Tampilkan postingan dengan label RTH. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RTH. Tampilkan semua postingan

Selasa, 13 Juni 2023

PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU (Berdasarkan Permen ATR/ Kepala BPN Nomor 14 Tahun 2022)

Penyediaan dan pemanfaatan RTH mempertimbangkan aspek fungsi:

a.      ekologis meliputi:

a. penghasil oksigen; b. bagian paru-paru kota; c. pengatur iklim mikro; d. peneduh; e. penyerap air hujan; f. penyedia habitat vegetasi dan satwa; g. penyerap dan penjerap polusi udara, polusi air, dan polusi tanah; h. penahan angin; dan/atau i. peredam kebisingan.

b. resapan air, meliputi;

a. area penyedia resapan air; b. area penyedia pengisian air tanah; dan/atau c. pengendali banjir.

c. ekonomi, meliputi;

a. pemberi jaminan peningkatan nilai tanah; b. pemberi nilai tambah lingkungan kota; dan/atau c. penyedia ruang produksi pertanian, perkebunan, kehutanan, dan/atau wisata alam.

d. sosial budaya, meliputi;

a. pemertahanan aspek historis; b. penyedia ruang interaksi masyarakat; c. penyedia ruang kegiatan rekreasi dan olahraga; d. penyedia ruang ekspresi budaya; e. penyedia ruang kreativitas dan produktivitas; f. penyedia ruang dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan; dan/atau g. penyedia ruang pendukung kesehatan.

e. estetika, meliputi;

a. peningkat kenyamanan lingkungan; b. peningkat keindahan lingkungan dan lanskap kota secara keseluruhan; c. pembentuk identitas elemen kota; dan/atau d. pencipta suasana serasi dan seimbang antara area terbangun dan tidak terbangun

f. penanggulangan bencana, meliputi:

a. pengurangan risiko bencana; b. penyedia ruang evakuasi bencana; dan/atau c. penyedia ruang pemulihan pascabencan



TIPOLOGI RUANG TERBUKA HIJAU

RTH terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat, paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari luas Wilayah Kota atau Kawasan Perkotaan, terdiri atas:

a. RTH Publik paling sedikit 20% (dua puluh persen); dan

b. RTH Privat paling sedikit 10% (sepuluh persen).

Penyediaan RTH dapat dilakukan melalui pemanfaatan RTNH dan RTB

Tipologi RTH dikelompokkan menjadi:

a.      kawasan/zona RTH; terdiri atas:

1.     rimba kota; paling sedikit memiliki kriteria:

a. hamparan lahan berbentuk memanjang/jalur dan/atau mengelompok sebagai tempat tumbuh vegetasi dengan stratifikasi lengkap, rapat, dan beragam di dalam Wilayah Kota atau Kawasan Perkotaan; b. sebagai tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati; c. berfungsi utama sebagai ruang penyangga ekosistem alami dan membentuk kesatuan ekologis; d. sebagai daerah resapan air; e. sebagai pengendali iklim mikro; f. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat secara terbatas; g. membatasi perkembangan Wilayah Kota atau Kawasan Perkotaan; h. memiliki radius pelayanan 5.000 m (lima ribu meter); i. memiliki luas paling kecil 100.000 m2 (seratus ribu meter persegi); dan j. proporsi rimba kota terdiri atas: 1. paling sedikit 95% (sembilan puluh lima persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan



2.  taman kota; paling sedikit memiliki kriteria:

a. lahan terbuka yang berfungsi sosial budaya dan estetika sebagai sarana kegiatan rekreasi, edukasi, atau kegiatan lain yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam 1 (satu) kota atau Kawasan Perkotaan; b. sebagai tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati; c. sebagai daerah resapan air; d. sebagai pengendali iklim mikro; e. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat; f. memiliki radius pelayanan 5.000 m (lima ribu meter); g. memiliki luas paling kecil 50.000 m2 (lima puluh ribu meter persegi); dan h. proporsi RTH taman kota terdiri atas: 1. paling sedikit 85% (delapan puluh lima persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.



