Tampilkan postingan dengan label RDTR. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label RDTR. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 10 Agustus 2024

PROTOTIPE RDTR HASIL TERJEMAHAN SPASIAL DARI STANDAR-STANDAR

Pengantar

Mengaplikasikan SNI 03 1733 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan dan Konsep Garden City menghasilkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perencanaan (WP) berbentuk lingkaran sempurna dengan radius 3 km seluas 2.828,57 Ha, yang melayani penduduk skala kecamatan berjumlah 120.000 jiwa. Komposisinya meliputi Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 848,57 Ha (24%), Badan Jalan dan Infrastruktur seluas 565,71 Ha (21%), Perumahan seluas 1,206,55 Ha (42%), Fasos/ Fasum dan Pekantoran seluas 53,03 Ha (2%), Perdagangan Jasa seluas 30,32 Ha (1%), dan Lahan Cadangan seluas 124,39 Ha (10%).

Prototipe RDTR sesuai dengan Standar Permukiman

Pijakan paling awal dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah dengan mengetahui titik pusat kegiatan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang nantinya akan didetailkan kembali pada RDTR beserta estimasi proyeksi penduduknya pada 20 (dua puluh) tahun ke depan. Berdasarkan SNI 03 1733 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan dan pedoman-pedoman penyusunan rencana tata ruang: Megapolis dalam RTRW ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dengan penduduk di atas 1 Juta jiwa, seperti: Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, dan Makassar. Metropolis dalam RTRW ditetapkan sebagai PKN atau Pusat Kegiatan Wilayah ( P K W ) b e r u p a k o t a - k o t a administratif dengan jumlah penduduk mulai 480.000 jiwa sampai dengan 999.999 jiwa. Pusat Kecamatan Perkotaan yang berfungsi melayani kegiatan skala kabupaten atau antar kecamatan dalam RTRW ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL) dengan jumlah penduduk mulai 120.000 jiwa sampai dengan 479.999 jiwa. Pusat Kelurahan yang melayani kegiatan antar kelurahan/desa dalam RTRW ditetapkan sebagai Pusat Pelayanan Kawasan (PPKaw) dengan penduduk mulai 30.000 jiwa sampai dengan 119.999 jiwa. Pusat Rukun Warga (RW) dalam RTRW ditetapkan sebagai Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) dengan penduduk mulai 2.500 jiwa sampai dengan 29.999 jiwa. Pendetailan rencana pola ruang pada titik-titik pusat kegiatan meliputi pengaturan jarak/radius dan luas beserta kebutuhan jaringan prasarananya dapat mengacu SNI 03 1733 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pe r e n c a n a a n L i n g k u n g a n Perumahan di Perkotaan. Lingkup SNI ini bekerja paling tajam untuk “mengisi” kebutuhan sumber daya buatan pada level PKL dan turunan hierarkinya, yakni PPKaw, dan PPL.

Penetapan Rencana Konstelasi Hierarki Titik Pusat Pelayanan dan Hierarki Jaringan Jalan

Sebuah titik pusat pelayanan b e r w u j u d l i n g k a r a n u t u h s e m p u r n a d i l a p a n g a n merupakan bentuk paling ideal dari Wilayah Perencanaan (WP) karena radius elayanannya mampu menjangkau merata k e s e l u r u h W P. M a k s u d penyusunan prototipe RDTR ini adalah untuk menguji tingkat spasialisasi konstelasi titik pusat pelayanan sesuai Pedoman Penyusunan RDTR (Permen ATR/Ka BPN Nomor 11 Tahun 2021), standar hierarki jaringan pergerakan sekunder yang menghubungkannya (PP Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan) dan “isian” standar rencana pola ruang dan jaringan prasarana lainnya sesuai dengan Standar Permukiman Perkotaan (SNI 03 1733 2004) sesuai dengan input jumlah penduduk yang direncanakan. Prototipe Titik Pusat Pelayanan d a n J a r i n g a n Pe rg e r a k a n direncanakan dengan kriteria sebagai berikut:

• Pusat Kecamatan Perkotaan dengan Proyeksi Penduduk: 120.000 Jiwa (SNI 03 1733 2004 Standar Permukiman Perkotaan)

• Konsep Rencana: 1 PPK Skala Kecamatan dan 6 SPPK Skala Kelurahan

• Luas WP = Luas Lingkaran Pelayanan Kota Kecamatan Radius 3 Km (SNI 03 1733 2004 Standar Permukiman Perkotaan) = 2.828,57 Ha

• R a d i u s P P K , S P P K , P L d a n H i e r a r k i S P U d a n Perdagangan Jasa dibuat berjarak 1-3 Km sesuai SNI.

• Arteri Sekunder didesain dengan lebar daerah milik jalan (DAMIJA) 2 x 38,5 meter

• Kolektor Sekunder didesain dengan lebar DAMIJA 2 x 29,2 meter

• Lokal Sekunder didesain dengan lebar DAMIJA 2 x 12 meter

• L i n g k u n g a n S e k u n d e r didesain dengan lebar DAMIJA 2 x 6,5 meter

Daya Tampung dan Arahan Komposisi Distribusi Peruntukan Ruang Utama

Diasumsikan WP berbentuk lingkaran ini hanya memiliki satu kelas daya tampung yakni daya tampung sedang dan dengan planning knowledge kita rencanakan menjadi Green City yang berkontribusi pada ruang publik (RTH + Infrastruktur) sebesar 45% (±1.300 Ha), 45% untuk Perumahan + Fasos + Fasum (±1.300 Ha) dan 10% untuk peruntukan lainnya (cadangan pengembangan).


Penetapan Rencana Jaringan Prasarana dan Rencana Pola Ruang

Konsep rencana jaringan prasarana dan sumber daya buatan sebagai berikut:

• Desain Kota merupakan miniaturisasi dari Garden City yang diusung oleh Ebenezer Howard dengan ukuran blok 1-2 hektar.

