Tampilkan postingan dengan label Permukiman. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Permukiman. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 September 2022

DINAMIKA PENGEMBANGAN PERUMAHAN SKALA BESAR : KEJARLAH HUNIAN HINGGA KE PINGGIRAN

BUTUH 14 tahun bagi orang seperti Irwansyah untuk bisa mewujudkan impiannya punya rumah sendiri. Sebuah waktu yang cukup panjang. Selama 14 tahun itu, ia tak henti-hentinya mencari dan berburu rumah yang terjangkau dengan profesinya sebagai office boy di sebuah perkantoran swasta yang terletak di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan. Empat tahun menabung, dia akhirnya bisa mendapat sebuah rumah mungil di daerah Parung Bogor. Jarak rumah Irwansyah ke kantornya kurang lebih 25 kilometer. Sebuah jarak yang tak dekat.Namun bagi lrwansyah jarak tak jadi soal. Yang penting ia tak perlu lagi membayar uang kontrakan atau menumpang di rumah mertua atau orang tuanya. Irwansyah tak sendiri. Ada puluhan juta pekerja kelas menengah bawah yang bernasib seperti Irwansyah. Mereka harus rela mendapat hunian yang jauh dari tempatnya bekerja. Selain itu, akses terhadap transportasi publik pun terbilang minim. Dengan gaji yang relatif kecil ( sekitar Rp5 juta) tak mungkin bagi lrwansyah dan puluhan juta pekerja kelas menengah bawah bisa menempati hunian di tengah kota yang dekat dengan tempatnya bekerja. Rata-rata, mereka hanya bisa mendapat rumah di pinggiran Jakarta. Begitulah nasib kelas menengah bawah seperti Irwansyah. Padahal, pemerintah sudah mencanangkan konsep pembangunan perumahan skala besar sejak 1990. Pengembangan perumahan skala besar mulai dikembangkan saat Siswono Yudohusodo menjabat Menteri Perubahan Rakyat di Kabinet Pembangunan V (1988-1993). Pengembangan dilakukan untuk wilayah Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek). Di Bekasi misalnya, Perumnas membangun Taman Galaxy, Setia Mekar, dan Bumi Bekasi Baru. Sedangkan pengembang swasta mengembangkan perumahan Kemang Pratama. Namun kenyataan di lapangan pengembangan perumahan skala besar di Bekasi itu tidak sesuai dengan PP 80 Tahun 1999 tentang Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri. Sekalipun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman, substansi Kasiba dan pembangunan perumahan skala besar tak berubah.

Pun dengan PP 80 Tahun 1999. Meski telah dicabut dan diganti PP Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman, namun peraturan pelaksanaannya masih dinyatakan berlaku. Artinya, Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 31/Permen/M/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kawasan Siap Bangun dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri, Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Republik Indonesia Nomor 32/Permen/M/2006 tentang Petunjuk Teknis Kawasan Siap Bangun Dan Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri, dan Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 32/Permen/M/2006 tentang Pedoman Tatacara Penunjukan Badan Pengelola Kawasan Siap Bangun dan Penyelenggara Lingkungan Siap Bangun Yang Berdiri Sendiri pada prinsipnya masih berlaku.

Kasiba didefinisikan sebagai bidang tanah yang fisiknya serta prasarana, sarana, dan utilitas umum minimal sebesar 25% telah dipersiapkan oleh Badan Pengelola untuk pembangunan lingkungan hunian skala besar sesuai dengan rencana tata ruang. Sedangkan Lisiba adalah bagian dari Kasiba dimana fisik tanahnya serta prasarana, sarana, dan utilitas umum telah dipersiapkan untuk pembangunan perumahan dengan batas-batas kaveling yang jelas sesuai dengan rencana rinci tata ruang.

Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1Tahun2011 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Pemukiman menyebut, "pembangunan perumahan skala besar dengan hunian berimbang meliputi rumah sederhana, rumah menengah, dan rumah mewah."

Komposisi hunian berimbang diatur dalam Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hunian Berimbang, dimana ditentukan setiap pengembang yang membangun satu hunian mewah, wajib membangun dua rumah kelas menengah, dan tiga rumah sederhana.

Penyelenggaran perumahan dan kawasan permukiman dengan Hunian Berimbang pada Peraturan Menteri Perumahan Rakyat Nomor 7 Tahun 2013 tentang Hunian Berimbang dilaksanakan diatur sebagai berikut:

• Perumahan dengan jumlah sekurang-kurangnya 50 sampai dengan 1.000 rumah;

• Permukiman dengan jumlah sekurang-kurangnya 1.000 sampai dengan 3.000 rumah;

• Lingkungan hunian dengan jumlah sekurang-kurangnya 3.000 sampai dengan 10.000 rumah;

• Kawasan permukiman dengan jumlah lebih dari 10.000 rumah.

Selain pengaturan hunian berimbang dalam bentuk rumah tapak, dikenal pula pengaturan hunian berimbang dalam bentuk rumah susun dimana pengembang yang membangun rumah susun komersial wajib membangun rumah susun umum sebesar 20% dari luas total rumah susun komersial sebagaimana diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun. Namun, aturan pelaksanaan ketentuan ini belum dirumuskan dalam bentuk Peraturan Pemerintah.