3. taman kecamatan; paling sedikit memiliki kriteria:

a. taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam 1 (satu) kecamatan; b. sebagai tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati; c. sebagai daerah resapan air; d. sebagai pengendali iklim mikro; e. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat; f. memiliki radius pelayanan 2.500 m (dua ribu lima ratus meter); g. memiliki luas paling kecil 15.000 m2 (lima belas ribu meter persegi); dan h. proporsi RTH taman kecamatan terdiri atas: 1. paling sedikit 80% (delapan puluh persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.

4. taman kelurahan; paling sedikit memiliki kriteria:

a. taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam 1 (satu) kelurahan; b. sebagai tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati; c. sebagai daerah resapan air; d. sebagai pengendali iklim mikro; e. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat; f. memiliki radius pelayanan 700 m (tujuh ratus meter); g. memiliki luas paling kecil 5.000 m2 (lima ribu meter persegi); dan h. proporsi RTH taman kelurahan terdiri atas: 1. paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.

5. taman rukun warga (RW); paling sedikit memiliki kriteria:

a. taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkungan 1 (satu) RW; b. sebagai daerah resapan air; c. sebagai pengendali iklim mikro; d. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat; e. memiliki radius pelayanan 350 m (tiga ratus lima puluh meter); f. memiliki luas paling kecil 1.000 m2 (seribu meter persegi); dan g. proporsi RTH taman RW terdiri atas: 1. paling sedikit 60% (enam puluh persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.

6. taman rukun tetangga (RT); paling sedikit memiliki kriteria:

a. taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkungan 1 (satu) RT; b. sebagai daerah resapan air; c. sebagai pengendali iklim mikro; d. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat; e. memiliki radius pelayanan 100 m (seratus meter); f. memiliki luas paling kecil 250 m2 (dua ratus lima puluh meter persegi); dan g. proporsi RTH taman RT terdiri atas: 1. paling sedikit 50% (lima puluh persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan

7. pemakaman; dan/atau paling sedikit memiliki kriteria:

a. sebagai tempat penguburan jenazah; b. sebagai daerah resapan air; c. sebagai pengendali iklim mikro; d. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat secara terbatas; e. memiliki radius pelayanan 2.500 m (dua ribu lima ratus meter); f. memiliki luas perpetakan paling kecil 1,2 m2 (satu koma dua meter persegi) per kapita; dan g. proporsi pemakaman terdiri atas: 1. paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.

8. jalur hijau. paling sedikit memiliki kriteria:

a. jalur penempatan tanaman serta elemen lanskap lainnya terletak pada ruang milik jalan maupun pada ruang pengawasan jalan; b. lebar jalur hijau sempadan jalan, sempadan jalur kereta api dan sempadan jaringan transmisi dan gardu listrik sesuai peraturan perundang-undangan; c. proporsi jalur hijau terdiri atas paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) tutupan hijau dan sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan; d. sebagai daerah resapan air; e. sebagai pengendali iklim mikro; dan f. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat secara terbatas.

b. kawasan/zona lainnya yang berfungsi RTH; dan

1.        kawasan/zona yang memberikan perlindungan terhadap kawasan bawahannya; memiliki kriteria:

a. sebagai perlindungan dan keseimbangan tata air; b. kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi, mewakili ekosistem yang masih alami; c. terdapat spesies yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan/atau d. tutupan hijau didominasi pepohonan dengan stratifikasi beragam.

2.        kawasan/zona perlindungan setempat; memiliki kriteria:

a. sebagai perlindungan badan air dan ekosistem perairan; b. memiliki lebar dan proporsi sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; c. didominasi ekosistem perairan, ekosistem riparian, dan/atau ekosistem pesisir; d. tutupan hijau didominasi pepohonan dengan stratifikasi beragam; dan/atau e. kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi.

3.        kawasan/zona konservasi; memiliki kriteria:

a. memiliki daya tarik sumber daya alam hayati, formasi geologi, dan/atau gejala alam yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pemanfaatan pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, dan peningkatan kesadaran konservasi sumber daya alam hayati; b. memiliki ekosistem khas dan merupakan habitat alami yang memberikan perlindungan bagi perkembangan keanekaragaman tumbuhan dan satwa; c. kondisi alam, baik biota maupun fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia; dan/atau d. memiliki kesatuan masyarakat hukum adat dan/atau kearifan lokal, hak tradisional dan lembaga adat yang masih berlaku.