• Rasio Luas Perumahan berbanding Ruang Publik (RTH dan Infrastruktur) adalah 40:50. Sisa 10% untuk lahan cadangan perkembangan (negotiated development)

• Luas Ruang Infrastruktur yang diwakili oleh Badan Jalan mengikuti American Urban Standard yakni 20%.

• Kebutuhan (Sarana Pelayanan Umum (SPU) dan Perdagangan Jasa untuk standar 120.000 jiwa dihitung berdasarkan SNI, menghasilkan 2% untuk SPU dan Perkantoran, dan 1% untuk Perdagangan Jasa.

• Luas RTH mengikuti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yakni RTH Publik sebesar 20%. Radius dan Luas Taman Kota di PPK dan Taman Kecamatan di SPPK mengikuti SNI dan Permen ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan RTH.

 


 

 

 

Sumber: Oleh : YUDHA PERDANA, ST.,MT Dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi I | Januari - April 2024

Rabu, 07 Agustus 2024

MENGUKUR PERAN RDTR DALAM PENINGKATAN INVESTASI DAN PENGEMBANGAN WILAYAH

RENCANA Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi dokumen penting dalam peningkatan investasi yang mulai dikemukakan sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik. Pelaku usaha wajib memiliki izin usaha yang diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission (OSS). Izin usaha diterbitkan setelah lembaga OSS menerbitkan salah satunya adalah izin lokasi berdasarkan komitmen. Jika lokasi yang dimohonkan pelaku usaha sudah sesuai dengan RDTR, izin lokasi dapat diberikan tanpa komitmen. PP Nomor 24 tahun 2018 yang sudah diperbaharui dengan PP No. 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan Berbasis Risiko ini memberikan ruang kemudahan untuk berinvestasi apabila lokasi usaha sudah memiliki RDTR, sehingga RDTR menjadi dokumen yang sangat penting untuk perizinan berusaha.

Terbitnya Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) menguatkan Rencana Tata Ruang sebagai panglima dari proses investasi di Indonesia. RDTR menjadi ujung tombak referensi dalam proses perizinan sehingga dibutuhkan penyediaan RDTR dengan kualitas yang baik. Percepatan penyediaan RDTR ini menjadi program utama dalam memberikan kepastian untuk peningkatan investasi. Beberapa terobosan yang dilakukan melalui UUCK dan peraturan turunannya yaitu PP No. 21 tahun 2021 dan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 11 tahun 2021 terhadap percepatan penyediaan RDTR antara lain:

1. Batasan waktu penyelesaian RDTR menjadi 12 bulan yang meliputi 8 bulan untuk proses penyusunan dan 4 bulan untuk proses penetapan.

2. RDTR ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang menjadi kewenangan Wali Kota/Bupati yang proses penetapannya tidak perlu melalui proses pembahasan dengan legislatif yang dapat memakan waktu cukup lama.

3. Pemberian surat persetujuan substansi sebagai syarat penerbitan Perkada RDTR memiliki batas waktu 20 hari kerja setelah dilakukan pembahasan lintas sektor.

4. Wali Kota/Bupati hanya memiliki waktu 1 (satu) bulan untuk menetapkan Perkada RDTR pasca penerbitan surat persetujuan substansi dari Kementerian ATR/BPN.

5. Adanya kepastian RDTR akan ditetapkan sebagai peraturan dengan pengambilalihan penetapan RDTR menjadi Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN apabila dalam 1 bulan RDTR tidak ditetapkan menjadi Perkada.

Sebagai dasar pemberian izin melalui sistem OSS, dukungan standar basis data untuk proses digitalisasi sangat dibutuhkan. RDTR yang disusun harus menyesuaikan dengan standar basis data sehingga dapat dibaca oleh sistem OSS. Standar basis data untuk penyusunan RDTR telah diatur dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 14 tahun 2021. Selain itu, dukungan pemanfaatan teknologi informasi juga telah dikembangkan dengan berbagai platform online, seperti GISTARU, RTR online dan RDTR interaktif.



Peningkatan jumlah RDTR ini tidak terlepas dari berbagai pihak, baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang berkepentingan terhadap peningkatan ekonomi, Badan Informasi Geospasial selaku walidata peta dasar skala besar, Kementerian Lingkungan Hdup dan Kehutanan berkaitan dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Kementerian Keuangan yang memberikan dana tambahan, Kantor Staf Presiden dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi. Kementerian ATR/BPN sebagai pembina penataan ruang di daerah berkewajiban untuk mengawal penyelesaian RDTR hingga diintegrasikan dengan sistem OSS dengan kualitas yang baik.

RDTR dan Sistem OSS

Berdasarkan PP Nomor 5 tahun 2021, pelaksanaan perizinan berusaha berbasis risiko dilakukan secara elektronik dan terintegrasi melalui sistem OSS. Terdapat tiga subsistem dari sistem OSS, yaitu subsistem pelayanan informasi, susbsistem perizinan berusaha, dan subsistem pengawasan. Dalam subsistem pelayanan informasi, sistem OSS menyediakan informasi dalam memperoleh perizinan berusaha berbasis risiko yang diantaranya memuat KBLI, rencana tata ruang dan juga persyarataan dasar yang meliputi KKPR, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi serta persetujuan lingkungan. Mengacu kepada pengaturan PP Nomor 5 tahun 2021, RDTR mempunyai peran dalam percepatan investasi yaitu:

1. RDTR menyediakan informasi awal pelaku usaha terkait lokasi kegiatan usaha yang dimohonkan (subsistem pelayanan informasi OSS)

2. RDTR membantu percepatan perizinan berusaha OSS RBA. Konfirmasi KKPR dapat diterbitkan secara otomatis pada lokasi dimana sudah tersedia RDTR terintegrasi dengan OSS

Untuk dapat menjadi dasar penerbitan konfirmasi KKPR, ada proses yang perlu dilakukan terlebih dahulu yaitu mengintegrasikan RDTR yang sudah ditetapkan ke dalam sistem OSS. Proses integrasi ini belum sepenuhnya dipahami oleh berbagai pihak, terutama pemerintah daerah yang akan melakukan integrasi tersebut.