Sebenarnya, jika aturan tentang hunian berimbang dilaksanakan, orang seperti lrwansyah tak perlu jauh-jauh mendapatkan hunian dari tempat kerjanya. lrwansyah yang bekerja di Cilandak, bisa saja mengambil rumah di daerah Tanjung Barat atau daerah lain yang jauh lebih dekat dengan tempat kerjanya. Selain itu, akses transportasi publik juga cukup tersedia.




1.     lsu Regulasi

Pemerintah, pengembang dan lembaga keuangan, adalah tiga pilar utama dalam penyelenggaraan perumahan dan permukiman skala besar. Meski dari sisi kelembagaan sudah jelas posisinya, namun terkait wewenang, tugas, dan kewajiban masing-masing pemangku kepentingan, pelaksanaannya ditengarai masih berjalan sendiri-sendiri.

Program pembangunan perumahan skala besar yang berjalan sejauh ini, belum mampu mencegah spekulasi yang menjadikan tanah yang merupakan faktor penentu dalam penyediaan rumah dipergunakan sebagai barang komoditas sehingga melupakan fungsi sosialnya. Sejauh ini, kehadiran perumahan skala besar seperti Bumi Serpong Damai, Summarecon, dan Alam Sutera jauh dari memperhatikan keadilan ruang bagi MBR. Untuk itu perlu adanya jaminan ketersediaan akses yang sama dan terjangkau bagi MBR sebagai bagian dari masyarakat.

Meski pemerintah sudah mengatur adanya hunian berimbang, namun praktek di lapangan tidak berjalan mulus. Ketersediaan perumahan bagi kelompok MBR masih menempati lokasi yang kurang strategis dan tidak cukup akses yang memadai, baik terhadap pusat perkotaan dan pusat kegiatan ekonomi. Pengaturan hunian berimbang diperbaharui melalui pasal 50 ayat ( 4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, yang menyebut kewajiban pembangunan hunian berimbang di perumahan skala besar dalam satu hamparan dan dapat dikonversi menjadi rumah susun umum namun tetap diwajibkan dalam satu hamparan. Selanjutnya hasil konversi dalam bentuk dana diserahkan kepada BP3 (Badan Percepatan Penyelenggaraan Perumahan) untuk pembangunan rumah umum.

2.     Siasat di Tengah Keterbatasan

Meski belum sepenuhnya sepada dengan harapan, sejatinya pembangunan pernmahan skala besar sangat dibutuhkan. Ira Lu bis dari Direktorat Pernmahan dan Pemukiman Bappenas menegaskan, sedikitnya ada empat alasan pentingnya pembangunan perumahan skala besar.

1. Suatu bentuk kehadiran negara dan bagian dari strategi kota yang berkelanjutan.

2. Mencegah terhadinya urban sprawl.

3. Menumbuhkan pusat kegiatan barn.

4. Memastikan struktur kota itu terarah, terpadu dan efektif di kabupaten dan kota.

Kebijakan pembangunan pernmahan dalam skala besar dalam lima tahun ke depan mengacu pada kebijakan yang tercantum dalam RPJMN dimana tujuan akhir pembangunan pernmahan skala besar itu adalah membuat seluruh keluarga bisa menempati hunian yang layak dan terjangkau.

Agar tujuan itu terpenuhi, menurut Ira, ada lima strategi yang akan dilakukan yaitu:

1. Kebijakan pernmahan ke depan hams terpadu dengan tata rnang dan insfrastruktur dasar pemukiman, khususnya transportasi publik.

2. Pernmahan publik yang berbasis rumah susun di perkotaan.

3. Peremajaan kota sebagai cara mengakses lahan di perkotaan.

4. Memanfaatkan tanah milik negara.

5. Mengembangkan peran dunia usaha termasuk BUMN.

Pada tahun 2023, pemerintah mentargetkan 70% rnmah tangga di Indonesia sudah memiliki hunian yang layak. Bagaimana caranya? Ada dua cara yang akan dilakukan, yaitu pertama, membangun hunian barn dan kedua, meningkatkan kualitas rumah yang sudah ada.

Pembangunan perumahan skala besar bisa dilakukan oleh BUMN dan badan usaha swasta yang difasilitasi oleh pemerintah melalui badan Kasiba/ Lisiba, dimana badan usaha swasta diwajibkan menerapkan hunian berimbang atau membayar dana konversi kepada BP3.

Pembangunan perumahan skala besar seharnsnya diatur oleh pemerintah dengan memfasilitasi penyediaan lahan yang dilengkapi dengan akses transportasi. Jika pembangunan skala besar itu lead-nya badan usaha, kata Ira, diperlukan jaminan bahwa badan usaha menyediakan perumahan bagi MBR sebagaimana diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Ira menyebut salah satu model pembangunan perumahan skala besaryang diinisiasi oleh BUMN. Namanya Parayasa. Lahannya dekat dengan stasiun Parung Panjang. Pembangunan perumahan ini merupakan model pembangunan skala besar kombinasi antara Perum Perumnas, BPK dail BNI untuk bisa mengembangkan kawasan perumahan.

