BUTUH 14 tahun bagi orang seperti Irwansyah untuk bisa mewujudkan impiannya punya rumah sendiri. Sebuah waktu yang cukup panjang. Selama 14 tahun itu, ia tak henti-hentinya mencari dan berburu rumah yang terjangkau dengan profesinya sebagai office boy di sebuah perkantoran swasta yang terletak di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Empat tahun menabung, dia akhirnya bisa mendapat sebuah rumah mungil di daerah Parung Bogor. Jarak rumah Irwansyah ke kantornya kurang lebih 25 kilometer. Sebuah jarak yang tak dekat.Namun bagi lrwansyah jarak tak jadi soal. Yang penting ia tak perlu lagi membayar uang kontrakan atau menumpang di rumah mertua atau orang tuanya. Irwansyah tak sendiri. Ada puluhan juta pekerja kelas menengah bawah yang bernasib seperti Irwansyah. Mereka harus rela mendapat hunian yang jauh dari tempatnya bekerja. Selain itu, akses terhadap transportasi publik pun terbilang minim. Dengan gaji yang relatif kecil ( sekitar Rp5 juta) tak mungkin bagi lrwansyah dan puluhan juta pekerja kelas menengah bawah bisa menempati hunian di tengah kota yang dekat dengan tempatnya bekerja. Rata-rata, mereka hanya bisa mendapat rumah di pinggiran Jakarta. Begitulah nasib kelas menengah bawah seperti Irwansyah. Padahal, pemerintah sudah mencanangkan konsep pembangunan perumahan skala besar sejak 1990. Pengembangan perumahan skala besar mulai dikembangkan saat Siswono Yudohusodo menjabat Menteri Perubahan Rakyat di Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Pengembangan dilakukan untuk wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Di Bekasi misalnya, Perumnas membangun Taman Galaxy, Setia Mekar, dan Bumi Bekasi Baru. Sedangkan pengembang swasta mengembangkan perumahan Kemang Pratama. Namun kenyataan di lapangan pengembangan perumahan skala besar di Bekasi itu tidak sesuai dengan PP 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri. Sekalipun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, substansi Kasiba dan pembangunan perumahan skala besar tak berubah.
Pun dengan PP 80 Tahun 1999. Meski telah
dicabut dan diganti PP Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan
dan Kawasan Permukiman, namun peraturan pelaksanaannya masih dinyatakan
berlaku. Artinya, Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor
31/Permen/M/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kawasan Siap Bangun dan
Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri, Peraturan Menteri Negara Perumahan
Rakyat Republik Indonesia Nomor 32/Permen/M/2006 tentang Petunjuk Teknis
Kawasan Siap Bangun Dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri, dan
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 32/Permen/M/2006 tentang
Pedoman Tatacara Penunjukan Badan Pengelola Kawasan Siap Bangun dan
Penyelenggara Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri pada prinsipnya masih
berlaku.
Kasiba didefinisikan sebagai bidang tanah
yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umum minimal sebesar 25%
telah dipersiapkan oleh Badan Pengelola untuk pembangunan lingkungan hunian
skala besar sesuai dengan rencana tata ruang. Sedangkan Lisiba adalah bagian
dari Kasiba dimana fisik tanahnya serta prasarana, sarana, dan utilitas umum
telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dengan batas-batas kaveling yang
jelas sesuai dengan rencana rinci tata ruang.
Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor
1Tahun2011 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Pemukiman menyebut,
"pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah
sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah."
Penyelenggaran perumahan dan kawasan
permukiman dengan Hunian Berimbang pada Peraturan Menteri Perumahan Rakyat
Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hunian Berimbang dilaksanakan diatur sebagai
berikut:
• Perumahan dengan jumlah
sekurang-kurangnya 50 sampai dengan 1.000 rumah;
• Permukiman dengan jumlah
sekurang-kurangnya 1.000 sampai dengan 3.000 rumah;
• Lingkungan hunian dengan jumlah
sekurang-kurangnya 3.000 sampai dengan 10.000 rumah;
• Kawasan permukiman dengan jumlah lebih
dari 10.000 rumah.
Selain pengaturan hunian berimbang dalam
bentuk rumah tapak, dikenal pula pengaturan hunian berimbang dalam bentuk rumah
susun dimana pengembang yang membangun rumah susun komersial wajib membangun
rumah susun umum sebesar 20% dari luas total rumah susun komersial sebagaimana
diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Namun, aturan
pelaksanaan ketentuan ini belum dirumuskan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.
