Pengendalian pemanfaatan ruang, sebagai bagian integral dari proses pemanfaatan ruang, adalah unsur vital yang berfungsi untuk menjaga arah pemanfaatan ruang agar tetap sesuai dengan arah perencanaan. Dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan ruang, diperlukan instrumeninstrumen/perangkat yang berfungsi sebagai alat untuk melakukan mekanisme pengontrolan, khususnya yang terkait dengan hukum. Di antara perangkat tersebut terdapat dua hal yang berkaitan dengan hukum yaitu perizinan dan sanksi. Perizinan dan sanksi, terkait erat dengan mekanisme penertiban pemanfaatan ruang, sebagai mekanisme pamungkas terhadap tindakan pelanggaran terhadap rencana tata ruang. Pengenaan sanksi terhadap pelanggar rencana tata ruang, adalah tindakan yang di mana instrumen hukum bidang tata ruang memiliki peran kunci digunakan untuk melakukan dan untuk menerapkan tindakan hukum terhadap pelanggar tata ruang.
Prinsip
negara hukum seperti yang ditegaskan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat
(3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
menegaskan bahwa dalam menyelenggarakan
pemerintahan maka semua penyelenggara negara harus mendasarkan tindakannya
kepada hukum. Termasuk dalam mencapai tujuan negara seperti yang terdapat dalam
pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945)
tersebut. Dalam konteks tulisan ini, termasuk diantaranya adalah penegakan hukum
terhadap pelanggar aturan hukum tentang pemanfaatan ruang.
Prinsip
kebijakan otonomi daerah merujuk kepada Peraturan perundangundangan, yang telah
diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) yang menyatakan bahwa urusan
pemerintahan dibagi antara urusan pemerintahan
absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan pemerintahan umum; lebih
lanjut Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Otonomi
Daerah menyatakan bahwa urusan pemerintahan konkuren sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah adalah
urusan pemerintahan yang dibagi antara pemerintah pusat dan daerah provinsi dan
daerah kabupaten/kota; kemudian Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2004 tentang Otonomi Daerah menyatakan bahwa urusan pemerintahan konkuren yang
diserahkan ke daerah menjadi dasar pelaksanaan otonomi daerah.
Adapun
dijelaskan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1) UndangUndang Nomor 23
Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, bahwa urusan pemerintahan konkuren dibagi
menjadi urusan pemerintahan wajib dan urusan pemerintahan pilihan, sedangkan
ayat (2) menyatakan bahwa (2) urusan pemerintahan wajib sebagaimana terdiri
atas urusan pemerintahan yang berkaitan dengan pelayanan dasar dan urusan
pemerintahan yang tidak berkaitan dengan pelayanan dasar. Kemudian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) huruf c UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004
tentang Otonomi Daerah menyebutkan bahwa urusan pemerintahan wajib yang
berkaitan dengan pelayanan dasar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
UndangUndang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah adalah
termasuk pekerjaan umum dan penataan ruang. Proses penegakan hukum atas
pelanggaran penataan ruang merupakan salah satu unsur krusial dan fundamental
dalam mengawal implementasi rencana tata ruang. Mengapa? Karena untuk
mewujudkan implementasi tata ruang yang baik harus diimbangi pula dengan sistem
pengendalian yang sama baiknya dengan perencanaan, untuk menghindari
melencengnya proses pembangunan ruang yang tidak sesuai dengan arah sebagaimana
digariskan dalam peraturan-peraturan, hal mana dalam rezim penataan ruang di
Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
beserta turunannya.
Dalam
sistem penyelenggaraan penataan ruang seperti tertuang di Undang-Undang Nomor
26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa dalam penyelenggaraan
penataan ruang terdapat mekanisme pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan
pengawasan penataan ruang. Seiring dengan semakin banyaknya produk-produk tata
ruang yang telah diperdakan di daerah, dalam mekanisme pelaksanaan, terdapat didalamnya
pengendalian pemanfaatan ruang yang dibutuhkan dalam mengawal implementasi
Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) yang telah
ditetapkan. Pengendalian pemanfaatan ruang saat ini menjadi hal yang wajib
untuk mengawal implementasi rencana tata ruang. Adapun fungsi dari pengendalian
itu sendiri ada dua hal pokok, pertama adalah fungsi kuratif, yakni untuk
memperbaiki suatu keadaan ruang yang kurang baik dan berada dalam kondisi
eksisting (telah ada); kedua adalah fungsi preventif, yakni untuk mencegah
adanya proses pembangunan yang tidak sesuai peraturan yang berlaku. Keduanya
pada pokoknya bertujuan sama, untuk mengarahkan proses pembangunan ruang sesuai
dengan koridor yang telah ditetapkan.
Sesuai
dengan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, instrumen
pengendalian pemanfaatan ruang terdiri atas peraturan zonasi, perizinan,
insentif dan disinsentif, serta sanksi. Peraturan zonasi, secara sederhana
dapat dijelaskan sebagai bentuk pengaturan untuk mengarahkan proses pembangunan
ruang sesuai dengan blok-blok yang telah ditentukan.
Pengenaan
sanksi, yang merupakan salah satu upaya pengendalian pemanfaatan ruang,
dimaksudkan sebagai perangkat tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang
tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan peraturan zonasi. Sanksi, secara
singkat dapat dijelaskan sebagai tindakan penertiban yang
dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan Rencana Tata
Ruang.