Model lain terdapat di Kota Palembang. Di sini pembangunan perumahan skala besar diinisiasi swasta bekerjasama dengan Bhayangkara. Kerja sama ini dilakukan untuk menyediakan perumahan bagi ASN dan anggota TNl/Polri. Dua model itu bisa menjadi contoh bagaimana pembangunan skala besar dilakukan.

Pembangunan perumahan skala besar selama ini harus diakui memang banyak berorientasi pada perumahan tapak (landed houses), dan baru pada tahun 2010 dilakukan pembangunan rumah susun skala besar di Rawasari yang dikenal dengan nama Apartemen Green Pramuka dan diikuti oleh Lippo Group dengan membangun Meikarta pada tahun 2017.

Membangun rumah tapak skala besar di perkotaan butuh lahan dan modal besar. Masalahnya, harga tanah sangat mahal. Dengan model rumah vertikal yang lokasinya berada di tengah kota, Ira yakin harganya juga masih terjangkau oleh masyarakat menengah ke bawah. Tawaran yang masuk akal.

Dari pemetaan di enam metropolitan di Indonesia yang dilakukan Bappenas, menurut Ira, saat ini sudah tidak memungkinkan lagi membangun rumah tapak skala besar di tengah kota yang dekat dengan sarana transportasi, lokasi bagus, dan harganya terjangkau kalangan MBR.

Selain membangun rumah vertikal, Ira menawarkan strategi urban renewal permukiman kumuh. Strategi ini merupakan cara lain menyediakan lahan di perkotaan, melalui kerjasama dengan pemilik lahan, konsolidasi tanah vertikal, revitalisasi rusun yang lama, atau mengkombinasikan dengan kewajiban pengembang membangun hunian berimbang.

3.     Perubahan lndikator

RPJM 2020-2024 menyebut, arah kebijakan pembangunan perumahan adalah meningkatkan akses masyarakat secara bertahap terhadap perumahan dan permukiman layak, aman, dan terjangkau untuk mewujudkan kota yang inklusif dan layak huni. Berdasarkan arahan Bappenas, terdapat 3 (tiga) tambahan indikator dari semula 4 (empat) hingga menjadi 7 (tujuh) sehingga tujuan pembangunan berkelanjutan, adalah: 1. Ketahanan konstruksi; 2. Akses air minum; 3. Akses sanitasi; 4. Luas perkapita; 5. Mengentaskan pemukiman kumuh; 6. Mengurangi backlogperumahan, dan: 7. Menjamin keamanan bermukim.

Pengentasan permukiman kumuh terutama di kawasan metropolitan sebagai bagian dari SDGs sudah ditangani dengan lebih serius dengan ada Program Kota Tanpa Kumuh (Kotaku). Program ini bertujuan meningkatkan kualitas infrastruktur permukiman kumuh, dan selanjutnya oleh Bappenas diintegrasikan dengan New Urban Agenda (NUA)

Demikian halnya dengan akses air minum yang aman dan terjangkau. Hal itu merupakan mandat dari Sustainable Development Goals (SDGs). Sejauh ini, capaian rumah layak huni berdasarkan aspek ketersediaan air min um rata-rata nasional masih sekitar 61 %. Provinsi Bengkulu menempati tempat terendah diikuti oleh provinsi Lampung dan Banten. Sementara posisi tertinggi ditempati oleh Provinsi Kalimantan Utara diikuti oleh Provinsi Bali dan Kepulauan Riau.

Air minum perpipaan dinilai masih merupakan sumber air minum terbaik terutama di perkotaan. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa penggunaan air tanah dangkal a tau air permukaan banyak yang sudah tercemar oleh bakteri sedangkan penggunaan air tanah dalam membutuhkan investasi dan biaya operasional yang besar.

Alcses sanitasi merupakan salah satu unsur yang dapat menjamin lebih baiknya kesehatan masyarakat, di samping air minum, dimana jika sumber air minum dalam bentuk pompa dangkal berdekatan dengan septic tank dapat menyebabkan tercemamya air minum yang dikonsumsi masyarakat.

Oleh karena itu setiap mmah yang dibangun oleh masyarakat maupun badan usaha hams dilengkapi dengan sanitasi yang baik, terdapat septic tank beserta rembesannya yang dilenglapi dengan kloset yang dapat berbentuk kloset jongkok, kloset duduk dan saluran pembuangan yang memadai, serta memiliki jarak cukup jauh kepada sumber air minum berbentuk pompa dangkal. Secara keselumhan mmah layak sanitasi secara nasional masih relatif rendah hanya sebesar 38,30% pada tahun 2018, dan provinsi Papua menempati urutan terendah, diikuti Kepulauan Bangka Belitung serta DKl Jakarta. Sementara yang tertinggi berada di Provinsi Bali, diikuti oleh Kalimantan Utara dan DI Yogyakarta.