4.        kawasan/zona hutan adat; memiliki kriteria:

a. hutan dengan fungsi konservasi, lindung dan produksi; b. dalam kawasan hutan negara atau di luar kawasan hutan negara; c. terdapat wilayah adat berupa hutan yang dikelola oleh masyarakat hukum adat dengan batas yang jelas secara turun-temurun; d. masih ada kegiatan pemungutan hasil hutan oleh masyarakat hukum adat di wilayah hutan di sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari; dan/atau e. memiliki kesatuan masyarakat hukum adat dan/atau kearifan lokal, hak tradisional dan lembaga adat yang masih berlaku.

5.        kawasan/zona lindung geologi; memiliki kriteria:

a. memiliki ciri geologi unik atau khas dan langka; b. memiliki nilai ilmiah tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, dan peningkatan kesadaran konservasi sumber daya alam hayati; dan/atau c. memiliki jenis fisik batuan yang mampu meluluskan air dengan lapisan penutup tanah dari pasir sampai lanau.

6.        kawasan/zona cagar budaya; memiliki kriteria:

a. mengandung situs cagar budaya terletak di daratan dan/atau di lautan; b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia dengan kriteria sesuai peraturan perundangundangan; c. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas dan bukti pembentukan lanskap budaya; d. memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil; dan/atau e. memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan dan budaya yang perlu dilindungi bagi tujuan pelestarian dan pemanfaatan guna memajukan kebudayaan nasional.

7.        kawasan/zona ekosistem mangrove; memiliki kriteria:

a. koridor menerus/kontinu di sepanjang pantai dengan lebar sempadan sesuai peraturan perundang-undangan; b. berada pada pantai lumpur atau lumpur berpasir dan mengalami pasang surut air laut; c. berada pada kemiringan lereng sesuai peraturan perundang-undangan; dan/atau d. tutupan hijau didominasi pepohonan hutan mangrove dengan stratifikasi beragam.

8.        kawasan/zona hutan produksi; memiliki kriteria:

a. kawasan/zona hutan yang memproduksi hasil hutan; b. memiliki keragaman vegetasi tinggi; c. dilakukan dengan pendekatan agroforestri; dan/atau d. hutan di luar kawasan/zona lindung, kawasan/zona hutan suaka alam, kawasan/zona hutan pelestarian alam dan taman buru.

9.        kawasan/zona perkebunan rakyat; memiliki kriteria:

a. tutupan hijau didominasi tanaman berkayu atau jenis lainnya; b. bukan merupakan perkebunan monokultur dan memiliki keragaman vegetasi lokal dengan stratifikasi lengkap; c. dilakukan dengan pendekatan agroforestri; dan/atau d. mempertimbangkan perlindungan badan air, baik air permukaan yang berupa air kolam, air selokan, air sungai, air danau, dan air bendungan, maupun air tanah serta air sumur, yang kemungkinan mempengaruhi kegiatan usaha perkebunan rakyat.

10.     kawasan/zona pertanian. memiliki kriteria:

a. memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan pertanian; b. memiliki keragaman vegetasi lokal dengan stratifikasi lengkap dan bukan merupakan pertanian monokultur; c. dilakukan dengan pendekatan agroforestri; dan/atau d. mempertimbangkan perlindungan badan air, baik air permukaan yang berupa air kolam, air selokan, air sungai, air danau, dan air bendungan, maupun air tanah serta air sumur, yang kemungkinan mempengaruhi kegiatan usaha pertanian.

c. objek ruang berfungsi RTH.

