Tampilkan postingan dengan label Rencana Detail Tata Ruang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rencana Detail Tata Ruang. Tampilkan semua postingan

Rabu, 07 Agustus 2024

MENGUKUR PERAN RDTR DALAM PENINGKATAN INVESTASI DAN PENGEMBANGAN WILAYAH

RENCANA Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi dokumen penting dalam peningkatan investasi yang mulai dikemukakan sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik. Pelaku usaha wajib memiliki izin usaha yang diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission (OSS). Izin usaha diterbitkan setelah lembaga OSS menerbitkan salah satunya adalah izin lokasi berdasarkan komitmen. Jika lokasi yang dimohonkan pelaku usaha sudah sesuai dengan RDTR, izin lokasi dapat diberikan tanpa komitmen. PP Nomor 24 tahun 2018 yang sudah diperbaharui dengan PP No. 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan Berbasis Risiko ini memberikan ruang kemudahan untuk berinvestasi apabila lokasi usaha sudah memiliki RDTR, sehingga RDTR menjadi dokumen yang sangat penting untuk perizinan berusaha.

Terbitnya Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) menguatkan Rencana Tata Ruang sebagai panglima dari proses investasi di Indonesia. RDTR menjadi ujung tombak referensi dalam proses perizinan sehingga dibutuhkan penyediaan RDTR dengan kualitas yang baik. Percepatan penyediaan RDTR ini menjadi program utama dalam memberikan kepastian untuk peningkatan investasi. Beberapa terobosan yang dilakukan melalui UUCK dan peraturan turunannya yaitu PP No. 21 tahun 2021 dan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 11 tahun 2021 terhadap percepatan penyediaan RDTR antara lain:

1. Batasan waktu penyelesaian RDTR menjadi 12 bulan yang meliputi 8 bulan untuk proses penyusunan dan 4 bulan untuk proses penetapan.

2. RDTR ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang menjadi kewenangan Wali Kota/Bupati yang proses penetapannya tidak perlu melalui proses pembahasan dengan legislatif yang dapat memakan waktu cukup lama.

3. Pemberian surat persetujuan substansi sebagai syarat penerbitan Perkada RDTR memiliki batas waktu 20 hari kerja setelah dilakukan pembahasan lintas sektor.

4. Wali Kota/Bupati hanya memiliki waktu 1 (satu) bulan untuk menetapkan Perkada RDTR pasca penerbitan surat persetujuan substansi dari Kementerian ATR/BPN.

5. Adanya kepastian RDTR akan ditetapkan sebagai peraturan dengan pengambilalihan penetapan RDTR menjadi Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN apabila dalam 1 bulan RDTR tidak ditetapkan menjadi Perkada.

Sebagai dasar pemberian izin melalui sistem OSS, dukungan standar basis data untuk proses digitalisasi sangat dibutuhkan. RDTR yang disusun harus menyesuaikan dengan standar basis data sehingga dapat dibaca oleh sistem OSS. Standar basis data untuk penyusunan RDTR telah diatur dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 14 tahun 2021. Selain itu, dukungan pemanfaatan teknologi informasi juga telah dikembangkan dengan berbagai platform online, seperti GISTARU, RTR online dan RDTR interaktif.



Peningkatan jumlah RDTR ini tidak terlepas dari berbagai pihak, baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang berkepentingan terhadap peningkatan ekonomi, Badan Informasi Geospasial selaku walidata peta dasar skala besar, Kementerian Lingkungan Hdup dan Kehutanan berkaitan dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Kementerian Keuangan yang memberikan dana tambahan, Kantor Staf Presiden dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi. Kementerian ATR/BPN sebagai pembina penataan ruang di daerah berkewajiban untuk mengawal penyelesaian RDTR hingga diintegrasikan dengan sistem OSS dengan kualitas yang baik.

RDTR dan Sistem OSS

Berdasarkan PP Nomor 5 tahun 2021, pelaksanaan perizinan berusaha berbasis risiko dilakukan secara elektronik dan terintegrasi melalui sistem OSS. Terdapat tiga subsistem dari sistem OSS, yaitu subsistem pelayanan informasi, susbsistem perizinan berusaha, dan subsistem pengawasan. Dalam subsistem pelayanan informasi, sistem OSS menyediakan informasi dalam memperoleh perizinan berusaha berbasis risiko yang diantaranya memuat KBLI, rencana tata ruang dan juga persyarataan dasar yang meliputi KKPR, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi serta persetujuan lingkungan. Mengacu kepada pengaturan PP Nomor 5 tahun 2021, RDTR mempunyai peran dalam percepatan investasi yaitu:

1. RDTR menyediakan informasi awal pelaku usaha terkait lokasi kegiatan usaha yang dimohonkan (subsistem pelayanan informasi OSS)

2. RDTR membantu percepatan perizinan berusaha OSS RBA. Konfirmasi KKPR dapat diterbitkan secara otomatis pada lokasi dimana sudah tersedia RDTR terintegrasi dengan OSS

Untuk dapat menjadi dasar penerbitan konfirmasi KKPR, ada proses yang perlu dilakukan terlebih dahulu yaitu mengintegrasikan RDTR yang sudah ditetapkan ke dalam sistem OSS. Proses integrasi ini belum sepenuhnya dipahami oleh berbagai pihak, terutama pemerintah daerah yang akan melakukan integrasi tersebut.

Mekanisme integrasi RDTR dengan sistem OSS RBA, secara substansi sudah dimulai sejak penyusunan RDTR. Salah satu proses yang perlu dilakukan dalam integrasi RDTR ke dalam sistem OSS adalah melakukan digitalisasi muatan RDTR (Intensitas Pemanfaatan Ruang, Ketentuan Tata Bangunan, ITBX, dan Peta). Digitalisasi dilakukan oleh pemerintah daerah dengan bimbingan dari Kementerian ATR/BPN c.q. Direktorat Jenderal Tata Ruang. Proses digitalisasi muatan RDTR sudah dimulai sejak surat persetujuan substansi RDTR ditandatangani oleh Menteri ATR/kepala BPN, c.q. Direktur Jenderal Tata Ruang. Setelah proses digitalisasi selesai, proses integrasi ke dalam sistem OSS mulai dilakukan. Proses integrasi dilakukan oleh kementerian investasi/BKPM setelah melakukan uji coba terlebih dahulu. Berikut alur integrasi RDTR dengan sistem OSS RBA:




Perkembangan integrasi RDTR antara GISTARU-RDTR Interaktif dengan OSS RBA, masih jauh dari yang diharapkan. Sampai dengan bulan Februari 2024, jumlah RDTR yang telah terintegrasi dengan sistem OSS baru 210 RDTR. Kecepatan integrasi RDTR OSS belum dapat mengimbangi terbitnya Perkada RDTR. Hal ini tentunya menjadi tantangan ke depan bagaimana proses integrasi bisa dilakukan secara lebih cepat dan efisien, mengikuti kecepatan proses penyelesaian RDTR di daerah.



RDTR dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)

Konfirmasi KKPR yang diterbitkan oleh sistem OSS – RBA tidak terlepas dari jenis kegiatan usaha yang akan dimohonkan. Tabel ITBX adalah tabel yang mengatur berbagai jenis kegiatan usaha yang dapat diizinkan (I), diizinkan bersyarat (B), diizinkan terbatas (T) atau dilarang (X) pada zona/sub zona pola ruang. Kegiatan usaha yang diatur dalam tabel ITBX RDTR untuk sistem OSS-RBA ini mengacu kepada jenis kegiatan usaha berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik.