Perilaku membangun yang tidak sesuai dengan kondisi kegempaan di Indonesia tidak hanya terjadi di Yogyakarta, bahkan di kota-kota lainnya. Berangkat dari hal tersebut, Pemerintah mewajibkan selumh mmah yang dibangun, baik oleh masyarakat maupun badan usaha harus memenuhi standar teknis bangunan tahan gempa dengan menggunakan beton bertulang dengan penggunaan diameter baja sesuai yang dipersyaratkan, sehingga masyarakat tidak dirugikan, apalagi rumah yang pemilikannya difasilitasi kemudahan oleh Pemerintah, hanya diasuransikan terhadap kebakaran, bukan terhadap gempa.

Bangunan komersial seperti rumah toko juga mengalami kerusakan, walaupun tidak menyeluruh, ada yang masih berdiri, namun ada pula yang collaps. Sebaliknya rusunawa di Kabupaten Sleman yang dibangun oleh pemerintah, tidak mengalami kerusakan yang berarti dan masih berdiri dengan kokoh. Pemeriksaan struktur bangunan rumah susun menyimpulkan tidak ada kerusakan yang berarti, namun ada sebagian kecil dinding pengisi batako yang runtuh dan plesteran dinding yang terkelupas, hanya dilakukan perbaikan seperlunya.

Berdasarkan pengalaman tersebut, maka ketahanan konstruksi bangunan rumah tinggal menjadi suatu keharusan. Diaz Rosano dari Direktorat Rumah Umum dan Komersial Ditjen Perumahan Kementerian PUPR menyebutkan di RPJMN 2020-2024 terjadi perubahan indikator dari backlog kepemilikan rumah menjadi backlog kepenghunian rumah. Indikator utama perumahan layak huni ini adalah ketahanan konstruksinya, akses air minum yang baik, akses sanitasi, dan luas lantai per orang.

Dalam RPJMN itu disebut, hingga 2024 pemerintah menargetkan 11 juta rumah tangga yang bisa menghuni rumah layak, dan dari jumlah itu, 7,8 juta merupakan rumah tangga yang sudah ada, sedangkan 3,2 juta jumlah rumah tangga baru. Untuk memenuhi target itu, pemerintah akan membangun empat jenis rumah: rumah susun, bantuan PSU, bantuan stimulan rumah swadaya, dan rumah khusus. Model rumah ini akan dibangun di sejumlah wilayah.




Pelaksana Program Sejuta Rumah per tahun ini memang tak hanya dilakukan oleh pemerintah tapi juga melibatkan swasta/dunia usaha dan masyarakat. Agar program ini bisa terpenuhi, kata Diaz, pemerintah sangat berharap dukungan dari swasta, mengingat pemerintah sendiri hanya mampu menyediakan maksimal 20 persennya.

Sementara untuk memenuhi kebutuhan rumah layak huni bagi golongan MBR, pemerintah akan membangun 51.340 unit rusun, 10.000 unit rumah khusus, 813.350 unit rumah swadaya, dan 262.345 unit PSU. Program ini akan dijalan melalui pendekatan kolaboratif.

4.     Urgensi Pengembangan Perumahan Skala Besar

Menurut Diaz, ada lima alasan kenapa pengembangan skala besar ini perlu dilakukan.

1. Amanat dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman dan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Perumahan dan Kawasan Permukiman.

2. Pertumbuhan penduduk.

3. Tingginya laju urbanisasi.

4. Permasalahan sosial, kesehatan, segregasi sosial, kriminalitas, kesenjangan pertumbuhan wilayah.

5. Unplaned Development melalui pembangunan perumahan klaster yang semakin menjamur.

5. Pengembang Besar dan Masalahnya

Gencamya pemerintah membuat rencana program perumahan skala besar dipertanyakan guru besar dari ITB, Prof Haryo Winarso. la mempertanyakan apa definisi skala besar itu. Apakah besar dalam luasan lahan atau investasinya?

Membangun perumahan skala besar untuk golongan MBR dalam satu hamparan itu sangat sulit karena lahan terbatas. Kalau pun ada dipastikan harga lahannya sangat mahal.

Karena itu, Haryo mengusulkan agar pemerintah melakukan exception right. Maksudnya, setiap kali ada izin membangun kawasan besar, pemerintah punya hak membeli lebih awal lahan yang akan dibangun. Tentu harganya sesuai dengan harga pasaran saat itu. Sebab, jika pemerintah membeli lahan setelah perumahan terbangun, harganya sudah bisa dipastikan akan meroket.

Haryo menunjukkan hasil penelitian yang dilakukan di Jakarta menunjukkan, di kawasan Jabodetabek ada 123 rencana besar lokasi perumahan dengan luas lahan total sebesat 93 ribu hektare. Dari 123 rencana besar tersebut, 53% dimiliki oleh 8 kelompok pengembang besar yang menguasai 72% lahan di Jabodetabek, dimana lahan terbesar dikuasi grup Sinar Mas. Jika ini bisa dianggap sebagai potret yang terjadi di seluruh Indonesia, menurut Haryo, maka hal yang sama dipastikan juga terjadi di daerah dimana pengembang menguasai paling tidak 70% lahan, yang jika tidak diatur dengan tegas, kebijakan mengenai perumahan MBR dipastikan tidak akan terwujud.

