelaksanaan secara seimbang (Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, 1996: 37). Hal ini dapat dikatakan sebagai ciri karakteristik, sebab konsolidasi tanah perkotaan sebagai suatu kebijaksanaan penyediaan tanah untuk pembangunan (prasarana jalan dan fasilitas umum) mengikutsertakan pemilik tanah dalam proses pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan tersebut. Apalagi hingga saat ini pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan masih tetap didasarkan pada persetujuan para pemilik tanah. Partisipasi pemilik tanah merupakan kunci keberhasilan pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan.
Keterlibatan para pemilik tanah ini secara jelas terlihat dari adanya tanah peran serta (sharing) yang dulu disebut Sumbangan Wajib Tanah Untuk Pembangunan (SWTP) dan sekarang disebut Sumbangan Tanah Untuk Pembangunan (STUP). Menurut Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 dan Surat Kepala BPN No. 410-4245 tanggal 7 Desember 1991, STUP digunakan untuk:
1)      Prasarana jalan dan fasilitas umum lainnya; dan
2)      Pembiayaan pelaksanaan konsolidasi tanah yang diekuivalenkan dengan tanah (tanah untuk pelaksanaan konsolidasi tanah ini disebut Tanah Pengganti Biaya Pembangunan).
Konsolidasi tanah perkotaan dilaksanakan karena mempunyai manfaat bagi lingkungan, masyarakat, dan pemerintah. Manfaat yang dapat ditarik dari pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan adalah sebagai berikut (A.P. Parlindungan, 1992 : 74-75):
1)      Mempercepat penyelesaian pembangunan prasarana dan fasilitas perkotaan sesuai dengan tata kota yang dilakukan secara berkesinambungan;
2)      Meningkatkan daya guna tanah karena bentuk persil-persil tanah yang semula tidak beraturan menjadi teratur, berbentuk empat persegi, masing-masing menghadap jalan, dan siap dibangun;
3)      Menghemat pengeluaran pemerintah untuk ganti rugi tanah, dan biaya pembangunan prasarana dan fasilitas kota karena biaya-biaya tersebut ditanggung bersama secara adil oleh para pemilik tanah;
4)      Walaupun ada pengurangan luas pemilikan tanah, namun nilai pemilikan tanahnya setelah konsolidasi akan tetap sama bahkan meningkat;
5)      Menghindari pemindahan penduduk dari lokasi semula karena setelah konsolidasi para pemilik akan menerima kembali tanahnya dalam bentuk dan kondisi yang lebih menguntungkan;
6)      Dapat dijadikan dasar dalam pembinaan dan pembangunan masyarakat kota yang dinamis untuk berperan serta dalam pembangunan kota, serta dapat mencegah timbulnya kerawanan sosial akibat perbedaan lingkungan permukiman;
7)      Mempercepat kegiatan administrasi pertanahan dan menunjang sistem perpajakan tanah yang lebih akurat dan adil;
8)      Persil-persil tanah pengganti biaya pembangunan proyek/ TPBP (Cost Equivalent Land), pada prioritas pertama dapat dimanfaatkan bagi kepentingan penyediaan rumah murah/ rumah susun;
9)      Tanah-tanah yang sudah dikonsolidasi dapat dibangun sendiri oleh pemilik tanah atau atas bantuan kredit pemilikan rumah (KPR);
10)   Mencegah spekulasi kenaikan harga tanah langsung dinikmati oleh pemilik tanah asal, dan secara keseluruhan dapat menciptakan stabilitas harga.