Sebenarnya, jika aturan tentang hunian
berimbang dilaksanakan, orang seperti lrwansyah tak perlu jauh-jauh mendapatkan
hunian dari tempat kerjanya. lrwansyah yang bekerja di Cilandak, bisa saja
mengambil rumah di daerah Tanjung Barat atau daerah lain yang jauh lebih dekat
dengan tempat kerjanya. Selain itu, akses transportasi publik juga cukup
tersedia.
1. lsu Regulasi
Pemerintah, pengembang dan lembaga
keuangan, adalah tiga pilar utama dalam penyelenggaraan perumahan dan
permukiman skala besar. Meski dari sisi kelembagaan sudah jelas posisinya,
namun terkait wewenang, tugas, dan kewajiban masing-masing pemangku kepentingan,
pelaksanaannya ditengarai masih berjalan sendiri-sendiri.
Program pembangunan perumahan skala besar
yang berjalan sejauh ini, belum mampu mencegah spekulasi yang menjadikan tanah
yang merupakan faktor penentu dalam penyediaan rumah dipergunakan sebagai
barang komoditas sehingga melupakan fungsi sosialnya. Sejauh ini, kehadiran
perumahan skala besar seperti Bumi Serpong Damai, Summarecon, dan Alam Sutera jauh
dari memperhatikan keadilan ruang bagi MBR. Untuk itu perlu adanya jaminan
ketersediaan akses yang sama dan terjangkau bagi MBR sebagai bagian dari
masyarakat.
Meski pemerintah sudah mengatur adanya
hunian berimbang, namun praktek di lapangan tidak berjalan mulus. Ketersediaan
perumahan bagi kelompok MBR masih menempati lokasi yang kurang strategis dan
tidak cukup akses yang memadai, baik terhadap pusat perkotaan dan pusat
kegiatan ekonomi. Pengaturan hunian berimbang diperbaharui melalui pasal 50
ayat ( 4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menyebut
kewajiban pembangunan hunian berimbang di perumahan skala besar dalam satu
hamparan dan dapat dikonversi menjadi rumah susun umum namun tetap diwajibkan
dalam satu hamparan. Selanjutnya hasil konversi dalam bentuk dana diserahkan
kepada BP3 (Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan) untuk pembangunan rumah
umum.
2.
Siasat di Tengah
Keterbatasan
Meski belum sepenuhnya sepada dengan
harapan, sejatinya pembangunan pernmahan skala besar sangat dibutuhkan. Ira Lu
bis dari Direktorat Pernmahan dan Pemukiman Bappenas menegaskan, sedikitnya ada
empat alasan pentingnya pembangunan perumahan skala besar.
1. Suatu bentuk kehadiran negara dan bagian
dari strategi kota yang berkelanjutan.
2. Mencegah terhadinya urban sprawl.
3. Menumbuhkan pusat kegiatan barn.
4. Memastikan struktur kota itu terarah,
terpadu dan efektif di kabupaten dan kota.
Kebijakan pembangunan pernmahan dalam skala
besar dalam lima tahun ke depan mengacu pada kebijakan yang tercantum dalam
RPJMN dimana tujuan akhir pembangunan pernmahan skala besar itu adalah membuat
seluruh keluarga bisa menempati hunian yang layak dan terjangkau.
Agar tujuan itu terpenuhi, menurut Ira, ada
lima strategi yang akan dilakukan yaitu:
1. Kebijakan pernmahan ke depan hams
terpadu dengan tata rnang dan insfrastruktur dasar pemukiman, khususnya
transportasi publik.
2. Pernmahan publik yang berbasis rumah
susun di perkotaan.
3. Peremajaan kota sebagai cara mengakses
lahan di perkotaan.
4. Memanfaatkan tanah milik negara.
5. Mengembangkan peran dunia usaha termasuk
BUMN.
Pada tahun 2023, pemerintah mentargetkan
70% rnmah tangga di Indonesia sudah memiliki hunian yang layak. Bagaimana
caranya? Ada dua cara yang akan dilakukan, yaitu pertama, membangun hunian barn
dan kedua, meningkatkan kualitas rumah yang sudah ada.