1.        objek ruang pada bangunan; paling sedikit memiliki kriteria:

a. berupa permukaan bangunan yang ditanami vegetasi; b. memiliki luasan sesuai perhitungan IHBI, sebagai upaya memenuhi ketentuan KDH yang ditetapkan dalam RTR; c. menggunakan instalasi, sistem utilitas, dan/atau media khusus sesuai kriteria teknis bangunan; dan/atau d. menanam vegetasi lokal yang memenuhi kriteria teknis lanskap RTH pada bangunan yang berfungsi sebagai peneduh, peredam suara, penyaring bau, penyaring debu, dan/atau pertanian perkotaan

objek ruang pada bangunan, terdiri atas:

a. taman atap atau roof garden; b. taman podium atau podium garden; c. taman balkon atau balcony garden; d. taman koridor atau corridor garden; e. taman vertikal atau vertical garden; f. taman dalam pot atau planter box garden; dan/atau g. taman dalam kontainer atau container garden.

2.        objek ruang pada kaveling; paling sedikit memiliki kriteria:

a. berupa penutup lahan/perkerasan berpori yang dapat menangkap dan/atau meresapkan air; b. memiliki luasan sesuai dengan KDH yang ditetapkan dalam ketentuan umum zonasi/peraturan zonasi dalam RTR; c. menyediakan daerah tangkapan air berupa kolam, bidang, sumur, embung, atau situ sesuai dengan peraturan perundang-undangan; d. menyediakan sistem pemanenan air hujan sebagai sumber air alternatif yang memenuhi kriteria teknis pemeliharaan lanskap RTH pada kaveling sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan/atau e. ditanami vegetasi lokal dengan stratifikasi lengkap yang memenuhi kriteria tanaman dan kriteria teknis lanskap untuk RTH pada kaveling yang berfungsi sebagai peneduh, peredam suara, penyaring bau, dan/atau penyaring debu sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Objek ruang pada kaveling sebagaimana dimaksud diatas terdiri atas:

a. persil pada kawasan/zona perumahan; b. persil pada kawasan/zona perdagangan dan jasa; c. persil pada kawasan/zona perkantoran; d. persil pada kawasan/zona kawasan industri; dan/atau e. pekarangan rumah.

3.        RTB paling sedikit memiliki kriteria:

a. berupa badan air atau ruang perairan; b. penyedia ketersediaan air; c. memiliki fungsi retensi berupa penampungan dan penyerapan air hujan pada suatu wilayah; d. memiliki fungsi detensi berupa penampungan sementara air hujan pada suatu wilayah; dan/atau e. penyedia ruang tampungan air tanah dan pengendali air banjir

RTB sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas:

a. danau; b. waduk; c. sungai; d. embung; e. situ; f. mata air; g. rawa h. biopori; i. sumur resapan; j. bioswale; k. kebun hujan atau rain garden; l. kolam retensi dan detensi; m. rawa buatan atau constructed wetland; dan/atau n. RTB lainnya yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud di atas.

Tipologi RTH ditentukan berdasarkan aspek fungsi. Ketentuan mengenai tipologi RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.

PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU

Penyediaan RTH dilakukan oleh: a. Pemerintah Daerah untuk RTH Publik; dan b. Masyarakat untuk RTH Privat. Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud diatas terdiri atas: a. Pemerintah Daerah kabupaten/kota; dan b. Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota. Masyarakat dapat berperan serta dalam penyediaan RTH Publik untuk sebagian tanah yang dimilikinya melalui perjanjian atau kerja sama dengan Pemerintah Daerah. Penyediaan RTH Publik dapat berasal dari aset yang dikuasai oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah Provinsi. Penyediaan RTH Publik dilaksanakan melalui konsultasi publik pada penyusunan RTR.

Penyediaan RTH sebagaimana dimaksud di atas mencakup kegiatan: a. perencanaan; b. penyediaan lahan; dan c. perancangan. Penyediaan RTH dapat diberikan insentif dalam upaya untuk mewujudkan RTH yang berkualitas. Insentif dapat diberikan oleh: a. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota; b. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota; c. Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota; d. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota; e. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota lainnya; dan f. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota, dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Masyarakat. Insentif dapat berupa: a. pemanfaatan tanah telantar yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan; b. kerja sama pemanfaatan tanah yang bersumber dari bank tanah sesuai dengan ketentuan perundangundangan; c. pemberian kompensasi kepada petani yang dapat mempertahankan luasan lahan sawahnya dan/atau perkebunannya; dan/atau d. bentuk insentif lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perencanaan RTH sebagaimana dimaksud di atas menjadi bagian dalam proses penyusunan RTRW kabupaten/kota, RDTR kabupaten/kota, dan RTR Daerah Khusus Ibu Kota. Perencanaan RTH paling sedikit meliputi:

a.      identifikasi RTH existing; dilakukan melalui inventarisasi data primer dan data sekunder.