Mekanisme integrasi RDTR dengan sistem OSS RBA, secara substansi sudah dimulai sejak penyusunan RDTR. Salah satu proses yang perlu dilakukan dalam integrasi RDTR ke dalam sistem OSS adalah melakukan digitalisasi muatan RDTR (Intensitas Pemanfaatan Ruang, Ketentuan Tata Bangunan, ITBX, dan Peta). Digitalisasi dilakukan oleh pemerintah daerah dengan bimbingan dari Kementerian ATR/BPN c.q. Direktorat Jenderal Tata Ruang. Proses digitalisasi muatan RDTR sudah dimulai sejak surat persetujuan substansi RDTR ditandatangani oleh Menteri ATR/kepala BPN, c.q. Direktur Jenderal Tata Ruang. Setelah proses digitalisasi selesai, proses integrasi ke dalam sistem OSS mulai dilakukan. Proses integrasi dilakukan oleh kementerian investasi/BKPM setelah melakukan uji coba terlebih dahulu. Berikut alur integrasi RDTR dengan sistem OSS RBA:




Perkembangan integrasi RDTR antara GISTARU-RDTR Interaktif dengan OSS RBA, masih jauh dari yang diharapkan. Sampai dengan bulan Februari 2024, jumlah RDTR yang telah terintegrasi dengan sistem OSS baru 210 RDTR. Kecepatan integrasi RDTR OSS belum dapat mengimbangi terbitnya Perkada RDTR. Hal ini tentunya menjadi tantangan ke depan bagaimana proses integrasi bisa dilakukan secara lebih cepat dan efisien, mengikuti kecepatan proses penyelesaian RDTR di daerah.



RDTR dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)

Konfirmasi KKPR yang diterbitkan oleh sistem OSS – RBA tidak terlepas dari jenis kegiatan usaha yang akan dimohonkan. Tabel ITBX adalah tabel yang mengatur berbagai jenis kegiatan usaha yang dapat diizinkan (I), diizinkan bersyarat (B), diizinkan terbatas (T) atau dilarang (X) pada zona/sub zona pola ruang. Kegiatan usaha yang diatur dalam tabel ITBX RDTR untuk sistem OSS-RBA ini mengacu kepada jenis kegiatan usaha berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik.

KBLI merupakan pengklasifikasian aktivitas/kegiatan ekonomi Indonesia yang menghasilkan produk/ output, berupa barang maupun jasa, berdasarkan lapangan usaha. KBLI disusun berdasarkan Internasional Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) yang diterbitkan oleh United Nations of Statistical Division (UNSD). KBLI disempurnakan paling cepat 5 tahun sekali atau jika ada rujukan internasional terbaru. KBLI terakhir diterbitkan adalah KBLI 2020 (Peraturan BPS No. 2/2020).

Ruang lingkup klasifikasi KBLI terbatas pada unit yang terlibat dalam aktivitas ekonomi, yang ditandai adanya input, proses produksi, dan menghasilkan output. Dalam klasifikasi, seluruh data dikelompokkan ke dalam kelas-kelas yang sehomogen seusai kaidah atau standar tertentu. Kegiatan yang memiliki proses yang sama, baik menggunakan mesin atau manual dalam memproduksi barang atau jasa, dikelompokkan bersama dalam satu kode KBLI. Struktur pengkodean KBLI terbagi atas: Kategori (Alfabet), Golongan pokok (2 digit), Golongan (3 digit), Sub golongan (4 digit) dan Kelompok (5 digit).

Contoh struktur Pengkodean KBLI 2020 sebagai berikut :

Penyusun RDTR perlu memahami dan memperhatikan jenis kegiatan usaha atau kodefikasi kegiatan berusaha dalam KBLI 2020. Strukturisasi data, terminologi, karakteristik/sifat, kebutuhan ruang, dan aturan sektoral terkait pada setiap KBLI kegiatan menjadi penting di dalam pengaturan pada tiap-tiap alokasi ruang. Untuk kode KBLI yang dimuat dalam tabel ITBX, sebaiknya menggunakan KBLI digit 5. Namun, sistem OSS masih bisa membaca kode KBLI sampai digit 3.

Tantangan Implementasi RDTR Sebagai Dasar Perizinan

RDTR terintegrasi OSS menjadi dasar pemberian KKKPR sudah menjadi peraturan yang harus dilalui dalam proses perizinan. Perizinan berbasis sistem OSS bertujuan mengurangi peluang indikasi korupsi dalam bidang perizinan. Adanya sistem OSS dapat mereduksi waktu proses perizinan berusaha sehingga diharapkan dapat mempercepat ralisasi investasi.

Memperhatikan jumlah pertambahan jumlah RDTR terintegrasi OSS yaitu 210 RDTR (status Februari 2024), juga diikuti dengan peningkatan jumlah KKKPR yang terbit sampai dengan awal tahun 2024 sejumlah 191.277 K-KKPR. Dengan pertambahan jumlah KKKPR, diharapkan RDTR ikut membantu percepatan investasi.



Dinamika pembangunan menjadi salah satu tantangan dari RDTR. Terdapat beberapa daerah yang mengajukan permohonan untuk perubahan muatan RDTR sebelum satu tahun Perkada tersebut ditetapkan. Sebagian besar perubahan yang diinginkan disebabkan adanya pengaturan peraturan zonasi khususnya tabel ITBX yang kurang lengkap pada suatu RDTR yang menyebabkan permohonan KKKPR tertolak.