Pembangunan perumahan skala besar bisa
dilakukan oleh BUMN dan badan usaha swasta yang difasilitasi oleh pemerintah
melalui badan Kasiba/ Lisiba, dimana badan usaha swasta diwajibkan menerapkan
hunian berimbang atau membayar dana konversi kepada BP3.
Pembangunan perumahan skala besar
seharnsnya diatur oleh pemerintah dengan memfasilitasi penyediaan lahan yang
dilengkapi dengan akses transportasi. Jika pembangunan skala besar itu lead-nya
badan usaha, kata Ira, diperlukan jaminan bahwa badan usaha menyediakan
perumahan bagi MBR sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang
Cipta Kerja.
Ira menyebut salah satu model pembangunan
perumahan
skala besaryang diinisiasi oleh BUMN. Namanya Parayasa. Lahannya dekat dengan
stasiun Parung Panjang. Pembangunan perumahan ini merupakan model pembangunan
skala besar kombinasi antara Perum Perumnas, BPK dail BNI untuk bisa mengembangkan
kawasan perumahan.
Model lain terdapat di Kota Palembang. Di
sini pembangunan perumahan skala besar diinisiasi swasta bekerjasama dengan
Bhayangkara. Kerja sama ini dilakukan untuk menyediakan perumahan bagi ASN dan
anggota TNl/Polri. Dua model itu bisa menjadi contoh bagaimana pembangunan
skala besar dilakukan.
Pembangunan perumahan skala besar selama
ini harus diakui memang banyak berorientasi pada perumahan tapak (landed
houses), dan baru pada tahun 2010 dilakukan pembangunan rumah susun skala besar
di Rawasari yang dikenal dengan nama Apartemen Green Pramuka dan diikuti oleh
Lippo Group dengan membangun Meikarta pada tahun 2017.
Membangun rumah tapak skala besar di
perkotaan butuh lahan dan modal besar. Masalahnya, harga tanah sangat mahal.
Dengan model rumah vertikal yang lokasinya berada di tengah kota, Ira yakin
harganya juga masih terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Tawaran yang
masuk akal.
Dari pemetaan di enam metropolitan di
Indonesia yang dilakukan Bappenas, menurut Ira, saat ini sudah tidak
memungkinkan lagi membangun rumah tapak skala besar di tengah kota yang dekat
dengan sarana transportasi, lokasi bagus, dan harganya terjangkau kalangan MBR.
Selain membangun rumah vertikal, Ira
menawarkan strategi urban renewal permukiman kumuh. Strategi ini merupakan cara
lain menyediakan lahan di perkotaan, melalui kerjasama dengan pemilik lahan,
konsolidasi tanah vertikal, revitalisasi rusun yang lama, atau mengkombinasikan
dengan kewajiban pengembang membangun hunian berimbang.
3.
Perubahan lndikator
RPJM 2020-2024 menyebut, arah kebijakan
pembangunan perumahan adalah meningkatkan akses masyarakat secara bertahap
terhadap perumahan dan permukiman layak, aman, dan terjangkau untuk mewujudkan
kota yang inklusif dan layak huni. Berdasarkan arahan Bappenas, terdapat 3
(tiga) tambahan indikator dari semula 4 (empat) hingga menjadi 7 (tujuh)
sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan, adalah: 1. Ketahanan konstruksi; 2.
Akses air minum; 3. Akses sanitasi; 4. Luas perkapita; 5. Mengentaskan
pemukiman kumuh; 6. Mengurangi backlogperumahan, dan: 7. Menjamin keamanan
bermukim.
Pengentasan permukiman kumuh terutama di
kawasan metropolitan sebagai bagian dari SDGs sudah ditangani dengan lebih
serius dengan ada Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Program ini bertujuan
meningkatkan kualitas infrastruktur permukiman kumuh, dan selanjutnya oleh
Bappenas diintegrasikan dengan New Urban Agenda (NUA)
Demikian halnya dengan akses air minum yang
aman dan terjangkau. Hal itu merupakan mandat dari Sustainable Development
Goals (SDGs). Sejauh ini, capaian rumah layak huni berdasarkan aspek
ketersediaan air min um rata-rata nasional masih sekitar 61 %. Provinsi
Bengkulu menempati tempat terendah diikuti oleh provinsi Lampung dan Banten.
Sementara posisi tertinggi ditempati oleh Provinsi Kalimantan Utara diikuti
oleh Provinsi Bali dan Kepulauan Riau.