KBLI merupakan pengklasifikasian aktivitas/kegiatan ekonomi Indonesia yang menghasilkan produk/ output, berupa barang maupun jasa, berdasarkan lapangan usaha. KBLI disusun berdasarkan Internasional Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) yang diterbitkan oleh United Nations of Statistical Division (UNSD). KBLI disempurnakan paling cepat 5 tahun sekali atau jika ada rujukan internasional terbaru. KBLI terakhir diterbitkan adalah KBLI 2020 (Peraturan BPS No. 2/2020).

Ruang lingkup klasifikasi KBLI terbatas pada unit yang terlibat dalam aktivitas ekonomi, yang ditandai adanya input, proses produksi, dan menghasilkan output. Dalam klasifikasi, seluruh data dikelompokkan ke dalam kelas-kelas yang sehomogen seusai kaidah atau standar tertentu. Kegiatan yang memiliki proses yang sama, baik menggunakan mesin atau manual dalam memproduksi barang atau jasa, dikelompokkan bersama dalam satu kode KBLI. Struktur pengkodean KBLI terbagi atas: Kategori (Alfabet), Golongan pokok (2 digit), Golongan (3 digit), Sub golongan (4 digit) dan Kelompok (5 digit).

Contoh struktur Pengkodean KBLI 2020 sebagai berikut :

Penyusun RDTR perlu memahami dan memperhatikan jenis kegiatan usaha atau kodefikasi kegiatan berusaha dalam KBLI 2020. Strukturisasi data, terminologi, karakteristik/sifat, kebutuhan ruang, dan aturan sektoral terkait pada setiap KBLI kegiatan menjadi penting di dalam pengaturan pada tiap-tiap alokasi ruang. Untuk kode KBLI yang dimuat dalam tabel ITBX, sebaiknya menggunakan KBLI digit 5. Namun, sistem OSS masih bisa membaca kode KBLI sampai digit 3.

Tantangan Implementasi RDTR Sebagai Dasar Perizinan

RDTR terintegrasi OSS menjadi dasar pemberian KKKPR sudah menjadi peraturan yang harus dilalui dalam proses perizinan. Perizinan berbasis sistem OSS bertujuan mengurangi peluang indikasi korupsi dalam bidang perizinan. Adanya sistem OSS dapat mereduksi waktu proses perizinan berusaha sehingga diharapkan dapat mempercepat ralisasi investasi.

Memperhatikan jumlah pertambahan jumlah RDTR terintegrasi OSS yaitu 210 RDTR (status Februari 2024), juga diikuti dengan peningkatan jumlah KKKPR yang terbit sampai dengan awal tahun 2024 sejumlah 191.277 K-KKPR. Dengan pertambahan jumlah KKKPR, diharapkan RDTR ikut membantu percepatan investasi.



Dinamika pembangunan menjadi salah satu tantangan dari RDTR. Terdapat beberapa daerah yang mengajukan permohonan untuk perubahan muatan RDTR sebelum satu tahun Perkada tersebut ditetapkan. Sebagian besar perubahan yang diinginkan disebabkan adanya pengaturan peraturan zonasi khususnya tabel ITBX yang kurang lengkap pada suatu RDTR yang menyebabkan permohonan KKKPR tertolak.

Terhadap daerah yang mengajukan permohonan perubahan, sejauh ini yang sudah dilakukan untuk mengakomodir permohonan investasi tersebut adalah: (a) Jika jenis kegiatan yang dimohonkan sudah diatur dalam RDTR, meskipun tidak muncul kode KBLI-nya, akan dilakukan mapping KBLI dan mengubah Data Base Peraturan Zonasi (DBPZ). (b) Jika jenis kegiatan dimohonkan sama sekali tidak diatur dalam RDTR, harus dilakukan revisi RDTR. Tantangan selanjutnya adalah beberapa RDTR yang disusun tidak mengikuti pengaturan dari RTRWK yang berlaku saat itu (tidak compliance).

RDTR merupakan pendetailan dari RTRWK yang seyogyanya pengaturan dari RDTR sejalan dengan RTRWK yang berlaku. Permasalahan akan muncul ketika revisi RTRWK diindikasikan bahwa muatan dalam RDTR yang disusun menjadi sebuah pemutihan. Pelanggaran yang mungkin terjadi belum sempat ditindaklanjuti dengan penyelesaian pelanggarannya, namun sudah dilegalkan dengan adanya RDTR. Sehingga dalam penyusunan RDTR perlu kehati-hatian dan memperhatikan hasil audit yang pernah dilakukan.

Strategi untuk RDTR yang Berkualitas di Masa Mendatang

1.     Strategi kedepan terkait dengan data, yaitu:

• mendorong pemanfaatan data IGT kebijakan satu peta;

• mendorong walidata untuk menyediakan IGT penyusunan RDTR;

• percepatan penyediaan peta dasar skala 1:5.000;

• mendorong pengembangan Big Data yang sudah menggunakan sharing data dari K/L.

2.     Strategi ke depan terkait proses integrasi RDTR ke dalam sistem OSS:

• Penyederhanaan proses dan prosedur integrasi RDTR ke dalam sistem OSS serta sosialisasi secara intensif kepada pemerintah daerah terkait mekanisme integrasi RDTR ke dalam sistem OSS;

• Perlunya penyesuaian daftar kegiatan RDTR dengan KBLI OSS, dibutuhkan pedoman matriks alokasi ruang antara kegiatan ruang RDTR dengan kode KBLI pada masing – masing sektor. Dalam proses penyusunan RDTR perlu mencantumkan jenis kegiatan usaha (KBLI) mempertimbangkan prospek investasi melibatkan DPMPTSP

• Peningkatan algoritma logic d a n pengembangan fitur sehingga sistem OSS dapat membaca secara utuh muatan RDTR: peningkatan algoritma logic untuk permohonan yang lebih kompleks (contoh: multi KBLI pada satu lokasi yang memiliki RDTR, lintas zona RDTR dan non RDTR, multi ketentuan khusus pada satu lokasi)

• Penyesuaian data dan informasi yang mendukung memastikan tampilnya seluruh ketentuan terkait ITBX dalam produk KKKPR, perlu standarisasi format inputan data

• Peningkatan kapasitas infrastruktur digital: peningkatan kapasitas infrastruktur digital dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih optimal serta migitasi risiko bila layanan KKKPR RDTR OSS tidak berjalan.

3.     Untuk mengoptimalkan RDTR agar mampu memberikan kepastian dalam proses investasi, kualitas RDTR perlu ditingkatkan. Strategi untuk meningkatkan kualitas dilakukan dengan:

• RDTR harus disusun dengan analisis berbasis rencana (bukan eksisting) berdasarkan kondisi wilayah secara spasial,

• mengoptimalisasi peruntukan lahan dengan mempertimbangkan pertambahan nilai lahan,

• m e l a ku k a n a n a l i s i s o p t i m a s i K B L I berdasarkan analisis potensi investasi berbasis skenario,

• optimalisasi pengaturan ITBX dan penerapan teknik pengaturan zonasi.

Di masa mendatang diharapkan RDTR dapat menjadi lebih mudah dipahami dan hasil yang berkualitas dan didukung dengan sistem OSS yang optimal. KKKPR yang diterbitkan sesuai dengan apa yang diatur dalam RDTR dan tidak menimbulkan konflik di kemudian hari. Peran RDTR dalam peningkatan investasi dan pengembangan wilayah semakin jelas menunjukan tata ruang adalah panglima pembangunan.