Terhadap daerah yang mengajukan permohonan perubahan, sejauh ini yang sudah dilakukan untuk mengakomodir permohonan investasi tersebut adalah: (a) Jika jenis kegiatan yang dimohonkan sudah diatur dalam RDTR, meskipun tidak muncul kode KBLI-nya, akan dilakukan mapping KBLI dan mengubah Data Base Peraturan Zonasi (DBPZ). (b) Jika jenis kegiatan dimohonkan sama sekali tidak diatur dalam RDTR, harus dilakukan revisi RDTR. Tantangan selanjutnya adalah beberapa RDTR yang disusun tidak mengikuti pengaturan dari RTRWK yang berlaku saat itu (tidak compliance).

RDTR merupakan pendetailan dari RTRWK yang seyogyanya pengaturan dari RDTR sejalan dengan RTRWK yang berlaku. Permasalahan akan muncul ketika revisi RTRWK diindikasikan bahwa muatan dalam RDTR yang disusun menjadi sebuah pemutihan. Pelanggaran yang mungkin terjadi belum sempat ditindaklanjuti dengan penyelesaian pelanggarannya, namun sudah dilegalkan dengan adanya RDTR. Sehingga dalam penyusunan RDTR perlu kehati-hatian dan memperhatikan hasil audit yang pernah dilakukan.

Strategi untuk RDTR yang Berkualitas di Masa Mendatang

1.     Strategi kedepan terkait dengan data, yaitu:

• mendorong pemanfaatan data IGT kebijakan satu peta;

• mendorong walidata untuk menyediakan IGT penyusunan RDTR;

• percepatan penyediaan peta dasar skala 1:5.000;

• mendorong pengembangan Big Data yang sudah menggunakan sharing data dari K/L.

2.     Strategi ke depan terkait proses integrasi RDTR ke dalam sistem OSS:

• Penyederhanaan proses dan prosedur integrasi RDTR ke dalam sistem OSS serta sosialisasi secara intensif kepada pemerintah daerah terkait mekanisme integrasi RDTR ke dalam sistem OSS;

• Perlunya penyesuaian daftar kegiatan RDTR dengan KBLI OSS, dibutuhkan pedoman matriks alokasi ruang antara kegiatan ruang RDTR dengan kode KBLI pada masing – masing sektor. Dalam proses penyusunan RDTR perlu mencantumkan jenis kegiatan usaha (KBLI) mempertimbangkan prospek investasi melibatkan DPMPTSP

• Peningkatan algoritma logic d a n pengembangan fitur sehingga sistem OSS dapat membaca secara utuh muatan RDTR: peningkatan algoritma logic untuk permohonan yang lebih kompleks (contoh: multi KBLI pada satu lokasi yang memiliki RDTR, lintas zona RDTR dan non RDTR, multi ketentuan khusus pada satu lokasi)

• Penyesuaian data dan informasi yang mendukung memastikan tampilnya seluruh ketentuan terkait ITBX dalam produk KKKPR, perlu standarisasi format inputan data

• Peningkatan kapasitas infrastruktur digital: peningkatan kapasitas infrastruktur digital dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih optimal serta migitasi risiko bila layanan KKKPR RDTR OSS tidak berjalan.

3.     Untuk mengoptimalkan RDTR agar mampu memberikan kepastian dalam proses investasi, kualitas RDTR perlu ditingkatkan. Strategi untuk meningkatkan kualitas dilakukan dengan:

• RDTR harus disusun dengan analisis berbasis rencana (bukan eksisting) berdasarkan kondisi wilayah secara spasial,

• mengoptimalisasi peruntukan lahan dengan mempertimbangkan pertambahan nilai lahan,

• m e l a ku k a n a n a l i s i s o p t i m a s i K B L I berdasarkan analisis potensi investasi berbasis skenario,

• optimalisasi pengaturan ITBX dan penerapan teknik pengaturan zonasi.

Di masa mendatang diharapkan RDTR dapat menjadi lebih mudah dipahami dan hasil yang berkualitas dan didukung dengan sistem OSS yang optimal. KKKPR yang diterbitkan sesuai dengan apa yang diatur dalam RDTR dan tidak menimbulkan konflik di kemudian hari. Peran RDTR dalam peningkatan investasi dan pengembangan wilayah semakin jelas menunjukan tata ruang adalah panglima pembangunan.

 


 

 

 

 

 

Sumber : oleh Reny Windyawati, ST, MSc dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi I | Januari - April 2024

Jumat, 09 Februari 2024

PARAMETER KUNCI KUALITAS ANALISIS RENCANA DETAIL TATA RUANG

Terdapat Tiga Belas Parameter Kunci Kualitas Rencana Detail Tata Ruang dari aspek ketajaman analisis meliputi Kesesuaian dengan RTRW; Delineasi; Peta Potensi, Masalah, dan Perumusan Tema/ Tujuan serta Konsistensinya dengan Substansi Lainnya; Daya Dukung - Daya Tampung; Bidang Tanah dan Zona Nilai Tanah (Ekonomi Perkotaan); Alternatif Konsep Pusat-Pusat Pelayanan; Jaringan Pergerakan dan Skenario Transportasi; Standar Kebutuhan Ruang (Sumber Daya Buatan); Alternatif Konsep Rencana; Pengembangan Program; Delineasi Blok Peruntukan; Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan; dan Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Tata Bangunan. Pada artikel ini dengan lugas dan berani diperkenalkan angka baku mutu untuk ketiga belas parameter tersebut.