Berdasarkan manfaat konsolidasi tanah perkotaan diatas, konsolidasi tanah perkotaan dapat dijadikan alternatif didalam upaya penyediaan tanah untuk pembangunan yang bermanfaat bagi masyarakat, termasuk pemilik tanah dan pemerintah. Melalui konsolidasi tanah perkotaan dapat disediakan tanah bagi pembangunan untuk memecahkan masalah permukiman, meningkatkan pembangunan permukiman untuk memenuhi kebutuhan pertambahan penduduk yang cepat, dan dengan konsolidasi tanah perkotaan dapat melengkapi fasilitas umum permukiman, meningkatkan sanitasi lingkungan permukiman serta dapat meningkatkan kualitas lingkungan permukiman menjadi lebih baik.
d.      Maksud, Tujuan, dan Sasaran Konsolidasi Tanah Perkotaan
Dengan memperhatikan maksud, tujuan, dan sasaran konsolidasi tanah yang termaktub dalam Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 dan Surat Kepala BPN No. 410-4245 tanggal 7 Desember 1991, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa maksud konsolidasi tanah perkotaan adalah untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pengadaan tanah bagi kepentingan pembangunan serta merupakan upaya pemeliharaan sumber daya alam dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.
Tujuan konsolidasi tanah perkotaan adalah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal, seimbang, dan lestari dengan meningkatan efisiensi penggunaan tanah di wilayah perkotaan Adapun tujuan konsolidasi tanah perkotaan dapat diwujudkan dalam bentuk (Direktorat Pengaturan Penguasaan Tanah Badan Pertanahan Nasional, 1990 : 11):
1)      Konsolidasi tanah perkotaan bertujuan untuk menertibkan penguasaan dan penggunaan tanah serta menciptakan lingkungan permukiman yang teratur, tertib, dan sehat sesuai dengan prinsip ATLAS. Karena membantu dalam implementasi Rencana Teknis Tata Ruang Kota (RTTRK), keperluan tanah untuk jaringan-jaringan jalan dan rencana sarana lainnya dalam lingkungan tersebut dibebankan pada para peserta konsolidasi masyarakat pemilik tanah tanpa pembebasan tanah (pembayaran ganti rugi);
2)      Sebagai kompensasinya, maka segala sesuatu yang berkenaan dengan pemberian hak, pengukuran, sertipikat tanah, dan lain-lain biayanya dibebankan kepada proyek, kecuali pembayaran uang pemasukan kepada negara bagi tanah yang masih berstatus tanah negara;
3)      Dengan demikian konsolidasi tanah perkotaan mempunyai sasaran sejak sedini mungkin berusaha untuk menghindari terjadinya daerah/ lingkungan permukiman yang kumuh dan tidak teratur.
Sasaran konsolidasi tanah perkotaan adalah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan penggunaan tanah yang tertib dan teratur di wilayah perkotaan. Sasaran konsolidasi tanah perkotaan terutama ditujukan pada wilayah-wilayah sebagai berikut (Surat Kepala BPN N0. 41-4245 tanggal 7 Desember 1991):
1)      Wilayah permukiman kumuh;
2)      Wilayah permukiman yang tumbuh pesat;
3)      Wilayah permukiman yang mulai tumbuh;
4)      Wilayah yang direncanakan menjadi permukiman baru; dan
5)      Wilayah yang relatif kosong di bagian pinggiran kota yang diperkirakan akan berkembang sebagai daerah permukiman.

e.       Pelaksanaan Konsolidasi Tanah Perkotaan

Ada 2 (dua) macam metode pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan, yaitu dengan metode wajib dan metode sukarela. Dalam metode sukarela pelaksanaannya berdasarkan persetujuan pemilik tanah, sedangkan dalam metode wajib dilaksanakan apabila inisiatif datang dari
pemerintah dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut Maria SW Soemardjono, metode pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan yang berlaku di Indonesia adalah campuran antara metode wajib dan sukarela. Sesuai dengan definisinya tampak bahwa konsolidasi tanah perkotaan bersifat wajib bila dilihat dari inisiatifnya. Namun bila dilihat secara substansial, persetujuan pemilik tanah sangat menentukan pelaksanaan program ini, walaupun inisiatif berasal dari pemerintah (Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, 1996: 71).