Selama ini keuntungan terbesar yang diperoleh para pengembang besar, kata Haryo, hampir tak punya pengaruh kepada MBR. Contohnya, pengembangan perumahan di kota Bandung dimana para pengembang banyak membangun perumahan mewah untuk kelas menengah ke atas dan perumahan mewah tersebut tidak diikuti dengan pengembangan perumahan untuk MBR. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah mendapat perumahan yang lokasinya di pinggiran.

Para pengembang besar selama ini juga banyak mengabaikan konsep pembangunan perumahan 1 :2:3. Sayangnya, meski kerap tak melaksanakan konsep itu, mereka tak pemah mendapat sanksi.

Karena itu, agar pembangunan skala besar dapat terwujud, menurut Haryo, pemerintah sebaiknya melakukan kerja sama dengan badan usaha, dimana pemerintah sebaiknya tidak membeli semua lahan masyarakat, namun mengajak masyarakat terlibat dalam pembangunan perumahan, misalnya masyarakat diajak share dalam pembangunan, dengan memberikan 20% dana secara tunai, sedangkan, 80 persennya dialokasikan untuk pembangunan perumahan. Dengan model tersebut, pemerintah tak perlu banyak menyediakan uang tunai untuk membeli seluruh lahan.

Selain masalah lahan, Haryo juga menyoroti sumbangan pengembang besar ke Pendapatan Domestik Bruto (PDB) yang hanya sekitar 2,27%, padahal pengembang skala besar itu punya potensi ekonomi yang luar biasa. Kondisi ini sangat jauh jika dibanding dengan Malaysia yang bisa menyumbangkan hingga 20,3%, sedangkan di Filipina, mampu menyumbang hingga 21 % PDB.

6.     Kewenangan yang Hilang

Akses golongan MBR untuk bisa mendapat rumah di tengah kota agaknya masih jauh panggang dari api. Ini menjadi persoalan yang sangat serius, ketika harga rumah yang terus meningkat mengakibatkan MBR tidak mampu, menjangkau harga jual rumah bersubsidi dan terpaksa bergeser ke pinggiran kota dengan membangun rumah dengan caranya masing-masing, karena disanalah dapat diperoleh rumah dengan harga jual yang terjangkau sebagaimana ditetapkan oleh Pemerintah.

Menurut mantan Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri, Djohermansyah Djohan, meski masalah perumahan untuk golongan MBR ini diatur dalam UU Cipta Kerja, namun persoalannya tetap tidak akan selesai.

Menurut dia dalam UU Cipta Kerja pemerintah pusat pun ya kecenderungan untuk menarik sebagian kewenangan pemerintah daerah kembali ke pusat, padahal, dalam konteks penyediaan perumahan bagi golongan MBR ini, UU Cipta Kerja seharusnya memberi tambahan kewenangan kepada daerah.

Dalam lampiran UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memang tidak disebutkan kewenangan Pemda dalam penyediaan perumahan kecuali perumahan yang terdampak bencana dan terdampak program pemerintah. Namun di UU Cipta Kerja kewenangan perijinan masih merupakan kewenangan pemerintah daerah, sehingga jika ingin merealisasikan perumahan skala besar untuk MBR, seharusnya Pemda diberikan kewenangan yang cukup besar.

Potensi daerah untuk membangun perumahan MBR sebenamya cukup tinggi. Sebagai contoh, misalnya OKI Jakarta memiliki lahan yang cukup strategis di pusat-pusat kota seperti di lokasi pasar yang dikelola oleh PD Pasar Jaya, yang jika diberi kewenangan, lahan tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun perumahan MBR atau fungsi campuran antara hunian dan bukan hunian.

Agar perumahan MBR itu terwujud, Djohermansyah mengusulkan tiga kriteria.

1. Perumahan MBR level rendah bawah, kewenangan pembangunannya berada di kabupaten/kota.

2. Perumahan MBR level rendah sedang, kewenangan pembangunannya berada di provinsi.

3. Perumahan MBR level rendah sedang atas, kewenangan pembangunannya berada di pemerintah pusat.

7. Persoalan Ketimpangan

Persoalan utama pembangunan perurnahan skala besar untuk golongan MBR ini menyangkut masalah ketimpangan. Di satu sisi, banyak orang menguasai sedikit lahan, dan di sisi lain, ada segelintir orang yang menguasai banyak lahan. Persoalan klasik, memang. Sayangnya, persoalan ini belum juga mendapat penyelesaian yang memadai hingga saat ini.

Karena belum mendapatkan penyelesaian, menurut M. Machfud Zarqoni dari Griya Kita, tak heran pembangunan-pembangunan yang dilakukan pemerintah malah justru terkesan sebagai penggusuran.

Menurut Machfud Zarqoni, di OKI Jakarta banyak pengembang membeli tanah orang Betawi dengan harga murah, kemudian dijadikan kawasan perumahan maupun perkantoran elityang mengakibatkan harga tanah melambung. Uang ganti rugi yang diberikan pengembang kepada orang Betawi temyata hanya bisa untuk membeli tanah di pinggiran Jakarta.