Kualitas Rencana Tata Ruang

Parameter kualitas lingkungan, misalnya air meliputi derajat keasaman (pH), jumlah oksigen yang diperlukan untuk menguraikan limbah (BOD dan COD), tingkat kekeruhan (NTU), dan lain-lain. Demikian pula dengan dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) yang menilai dampak usulan proyek pembangunan terhadap kualitas lingkungan dengan terukur. Tidak seperti parameter kualitas lingkungan yang sifatnya scientific, kualitas rencana tata ruang berayunayun dari persepsi sosial akan ruang sampai perhitungannya, dari pendapat ahli tata kota/ wilayah, pendapat ahli lain yang multiperspektif, sampai masyarakat umum sebagai pengguna ruang. Pakar Manajemen, Peter Drucker berkata: “If you can’t measure it, you can’t manage it”. Begitu pula dengan kualitas Rencana Tata Ruang yang jika tidak dapat diukur maka tidak dapat dikelola dengan benar. Multiaktor dan multiperspektif memandang kualitas Rencana Tata Ruang dari perubahan kualitas wilayah/ kota di lapangan, ketepatan perhitungan Analisis Rencana Tata Ruang, sampai kekuatan stakeholder untuk menata ruang bersama berdasarkan rencana tata ruang yang telah disepakati. Di sini dapat diuraikan bahwa kualitas Rencana Tata Ruang meliputi: Kualitas Data; Kualitas Tim Penyusun; Kualitas dan Tingkat Partisipasi; Besar Gap Eksisting dengan Rencana; Kekuatan Konsep Menjawab Isu; Kekuatan Implementasi Perwujudan Ruang; dan Kualitas Analisis.

1.     Kualitas Data Terdapat istilah garbage in - garbage out, yakni kualitas data input yang buruk, menghasilkan keluaran yang buruk juga. Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang, data adalah bahan baku utama dalam produksi Rencana Tata Ruang. Kebalikan dari data adalah noise. Noise adalah data yang tidak perlu yang harus dihindari agar proses analisis efisien dan berkualitas. Data yang bebas noise adalah data yang terpakai maksimal untuk serangkaian analisis. Analisis tersebut menghasilkan data baru yang juga terpakai maksimal sebagai input untuk analisis selanjutnya. Begitu seterusnya rangkaian analisis bekerja sampai dihasilkan rencana struktur ruang dan rencana pola ruang disertai cara perwujudannya dan aturan mainnya. Kualitas data dimaksud akan dimaksud pada buletin tata ruang berikutnya.

2.     Kualitas Tim Penyusun Pandangan ini menilai semakin luas spektrum ilmu dan semakin dalam keahlian tim penyusun maka semakin tinggi kualitas RDTR yang akan tercipta. Daftar kompetensi dan levellingnya mulai level pemula sampai legenda telah dikupas padat dan lugas pada pada Artikel Berjudul Short-Review List Kompetensi dan Levelling Penyusun RDTR yang ditulis oleh Yudha Perdana pada Rubrik Pojok Ruang, Buletin Tata Ruang Edisi 5 | September – Oktober 2021 Halaman 48-51 ISSN 2549- 3450)

3.     Kualitas dan Tingkat Partisipasi Tingkat partisipasi yang tinggi tidak hanya ditandai dengan jumlah orang yang hadir saja, tapi ketajaman masukan yang diberikan baik pada lingkungan perumahannya, sarana prasarana, akses ke tempat kerja dan rekreasi yang efisien, sampai penerjemahan visi kota ke setiap fungsi ruang di setiap blok/lingkungan.

4.     Besar Gap Eksisting dengan Rencana Pepatah berkata “gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Semakin tinggi cita-cita, maka semakin besar rencana dan strategi yang dibuat, sebaliknya semakin rendah citacita, semakin kecil rencana dan strategi yang dibuat. Demikian pula dengan rencana tata ruang yang merupakan kritik terhadap kondisi eksisting. Semakin kecil gap antara penggunaan lahan eksisting dengan rencana pola ruang, maka semakin kecil rencana, atau bahkan tidak ada rencana tata ruang sama sekali.

5.     Kekuatan Konsep Rencana Menjawab Isu Rencana Tata Ruang ibarat resep obat yang diberikan perencana terhadap penyakit yang diderita wilayah/kota menggunakan penjelasan gejala baik yang disampaikan oleh masyarakat maupun yang diobservasi secara langsung. Semakin tepat jenis dan dosis obat yang diberikan, semakin cepat sehat wilayah/ kota dan terhindar dari penyakit yang sama lagi.

6.     Kekuatan Implementasi Perwujudan Ruang Inti dari penataan ruang adalah pada predikatnya, yakni “menata” di lapangan. Banyak Rencana Tata Ruang yang cenderung bersifat pasif-pragmatis, yakni hanya mengikuti perizinan dan bidang tanah eksisting sembari mencoba membuka peluang investasi swasta sebesarbesarnya. Penataan ruang secara pasif seperti ini berpotensi memunculkan penyakitpenyakit tata ruang yang makin besar seperti perumahan yang kian menjamur sporadik, perdagangan jadi koridor tak terputus antarkota di jalan primer, pabrik bermunculan di lahan sawah, dan kemacetan parah justru di perdesaan/pinggiran kota, dan ruang terbuka publik yang semakin musnah.

7.     Kualitas Analisis Pandangan ini bertumpu sepenuhnya pada proses teknokratik dengan analisis sebagai senjata utamanya. Perspektif kualitas analisis tidak melihat kualitas subjek (tim penyusun) sama sekali, melainkan ketepatan metode dan indikator yang harus ada pada output antara masingmasing analisis. Perspektif kualitas analisis ini akan dikupas dengan padat dan tuntas pada artikel ini.