Air minum perpipaan dinilai masih merupakan
sumber air minum terbaik terutama di perkotaan. Hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa penggunaan air tanah dangkal a tau air permukaan banyak yang
sudah tercemar oleh bakteri sedangkan penggunaan air tanah dalam membutuhkan
investasi dan biaya operasional yang besar.
Alcses sanitasi merupakan salah satu unsur
yang dapat menjamin lebih baiknya kesehatan masyarakat, di samping air minum,
dimana jika sumber air minum dalam bentuk pompa dangkal berdekatan dengan
septic tank dapat menyebabkan tercemamya air minum yang dikonsumsi masyarakat.
Oleh karena itu setiap mmah yang dibangun
oleh masyarakat maupun badan usaha hams dilengkapi dengan sanitasi yang baik,
terdapat septic tank beserta rembesannya yang dilenglapi dengan kloset yang
dapat berbentuk kloset jongkok, kloset duduk dan saluran pembuangan yang
memadai, serta memiliki jarak cukup jauh kepada sumber air minum berbentuk
pompa dangkal. Secara keselumhan mmah layak sanitasi secara nasional masih relatif
rendah hanya sebesar 38,30% pada tahun 2018, dan provinsi Papua menempati urutan terendah,
diikuti Kepulauan Bangka Belitung serta DKl Jakarta. Sementara yang tertinggi
berada di Provinsi Bali, diikuti oleh Kalimantan Utara dan DI Yogyakarta.
Perilaku membangun yang tidak sesuai dengan
kondisi kegempaan di Indonesia tidak hanya terjadi di Yogyakarta, bahkan di
kota-kota lainnya. Berangkat dari hal tersebut, Pemerintah mewajibkan selumh
mmah yang dibangun, baik oleh masyarakat maupun badan usaha harus memenuhi
standar teknis bangunan tahan gempa dengan menggunakan beton bertulang dengan
penggunaan diameter baja sesuai yang dipersyaratkan, sehingga masyarakat tidak
dirugikan,
apalagi rumah yang pemilikannya difasilitasi kemudahan oleh Pemerintah, hanya
diasuransikan terhadap kebakaran, bukan terhadap gempa.
Bangunan komersial seperti rumah toko juga
mengalami kerusakan, walaupun tidak menyeluruh, ada yang masih berdiri, namun ada pula yang
collaps. Sebaliknya rusunawa di Kabupaten Sleman yang dibangun oleh pemerintah, tidak
mengalami kerusakan yang berarti dan masih berdiri dengan kokoh. Pemeriksaan struktur bangunan rumah susun
menyimpulkan tidak ada kerusakan yang berarti, namun ada sebagian kecil dinding pengisi batako
yang runtuh dan plesteran dinding yang terkelupas, hanya dilakukan
perbaikan seperlunya.
Berdasarkan pengalaman tersebut, maka
ketahanan konstruksi bangunan rumah tinggal menjadi suatu keharusan. Diaz Rosano dari Direktorat Rumah Umum dan
Komersial Ditjen Perumahan Kementerian PUPR menyebutkan di RPJMN 2020-2024 terjadi perubahan indikator
dari backlog kepemilikan rumah menjadi backlog kepenghunian rumah. Indikator utama perumahan layak huni
ini adalah ketahanan konstruksinya, akses air minum yang baik, akses sanitasi, dan luas lantai
per orang.
Dalam RPJMN itu disebut, hingga 2024
pemerintah menargetkan 11 juta rumah tangga yang bisa menghuni rumah layak, dan
dari jumlah itu, 7,8 juta merupakan rumah tangga yang sudah ada, sedangkan 3,2 juta jumlah rumah tangga baru. Untuk memenuhi
target itu, pemerintah akan membangun empat jenis rumah: rumah susun, bantuan PSU,
bantuan stimulan rumah swadaya, dan rumah khusus. Model rumah ini akan dibangun di sejumlah
wilayah.
Pelaksana Program Sejuta Rumah per tahun ini memang tak hanya dilakukan oleh pemerintah tapi juga melibatkan swasta/dunia usaha dan masyarakat. Agar program ini bisa terpenuhi, kata Diaz, pemerintah sangat berharap dukungan dari swasta, mengingat pemerintah sendiri hanya mampu menyediakan maksimal 20 persennya.