 


 

 

 

 

 

Sumber : oleh Reny Windyawati, ST, MSc dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi I | Januari - April 2024

Kamis, 15 Februari 2024

Short-Review List Kompetensi Teknis dan Levelling Penyusun Rencana Detail Tata Ruang

“Organisasi yang sehat punya visi pemenuhan tuntutan kompetensi hingga puluhan tahun ke depan. Target kompetensi tertinggi tersebut kemudian harus diuraikan ke dalam level-level kompetensi sampai ke level paling dasar yang harus dipenuhi pada tahun terdekat. Penetapan kedalaman/levelling kompetensi tersebut bermanfaat untuk mengantisipasi perbedaan karakteristik wilayah perencanaan yang akan disusun Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) nya. Ada wilayah perencanaan yang punya topografi variatif dan kondisi geologi yang sensitif, ada pula hamparan dataran perkotaan yang sangat padat. Keragaman tersebut memerlukan jenis dan tingkat kepakaran yang berbeda yang berimplikasi pada perbedaan biaya. Standar biaya penyusunan RDTR berbasis level kompetensi dan kompleksitas kawasan mendesak diperlukan kehadirannya.”

List Kompetensi Teknis Penyusunan RDTR dan Levelling Kompetensinya

Kompetensi manajerial adalah kemampuan pimpinan (team leader) mendayagunakan kerjasama antar individu yang memiliki beragam kompetensi teknis untuk mencapai tujuan tim sebaik mungkin dengan cara kolaboratif, se-efektif, d a n s e - e f i s i e n m u n g k i n . Kompetensi teknis adalah kemampuan spesifik individu untuk mengolah suatu bahan/ masukan (input) menjadi produk/keluaran (output) yang menciptakan solusi, meningkatkan manfaat, dan/ atau meningkatkan nilai tambah dengan cara yang efisien.

Roadmap Pengembangan Kompetensi Teknis Sumber D a y a M a n u s i a ( S D M ) d i t u n t u t m e m e n u h i t i g a hal: visioner, konsisten, dan adaptif terhadap perubahan z a m a n . V i s i o n e r a r t i n y a tuntutan kompetensi puluhan tahun ke depan ditetapkan sebagai level kompetensi tertingginya. Konsisten artinya jenis kompetensi teknisnya dikunci, dibuat tangga/ graradasi/levellingnya, dikejar d e n g a n p e n d i d i k a n d a n latihan (diklat), dan dievaluasi capaian diklatnya. Adaptif artinya tidak menambahkan kompetensi baru begitu saja ke dalam daftar kompetensi yang telah ditetapkan, tapi mengintegrasikan kompetensi b a r u t e r s e b u t k e d a l a m level kompetensi dari jenis k o m p e t e n s i y a n g t e l a h ditetapkan.

Sebagai gambaran, Tabel 1 adalah contoh Kompetensi Teknis Pengoperasian Perangkat Lunak Animasi Tiga Dimensi (3D) yang meliputi sekurangkurangnya tiga jenis kompetensi: a) membuat geometri/objek 3D; b) memberi material/warna objek; dan c) pencahayaan, kamera, dan rendering. Level kompetensi dasarnya meliputi: 1) membuat meja dari objek balok yang disediakan (default); 2 ) m e m b e r i m a t e r i a l kayu dari foto kayu default; dan 3 ) m e m b e r i l a m p u default, menempatkan kamera perspektif memutar, dan merender film/animasinya. Level kompetensi tertingginya adalah membuat animasi dua pendekar bertarung di tepi laut dengan ombak yang besar dan angin yang kencang. Sebagaimana pepatah mengatakan “puncak tertinggi diawali dengan anak t a n g g a y a n g ke c i l ,” demikian pula, level kompetensi tertinggi animasi 3D tersebut dapat dipenuhi dengan menyusun levelling kompetensi yang gradatif, yakni harus diperbanyak anak tangga level kompetensinya mulai animasi meja sederhana yang disorot memutar menuju animasi dua pendekar yang bertarung di pantai.



L i n g k u p k o m p e t e n s i teknis RDTR yang dibahas adalah kemampuan teknis seorang penyusun RDTR untuk mengkonversi penggunaan l a h a n e k s i s t i n g d a n j a r i n g a n p r a s a r a n a e k s i s t i n g m e n j a d i rencana pola ruang dan rencana struktur r u a n g b e s e r t a kelengkapan m u a t a n n y a sesuai dengan p e d o m a n penyusunan RDTR. S e k a r a n g c o b a perhatikan dimana l e t a k k e s a l a h a n kurikulum diklat RDTR ini (Tabel 2):

Hal-hal yang kita dapati dari Tabel 2 Levelling Diklat Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang adalah:

l  L i s t ko m p e t e n s i t i d a k tampak;

l  Gradasi/ l e v e l l i n g k o m p e t e n s i t e k n i s penyusunan RDTR tidak tampak;

l  Bobot teknis terkonsentrasi d i ke m a m p u a n m u d a : menyusun RDTR; dan

l  P e n y u s u n a n m o d u l punya kecenderungan akan menjadi normatif, administratif, tidak teknis (tidak seragam b obot teknisnya), dan tidak terarah.




S e k a r a n g p e r h a t i k a n Tabel 3 Masukan Levelling Diklat Penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Yang Dibuat Mengikuti pendekatan levelling penguasaan perangkat lunak animasi 3D.

Hal-hal yang kita dapati dari Tabel 3 adalah:

l  List kompetensi meliputi 11 kompetensi;

l  Gradasi/ l e v e l l i n g k o m p e t e n s i t e k n i s penyusunan RDTR terlihat jelas gradasinya dari level pertama sampai utama;

l  Bobot teknis terdistribusi merata di semua level kompetensi; dan

l  Penyusunan modul menjadi terarah dan kaya akan skill teknis.

 

 

 

Sumber: Oleh Yudha Perdana, ST.,MT Dalam BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 5 | SEPTEMBER - OKTOBER 2021

ALGORITMA RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) BUILDER

"Kondisi Jumlah RDTR yang masih sangat minim sebagai satu-satunya dasar perizinan investasi, ditambah minimnya jumlah dan distribusi planner yang tersertifikasi mengharuskan penyusunan RDTR secara semiotomatis menggunakan komputer, yang disebut sebagai Aplikasi RDTR Builder. Algoritma penyusunan RDTR harus disusun secara sistemik, sistematik, dan terukur yang digambarkan oleh empat buah flowchart yang meliputi Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang, Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan, Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX), dan Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan. Dengan adanya otomatisasi, setiap ide peserta forum bisa disimulasikan, sehingga waktu hitung para Planner akan lebih ringkas serta meminimalisir kesalahan perhitungan. Otomatisasi ini mengangkat planner dan kelembagaan tata ruang daerah ke level yang lebih tinggi."

PADA Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik dan arahan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menegaskan mengenai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah satu-satunya Dasar Perizinan Berusaha dan Investasi. Permasalahan yang kita hadapi saat ini adalah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) belum tersedia di setiap kabupaten/kota, dan jikapun ada, keberadaannya belum meliputi seluruh wilayah administrasi kabupaten/kota. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah lebih memprioritaskan ibukota kabupaten atau bagian wilayah kotanya, dibanding kawasan strategis ekonomi dan kawasan industri yang letaknya di luar ibukota. Hal ini tentunya tidak salah, namun kebutuhan perizinan investasi tidak senada dengan ketersediaan Peraturan Daerah (Perda) tentang RDTR. Jumlah RDTR yang sedikit juga diakibatkan oleh jumlah dan distribusi perencana (planner) yang masih minim dan tidak merata. Selain itu, Pemerintah Pusat selama tahun 2011-2015 fokus pada penyelesaian Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang capaiannya hingga saat ini adalah sebesar 99% dari seluruh wilayah administrasi provinsi/kabupaten/kota seIndonesia.

Ke depan, penyusunan RDTR harus dilakukan secara massal dan terkomputerisasi dengan baik. Algoritma penyusunan RDTR harus memperhatikan unsur sistematik dan terukur yang direpresentasikan melalui empat buah flowchart yang meliputi Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang, Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan, Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX), dan Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan.

1. Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang

a. Indikator Pengembangan Perkotaan Analisa Kebijakan, Isu, dan Ekonomi dengan data Rencana Tata Ruang Wilayah (skala 1:50.000) menghasilkan parameter pengembangan BWP. Penggunaan Lahan skala 1:25.000 selama lima tahun dan parameter diolah menggunakan System Dynamic dan Spatial Dynamic menghasilkan Indikator Pengembangan dan Skenario Penggunaan Lahan Kawasan Perkotaan tahun ke-20 di skala 25.000.

b. Delineasi Bagian Wilayah Perencanaan (BWP) Delineasi BWP diperoleh melalui proses pemotongan (clip) pada kawasan perkotaan yang luasnya puluhan ribu hektar ke dalam BWPBWP yang masing-masing luasnya 2.500 - 3.000 Ha. Kemudian dihitung BWP mana yang paling prioritas untuk diRDTRkan di skala 1:5000. Selanjutnya, dilakukan perhitungan terkait BWP mana yang akan diprioritaskan untuk disusun RDTR-nya dalam skala 1:5000, dan kemudian dilakukan pengadaan Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT) dan Digital Elevation Model (DEM) yang melingkupi delineasi kawasan BWP tersebut.

c. Daya Dukung – Daya Tampung Analisa Daya Dukung dan Daya Tampung dengan data fisik, geologi, jenis tanah, hidrologi, dan kebencanaan menghasilkan Kemampuan Lahan dengan klasifikasi kelas-kelas. Selanjutnya dihitung berapa penduduk maksimal yang aman menghuni atau beraktivitas pada masing-masing kelas tersebut atau disebut dengan Arahan Distribusi Penduduk. Arahan distribusi penduduk perkelas atau kelas daya tampung selanjutnya didetailkan kembali per petaknya dengan luasan masing-masing sebesar satu hektar. Untuk kepentingan peraturan zonasi, survei lapangan mendetailkannya lagi hingga per 400 m2 (empat ratus meter persegi) atau dapat mencapai 100 m2 (100 meter persegi). Konsep perpetakan untuk membentuk blokblok beserta arahan jumlah penduduknya adalah produk akhir dari tahapan ini.

d. Struktur Internal BWP Sebaran pusat-pusat pelayanan dihitung jumlahnya. Kemudian dirangking hierarkinya, mana yang menjadi pusat lingkungan (PL), sebagai hierarki terendah; mana yang menjadi Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK), sebagai hierarki menengah; dan pusat pelayanan kota (PPK) sebagai hierarki tertinggi. PPK dan SPPK adalah pusat utama yang melayani BWP dan Sub BWP.

Sistem menempatkan:

1. Rencana PL sedekat mungkin dengan centroid setiap blok;

2. Rencana SPPK sedekat mungkin dengan centroid Sub BWP; dan

3. Rencana PPK sedekat mungkin dengan centroid BWP.

Konsep Struktur Internal BWP dihasilkan dengan melakukan iterasi sejumlah Titik Pusat Utama Kota hingga mencapai Arahan Distribusi Penduduk.

e. Jaringan Pergerakan dan Estetika Kota Jaringan Pergerakan menghubungkan otomatis titik pusat utama dan pusat lainnya yang lebar jalannya mengikuti hierarki pusatpusat yang dihubungkannya, menggunakan jalur yang efisien dan motif urbanpattern yang estetis, khususnya jalan yang melingkari pusat-pusat utama.

Hierarki jalan dengan lebar jalan masing-masing mengikuti hierarki pusatpusatnya sebagai berikut:

1. Jalan Arteri Sekunder, menghubungkan PPK ke SPPK dengan lebar jalan minimal 11 meter;

2. Jalan Kolektor Sekunder, menghubungkan antar SPPK dengan lebar jalan minimal 9 meter;

3. Jalan Lokal Sekunder, menghubungkan SPPK ke PL dengan lebar jalan minimal 7,5 meter; dan

4. Jalan Lingkungan S e k u n d e r , menghubungkan antar PL dengan lebar jalan minimal 6,5 meter.

f. Kebutuhan Ruang Kebutuhan ruang menghitung dan menempatkan sarana pelayanan umum (SPU), perdagangan jasa, dan ruang terbuka sesuai dengan hierarki pusat pelayanan dan jumlah penduduk dengan standar luas dan jarak/radius pelayanan masing-masing.

g. Finalisasi Muatan Rencana Warna-warni rencana pola ruangpun tercipta dengan menggabungkan penggunaan lahan di skala 25.000 dengan arahan kebutuhan ruang 1:5.000 yang merupakan "daging" dari "cangkang" jaringan pergerakan/jalan yang telah dibentuk pada langkah (f)



2. Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan

a. Sub BWP Prioritas

Menggunakan Sigma Rumus Gravitasi (sebagaimana bagan pada gambar 2) pada masing-masing Pusat Utama dengan data fisik Pendapatan Perkapita dibagi jarak kuadrat, dan dirangking Pusat-Pusat Utama mana yang tertinggi. Pusat-Pusat tersebut kemudian didelineasi seproporsional mungkin berdasarkan batas fisik: jalan, sungai, jaringan/saluran baik eksisting maupun rencana, untuk menghasilkan pembagian Sub BWP. Sub BWP pada Pusat Utama yang punya rangking tertinggi adalah Sub BWP Prioritas.

b. Indikasi Program Lima Tahunan

Selisih Rencana Struktur Ruang dengan Rencana Struktur Eksisting adalah Delta Struktur. Selisih Rencana Pola Ruang dengan Penggunaan Lahan Eksisting adalah Delta Pola. Delta Struktur dan Delta Pola tersebut dibagi ke dalam empat peta berdasarkan batasan fisik, menjadi peta Pembangunan Jangka Menengah (PJM) I - IV. Dimulai dari penggunaan lahan eksisting membentuk Sub BWP Prioritas pada PJM I hingga Rencana Pola Ruang pada PJM IV. Delta Struktur dan Delta Pola yang sudah dibagi menjadi empat PJM dikalikan dengan harga satuan seperti panjang ruas jalan, pembangunan Sarana Pelayanan Umum (SPU), pembangunan ruang terbuka, infrastruktur dan utilitas beserta pengadaan tanahnya. Maka, dihasilkan Pengembangan Program Lima Tahunan.



3. Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX)

a. Baris Kegiatan

Membandingkan data Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dengan Daftar Perizinan Kegiatan Berusaha di Daerah diperoleh Daftar Kegiatan daerah dalam format KBLI.

b. Kolom Zona

1. Data hasil survei di setiap blok meliputi penggunaan lahan, intensitas ruang dan tata bangunan disandingkan dengan klasifikasi zona/ subzona yang dihasilkan dari konsep RDTR untuk melihat apakah ada simpangan penggunaan lahan terhadap konsep rencana pola ruang RDTR. Jika ada simpangan, maka cek lagi apakah terdapat pelanggaran pemanfaatan ruang (potensi pemutihan), dengan melihat data perizinan eksisting. Jika ada pelanggaran, maka kegiatan ditertibkan.

2. Jika tidak ada pelanggaran (sebagaimana nomor 1), maka cek lagi apakah kegiatan tersebut memiliki keragaman kegiatan yang butuh pengaturan atau apakah memiliki dampak/ gangguan yang signifikan. Jika tidak, maka dimasukkan ke dalam daftar kegiatan (baris matriks ITBX).