b.     identifikasi RTH potensial; dilakukan dengan mengidentifikasi ketersediaan lahan yang dapat dijadikan RTH dengan mempertimbangkan: a. status kepemilikan dan/atau penguasaan tanah; b. muatan dalam RTRW kabupaten/kota, RDTR kabupaten/kota, dan RTR Daerah Khusus Ibu Kota; c. tipologi RTH; d. survei lapangan sebagai verifikasi terhadap hasil identifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c; dan e. keterjangkauan, keterlayanan, dan ketersebaran RTH.

c.      identifikasi kategori; meliputi: 1. identifikasi kategori Wilayah Kota; meliputi: a. Wilayah Kota tipe I (WK-I) dengan presentase luas RTH existing < 30% (kurang dari tiga puluh persen) dari wilayah administrasi kota; dan b. Wilayah Kota tipe II (WK-II) dengan persentase luas RTH existing ≥ 30% (lebih dari atau sama dengan tiga puluh persen) dari wilayah administrasi kota. atau 2. identifikasi kategori Kawasan Perkotaan di wilayah kabupaten. meliputi: a. Kawasan Perkotaan tipe I (KP-I) dengan persentase luas RTH existing < 30% (kurang dari tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan di wilayah kabupaten; dan b. Kawasan Perkotaan tipe II (KP-II) dengan persentase luas RTH existing ≥ 30% (lebih dari atau sama dengan tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan di wilayah kabupaten. Pemenuhan RTH di Wilayah Kota tipe I (WK-I) atau Kawasan Perkotaan tipe I (KP-I) sebagaimana dimaksud di atas dilakukan dengan mekanisme: a. pembelian dan/atau pembebasan lahan; b. pengelolaan; c. sewa lahan; d. kerja sama dengan masyarakat; dan/atau e. peningkatan kuantitas dan kualitas RTH berdasarkan IHBI. Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada huruf b meliputi: a. pemeliharaan RTH; b. pembiayaan pemeliharaan RTH; dan c. pemantauan dan evaluasi. Dalam hal mekanisme sebagaimana dimaksud di atas telah dilakukan, namun RTH di Wilayah Kota tipe I (WK-I) atau Kawasan Perkotaan tipe I (KP-I) belum terpenuhi, dapat dilakukan kerjasama penyediaan RTH. RTH di Wilayah Kota tipe II (WK-II) atau Kawasan Perkotaan tipe II (KP-II) sebagaimana dimaksud di atas harus tetap dipertahankan keberadaannya serta ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya berdasarkan IHBI. (1) Peningkatan kuantitas dan kualitas RTH berdasarkan IHBI sebagaimana dimaksud di atas dilakukan dengan metode perhitungan RTH berdasarkan pembobotan, faktor hijau-biru Indonesia, dan bonus elemen. Metode perhitungan berdasarkan pembobotan dan faktor hijau-biru Indonesia sebagaimana dimaksud di atas disusun berdasarkan kriteria penilaian pada aspek ekologis, sosial budaya, resapan air, ekonomi, estetika, dan penanggulangan bencana. Metode perhitungan berdasarkan bonus elemen sebagaimana dimaksud di atas disusun berdasarkan kriteria penilaian pada aspek evapotranspirasi, penyerapan/penjerapan polutan, porositas, permeabilitas, dan biodiversitas.

d.     identifikasi sumber pendanaan; berdasarkan sumber pendanaan pemerintah dan/atau sumber pendanaan lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

e.      identifikasi pemangku kepentingan; dilakukan oleh perangkat daerah sesuai kewenangannya. Pemangku kepentingan meliputi: a. perangkat daerah; dan/atau b. Masyarakat.

f.       perumusan rencana penyediaan RTH berdasarkan IHBI. menghasilkan kajian yang memuat skenario penyediaan dan pemanfaatan RTH yang tercantum dalam materi teknis RTR.