Sementara untuk memenuhi kebutuhan rumah
layak huni bagi golongan MBR, pemerintah akan membangun 51.340 unit rusun,
10.000 unit rumah khusus, 813.350 unit rumah swadaya, dan 262.345 unit PSU.
Program ini akan dijalan melalui pendekatan kolaboratif.
4.
Urgensi Pengembangan
Perumahan Skala Besar
Menurut Diaz, ada lima alasan kenapa
pengembangan skala besar ini perlu dilakukan.
1. Amanat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun
2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.
2. Pertumbuhan penduduk.
3. Tingginya laju urbanisasi.
4. Permasalahan sosial, kesehatan,
segregasi sosial, kriminalitas, kesenjangan pertumbuhan wilayah.
5. Unplaned Development melalui pembangunan
perumahan klaster yang semakin menjamur.
5. Pengembang Besar dan Masalahnya
Gencamya pemerintah membuat rencana program
perumahan skala besar dipertanyakan guru besar dari ITB, Prof Haryo Winarso. la
mempertanyakan apa definisi skala besar itu. Apakah besar dalam luasan lahan atau
investasinya?
Membangun perumahan skala besar untuk
golongan MBR dalam satu hamparan itu sangat sulit karena lahan terbatas. Kalau
pun ada dipastikan harga lahannya sangat mahal.
Karena itu, Haryo mengusulkan agar
pemerintah melakukan exception right. Maksudnya, setiap kali ada izin membangun
kawasan besar, pemerintah punya hak membeli lebih awal lahan yang akan
dibangun. Tentu harganya sesuai dengan harga pasaran saat itu. Sebab, jika
pemerintah membeli lahan setelah perumahan terbangun, harganya sudah bisa
dipastikan akan meroket.
Haryo menunjukkan hasil penelitian yang
dilakukan di Jakarta menunjukkan, di kawasan Jabodetabek ada 123 rencana besar
lokasi perumahan dengan luas lahan total sebesat 93 ribu hektare. Dari 123
rencana besar tersebut, 53% dimiliki oleh 8 kelompok pengembang besar yang
menguasai 72% lahan di Jabodetabek, dimana lahan terbesar dikuasi grup Sinar
Mas. Jika ini bisa dianggap sebagai potret yang terjadi di seluruh Indonesia,
menurut Haryo, maka hal yang sama dipastikan juga terjadi di daerah dimana
pengembang menguasai paling tidak 70% lahan, yang jika tidak diatur dengan
tegas, kebijakan mengenai perumahan MBR dipastikan tidak akan terwujud.
Selama ini keuntungan terbesar yang
diperoleh para pengembang besar, kata Haryo, hampir tak punya pengaruh kepada
MBR. Contohnya, pengembangan perumahan di kota Bandung dimana para pengembang
banyak membangun perumahan mewah untuk kelas menengah ke atas dan perumahan
mewah tersebut tidak diikuti dengan pengembangan perumahan untuk MBR.
Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah mendapat perumahan yang lokasinya
di pinggiran.
Para pengembang besar selama ini juga
banyak mengabaikan konsep pembangunan perumahan 1 :2:3. Sayangnya, meski kerap
tak melaksanakan konsep itu, mereka tak pemah mendapat sanksi.
Karena itu, agar pembangunan skala besar
dapat terwujud, menurut Haryo, pemerintah sebaiknya melakukan kerja sama dengan
badan usaha, dimana pemerintah sebaiknya tidak membeli semua lahan masyarakat,
namun mengajak masyarakat terlibat dalam pembangunan perumahan, misalnya
masyarakat diajak share dalam pembangunan, dengan memberikan 20% dana secara
tunai, sedangkan, 80 persennya dialokasikan untuk pembangunan perumahan. Dengan
model tersebut, pemerintah tak perlu banyak menyediakan uang tunai untuk
membeli seluruh lahan.
Selain masalah lahan, Haryo juga menyoroti
sumbangan pengembang besar ke Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang hanya sekitar 2,27%,
padahal pengembang skala besar itu punya potensi ekonomi yang luar biasa.
Kondisi ini sangat jauh jika dibanding dengan Malaysia yang bisa menyumbangkan
hingga 20,3%, sedangkan di Filipina, mampu menyumbang hingga 21 % PDB.
6.