3. Jika ya, memiliki keragaman kegiatan yang butuh pengaturan/ memiliki dampak/ gangguan yang signifikan (sebagaimana nomor 2), maka cek lagi apakah dapat diatasi dengan teknik pengaturan zonasi. Jika ya, maka masukkan ke daftar kegiatan, zona/ subzona RDTR tidak diganti, dan lanjut ke jenis TPZ mana yang sesuai. 4. Jika tidak dapat diatasi dengan teknis pengaturan zonasi (sebagaimana nomor 2), maka kegiatan, dijadikan zona/subzona, sehingga konsep zona/ subzona RDTR diganti dan masuk ke dalam daftar zona/subzona (Kolom Matriks ITBX).

c. Matriks ITBX

1. Ambil kriteria performa zona/subzona dari pedoman penyusunan RDTR, kemudian sesuaikan dengan kriteria lokal minimal setempat. Lengkapi dengan definisi (kompatibilitas zona/ subzona) dan kajian dampak kegiatan dengan diberlakukannya suatu zona/subzona.

2. Tepis semua daftar kegiatan satu persatu terhadap masing-masing zona/subzona dengan perlakuan sebagai berikut:

a. Cek apakah kegiatan sesuai dengan definisi dan tidak mengganggu kriteria lokal minimal?. Jika Ya, maka kegiatan diizinkan (I);

b. Jika tidak (mengganggu), maka cek apakah gangguan bisa diantisipasi dengan pembatasan luas, jumlah (unit), waktu operasi, dan frekuensi. Jika Ya, maka kegiatan bersyarat secara terbatas (T);

c. Jika tidak bisa dibatasi, maka cek apakah gangguan bisa diantisipasi dengan p e m b e r l a k u a n syarat tambahan/ khusus, seperti syarat konstruksi khusus; syarat anti kebisingan; seperti pengolahan sampah dan limbah khusus; dan jalur khusus dan parkir khusus untuk hindari bangkitan lalu lintas; dan lain-lain. Jika Ya, maka kegiatan bersyarat tertentu (B); dan

d. Jika gangguan tidak bisa diantisipasi dengan syarat-syarat tambahan/khusus, maka kegiatan tersebut dilarang ada (X) pada zona/ subzona tersebut.



4. Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan

a. Penentuan Koefisien Dasar Bangunan (KDB)

1. Cari data luas zona/ subzona; intensitas infiltrasi (I); tingkat infiltrasi (Iinf); koefisien infiltrasi; koefisien penyimpanan air (S).

2. Hitung KDB menggunakan persamaan sebagaimana ditunjukkan pada bagan.

b. Penentuan Koefisien Lantai Bangunan (KLB)

1. Hitung tinggi bangunan maksimum dengan variabel demand ruang; tangkapan pandang (viewshed); jenis bencana; paparan cahaya matahari; Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP); angin; standar jarak bangunan; keselamatan dari kebakaran; dan perbandingan biaya konstruksi vs pengadaan lahan

2. Jumlah Lantai Maksimum = Tinggi Bangunan Maksimum / tinggi 1 lantai.

3. KLB = Jumlah Lantai Maksimum / 100 x KDB.

c. Penentuan Garis Sempadan Bangunan (GSB) GSB depan (jarak dari pagar ke bangunan) untuk Jalan Arteri = 8 meter; Jalan Kolektor = 7 meter; Jalan Lokal 3,25 m; dan Jalan Lingkungan = 2,25 m.

d. Koreksi Data Lapangan dan Perizinan Koreksi rumusan intensitas pemanfaatan ruang dan tata bangunan dengan data eksisting bangunan dan keabsahan perizinan, seleksi sesuai dengan langkah Flowchart III, dan produk akhirnya adalah satu zona satu ketentuan intensitas dan satu ketentuan tata bangunan (zone based). Jika zone based tidak dimungkinkan untuk ketentuan bangunan, maka ketentuan bangunan dapat diterapkan satu blok satu aturan (block based).

Produksi RDTR masih belum memungkinkan dan tidak boleh seluruhnya otomatis, mengingat ketersediaan data, peran aktif masyarakat, dan kepiawaian planner yang berfungsi sebagai dirijen dari orkestra. Otomatisasi tidak akan membunuh profesi planner dan kelembagaan justru menguatkan. Dengan adanya otomatisasi, setiap ide peserta forum bisa disimulasikan, sehingga waktu hitung para Planner akan lebih ringkas serta meminimalisir kesalahan perhitungan. Otomatisasi ini mengangkat planner dan kelembagaan tata ruang daerah ke level yang lebih tinggi, yakni menemukan konsep ruang yang paling sesuai dengan filosofi, visi, misi, dan cita-cita luhur daerah dan meminimalisir terjadinya kegagalan perencanaan.

Saat ini, RDTR builder yang statis tidaklah cukup, karena belum menyatu dengan sistem pemanfaatan ruang yang real time di lapangan. Di tengah Era Big Data dan Artificial Intelligent dan tuntutan era percepatan investasi, maka setiap titik di muka bumi, bisa disimulasikan dampaknya dengan hitungan otomatis jenis bangunan vs jenis tanah/batuan dan air tanah. Dalam tahap perencanaan tata ruang akan sangat bermanfaat, dan pada tahap perizinan akan mengoreksi Ketentuan ITBX. Adapun kelemahan Ketentuan ITBX dan Intensitas Pemanfaatan Ruang yang statis adalah: 1). Ketentuan ‘I’-nya tidak mampu menghitung akumulasi izin di suatu kawasan. Ketika kawasan sudah jenuh, maka sudah bukan ‘I’ lagi tapi sudah ‘T’, ‘B’, atau bahkan ‘X’. Begitu juga dengan Ketentuan ‘T’ dan ‘B’, ada suatu saat akan berubah; dan 2). Tidak semua hal bisa dikonstantakan dengan KDB, KLB, GSB, tinggi Bangunan. Misal pemanfaatan ruang untuk Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) tidak bisa dengan konstanta tinggi bangunan, karena rumusnya dipengaruhi oleh tinggi permukaan tanah di tempat perizinan peil bandara. Jadi input yang dikehendaki adalah koordinat x, y, h (tinggi terrain dan bangunan).



 

Sumber: Oleh YUDHA PERDANA, ST.,MT Dalam BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 3 | MEI - JUNI 2020

Jumat, 09 Februari 2024

PARAMETER KUNCI KUALITAS ANALISIS RENCANA DETAIL TATA RUANG

Terdapat Tiga Belas Parameter Kunci Kualitas Rencana Detail Tata Ruang dari aspek ketajaman analisis meliputi Kesesuaian dengan RTRW; Delineasi; Peta Potensi, Masalah, dan Perumusan Tema/ Tujuan serta Konsistensinya dengan Substansi Lainnya; Daya Dukung - Daya Tampung; Bidang Tanah dan Zona Nilai Tanah (Ekonomi Perkotaan); Alternatif Konsep Pusat-Pusat Pelayanan; Jaringan Pergerakan dan Skenario Transportasi; Standar Kebutuhan Ruang (Sumber Daya Buatan); Alternatif Konsep Rencana; Pengembangan Program; Delineasi Blok Peruntukan; Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan; dan Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Tata Bangunan. Pada artikel ini dengan lugas dan berani diperkenalkan angka baku mutu untuk ketiga belas parameter tersebut.