 

Perancangan sebagaimana dimaksud dalam kegiatan penyediaan RTH paling sedikit meliputi konsep rancangan, pengembangan rancangan, dan pembuatan gambar kerja untuk penyediaan RTH sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

PEMANFAATAN RTH

Pemanfaatan RTH mencakup: a. RTH Publik; b. RTH Privat; dan c. RTH Privat yang dimanfaatkan publik. Pemanfaatan RTH Publik sebagaimana dimaksud di atas tidak dikenakan biaya. RTH Privat sebagaimana dimaksud di atas dimanfaatkan sesuai kepemilikannya. RTH Privat yang dimanfaatkan publik sebagaimana dimaksud di atas dapat dimanfaatkan sesuai dengan perjanjiaan atau kerja sama. Pemanfaatan RTH dilakukan berdasarkan tipologi RTH berupa: a. Pemanfaatan kawasan/zona RTH; b. Pemanfaatan kawasan/zona lainnya yang berfungsi RTH; dan c. Pemanfaatan objek ruang berfungsi RTH. Ketentuan mengenai pemanfaatan RTH berdasarkan tipologi RTH sebagaimana dimaksud di atas tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pemanfaatan RTH sebagaimana dimaksud di atas huruf a dan huruf c dapat diberikan insentif dalam upaya untuk mewujudkan RTH yang berkualitas.

Insentif sebagaimana dimaksud diatas dapat diberikan oleh: a. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota; b. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota; c. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota; d. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibukota; e. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota lainnya; dan f. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota, dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Masyarakat.

KERJA SAMA

(1) Kerja sama dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH dapat berupa: a. kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota; b. kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota; c. kerja sama antara Pemerintah Daerah Khusus Ibukota dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota; d. kerja sama antara Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota lainnya; dan e. kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota, dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan Masyarakat. Kerja sama sebagaimana dimaksud di atas berlaku sampai dengan selesainya pemanfaatan ruang dalam RTRW kabupaten/kota, RDTR kabupaten/kota, atau RTR Daerah Khusus Ibu Kota dan dapat ditinjau kembali saat revisi. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf c, huruf d, dan huruf e dapat berupa pengakuan RTH bersama yang paling sedikit dilakukan melalui mekanisme: a. sewa lahan; b. pengelolaan lahan RTH; atau c. pembelian/pembebasan lahan. Pengakuan RTH bersama sebagaimana dimaksud di atas dilaksanakan melalui persetujuan dari Menteri berdasarkan hasil penilaian ahli. Kerja sama dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH sebagaimana dimaksud di atas dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengakuan RTH bersama sebagaimana dimaksud di atas dimiliki dan dikelola oleh beberapa Pemerintah Daerah yang berada dalam satu kesatuan ekologis dan digunakan untuk kepentingan Masyarakat.

 

Sumber: PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2022 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU.

Minggu, 12 Maret 2023

Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam Lansekap

a.     Pengertian Lansekap

Lansekap diartikan sebagai wajah dan karakter lahan atau tapak dari permukaan bumi dengan segala kehidupannya dan apa saja yang ada di dalamnya baik yang bersifat alami maupun buatan. Lanskap diartikan sebagai lahan yang luas, sedangkan yang berskala kecil diistilahkan sebagai taman (garden).

Menurut Suharto (1994), lanskap mencakup semua elemen pada tapak, baik elemen alami (natural landscape), elemen buatan (artificial landscape) dan penghuni /makhluk hidup yang ada di dalamnya. Penataan lanskap yang baik diperlukan untuk mewujudkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang indah dipandang mata.

Terdapat dua aspek penting yang perlu diperhatikan dalam desain lansekap, yaitu aspek fungsi dan aspek estetika.

• Aspek fungsi memberikan penekanan pada kegunaan atau kemanfaatan dari benda atau elemen yang dirancang.

• Aspek estetika menekankan pada usaha untuk menghasilkan suatu nilai keindahan visual yang diperoleh melalui garis, bentuk, warna, dan tekstur.

Elemen lanskap pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Elemen lembut atau alamiah (softscape) adalah istilah yang digunakan untuk unsur-unsur material yang berasal dari alam. Elemen softscape merupakan elemen yang dominan, terdiri dari tanaman atau pepohonan dan air permukaan.