Kewenangan yang Hilang
Akses golongan MBR untuk bisa mendapat rumah di tengah kota agaknya
masih jauh panggang dari api. Ini menjadi persoalan yang sangat serius, ketika harga
rumah yang terus meningkat mengakibatkan MBR tidak mampu, menjangkau harga jual
rumah bersubsidi dan terpaksa bergeser ke pinggiran kota dengan membangun rumah
dengan caranya masing-masing, karena disanalah dapat diperoleh rumah dengan harga jual
yang terjangkau sebagaimana ditetapkan oleh Pemerintah.
Menurut mantan Dirjen Otonomi Daerah
Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, meski masalah perumahan untuk
golongan MBR ini diatur dalam UU Cipta Kerja, namun persoalannya tetap tidak
akan selesai.
Menurut dia dalam UU Cipta Kerja pemerintah
pusat pun ya kecenderungan untuk menarik sebagian kewenangan pemerintah daerah
kembali ke pusat, padahal, dalam konteks penyediaan perumahan bagi golongan MBR
ini, UU Cipta Kerja seharusnya memberi tambahan kewenangan kepada daerah.
Dalam lampiran UU 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah memang tidak disebutkan kewenangan Pemda dalam penyediaan
perumahan kecuali perumahan yang terdampak bencana dan terdampak program
pemerintah. Namun di UU Cipta Kerja kewenangan perijinan masih merupakan
kewenangan pemerintah daerah, sehingga jika ingin merealisasikan perumahan
skala besar untuk MBR, seharusnya Pemda diberikan kewenangan yang cukup besar.
Potensi daerah untuk membangun perumahan
MBR sebenamya cukup tinggi. Sebagai contoh, misalnya OKI Jakarta memiliki lahan
yang cukup strategis di pusat-pusat kota seperti di lokasi pasar yang dikelola
oleh PD Pasar Jaya, yang jika diberi kewenangan, lahan tersebut dapat
dimanfaatkan untuk membangun perumahan MBR atau fungsi campuran antara hunian
dan bukan hunian.
Agar perumahan MBR itu terwujud,
Djohermansyah mengusulkan tiga kriteria.
1. Perumahan MBR level rendah bawah, kewenangan
pembangunannya berada di kabupaten/kota.
2. Perumahan MBR level rendah sedang,
kewenangan pembangunannya berada di provinsi.
3. Perumahan MBR level rendah sedang atas,
kewenangan pembangunannya berada di pemerintah pusat.
7. Persoalan Ketimpangan
Persoalan utama pembangunan perurnahan
skala besar untuk golongan MBR ini menyangkut masalah ketimpangan. Di satu
sisi, banyak orang menguasai sedikit lahan, dan di sisi lain, ada segelintir
orang yang menguasai banyak lahan. Persoalan klasik, memang. Sayangnya, persoalan ini
belum juga mendapat penyelesaian yang memadai hingga saat ini.
Karena belum mendapatkan penyelesaian,
menurut M. Machfud Zarqoni dari Griya Kita, tak heran pembangunan-pembangunan
yang dilakukan pemerintah malah justru terkesan sebagai penggusuran.
Menurut Machfud Zarqoni, di OKI Jakarta
banyak pengembang membeli tanah orang Betawi dengan harga murah, kemudian
dijadikan kawasan perumahan maupun perkantoran elityang mengakibatkan harga
tanah melambung. Uang ganti rugi yang diberikan pengembang kepada orang Betawi
temyata hanya bisa untuk membeli tanah di pinggiran Jakarta.
Kondisi ini bertentangan dengan semangat
UUD 1945, pasal 28H ayat (1) yang mengamanatkan, "setiap orang berhak
hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan,
dan ayat ( 4) yang mengamanatkan, "Setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang
oleh siapapun." Pun pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan, "Bumi,
..... dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besamya untuk kemakmuran
rakyat."
Pada kenyataannya, banyak rakyat kelas
bawah yang sebelumnya memiliki tanah di lokasi strategis dalam kota tergusur ke
pinggiran dimana pemilik tanah a~li tidak pemah diajak untulc terlibat dalam
proses pembangunan. Mereka tersingkir oleh pembangunan, dan karena tersingkir,
kemiskinan barn tercipta di pinggiran kota. Ironis memang.
Menurut Machfud pelaksanaan pembangunan
perumahan skala besar semestinya bisa dilakukan secara partisipatif oleh
masyarakat. Pengembang seharnsnya melibatkan masyarakat asli dalam perencanaan
dan pembangunan di kawasan tersebut.