Kualitas Rencana Tata Ruang

Parameter kualitas lingkungan, misalnya air meliputi derajat keasaman (pH), jumlah oksigen yang diperlukan untuk menguraikan limbah (BOD dan COD), tingkat kekeruhan (NTU), dan lain-lain. Demikian pula dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang menilai dampak usulan proyek pembangunan terhadap kualitas lingkungan dengan terukur. Tidak seperti parameter kualitas lingkungan yang sifatnya scientific, kualitas rencana tata ruang berayunayun dari persepsi sosial akan ruang sampai perhitungannya, dari pendapat ahli tata kota/ wilayah, pendapat ahli lain yang multiperspektif, sampai masyarakat umum sebagai pengguna ruang. Pakar Manajemen, Peter Drucker berkata: “If you can’t measure it, you can’t manage it”. Begitu pula dengan kualitas Rencana Tata Ruang yang jika tidak dapat diukur maka tidak dapat dikelola dengan benar. Multiaktor dan multiperspektif memandang kualitas Rencana Tata Ruang dari perubahan kualitas wilayah/ kota di lapangan, ketepatan perhitungan Analisis Rencana Tata Ruang, sampai kekuatan stakeholder untuk menata ruang bersama berdasarkan rencana tata ruang yang telah disepakati. Di sini dapat diuraikan bahwa kualitas Rencana Tata Ruang meliputi: Kualitas Data; Kualitas Tim Penyusun; Kualitas dan Tingkat Partisipasi; Besar Gap Eksisting dengan Rencana; Kekuatan Konsep Menjawab Isu; Kekuatan Implementasi Perwujudan Ruang; dan Kualitas Analisis.

1.     Kualitas Data Terdapat istilah garbage in - garbage out, yakni kualitas data input yang buruk, menghasilkan keluaran yang buruk juga. Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang, data adalah bahan baku utama dalam produksi Rencana Tata Ruang. Kebalikan dari data adalah noise. Noise adalah data yang tidak perlu yang harus dihindari agar proses analisis efisien dan berkualitas. Data yang bebas noise adalah data yang terpakai maksimal untuk serangkaian analisis. Analisis tersebut menghasilkan data baru yang juga terpakai maksimal sebagai input untuk analisis selanjutnya. Begitu seterusnya rangkaian analisis bekerja sampai dihasilkan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang disertai cara perwujudannya dan aturan mainnya. Kualitas data dimaksud akan dimaksud pada buletin tata ruang berikutnya.

2.     Kualitas Tim Penyusun Pandangan ini menilai semakin luas spektrum ilmu dan semakin dalam keahlian tim penyusun maka semakin tinggi kualitas RDTR yang akan tercipta. Daftar kompetensi dan levellingnya mulai level pemula sampai legenda telah dikupas padat dan lugas pada pada Artikel Berjudul Short-Review List Kompetensi dan Levelling Penyusun RDTR yang ditulis oleh Yudha Perdana pada Rubrik Pojok Ruang, Buletin Tata Ruang Edisi 5 | September – Oktober 2021 Halaman 48-51 ISSN 2549- 3450)

3.     Kualitas dan Tingkat Partisipasi Tingkat partisipasi yang tinggi tidak hanya ditandai dengan jumlah orang yang hadir saja, tapi ketajaman masukan yang diberikan baik pada lingkungan perumahannya, sarana prasarana, akses ke tempat kerja dan rekreasi yang efisien, sampai penerjemahan visi kota ke setiap fungsi ruang di setiap blok/lingkungan.

4.     Besar Gap Eksisting dengan Rencana Pepatah berkata “gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Semakin tinggi cita-cita, maka semakin besar rencana dan strategi yang dibuat, sebaliknya semakin rendah citacita, semakin kecil rencana dan strategi yang dibuat. Demikian pula dengan rencana tata ruang yang merupakan kritik terhadap kondisi eksisting. Semakin kecil gap antara penggunaan lahan eksisting dengan rencana pola ruang, maka semakin kecil rencana, atau bahkan tidak ada rencana tata ruang sama sekali.

5.     Kekuatan Konsep Rencana Menjawab Isu Rencana Tata Ruang ibarat resep obat yang diberikan perencana terhadap penyakit yang diderita wilayah/kota menggunakan penjelasan gejala baik yang disampaikan oleh masyarakat maupun yang diobservasi secara langsung. Semakin tepat jenis dan dosis obat yang diberikan, semakin cepat sehat wilayah/ kota dan terhindar dari penyakit yang sama lagi.

6.     Kekuatan Implementasi Perwujudan Ruang Inti dari penataan ruang adalah pada predikatnya, yakni “menata” di lapangan. Banyak Rencana Tata Ruang yang cenderung bersifat pasif-pragmatis, yakni hanya mengikuti perizinan dan bidang tanah eksisting sembari mencoba membuka peluang investasi swasta sebesarbesarnya. Penataan ruang secara pasif seperti ini berpotensi memunculkan penyakitpenyakit tata ruang yang makin besar seperti perumahan yang kian menjamur sporadik, perdagangan jadi koridor tak terputus antarkota di jalan primer, pabrik bermunculan di lahan sawah, dan kemacetan parah justru di perdesaan/pinggiran kota, dan ruang terbuka publik yang semakin musnah.

7.     Kualitas Analisis Pandangan ini bertumpu sepenuhnya pada proses teknokratik dengan analisis sebagai senjata utamanya. Perspektif kualitas analisis tidak melihat kualitas subjek (tim penyusun) sama sekali, melainkan ketepatan metode dan indikator yang harus ada pada output antara masingmasing analisis. Perspektif kualitas analisis ini akan dikupas dengan padat dan tuntas pada artikel ini.

Kualitas Analisis Rencana Detail Tata Ruang

Sebuah godaan di era teknologi informasi yang menuntut segala proses harus sistemik (lintas komponen) dan sistematik (runut), maka analisis Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) harus dipaksakan sebagai sebuah rangkaian analisis yang linier, dimana keluaran analisis-1 menjadi masukan untuk analisis-2 dan seterusnya sampai tercapai keluaran akhir RDTR. Guna memenuhi hal tersebut, maka analisis penyusunan RDTR yang runut menghasilkan sub output (keluaran antara) meliputi: 1. Peta Konstanta Ketetapan dan Arahan Makro; 2. Delineasi; 3. Peta Potensi, Masalah, Visi Wilayah Perencanaan; 4. Peta Daya Dukung Daya Tampung; 5. Alternatif Pusat Pelayanan; 6. Jaringan Pergerakan dan Moda Transportasi; 7. Perencanaan Sumber Daya Buatan (Fasos Fasum dan Jaringan/Utilitas); 8. Alternatif Konsep Rencana; 9. Indikasi Program dan Sumber Pembiayaan Pembangunan; 10. Rumusan Kriteria Lokal Minimal Subzona; dan terakhir 11. Peraturan Zonasi (sebagaimana telah dikupas tuntas pada Artikel Berjudul Algoritma RDTR Builder yang ditulis oleh Yudha Perdana pada Buletin Tata Ruang Edisi 3 | Mei – Juni 2020 Halaman 48-54 ISSN 2549-3450)

1.     Keterkaitan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Tujuan pemeriksaan Keterkaitan dengan RTRW adalah memastikan arahan RTRW dan kebijakan makro pada titik pusat kegiatan yang akan didetailkan. Keluarannya berupa tabulasi dan peta kebijakan makro (RTRW dan sektoral), pola kepadatan spasial permukiman, dan rancangan umum delineasi.




2.    Delineasi Wilayah Perencanaan (WP)

Delineasi yang baik menciptakan wilayah perencanaan yang kompak dengan batas fisik yang jelas di lapangan dan mampu dilalui dengan nyaman berjalan kaki dari titik stasiun antar moda. Setiap delineasi WP seluas 2.500 Ha (5 km x 5 km) dengan proyeksi penduduk 480.000 jiwa idealnya dilayani oleh satu titik pusat wilayah perencanaan (WP) perkotaan.