2. Elemen keras atau buatan (hardscape) adalah unsur-unsur material buatan atau elemen selain vegetasi yang dimaksudkan adalah benda-benda pembentuk taman, terdiri dari bangunan, gazebo, kursi taman, kolam ikan, pagar, pergola, air mancur, lampu taman, batu, kayu, dan lain sebagainya.

b.    Pengertian RTH

Dalam bentangan lanskap terdapat Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang juga berdampingan dengan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). RTH merupakan area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sementara, RTNH merupakan ruang terbuka di wilayah kota/kawasan perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, yaitu berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air.

RTH terdiri dari tiga terminologi, yaitu:

1. Ruang, semakin besar taman maka semakin besar manfaat ekologisnya. Tetapi hal ini masih memerlukan studi lebih lanjut.

2. Terbuka, RTH sepatutnya memiliki fungsi sosial setelah RTH terbangun/beroperasi. Ketika RTH sudah dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, indeks kepuasan pengguna dapat diukur apakah masyarakat sebagai pengguna sudah merasa puas dalam memanfaatkan RTH.

3. Hijau, berkaitan dengan fungsi ekologis.

RTH ditinjau dari aspek kepemilikannya dibagi menjadi RTH publik dan RTH privat:

1. RTH Publik, RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum, antara lain berupa taman kota; taman pemakaman umum; dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, serta pantai.

2. RTH Privat, RTH yang dimiliki dan dikelola oleh swasta/masyarakat, antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

RTH ditinjau dari aspek aktivitas manusia didalamnya terbagi menjadi dua jenis, yaitu RTH aktif dan RTH pasif:

1. RTH Pasif, RTH yang ditujukan untuk konservasi dimana kepadatan hijaunya cenderung tinggi antara 90-100% dan tidak mengundang unsurunsur kegiatan manusia di dalamnya. Contoh RTH pasif dapat berupa pulau, jalan, taman untuk rekreasi aktif dan pasif.

2. RTH Aktif, RTH yang ditujukan untuk ruang publik tempat masyarakat dapat berkegiatan secara aktif. Tidak hanya sekedar ruang terbuka publik, namun juga menampung kegiatan masyarakat. Contoh RTH aktif misalnya plaza dan tempat bermain.

 

c.     Aturan RTH di Indonesia

Terdapat beberapa aturan RTH di Indonesia yang dapat menjadi acuan dalam penyelenggaraan ruang terbuka hijau, yaitu sebagai berikut:

Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Undang-Undang ini mengamanatkan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota di mana 20 %-nya merupakan RTH publik.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung diubah dengan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Pengaturan bangunan gedung bertujuan untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya.

Peraturan Menteri PU No. 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum RTBL Pedoman Umum RTBL

berfungsi sebagai dokumen pengendali pembangunan dalam penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungan untuk suatu lingkungan/kawasan tertentu supaya memenuhi kriteria perencanaan tata bangunan dan lingkungan. Pedoman ini mengatur tentang Program Bangunan dan Lingkungan, Rencana Umum dan Panduan Rancangan (termasuk di antaranya KDB, KLB, KDH, Sistem Ruang Terbuka dan Tata Hijau), serta Rencana Investasi.

Peraturan Menteri PU No. 05 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

Permen PU No. 05 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan ini bertujuan untuk mendorong kebutuhan ekologis (menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air). Dalam peraturan ini diatur mengenai standar penyediaan RTH, kriteria penyediaan vegetasi serta arahan pemanfaatan RTH. Menurut Permen ini, tanaman tepi pada jalur hijau jalan harus memenuhi fungsi di antaranya sebagai peneduh, penyerap polusi, peredam kebisingan, dan pemecah angin.

Peraturan Menteri PU No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di Kawasan Perkotaan

Pedoman yang ini bertujuan untuk mendorong penyediaan RTH sebagai pembentuk ruang yang berkualitas untuk beraktivitas, baik sosial maupun budaya. Pedoman ini mengatur standar penyediaan RTH, kriteria penyediaan perkerasan, serta arahan pemanfaatan RTNH.

Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733- 2004 mengenai Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan.

Penggolongan sarana RTH di lingkungan perumahan berdasarkan kapasitas pelayanannya terhadap sejumlah penduduk adalah sebagai berikut:

• Setiap unit Rukun Tetangga (RT) atau kawasan berpenduduk 250 jiwa dibutuhkan minimal 1 unit taman untuk memberikan kesegaran pada kota, baik udara segar maupun cahaya matahari, sekaligus tempat bermain anak-anak;

• Setiap unit Rukun Warga (RW) atau kawasan berpenduduk 2.500 jiwa diperlukan sekurangkurangnya satu daerah terbuka berupa taman, di samping daerah-daerah terbuka yang telah ada pada tiap kelompok 250 penduduk, yang berfungsi sebagai taman tempat main anak-anak dan lapangan olah raga kegiatan olah raga;

• Setiap unit kelurahan atau kawasan berpenduduk 30.000 jiwa diperlukan taman dan lapangan olahraga untuk melayani kebutuhan kegiatan penduduk di area terbuka, seperti pertandingan olah raga, upacara, serta kegiatan lainnya;

• Setiap unit kecamatan atau kawasan berpenduduk 120.000 jiwa, harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) lapangan hijau terbuka yang berfungsi sebagai tempat pertandingan olahraga, upacara, serta kegiatan lainnya yang membutuhkan tempat yang luas dan terbuka.



d.    Fungsi RTH

RTH dalam perkotaan dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika, dan ekonomi.

Fungsi Ekologi

RTH merupakan ‘paru-paru’ kota atau wilayah. Tumbuhan dan tanaman hijau dapat menyerap karbondioksida (CO2 ), menambah oksigen, menurunkan suhu udara dengan keteduhan dan kesejukan tanaman, menjadi area resapan air, serta meredam kebisingan. Beberapa fungsi ekologi RTH pada lansekap antara lain:

1. Perlindungan terhadap radiasi matahari

2. Perlindungan terhadap angin

3. Perlindungan terhadap suhu

4. Perlindungan terhadap polusi

5. Perlindungan terhadap erosi

6. Perlindungan terhadap pandangan/visual (glare)

Fungsi Sosial Budaya

RTH dapat menjadi ruang tempat warga dapat bersilaturahmi dan berekreasi. Anak-anak mendapatkan ruang untuk bermain. RTH juga dapat menjadi wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.

Fungsi estetika

Keberadaan RTH dapat menciptakan suasana serasi dan simbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Selain itu keberadaan RTH juga dapat meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota, baik pada skala mikro, halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun makro (lansekap kota secara keseluruhan), yang dapat menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota.

Fungsi ekonomi

Jenis-jenis tanaman tertentu punya nilai jual dan nilai konsumsi seperti tanaman bunga, buah, daun, dan sayur-mayur.

e.     Elemen-elemen Perancangan RTH

Perancangan RTH didasarkan pada pertimbangan perwujudan keselarasan antara bangunan gedung dengan lingkungan sekitarnya, sehingga infrastruktur yang kaku dapat dilunakan dengan unsur hijau. Perancangan RTH juga dilakukan untuk mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan kota agar tercipta keselarasan antara ruang terbangun dan ruang hijau.

Perancangan RTH tidak mutlak hanya unsur vegetatif (pepohonan) saja, namun dapat ditambahkan aktivitas pendukung agar tercipta RTH yang aktif sesuai dengan peluang pengembangan ruang terbuka tersebut. Perancangan RTH perlu memperhatikan elemenelemen seperti fungsi RTH, peran RTH dalam kontrol parameter tertentu, dan jenis tanaman yang sesuai dengan kontrol parameter tersebut.

Dominasi unsur vegetatif tetap perlu diperhatikan agar terdapat pembeda dengan perencanaan ruang terbuka yang lain (Krisnawati, 2012). RTH dibangun dari kumpulan vegetasi yang perlu direncanakan kesesuaian terhadap lokasi dan peruntukannya. Persyaratan umum tanaman untuk RTH perkotaan yaitu:

 





Sumber: PANDUAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU Oleh KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Tahun 2022