Ia bercerita, punya teman seorang Betawi
yang bemama Haji Amin dan tinggal di Pulomas, Jakarta Timur. Haji Amin memiliki
tanah cukup luas dan diajak kerja sama oleh pengembang Summarecon. Dalam
perjalanannya kemudian, Haji Amin dapat membangun usahanya sendiri bersama
dengan anaknya terlepas dari tekanan pengembang Summarecon. Dari cerita itu,
kata Machfud, sebenamya jika model kerja sama dilakukan, masyarakat lokal bisa
menjadi pengusaha barn sebagai mitra pengembang.
Selain model kerja sama sebagaimana
tersebut di atas, model konsolidasi tanah juga bisa dilakukan untulc mewujudkan
perumahan skala besar, misalnya dilakukan dengan pola bagi hasil antara pemilik
tanah dengan pengembang. Ia mencontohkan pembangunan perumahan di Riau, dimana
ada pengembang yang membangun 100 unit rumah dengan pola bagi hasil, sehingga
pemilik tanah mendapat jatah sebanyak 30 unit rumah yang setara dengan nilai
tanah yang dimilikinya semula.
Machfud menilai, pembangunan perumahan
skala besar di kawasan siap bangun (Kasiba) yang dilakukan oleh pengembang
melalui pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas
selama ini relatif berhasil, namun untulc pembangunan dengan pendekatan non
Kasiba, masyarakat lokal justru banyak yang tergusur.
Pembangunan perumahan di kawasan non Kasiba
ini, menurut dia, berlangsung cukup hebat tapi antar kawasannya tidak
terintegrasi. Sebagai contoh, perumahan di Gatling Serpong dan BSD, dimana
infrastulctur jalan dan drainase di kawasan tersebut, menurut Machfud, tidak
nyambung.
8.
Melirik Potensi Lain
Pada kesempatan lain, Machfud menilai bahwa
selama ini pemerintah terlalu menitikberatkan pembangunan perumahan di wilayah
daratan. Padahal, 70% wilayah Indonesia merupakan lautan, dimana sebagian
masyarakat Indonesia juga banyak yang bekerja sebagai nelayan. "Kenapa
kita tidak memikirkan membuat perumahan nelayan di lautan?" ujamya.
Contohnya di Brunei, pada tahun 1987, ia
pemah dikirim pemerintah DKI Jakarta untuk belajar masalah kampung air di
Brunei, dimana pemerintahnya membangun perumahan untuk nelayan dalam wujud
perkampungan di atas air. Contoh di Brunei ini mestinya bisa ditiru oleh
Indonesia.
Menurut Machfud, Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memungkinan untuk membangun perumahan di atas
air dan menyatakan bahwa ruang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang
udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya.
Selama ini beberapa nelayan sudah membangun
perkampungannya di atas air. Namun pembangunan tersebut sebagian besar atas
inisiatif masyarakat sendiri, dan negara tidak hadir untuk memfasilitasi
perumahan yang la yak huni. Jika mereka dibangunkan perumahan di atas air,
mereka juga bisa berperan menjaga lautan kita. Usul yang menarik.
9.
RTRW yang Samar
RTRW selama ini dianggap belum pemah
memberi gambaran yang jelas di mana alokasi posisi zona kawasan untuk perumahan
skala besar untuk golongan MBR harus dibangun. Padahal, RTRW merupakan pedoman
untuk membangun suatu kawasan.
Menurut Didin Samsudin, anggota Tim
Pengembangan Perumahan Skala Besar (PPSB) Kabupaten Tangerang, tidak jelasnya
peruntukkan perumahan skala besar dalam RTRW memberikan peluang kepada
pengembang untuk menguasai lahan dalam skala besar yang berdampak tersingkimya
MBR ke kawasan pinggiran.
Samsudin mengakui, di Kabupaten Tangerang,
para pengembang perumahan skala besar seperti BSD, Alam Sutera, dan Lippo
Karawaci, rata-rata belum menyediakan perumahan sederhana untuk MBR. Menurut
dia, BSD memang pemah membangun perumahan MBR dalam skala kecil pada tahap
pertama, namun seterusnya tidak melakukannya lagi.