3.    Peta Potensi, Masalah, dan Perumusan Tema/Tujuan serta Konsistensinya dengan Substansi Lainnya

Selain memenuhi amanah RTRW, penyusunan RDTR berangkat dari sebuah visi yang berdasarkan pada analisis potensi dan masalah yang terukur. Keluarannya adalah: tabulasi dan skoring potensi, permasalahan, peluang, dan tantangan pembangunan WP; peta potensi, permasalahan, peluang, dan tantangan pembangunan WP; Tema Pengembangan dan Tujuan Penataan Ruang; Planning knowledge berupa Indikator Kinerja WP yang terukur. Contoh permasalahan pengembangan perkotaan, antara lain:

a. Penurunan muka tanah 20cm/tahun

b.Tingkat kemacetan tertinggi di Indonesia

c. Volume sampah di TPA 1.500 ton/hari

d.Anomali banjir besar yang mendadak tiba sering menerpa di pusat kota

e. Penambahan kawasan kumuh 10 ha/tahun

f. Pengangguran akibat berhentinya era kejayaan industri tekstil yang padat karya di Era 1990an.



Contoh Output Visi/Tujuan = “Mewujudkan Ruang Kota Cerdas sebagai Ikon Pusat Mode dan Pariwisata Landscape Taman Bunga Nusantara didukung Sentra IKM Kuliner dan Fashion Kualitas Ekspor Asia Pasifik.” Contoh Indikator Pengembangan Perkotaan antara lain:

a. Radius puskesmas maksimal 3 Km dari Titik Terjauh di Zona Perumahan;

b.Radius Sekolah Dasar maksimal 1 Km dari Titik Terjauh di Zona Perumahan;

c. Jarak Taman Kota maksimal 5 Km dari titik terluar kawasan perkotaan;

d.Tersedianya angkutan massal cepat yang mampu membawa 50% penduduk pada jam sibuk di titik terjauh kawasan perkotaan sekitarnya (KKS) ke kawasan perkotaan inti (KKI) dan sebaliknya dalam waktu selambat-lambatnya 15 menit;

e. Penurunan tanah dan air tanah menjadi konsisten di bawah 1 cm/tahun pada tahun 2035 – 2040.

4.   Daya Dukung-Daya Tampung

Tujuan dilakukan analisa daya dukung-daya tampung adalah mengetahui batasan alam terhadap tekanan penduduk dan jumlah maksimal penduduk terhadap kondisi alam. Keluarannya adalah: peta klasifikasi kemampuan lahan (lindung sampai budidaya terbangun) dan peta batas maksimal penduduk di setiap klasifikasi tersebut.



5.    Bidang Tanah dan Zona Nilai Tanah/ZNT (Ekonomi Perkotaan)

Tujuan analisis ini adalah menghitung potensi ekonomi eksisting dan tambahan pertambahan ekonomi yang dapat dimanfaatkan dengan disusunnya RDTR. Dalam melakukan analisis ini perlu memperhatikan konsistensi antara bidang tanah dan zona nilai tanah terhadap rencana pola ruang (garis dan poligon batas pola ruang), batas wilayah perencanaan (SWP/Blok/Sub-Blok),dan luas serta sebaran Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik.



6.    Alternatif Konsep Pusat-Pusat Pelayanan

Pusat-pusat pelayanan yang baik adalah merata dan berhierarki. Keluarannya antara lain: Titik Pusat Pelayanan Kota (PPK), Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK), dan Pusat Lingkungan (PPL) yang diikuti dengan delineasi SWP dan Blok. Periksa kondisi berikut:

a. PPK idealnya terletak di centroid WP;

b. SPPK di centroid Sub WP; dan

c. PL di centroid Blok besar

Jadi jumlah WP = jumlah PPK = 1 tiap RDTR. Jumlah sub WP = jumlah SPPK + 1 PPK. jumlah Blok besar = jumlah PL. Titik pusat pelayanan harus berkorelasi dengan zona terbangun, dengan urutan prioritas zona:

a. Sarana pelayanan umum (SPU);

b. Perkantoran;

c. RTNH;

d. Perdagangan dan Jasa;

e. RTH Taman Kota; dan

f. Perumahan

g. Pusat-pusat pelayanan RDTR yang didetailkan dari pusat kegiatan RTRW kabupaten/kota harus sesuai dengan standar hierarki pusat kegiatan RTRW, penduduk yang dilayani, dan luasan WP, SWP, dan bloknya (selengkapnya pada Tabel 6, Tabel 7, dan Tabel 8):



01. Pusat Pelayanan internal di dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN) atau Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) ≥1 Juta Jiwa atau setara dengan Ibukota Provinsi:

a. Pusat Kota (PK) PK melayani seluruh wilayah Kota Administratif dengan luas terbangun 62.500 ha (25 km x 25 km) untuk PKN dan 10.000 ha (10 km x 10 km) untuk PKW dengan penduduk >1 juta. PK membawahi beberapa PPK yang jumlahnya menjadi dasar delineasi WP.

b. Pusat Pelayanan Kota (PPK)

• PPK melayani wilayah perencanaan (WP) seluas 2.500 ha (5 km x 5 km) dengan penduduk 1 Juta.

• Setiap delineasi WP harus memiliki tujuan penataan ruang tersendiri

• PPK membawahi beberapa SPPK yang jumlahnya menjadi dasar delineasi SWP.

c. Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK)

• SPPK melayani Sub Wilayah Perencanaan (SWP) seluas 900 ha (3 km x 3 km) dengan penduduk 480.000 jiwa

• SPPK membawahi beberapa PL yang jumlahnya menjadi dasar delineasi blok-blok besar. d. Pusat Lingkungan Kecamatan (PL Kec) PL Kec melayani blok seluas 400 ha (2 km x 2 km) dengan penduduk 120.000 jiwa. PL Kec membawahi PL Kel yang jumlahnya menjadi dasar delineasi blok yang lebih kecil.

e. Pusat Lingkungan Kelurahan (PL Kel) PL Kel melayani Blok kecil seluas 100 ha (1 km x 1 km) dengan penduduk 30.000 jiwa. PL Kel membawahi beberapa PL RW yang jumlahnya menjadi dasar delineasi sub blok.

f. Pusat Lingkungan RW (PL RW) PL RW melayani Sub Blok seluas 81 ha (900 m x 900 m) dengan penduduk 2.500 jiwa



02. Pusat Pelayanan internal di dalam Pusat Kegiatan Lokal (PKL) 480.000 Jiwa atau setara dengan Ibukota Kabupaten:

a. PPK

PPK melayani WP seluas 2.500 ha (5 km x 5 km) dengan penduduk 480.000 jiwa.

b. SPPK

SPPK melayani SWP seluas 900 ha (3 km x 3 km) dengan penduduk 120.000 jiwa

c. PL Kel

PL atau PL Kel melayani blok besar seluas 400 ha (2 km x 2 km) dengan penduduk 30.000 jiwa.

d. PL RW

PL RW melayani blok seluas 100 ha (1 km x 1 km) dengan penduduk 2.500 jiwa.

e. PL RT

PL RT melayani blok kecil seluas 81 ha (900 m x 900 m) dengan penduduk 250 jiwa.