Kondisi ini bertentangan dengan semangat UUD 1945, pasal 28H ayat (1) yang mengamanatkan, "setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan, dan ayat ( 4) yang mengamanatkan, "Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapapun." Pun pasal 33 ayat (3) UUD 1945 mengamanatkan, "Bumi, ..... dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besamya untuk kemakmuran rakyat."

Pada kenyataannya, banyak rakyat kelas bawah yang sebelumnya memiliki tanah di lokasi strategis dalam kota tergusur ke pinggiran dimana pemilik tanah a~li tidak pemah diajak untulc terlibat dalam proses pembangunan. Mereka tersingkir oleh pembangunan, dan karena tersingkir, kemiskinan barn tercipta di pinggiran kota. Ironis memang.

Menurut Machfud pelaksanaan pembangunan perumahan skala besar semestinya bisa dilakukan secara partisipatif oleh masyarakat. Pengembang seharnsnya melibatkan masyarakat asli dalam perencanaan dan pembangunan di kawasan tersebut.

Ia bercerita, punya teman seorang Betawi yang bemama Haji Amin dan tinggal di Pulomas, Jakarta Timur. Haji Amin memiliki tanah cukup luas dan diajak kerja sama oleh pengembang Summarecon. Dalam perjalanannya kemudian, Haji Amin dapat membangun usahanya sendiri bersama dengan anaknya terlepas dari tekanan pengembang Summarecon. Dari cerita itu, kata Machfud, sebenamya jika model kerja sama dilakukan, masyarakat lokal bisa menjadi pengusaha barn sebagai mitra pengembang.

Selain model kerja sama sebagaimana tersebut di atas, model konsolidasi tanah juga bisa dilakukan untulc mewujudkan perumahan skala besar, misalnya dilakukan dengan pola bagi hasil antara pemilik tanah dengan pengembang. Ia mencontohkan pembangunan perumahan di Riau, dimana ada pengembang yang membangun 100 unit rumah dengan pola bagi hasil, sehingga pemilik tanah mendapat jatah sebanyak 30 unit rumah yang setara dengan nilai tanah yang dimilikinya semula.

Machfud menilai, pembangunan perumahan skala besar di kawasan siap bangun (Kasiba) yang dilakukan oleh pengembang melalui pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke atas selama ini relatif berhasil, namun untulc pembangunan dengan pendekatan non Kasiba, masyarakat lokal justru banyak yang tergusur.

Pembangunan perumahan di kawasan non Kasiba ini, menurut dia, berlangsung cukup hebat tapi antar kawasannya tidak terintegrasi. Sebagai contoh, perumahan di Gatling Serpong dan BSD, dimana infrastulctur jalan dan drainase di kawasan tersebut, menurut Machfud, tidak nyambung.

8.     Melirik Potensi Lain

Pada kesempatan lain, Machfud menilai bahwa selama ini pemerintah terlalu menitikberatkan pembangunan perumahan di wilayah daratan. Padahal, 70% wilayah Indonesia merupakan lautan, dimana sebagian masyarakat Indonesia juga banyak yang bekerja sebagai nelayan. "Kenapa kita tidak memikirkan membuat perumahan nelayan di lautan?" ujamya.

Contohnya di Brunei, pada tahun 1987, ia pemah dikirim pemerintah DKI Jakarta untuk belajar masalah kampung air di Brunei, dimana pemerintahnya membangun perumahan untuk nelayan dalam wujud perkampungan di atas air. Contoh di Brunei ini mestinya bisa ditiru oleh Indonesia.

Menurut Machfud, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang memungkinan untuk membangun perumahan di atas air dan menyatakan bahwa ruang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.

Selama ini beberapa nelayan sudah membangun perkampungannya di atas air. Namun pembangunan tersebut sebagian besar atas inisiatif masyarakat sendiri, dan negara tidak hadir untuk memfasilitasi perumahan yang la yak huni. Jika mereka dibangunkan perumahan di atas air, mereka juga bisa berperan menjaga lautan kita. Usul yang menarik.

9.     RTRW yang Samar

RTRW selama ini dianggap belum pemah memberi gambaran yang jelas di mana alokasi posisi zona kawasan untuk perumahan skala besar untuk golongan MBR harus dibangun. Padahal, RTRW merupakan pedoman untuk membangun suatu kawasan.

Menurut Didin Samsudin, anggota Tim Pengembangan Perumahan Skala Besar (PPSB) Kabupaten Tangerang, tidak jelasnya peruntukkan perumahan skala besar dalam RTRW memberikan peluang kepada pengembang untuk menguasai lahan dalam skala besar yang berdampak tersingkimya MBR ke kawasan pinggiran.

Samsudin mengakui, di Kabupaten Tangerang, para pengembang perumahan skala besar seperti BSD, Alam Sutera, dan Lippo Karawaci, rata-rata belum menyediakan perumahan sederhana untuk MBR. Menurut dia, BSD memang pemah membangun perumahan MBR dalam skala kecil pada tahap pertama, namun seterusnya tidak melakukannya lagi.