Agar pembangunan perumahan skala besar bisa
terealisir, Samsudin mengusulkan perlunya pengaturan tugas dan wewenang yang
jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam pengembangan perumahan skala
besar ini, menurut dia, ada sernbilan isu yang perlu diperhatian.
1. Wewenang, tugas, dan kewajiban. Perlu
diatur jelas dan tegas wewenang, tugas, dan kewajiban masing-masing pemangku
kepentingan (pemerintah, pengembang, lembaga keuangan) dalam penyelenggaraan
PPSB. Pengaturan diperlukan untuk menjamin keseimbangan penyediaan perumahan
untuk seluruh golongan ekonomi masyarakat serta mencegah terjadinya backlog
maupun mencegah spekulasi yang menjadikan rumah hanya sebagai barang komoditas
yang melupakan fungsi sosialnya.
2. Penyelenggaraan hunian berimbang.
Perlunya menjamin ketersediaan akses yang sama dan terjangkau bagi seluruh
lapisan masyarakat terhadap pusat perkotaan dan pusat kegiatan ekonomi dalam
meningkatkan produktivitas masyarakat untuk peningkatan pendapatan per kapita
dan pendapatan daerah. Selama ini yang terjadi perumahan bagi MBR kurang
strategis lokasinya dan kurang memiliki akses yang baik terhadap pusat
perkotaan dan pusat ekonomi lainnya.
3. Keterpaduan PSU perumahan dan kawasan
permukiman. 52 Pengembangan PSU oleh developer harus terkoneksi dengan baik
terhadap PSU yang dibangun oleh masyarakat secara swadaya di kawasan
permukiman. Kondisi yang terjadi selama ini, pengembangan PSU perumahan sangat
ekslusif dan tidak terintegrasi dengan baik dengan Kawasan permukiman
sehingga menimbulkan kantong-kantong permukiman kumuh di sekitar kawasan
pengembangan perumahan besar.
4. Penetapan zonasi. Perlunya pengaturan
ruang khusus bagi penyediaan perumahan MBR pada kawasan-kawasan perkotaan untuk
menjamin hak yang sama bagi seluruh masyarakat dan terbangunnya keadilan ruang.
Penetapan zonasi di perkotaan harus lebih tegas. Posisi lokasinya seperi apa.
Apakah MBR itu berupa rumah susun atau rumah deret yang bisa dimanfaatkan.
5. Penyediaan tanah. Pemerintah dan
pemerintah daerah harus dapat menjamin ketersediaan tanah bagi pengembangan
perumahan MBR, baik melalui pola pembelian, kerjasama, maupun pemanfaatan tanah
terlantar.
6. Pendanaan. Perlunya menjamin kemudahan
akses pembiayaan dan pendanaan perumahan bagi MBR terhadap lembaga keuangan
yang ada (perbankan, dana pemerintah, dan koperasi), serta memberikan insentif
bagi MBR dalam hal kepemilikan rumah untuk mencegah backlog.
7. Kelembagaan dan pengelolaan. PPSB harus
dilembagakan dan dikelola secara khusus oleh Unit pemerintah dan juga Unit
Pemerintah Daerah (BUMD, Koperasi, UPTD). Ini penting dilakukan untuk menjamin
setiap pelaku pengembangan perumahan dapat memenuhi hak dan kewajibannya sesuai
peraturan yang berlaku, serta menjamin harmonisasi dan integrasi pengembangan
perumahan dan permukiman untuk seluruh lapisan masyarakat.
8. Peran masyarakat. Perlunya pengaturan
khusus bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam hal pengembangan dan
penyediaan perumahan baik secara individu maupun kelompok masyarakat. Selama
ini pembangunan perumahan swadaya yang ada saat ini, baik rumah tunggal maupun
rumah kelompok (kontrakan, kos-kosan) kurang memperhatikan kelayakan dan
kesehatan hunian.
9. Pembinaan dan pengawasan. Penguatan
peran Wasdal dan Satgas Perumahan untuk dapat memastikan bahwa pengembangan dan
penyediaan perumahan yang dilakukan oleh seluruh pelaku sesuai dengan aturan
main dan integrasi serta harmonisasi tata ruang dapat terbangun.
Sumber: Buku DINAMIKA PENGEMBANGAN PERUMAHAN SKALA BESAR Penerbit Kementerian Pekerjaan umum dan
Perumahan Rakyat (PUPR) Tahun 2020