Pasal 4 ayat (2) Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 menyatakan bahwa konsolidasi tanah hanya dapat dilaksanakan apabila sekurang-kurangnya 85% dari pemilik tanah yang luas tanahnya meliputi sekurang-kurangnya 85% dari luas seluruh areal tanah yang akan dikonsolidasi, menyatakan persetujuannya. Hal ini dapat menunjukkan bahwa sebenarnya metode pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan di Indonesia tetap metode sukarela. Oleh karena sesuai dengan nilai kekeluargaan dan kegotongroyongan yang masih menjadi ciri karateristik bangsa Indonesia yang terbukti mampu menjadi modal dasar yang menguntungkan dalam pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan.
Berdasarkan uraian Pasal 4 ayat (2), dapat ditegaskan bahwa tanpa persetujuan para pemilik tanah, BPN sebagai pihak pelaksana tidak memiliki kewenangan untuk melakukan konsolidasi tanah perkotaan. Dengan demikian, dasar hukum materil pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan adalah hukum perdata, dalam hal ini hukum perikatan yang timbul dari perjanjian (Oloan Sitorus dan Balans Sebayang, 1996: 71-72).
Sikap untuk melaksanakan konsolidasi tanah perkotaan dengan metode sukarela secara tidak langsung dapat merangsang lahirnya inisiatif masyarakat untuk melaksanakan konsolidasi tanah perkotaan secara swadaya, seperti ide dasar dari Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah.
Pelaksanaan konsolidasi tanah di Indonesia selama ini, setelah dikeluarkannya Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 1991 sudah banyak pelaksanaan konsolidasi tanah yang dilaksanakan secara swadaya, yaitu dengan cara pengajuan Daftar Usulan Rencana Kegiatan (DURK) Konsolidasi Tanah kepada Kepala Kanwil BPN Provinsi. DURK ini akan ditetapkan menjadi Daftar Rencana Kegiatan Konsolidasi Tanah oleh Kepala Kanwil BPN Provinsi.
Konsolidasi tanah perkotaan merupakan kegiatan pembangunan yang dilaksanakan secara terpadu oleh instansi yang terkait dengan melibatkan partisipasi dari masyarakat, dalam hal ini masyarakat pemilik tanah yang tanahnya terkena kegiatan konsolidasi tanah perkotaan. Adapun kegiatan operasional konsolidasi tanah perkotaan dapat dibagi dalam 3 tahap, yaitu (Kantor Pertanahan Kabupaten Wonogiri):
1)      Tahap I (persiapan) meliputi:
a.       Pencarian dan pemilihan rencana lokasi.
b.       Penyuluhan atau penyebaran informasi tentang pelaksanaan konsolidasi tanah.
c.       Penjajagan kesepakatan masyarakat pemilik tanah di wilayah konsolidasi tanah.
d.       Penetapan lokasi konsolidasi tanah perkotaan berdasarkan kesepakatan para pemilik tanah.
e.       Pengajuan Daftar Usulan Rencana Kegiatan Konsolidasi Tanah Perkotaan (DURK).
2)      Tahap II (pendataan) meliputi:
a.       Identifikasi subyek dan obyek pemilikan tanah di calon rencana lokasi, yaitu identifikasi pemilikan penguasaan tanah dan Riwayat tanah
b.       Pengukuran dan pemetaan:
·         Pengukuran dan pemetaan keliling yang hasilnya berupa peta keliling tanah;
·         Pengukuran dan pemetaan rincian yang hasilnya berupa peta kapling yang menggambarkan semua ukuran bentuk serta posisi tiap bidang tanah dalam lokasi; dan
·         Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah
3)      Tahap III (penataan) meliputi:
a)       Pembuatan peta blok plan lokasi yang merupakan peta pra desain tata ruang.
b)      Pembuatan peta desain tata ruang/ desain konsolidasi tanah perkotaan.