Agar pembangunan perumahan skala besar bisa terealisir, Samsudin mengusulkan perlunya pengaturan tugas dan wewenang yang jelas antara pemerintah pusat dan daerah. Dalam pengembangan perumahan skala besar ini, menurut dia, ada sernbilan isu yang perlu diperhatian.

1. Wewenang, tugas, dan kewajiban. Perlu diatur jelas dan tegas wewenang, tugas, dan kewajiban masing-masing pemangku kepentingan (pemerintah, pengembang, lembaga keuangan) dalam penyelenggaraan PPSB. Pengaturan diperlukan untuk menjamin keseimbangan penyediaan perumahan untuk seluruh golongan ekonomi masyarakat serta mencegah terjadinya backlog maupun mencegah spekulasi yang menjadikan rumah hanya sebagai barang komoditas yang melupakan fungsi sosialnya.

2. Penyelenggaraan hunian berimbang. Perlunya menjamin ketersediaan akses yang sama dan terjangkau bagi seluruh lapisan masyarakat terhadap pusat perkotaan dan pusat kegiatan ekonomi dalam meningkatkan produktivitas masyarakat untuk peningkatan pendapatan per kapita dan pendapatan daerah. Selama ini yang terjadi perumahan bagi MBR kurang strategis lokasinya dan kurang memiliki akses yang baik terhadap pusat perkotaan dan pusat ekonomi lainnya.

3. Keterpaduan PSU perumahan dan kawasan permukiman. 52 Pengembangan PSU oleh developer harus terkoneksi dengan baik terhadap PSU yang dibangun oleh masyarakat secara swadaya di kawasan permukiman. Kondisi yang terjadi selama ini, pengembangan PSU perumahan sangat ekslusif dan tidak terintegrasi dengan baik dengan Kawasan permukiman sehingga menimbulkan kantong-kantong permukiman kumuh di sekitar kawasan pengembangan perumahan besar.

4. Penetapan zonasi. Perlunya pengaturan ruang khusus bagi penyediaan perumahan MBR pada kawasan-kawasan perkotaan untuk menjamin hak yang sama bagi seluruh masyarakat dan terbangunnya keadilan ruang. Penetapan zonasi di perkotaan harus lebih tegas. Posisi lokasinya seperi apa. Apakah MBR itu berupa rumah susun atau rumah deret yang bisa dimanfaatkan.

5. Penyediaan tanah. Pemerintah dan pemerintah daerah harus dapat menjamin ketersediaan tanah bagi pengembangan perumahan MBR, baik melalui pola pembelian, kerjasama, maupun pemanfaatan tanah terlantar.

6. Pendanaan. Perlunya menjamin kemudahan akses pembiayaan dan pendanaan perumahan bagi MBR terhadap lembaga keuangan yang ada (perbankan, dana pemerintah, dan koperasi), serta memberikan insentif bagi MBR dalam hal kepemilikan rumah untuk mencegah backlog.

7. Kelembagaan dan pengelolaan. PPSB harus dilembagakan dan dikelola secara khusus oleh Unit pemerintah dan juga Unit Pemerintah Daerah (BUMD, Koperasi, UPTD). Ini penting dilakukan untuk menjamin setiap pelaku pengembangan perumahan dapat memenuhi hak dan kewajibannya sesuai peraturan yang berlaku, serta menjamin harmonisasi dan integrasi pengembangan perumahan dan permukiman untuk seluruh lapisan masyarakat.

8. Peran masyarakat. Perlunya pengaturan khusus bagi masyarakat yang ingin berpartisipasi dalam hal pengembangan dan penyediaan perumahan baik secara individu maupun kelompok masyarakat. Selama ini pembangunan perumahan swadaya yang ada saat ini, baik rumah tunggal maupun rumah kelompok (kontrakan, kos-kosan) kurang memperhatikan kelayakan dan kesehatan hunian.

9. Pembinaan dan pengawasan. Penguatan peran Wasdal dan Satgas Perumahan untuk dapat memastikan bahwa pengembangan dan penyediaan perumahan yang dilakukan oleh seluruh pelaku sesuai dengan aturan main dan integrasi serta harmonisasi tata ruang dapat terbangun.

 

 

 

Sumber: Buku DINAMIKA PENGEMBANGAN PERUMAHAN SKALA BESAR Penerbit Kementerian Pekerjaan umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Tahun 2020

Rabu, 06 Mei 2020

Percepatan Pembangunan Sanitasi Permukiman (PPSP)