03. Pusat Pelayanan internal di dalam Pusat Pelayanan Kawasan (PPKAW) 120.000 Jiwa atau setara dengan Ibukota Kecamatan:

a. PPK

PPK melayani WP seluas 900 ha (3 km x 3 km) dengan penduduk 120.000 jiwa.

b. SPPK

SPPK melayani SWP seluas 400 ha (2 km x 2 km) dengan penduduk 30.000 jiwa.

c. PL RW

PL atau PL RW melayani blok seluas 100 ha (1 km x 1 km) dengan penduduk 2.500 jiwa.

d. PL RT

PL RT melayani blok/sub blok seluas 81 ha (900 m x 900 m) dengan penduduk 250 jiwa




7.    Jaringan Pergerakan, Skema Transportasi, dan Kerangka Estetika

Tujuan pergerakan yang baik menghubungkan pusat-pusat pelayanan yang berhierarki dengan jaringan pergerakan yang berhierarki, membentuk pola estetika kota, dan menetapkan moda transportasi yang berhierarki dan efisien. Keluarannya antara lain: Jalan arteri sekunder, kolektor sekunder, lokal sekunder, lingkungan sekunder menghubungkan PPK, SPPK, and PL dengan lebar jalan dan GSB yang sesuai; membentuk pola estetika kota; titik terminal, stasiun, halte; dan moda transportasi yang efisien. Periksa kesesuaian hierarki jaringan dengan hierarki pusat pelayanan yang dihubungkannya:

a. PPK ke SPPK adalah Arteri Sekunder dengan lebar minimal 11 meter dan GSB minimal 8 meter

b. Antar SPPK adalah Kolektor Sekunder dengan lebar minimal 9 meter dan GSB minimal 7 meter

c. SPPK ke PL adalah Lokal Sekunder dengan lebar minimal 7,5 meter dan GSB minimal 3,25 meter

d. Antar PL adalah Lingkungan Sekunder dengan lebar minimal 6,5 meter dan GSB minimal 2,25 meter

Periksa apakah ada analisa dan skenario transportasi yang memperhatikan bangkitan dan tarikan lalu lintas sehingga tercapai sebuah indikator transportasi kota misalnya tersedianya moda transportasi massal cepat yang mampu membawa seluruh pekerja dari rumah ke tempat kerja misal dalam waktu maksimal 15 menit.



8.    Standar Kebutuhan Ruang (Sumber Daya Buatan)

Tujuan menerapkan standar kebutuhan ruang (sumber daya buatan) adalah menciptakan kualitas hunian dan ruang perkotaan yang sesuai standar nasional. Keluarannya antara lain: Tabel dan Peta Rencana Zona SPU, Perumahan, Ruang Terbuka, Perdagangan Jasa, Jaringan Prasarana dan Utilitas. Langkah pemeriksaan:

a. Kebutuhan Ruang untuk penduduk di level kota (WP), kecamatan (SPPK), kelurahan (PL), sampai RW dihitung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor SNI 03 1733 Tahun 2004. Berapa kebutuhan Sarana Pelayanan Umum (SPU), Perdagangan Jasa, Ruang Terbuka Hijau, Perumahan, dan semua Jaringan Prasarana dan Utilitas.

b.Pastikan setiap proyeksi kebutuhan luas dan panjang sumber daya buatan dalam tabel sebanding dengan luas poligon dan garis dalam rencana pola ruang dan rencana struktur ruang.

c. Pastikan setiap Poligon Zona perumahan masuk dalam Radius Maksimal Sarana Pelayanan Umum (SPU) sesuai SNI tersebut. Misalnya zona perumahan harus masuk dalam radius 1 km dari lokasi Sekolah Dasar (SD).

d.Periksa juga pemenuhan standar jaringan prasarana dan utilitas sesuai SNI tersebut dan standar sektoral lainnya.



9.    Alternatif Konsep Rencana

Tujuan tahapan ini adalah menyeleksi alternatif rencana struktur dan pola ruang berdasarkan ketepatannya dengan tujuan/tema pengembangan, daya tampung maksimal, dan biaya perwujudannya. Keluarannya adalah dua atau lebih alternatif konsep rencana beserta kelebihan dan kekurangannya disesuaikan dengan tujuan/tema pengembangan, daya tampung maksimal, dan biaya perwujudannya. Langkah Pemeriksaan:

a. Buka buku fakta dan analisa di bagian konsep rencana tata ruang

b. Periksa adakah alternatif konsep rencana

c. Apakah diestimasi perbandingan biaya perwujudan struktur ruang dan pola ruang, dampak lingkungan, dan dampak sosialnya pada masing-masing alternatif.



10. Pengembangan Program

Tahapan ini membagi Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang ke dalam 4 (empat) tahapan pembangunan jangka menengah disertai cara membiayainya. Tahapan ini menghasilkan Peta dan Tabel Indikasi Program Perwujudan Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang Lima Tahunan. Langkah Pemeriksaan:

a. Periksa apakah ada gap/selisih (delta) antara eksisting dan rencana, baik delta struktur ruang, maupun delta pola ruang

b. Apakah dihitung rangking prioritas pembangunan pada masing-masing Sub WP

c. Apakah delta tersebut dispasialkan dalam shapefile (shp)

d. Apakah shp delta tersebut dihitung biaya perwujudannya

e. Apakah shp delta tersebut dibreakdown ke dalam 4 (empat) tahapan (pembangunan jangka menengah) beserta biayanya

f. Apakah biaya perwujudan ruang tersebut sesuai dengan kapasitas daerah?

g. Apakah biaya perwujudan ruang tersebut sebanding dengan potensi keuntungan/manfaat yang akan diraih?



11. Delineasi Blok Peruntukan

Langkah Pemeriksaan

a. Adakah proses penapisan suatu kegiatan dimasukkan ke dalam daftar aktifitas atau sebagai subzona

b. Apakah ada definisi dan kriteria untuk delineasi blok peruntukan?

c. Apakah blok peruntukan sudah menyesuaikan kondisi eksisting perizinan dan pertanahan, atau menerapkan pola land consolidation/readjustment?

Menggunakan definisi dan kriteria blok peruntukan yang dipilih tersebut, selanjutnya Konsep Final Rencana Pola Ruang (Zoning Map) perlu dikoreksi dengan:

a. batas fisik jalan dan air;

b. eksistensi persil/bidang tanah yang sah;

c. perizinan eksisting yang sah; dan

d. pemenuhan standar pekarangan dan lingkungan perumahan



12. Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan

Tahapan ini menjamin kriteria lokal minimal setiap subzona terpenuhi dengan mengantisipasi daftar kegiatan yang compatible dan kegiatan yang memberi dampak. Langkah Pemeriksaan:

a. Cek apakah ada definisi dan kriteria lokal minimal untuk setiap subzona

b. Adakah proses penapisan suatu kegiatan dimasukkan ke dalam daftar aktifitas atau sebagai subzona

c. Apakah kegiatan dalam matriks ITBX sudah mengikuti Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)

d. Apakah ada kajian dampak penetapan subzona terhadap munculnya kegiatan-kegiatan baru?

e. Apakah ketentuan ITBX dibangun dengan mensimulasi kegiatan terhadap subzona berdasarkan kajian dampak dan kriteria lokal minimal.



13. Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Tata Bangunan

Tahapan ini menjamin daya tampung tidak terlampaui, menjaga keamanan dari kecelakaan dan bencana, serta menciptakan estetika kota. Keluaran dari analisis ini adalah koefisien dasar bangunan (KDB) dan koefisien lantai bangunan (KLB) di setiap subzona; dan garis sempadan bangunan (GSB) dan tinggi maksimal bangunan yang homogen di setiap subzona/blok/hierarki jalan. Langkah Pemeriksaan:  

a. Buka buku fakta dan analisa bagian peraturan zonasi, sub bagian intensitas pemanfaatan ruang

b. Cek apakah intensitas pemanfaatan ruang dianalisis berdasarkan Laju Infiltrasi, Zona Nilai Tanah, Angin, Bencana, Jarak antar bangunan, KKOP, Potensi kebakaran, Perbandingan antara harga konstruksi dan harga beli tanah; Paparan cahaya matahari; dan viewshed

c. Cek kelaziman nilai intensitas pemanfaatan ruang sesuai dengan kriteria lokal masing-masing subzona, misal tanaman pangan dengan KDB 10%; Perkebunan dengan KDB 20%; Perdagangan Jasa dengan KDB 70%, Campuran dengan KDB 80%, dan lain-lain.

d. Cek kesesuaian dengan intensitas eksisting.

 


 

 

 

Sumber: Oleh YUDHA PERDANA, ST.,MT dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi III | November - Desember 2023