Peta desain tata ruang disusun berdasarkan peta rincikan dan peta blok plan. Peta desain konsolidasi tanah perkotaan ini lengkap dengan bentuk, letak, dan ukuran kapling-kapling baru (setelah dipotong sumbangan tanah) serta rencana lokasi prasarana/ fasilitas umum yang dibutuhkan. Pengesahan peta desain konsolidasi tanah perkotaan ditandatangani oleh Kepala Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten/ Kota, Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota, dan Kepala Bappeda Kabupaten/ Kota;
c)       Musyawarah desain konsolidasi tanah perkotaan.
Melakukan musyawarah dengan para pemilik tanah mengenai desain konsolidasi tanah perkotaan dalam rangka realokasi (pengkaplingan baru di lapangan).
d)      Pelepasan hak atas tanah oleh peserta konsolidasi.
Untuk pelepasan hak atas tanah oleh peserta konsolidasi diperlukan surat pernyataan pelepasan hak atas tanah oleh para peserta konsolidasi tanah yang kemudian diusulkan kepada Kepala Kanwil BPN Provinsi untuk ditegaskan sebagai tanah negara
obyek konsolidasi tanah perkotaan.
e)      Penegasan tanah sebagai obyek konsolidasi tanah.
Lokasi konsolidasi tanah perkotaan harus ditegaskan sebagai tanah negara sebagai obyek konsolidasi tanah perkotaan oleh Kepala Kanwil BPN Provinsi. Dalam Keputusan Kepala Kanwil BPN Provinsi tentang penegasan tanah negara sebagai obyek konsolidasi tanah perkotaan tersebut sekaligus ditetapkan peruntukan tanah yang bersangkutan untuk tanah pertanian atau nonpertanian, dan apabila tanah yang bersangkutan telah terlebih dahulu ditetapkan sebagai obyek landreform, maka dengan penegasannya sebagai obyek konsolidasi tanah, tanah tersebut bukan lagi merupakan obyek landreform.
f)        Staking out/ realokasi.
Kegiatan ini meliputi pengukuran dan pemasangan patok-patok batas kapling baru, pemasangan tanda untuk batas jalan/ parit, dan prasarana umum lainnya.
g)       Pekerjaan konstruksi.
Berdasarkan hasil realokasi, maka dilakukan pekerjaan pembuatan badan jalan dengan penggalian parit di sisi kiri dan kanan jalan serta pembuatan fasilitas umum lainnya.
h)      Penerbitan surat keputusan pemberian hak milik
Setelah terbit surat keputusan Kepala Kanwil BPN tentang penegasan tanah negara sebagai obyek konsolidasi tanah perkotaan, maka Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat segera menindaklanjutinya dengan menerbitkan surat keputusan pemberian hak milik atas tanah negara obyek konsolidasi tanah perkotaan kepada peserta konsolidasi tanah perkotaan.
i)        Sertipikasi
Setelah diterbitkan surat keputusan pemberian hak milik atas tanah negara obyek konsolidasi tanah perkotaan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/ Kota setempat, maka dapat diterbitkan sertipikat hak milik atas nama masing-masing peserta konsolidasi yang berhak setelah peserta tersebut menyelesaikan kewajibannya.

Pelaksanaan konsolidasi tanah perkotaan menuntut atau menghendaki adanya kegiatan yang terpadu, baik antara komponen BPN maupun instansi-instansi terkait lainnya. Keadaan tersebut perlu dibentuk Tim Pembantu, yaitu Tim Koordinasi Pelaksanaan Kegiatan Konsolidasi Tanah Perkotaan di Kabupaten/ Kota dan Tim Pengendalian di Provinsi.


Sumber:
1.       Skripsi “PELAKSANAAN KONSOLIDASI TANAH PERKOTAAN SECARA SWADAYA DALAM RANGKA PENINGKATAN KUALITAS LINGKUNGAN PERMUKIMAN” oleh Aprilian Dwi Raharjanto, Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2008
2.       PERATURAN KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL NOMOR 4 TAHUN 1991 TENTANG “KONSOLIDASI TANAH”
3.       SE Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 410-1978 Tahun 1996 Tentang “Petunjuk Teknis Konsolidasi Tanah”