PPSP merupakan program yang dicanangkan pemerintah  untuk  kurun  waktu  5  tahun dari tahun 2010. Program  ini  merupakan  program  pembangunan  sanitasi  yang  terintegrasi dari pusat hingga ke daerah yang melibatkan  pemangku  kepentingan  dari  kalangan  pemerintah  dan  non Pemerintah di  seluruh tingkatan. Program  ini  dilakukan  secara  bertahap dan  berkelanjutan  mulai tahun 2010 sampai tahun 2019 dengan target minimal  330 Kabupaten/Kota di Indonesia yang rawan masalah air limbah, persampahan, dan drainase perkotaan.
Program PPSP memiliki sasaran sebagai  berikut: 
·         Terbebas dari Buang Air Besar Sembarangan (BABS). 
·         Pelaksanaan praktek 3R (Reduce, Reuse, Recycle) serta peningkatan tempat pembuangan akhir (TPA) menjadi  sanitary landfill. 
·         Pengurangan  genangan  air  di  100  wilayah  perkotaan  seluas 22.500 ha.
·         Tercapainya sasaran program dan kegiatan PPSP. 
· Tersusunnya rencana strategi sanitasi berupa Buku Putih  Sanitasi (BPS), dan Strategi Sanitasi Kabupaten atau Kota  (SSK).
·    Tersusunnya Memorandum Program Sanitasi (MPS)  bagi Kabupaten/Kota yang telah menyusun BPS dan SSK.
·         Terlaksanannya  program  dan  kegiatan  pembangunan  sanitasi permukiman sesuai dengan SSK/ MPS
·         Terlaksananya keberlanjutan program dan kegiatan PPSP  paska implementasi.
·         Terlaksananya  kegiatan  pemantauan  dan  evaluasi  pelaksanaan  pembangunan  sanitasi  Permukiman program PPSP di daerah.  
Apa Manfaat Program PPSP: 
Kabupaten/Kota yang telah bergabung dalam  program  PPSP  dan  telah  memiliki  dokumen sanitasi (BPS, SSK, dan MPS) akan memperoleh  manfaat diantaranya:
·         Kabupaten/Kota  memiliki  dokumen  perencanaan pembangunan sanitasi yang  berkualitas  sebagai  acuan  pembangunan  sanitasi di daerah.
·         Terjadinya  sinkronisasi  pembangunan  sanitasi mulai tahap perencanaan sampai  tahap implementasi di  Kabupaten/Kota,  Provinsi, dan Pusat.
·         Terjadinya  peningkatan  anggaran  untuk  pembangunan sanitasi di Kabupaten/Kota.
·         Menyediakan peluang untuk keterlibatan  pihak  lain  (masyarakat,  swasta,  donor)  dalam pembangunan sanitasi  di  Kabupaten/Kota.
·         Memperoleh  optimalisasi  anggaran  kementerian.
·         Dokumen  perencanaan  pembangunan  sanitasi (BPS, SSK, dan MPS) dapat menjadi  bahan advokasi.

Di dalam Program PPSP, proses perencanaan strategis menghasilkan 3 (tiga) dokumen berikut: Buku Puth Sanitasi (BPS), Strategi Sanitasi Kabupaten/Kota (SSK), dan Memorandum Program Sanitasi (MPS). BPS dan SSK merupakan dokumen yang dihasilkan dari pelaksanaan Tahap 3 di dalam PPSP, yaitu Perencanaan Strategis Sanitasi. Sedangkan MPS
merupakan hasil dari pelaksanaan Tahap 4, yaitu Memorandum Program. Ketiga dokumen tersebut perlu disiapkan Kabupaten/Kota sebelum implementasi fisik dapat dilakukan.

Dokumen sanitasi terdiri atas:
1.       Buku Putih Sanitasi (BPS), Panduan Penyusunan Buku Putih Sanitasi (BPS), bisa dilihat Disini
2.       Strategi Sanitasi Kabupaten/ Kota (SSK), Panduan Penyusunan Strategi Sanitasi Kabupaten/ Kota (SSK), bisa dilihat Disini
3.       Memorandum Program Sanitasi (MPS), Panduan Penyusunan Memorandum Program Sanitasi (MPS), bisa dilihat Disini

Bagaimana Tahapan Pelaksanaan PPSP:
Tahapan Pelaksanaan PPSP
No
Tahapan
Sasaran
Peran Utama & Tanggung Jawab
1
Kampanye, edukasi,  advokasi, 
dan  pendampingan. 
Meningkatnya kesadaran dan  kebutuhan masyarakat  terhadap layanan sanitasi.
Pusat, Provinsi
2
Pengembangan  kelembagaan 
dan  peraturan.
Meningkatnya koordinasi,  kerjasama, dan kolaborasi  antar pemangku kepentingan
Pusat, Provinsi, kabupaten/ kota
3
Penyusunan  rencana strategis 
(SSK). 
Tersusunnya dan  ditetapkannya strategi  pengembangan layanan  sanitasi permukiman (air  limbah domesk,  persampahan, drainase  perkotaan dan komponen  pendukungnya). 
kabupaten/ kota
4
Persiapan  Memorandum 
Program (MPS).
Meningkatnya akses  pendanaan untuk  pembangunan, rehabilitasi  operasional dan pemeliharaan  prasarana dan sarana sanitasi  (APBD Kabupaten/Kota,  APBN, bantuan luar negeri,  investasi swasta, kontribusi  masyarakat, dll).
Pusat, Provinsi, kabupaten/ kota
5
Implementasi.
Tersedianya prasarana dan  sarana sanitasi yang sesuai  dengan kebutuhan  masyarakat, berkualitas dan  berkelanjutan. 
Pusat, Provinsi, kabupaten/ kota
6
Pemantauan dan  evaluasi. 
Kesesuaian pelaksanaan  program/ kegiatan dengan  rencana. 
Pusat, Provinsi, kabupaten/ kota