Kualitas Analisis Rencana Detail Tata Ruang

Sebuah godaan di era teknologi informasi yang menuntut segala proses harus sistemik (lintas komponen) dan sistematik (runut), maka analisis Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) harus dipaksakan sebagai sebuah rangkaian analisis yang linier, dimana keluaran analisis-1 menjadi masukan untuk analisis-2 dan seterusnya sampai tercapai keluaran akhir RDTR. Guna memenuhi hal tersebut, maka analisis penyusunan RDTR yang runut menghasilkan sub output (keluaran antara) meliputi: 1. Peta Konstanta Ketetapan dan Arahan Makro; 2. Delineasi; 3. Peta Potensi, Masalah, Visi Wilayah Perencanaan; 4. Peta Daya Dukung Daya Tampung; 5. Alternatif Pusat Pelayanan; 6. Jaringan Pergerakan dan Moda Transportasi; 7. Perencanaan Sumber Daya Buatan (Fasos Fasum dan Jaringan/Utilitas); 8. Alternatif Konsep Rencana; 9. Indikasi Program dan Sumber Pembiayaan Pembangunan; 10. Rumusan Kriteria Lokal Minimal Subzona; dan terakhir 11. Peraturan Zonasi (sebagaimana telah dikupas tuntas pada Artikel Berjudul Algoritma RDTR Builder yang ditulis oleh Yudha Perdana pada Buletin Tata Ruang Edisi 3 | Mei – Juni 2020 Halaman 48-54 ISSN 2549-3450)

1.     Keterkaitan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)

Tujuan pemeriksaan Keterkaitan dengan RTRW adalah memastikan arahan RTRW dan kebijakan makro pada titik pusat kegiatan yang akan didetailkan. Keluarannya berupa tabulasi dan peta kebijakan makro (RTRW dan sektoral), pola kepadatan spasial permukiman, dan rancangan umum delineasi.




2.    Delineasi Wilayah Perencanaan (WP)

Delineasi yang baik menciptakan wilayah perencanaan yang kompak dengan batas fisik yang jelas di lapangan dan mampu dilalui dengan nyaman berjalan kaki dari titik stasiun antar moda. Setiap delineasi WP seluas 2.500 Ha (5 km x 5 km) dengan proyeksi penduduk 480.000 jiwa idealnya dilayani oleh satu titik pusat wilayah perencanaan (WP) perkotaan.



3.    Peta Potensi, Masalah, dan Perumusan Tema/Tujuan serta Konsistensinya dengan Substansi Lainnya

Selain memenuhi amanah RTRW, penyusunan RDTR berangkat dari sebuah visi yang berdasarkan pada analisis potensi dan masalah yang terukur. Keluarannya adalah: tabulasi dan skoring potensi, permasalahan, peluang, dan tantangan pembangunan WP; peta potensi, permasalahan, peluang, dan tantangan pembangunan WP; Tema Pengembangan dan Tujuan Penataan Ruang; Planning knowledge berupa Indikator Kinerja WP yang terukur. Contoh permasalahan pengembangan perkotaan, antara lain:

a. Penurunan muka tanah 20cm/tahun

b.Tingkat kemacetan tertinggi di Indonesia

c. Volume sampah di TPA 1.500 ton/hari

d.Anomali banjir besar yang mendadak tiba sering menerpa di pusat kota

e. Penambahan kawasan kumuh 10 ha/tahun

f. Pengangguran akibat berhentinya era kejayaan industri tekstil yang padat karya di Era 1990an.



Contoh Output Visi/Tujuan = “Mewujudkan Ruang Kota Cerdas sebagai Ikon Pusat Mode dan Pariwisata Landscape Taman Bunga Nusantara didukung Sentra IKM Kuliner dan Fashion Kualitas Ekspor Asia Pasifik.” Contoh Indikator Pengembangan Perkotaan antara lain:

a. Radius puskesmas maksimal 3 Km dari Titik Terjauh di Zona Perumahan;

b.Radius Sekolah Dasar maksimal 1 Km dari Titik Terjauh di Zona Perumahan;

c. Jarak Taman Kota maksimal 5 Km dari titik terluar kawasan perkotaan;

d.Tersedianya angkutan massal cepat yang mampu membawa 50% penduduk pada jam sibuk di titik terjauh kawasan perkotaan sekitarnya (KKS) ke kawasan perkotaan inti (KKI) dan sebaliknya dalam waktu selambat-lambatnya 15 menit;

e. Penurunan tanah dan air tanah menjadi konsisten di bawah 1 cm/tahun pada tahun 2035 – 2040.

4.   Daya Dukung-Daya Tampung

Tujuan dilakukan analisa daya dukung-daya tampung adalah mengetahui batasan alam terhadap tekanan penduduk dan jumlah maksimal penduduk terhadap kondisi alam. Keluarannya adalah: peta klasifikasi kemampuan lahan (lindung sampai budidaya terbangun) dan peta batas maksimal penduduk di setiap klasifikasi tersebut.



5.    Bidang Tanah dan Zona Nilai Tanah/ZNT (Ekonomi Perkotaan)

Tujuan analisis ini adalah menghitung potensi ekonomi eksisting dan tambahan pertambahan ekonomi yang dapat dimanfaatkan dengan disusunnya RDTR. Dalam melakukan analisis ini perlu memperhatikan konsistensi antara bidang tanah dan zona nilai tanah terhadap rencana pola ruang (garis dan poligon batas pola ruang), batas wilayah perencanaan (SWP/Blok/Sub-Blok),dan luas serta sebaran Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik.



6.    Alternatif Konsep Pusat-Pusat Pelayanan

Pusat-pusat pelayanan yang baik adalah merata dan berhierarki. Keluarannya antara lain: Titik Pusat Pelayanan Kota (PPK), Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK), dan Pusat Lingkungan (PPL) yang diikuti dengan delineasi SWP dan Blok. Periksa kondisi berikut:

a. PPK idealnya terletak di centroid WP;

b. SPPK di centroid Sub WP; dan

c. PL di centroid Blok besar

Jadi jumlah WP = jumlah PPK = 1 tiap RDTR. Jumlah sub WP = jumlah SPPK + 1 PPK. jumlah Blok besar = jumlah PL. Titik pusat pelayanan harus berkorelasi dengan zona terbangun, dengan urutan prioritas zona:

a. Sarana pelayanan umum (SPU);

b. Perkantoran;

c. RTNH;

d. Perdagangan dan Jasa;

e. RTH Taman Kota; dan

f. Perumahan

g. Pusat-pusat pelayanan RDTR yang didetailkan dari pusat kegiatan RTRW kabupaten/kota harus sesuai dengan standar hierarki pusat kegiatan RTRW, penduduk yang dilayani, dan luasan WP, SWP, dan bloknya (selengkapnya pada Tabel 6, Tabel 7, dan Tabel 8):



01. Pusat Pelayanan internal di dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN) atau Pusat Kegiatan Wilayah (PKW) ≥1 Juta Jiwa atau setara dengan Ibukota Provinsi:

a. Pusat Kota (PK) PK melayani seluruh wilayah Kota Administratif dengan luas terbangun 62.500 ha (25 km x 25 km) untuk PKN dan 10.000 ha (10 km x 10 km) untuk PKW dengan penduduk >1 juta. PK membawahi beberapa PPK yang jumlahnya menjadi dasar delineasi WP.

b. Pusat Pelayanan Kota (PPK)

• PPK melayani wilayah perencanaan (WP) seluas 2.500 ha (5 km x 5 km) dengan penduduk 1 Juta.

• Setiap delineasi WP harus memiliki tujuan penataan ruang tersendiri

• PPK membawahi beberapa SPPK yang jumlahnya menjadi dasar delineasi SWP.

c. Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK)

• SPPK melayani Sub Wilayah Perencanaan (SWP) seluas 900 ha (3 km x 3 km) dengan penduduk 480.000 jiwa

• SPPK membawahi beberapa PL yang jumlahnya menjadi dasar delineasi blok-blok besar. d. Pusat Lingkungan Kecamatan (PL Kec) PL Kec melayani blok seluas 400 ha (2 km x 2 km) dengan penduduk 120.000 jiwa. PL Kec membawahi PL Kel yang jumlahnya menjadi dasar delineasi blok yang lebih kecil.

e. Pusat Lingkungan Kelurahan (PL Kel) PL Kel melayani Blok kecil seluas 100 ha (1 km x 1 km) dengan penduduk 30.000 jiwa. PL Kel membawahi beberapa PL RW yang jumlahnya menjadi dasar delineasi sub blok.

f. Pusat Lingkungan RW (PL RW) PL RW melayani Sub Blok seluas 81 ha (900 m x 900 m) dengan penduduk 2.500 jiwa



02. Pusat Pelayanan internal di dalam Pusat Kegiatan Lokal (PKL) 480.000 Jiwa atau setara dengan Ibukota Kabupaten:

a. PPK

PPK melayani WP seluas 2.500 ha (5 km x 5 km) dengan penduduk 480.000 jiwa.

b. SPPK

SPPK melayani SWP seluas 900 ha (3 km x 3 km) dengan penduduk 120.000 jiwa

c. PL Kel

PL atau PL Kel melayani blok besar seluas 400 ha (2 km x 2 km) dengan penduduk 30.000 jiwa.

d. PL RW

PL RW melayani blok seluas 100 ha (1 km x 1 km) dengan penduduk 2.500 jiwa.

e. PL RT

PL RT melayani blok kecil seluas 81 ha (900 m x 900 m) dengan penduduk 250 jiwa.

03. Pusat Pelayanan internal di dalam Pusat Pelayanan Kawasan (PPKAW) 120.000 Jiwa atau setara dengan Ibukota Kecamatan:

a. PPK

PPK melayani WP seluas 900 ha (3 km x 3 km) dengan penduduk 120.000 jiwa.

b. SPPK

SPPK melayani SWP seluas 400 ha (2 km x 2 km) dengan penduduk 30.000 jiwa.

c. PL RW

PL atau PL RW melayani blok seluas 100 ha (1 km x 1 km) dengan penduduk 2.500 jiwa.

d. PL RT

PL RT melayani blok/sub blok seluas 81 ha (900 m x 900 m) dengan penduduk 250 jiwa




7.    Jaringan Pergerakan, Skema Transportasi, dan Kerangka Estetika

Tujuan pergerakan yang baik menghubungkan pusat-pusat pelayanan yang berhierarki dengan jaringan pergerakan yang berhierarki, membentuk pola estetika kota, dan menetapkan moda transportasi yang berhierarki dan efisien. Keluarannya antara lain: Jalan arteri sekunder, kolektor sekunder, lokal sekunder, lingkungan sekunder menghubungkan PPK, SPPK, and PL dengan lebar jalan dan GSB yang sesuai; membentuk pola estetika kota; titik terminal, stasiun, halte; dan moda transportasi yang efisien. Periksa kesesuaian hierarki jaringan dengan hierarki pusat pelayanan yang dihubungkannya:

a. PPK ke SPPK adalah Arteri Sekunder dengan lebar minimal 11 meter dan GSB minimal 8 meter

b. Antar SPPK adalah Kolektor Sekunder dengan lebar minimal 9 meter dan GSB minimal 7 meter

c. SPPK ke PL adalah Lokal Sekunder dengan lebar minimal 7,5 meter dan GSB minimal 3,25 meter

d. Antar PL adalah Lingkungan Sekunder dengan lebar minimal 6,5 meter dan GSB minimal 2,25 meter

Periksa apakah ada analisa dan skenario transportasi yang memperhatikan bangkitan dan tarikan lalu lintas sehingga tercapai sebuah indikator transportasi kota misalnya tersedianya moda transportasi massal cepat yang mampu membawa seluruh pekerja dari rumah ke tempat kerja misal dalam waktu maksimal 15 menit.



8.    Standar Kebutuhan Ruang (Sumber Daya Buatan)

Tujuan menerapkan standar kebutuhan ruang (sumber daya buatan) adalah menciptakan kualitas hunian dan ruang perkotaan yang sesuai standar nasional. Keluarannya antara lain: Tabel dan Peta Rencana Zona SPU, Perumahan, Ruang Terbuka, Perdagangan Jasa, Jaringan Prasarana dan Utilitas. Langkah pemeriksaan:

a. Kebutuhan Ruang untuk penduduk di level kota (WP), kecamatan (SPPK), kelurahan (PL), sampai RW dihitung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor SNI 03 1733 Tahun 2004. Berapa kebutuhan Sarana Pelayanan Umum (SPU), Perdagangan Jasa, Ruang Terbuka Hijau, Perumahan, dan semua Jaringan Prasarana dan Utilitas.

b.Pastikan setiap proyeksi kebutuhan luas dan panjang sumber daya buatan dalam tabel sebanding dengan luas poligon dan garis dalam rencana pola ruang dan rencana struktur ruang.

c. Pastikan setiap Poligon Zona perumahan masuk dalam Radius Maksimal Sarana Pelayanan Umum (SPU) sesuai SNI tersebut. Misalnya zona perumahan harus masuk dalam radius 1 km dari lokasi Sekolah Dasar (SD).

d.Periksa juga pemenuhan standar jaringan prasarana dan utilitas sesuai SNI tersebut dan standar sektoral lainnya.



9.    Alternatif Konsep Rencana

Tujuan tahapan ini adalah menyeleksi alternatif rencana struktur dan pola ruang berdasarkan ketepatannya dengan tujuan/tema pengembangan, daya tampung maksimal, dan biaya perwujudannya. Keluarannya adalah dua atau lebih alternatif konsep rencana beserta kelebihan dan kekurangannya disesuaikan dengan tujuan/tema pengembangan, daya tampung maksimal, dan biaya perwujudannya. Langkah Pemeriksaan:

a. Buka buku fakta dan analisa di bagian konsep rencana tata ruang

b. Periksa adakah alternatif konsep rencana

c. Apakah diestimasi perbandingan biaya perwujudan struktur ruang dan pola ruang, dampak lingkungan, dan dampak sosialnya pada masing-masing alternatif.



10. Pengembangan Program

Tahapan ini membagi Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang ke dalam 4 (empat) tahapan pembangunan jangka menengah disertai cara membiayainya. Tahapan ini menghasilkan Peta dan Tabel Indikasi Program Perwujudan Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang Lima Tahunan. Langkah Pemeriksaan:

a. Periksa apakah ada gap/selisih (delta) antara eksisting dan rencana, baik delta struktur ruang, maupun delta pola ruang

b. Apakah dihitung rangking prioritas pembangunan pada masing-masing Sub WP

c. Apakah delta tersebut dispasialkan dalam shapefile (shp)

d. Apakah shp delta tersebut dihitung biaya perwujudannya

e. Apakah shp delta tersebut dibreakdown ke dalam 4 (empat) tahapan (pembangunan jangka menengah) beserta biayanya

f. Apakah biaya perwujudan ruang tersebut sesuai dengan kapasitas daerah?

g. Apakah biaya perwujudan ruang tersebut sebanding dengan potensi keuntungan/manfaat yang akan diraih?



11. Delineasi Blok Peruntukan

Langkah Pemeriksaan

a. Adakah proses penapisan suatu kegiatan dimasukkan ke dalam daftar aktifitas atau sebagai subzona

b. Apakah ada definisi dan kriteria untuk delineasi blok peruntukan?

c. Apakah blok peruntukan sudah menyesuaikan kondisi eksisting perizinan dan pertanahan, atau menerapkan pola land consolidation/readjustment?

Menggunakan definisi dan kriteria blok peruntukan yang dipilih tersebut, selanjutnya Konsep Final Rencana Pola Ruang (Zoning Map) perlu dikoreksi dengan:

a. batas fisik jalan dan air;

b. eksistensi persil/bidang tanah yang sah;

c. perizinan eksisting yang sah; dan

d. pemenuhan standar pekarangan dan lingkungan perumahan



12. Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan

Tahapan ini menjamin kriteria lokal minimal setiap subzona terpenuhi dengan mengantisipasi daftar kegiatan yang compatible dan kegiatan yang memberi dampak. Langkah Pemeriksaan:

a. Cek apakah ada definisi dan kriteria lokal minimal untuk setiap subzona

b. Adakah proses penapisan suatu kegiatan dimasukkan ke dalam daftar aktifitas atau sebagai subzona

c. Apakah kegiatan dalam matriks ITBX sudah mengikuti Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)

d. Apakah ada kajian dampak penetapan subzona terhadap munculnya kegiatan-kegiatan baru?

e. Apakah ketentuan ITBX dibangun dengan mensimulasi kegiatan terhadap subzona berdasarkan kajian dampak dan kriteria lokal minimal.



13. Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Tata Bangunan

Tahapan ini menjamin daya tampung tidak terlampaui, menjaga keamanan dari kecelakaan dan bencana, serta menciptakan estetika kota. Keluaran dari analisis ini adalah koefisien dasar bangunan (KDB) dan koefisien lantai bangunan (KLB) di setiap subzona; dan garis sempadan bangunan (GSB) dan tinggi maksimal bangunan yang homogen di setiap subzona/blok/hierarki jalan. Langkah Pemeriksaan:  

a. Buka buku fakta dan analisa bagian peraturan zonasi, sub bagian intensitas pemanfaatan ruang

b. Cek apakah intensitas pemanfaatan ruang dianalisis berdasarkan Laju Infiltrasi, Zona Nilai Tanah, Angin, Bencana, Jarak antar bangunan, KKOP, Potensi kebakaran, Perbandingan antara harga konstruksi dan harga beli tanah; Paparan cahaya matahari; dan viewshed

c. Cek kelaziman nilai intensitas pemanfaatan ruang sesuai dengan kriteria lokal masing-masing subzona, misal tanaman pangan dengan KDB 10%; Perkebunan dengan KDB 20%; Perdagangan Jasa dengan KDB 70%, Campuran dengan KDB 80%, dan lain-lain.

d. Cek kesesuaian dengan intensitas eksisting.

 


 

 

 

Sumber: Oleh YUDHA PERDANA, ST.,MT dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi III | November - Desember 2023