Penegakan
hukum dalam indikasi pelanggaran tata ruang dilakukan dengan menganut asas
ultimum remedium, dimana hal ini salah satunya terkait erat dengan
ketentuanketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 62 dan Pasal 64 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yakni penerapan sanksi
administratif terhadap pelanggaran pemanfaatan ruang. Artinya, apabila masih
ada upaya penegakan lain yang bisa dilakukan, maka upaya itulah yang terlebih
dulu dikedepankan.
Instrumen Hukum Dalam Proses Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang
Dalam
Pasal 1 ayat (15) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang, disebutkan pengertian pengendalian adalah suatu upaya
tindakan yang dilakukan untuk mewujudkan tata tertib tata ruang. Menurut
Muhajir (2017:189), pengendalian pemanfaatan ruang merupakan bagian dari
kegiatan penataan ruang yang dipersiapkan sejak awal proses perencanaan tata
ruang. Konsep pengendalian dimulai sebelum rencana tata ruang diimplementasikan
dengan memasukkan indikator pencapaian hasil, sebagai dasar-dasar kriteria yang
diperlukan, pada saat rencana dilaksanakan dan sesudah implementasi.
Mekanisme
Pengendalian Pemanfaatan Ruang. Sumber: data primer yang diolah.
Sebagaimana
disebutkan dalam Pasal 61 UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang, dalam pemanfaatan ruang setiap orang wajib:
l Menaati
rencana tata ruang yang telah ditetapkan;
l Memanfaatkan
ruang sesuai dengan izin pemanfaatan ruang dari pejabat yang berwenang;
l Mematuhi
ketentuan yang ditetapkan dalam persyaratan izin pemanfaatan
ruang; dan
l Memberikan
akses terhadap kawasan yang oleh ketentuan peraturan perundang-undangan
dinyatakan sebagai milik umum.
Pengendalian Pemanfaatan Ruang, Pengertian
Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Pengendalian
pemanfaatan ruang merupakan kegiatan yang berkaitan dengan pengawasan dan
penertiban terhadap implementasi rencana sebagai tindak lanjut dari penyusunan
atau adanya rencana, agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang.
Pengertian lain dari pengendalian
pemanfaatan ruang yaitu: merupakan usaha untuk mengambil tindakan agar
pemanfaatan ruang termasuk tata tanah, tata guna air, tata guna udara dan tata
guna sumber daya alam lainnya yang berada pada kawasan lindung, kawasan
budidaya, kawasan perdesaan, dan kawasan perkotaan yang direncanakan dapat
terwujud. Ibrahim (1998:27) mengemukakan bahwa dengan kegiatan pengendalian
pemanfaatan ruang, maka dapat diidentifikasi sekaligus dapat dihindarkan
kemungkinan terjadinya penyimpangan pemanfaatan ruang.
a.
Pengawasan
Suatu usaha
atau kegiatan untuk menjaga kesesuaian pemanfaatan ruang dengan fungsi ruang
yang ditetapkan dalam rencana tata ruang yang dilakukan.
b. Penertiban
Penertiban
adalah usaha untuk mengambil tindakan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak
sesuai dengan rencana dapat terwujud. Tindakan penertiban dilakukan melalui
pemeriksaan dan penyelidikan atas semua pelanggaran
atau kejahatan yang dilakukan terhadap pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang.
Konsepsi Penegakan Hukum Bidang Penataan Ruang
Penegakan
hukum merupakan suatu bentuk konkret penerapan hukum dalam masyarakat yang
mempengaruhi perasaan hukum, kepuasan hukum dan kebutuhan atau keadilan hukum
masyarakat. (Manan, 2009:52) Dalam pandangan umum, penegakan hukum identik
dengan proses yang terjadi pada lembagalembaga penegak hukum seperti
Kepolisian, Kejaksaan, Menurut Lawrence Meir Friedman, sistem hukum terdiri
dari tiga unsur yang saling mempengaruhi yaitu:
1.
Struktur Hukum (Legal Structure) adalah pola
yang memperlihatkan tentang bagaimana hukum itu dijalankan menurut
ketentuan-ketentuan formalnya. Struktur mencakup dua hal yaitu kelembagaan
hukum dan aparatur hukum
2. Substansi
Hukum (Legal Substance) mencakup peraturan yang tidak hanya
pada perundang undangan positif saja, akan tetapi termasuk norma dan pola
tingkah laku yang hidup dalam masyarakat. Penekanannya terletak pada hukum yang
hidup, bukan hanya pada aturan dalam kitab hukum.
3. Budaya Hukum
adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai,
pemikiran, serta harapannya.
Perangkat dan Mekanisme Pengendalian Pemanfaatan Ruang
Perangkat
hukum pengendalian pemanfaatan ruang pada dasarnya untuk mencegah perubahan
pemanfaatan ruang. Pada dasarnya, apabila pemanfaatan ruang dilakukan dengan
pertimbangan arahan sesuai aturan yang berlaku, maka akan mempunyai kekuatan
hukum yang pasti dan dianggap sesuai dengan kebutuhan masyarakat umum dan
perkembangan kota, pun dengan prosedur pengendaliannya akan menjadi sangat
sederhana. Untuk mewujudkannya, setiap permohonan
yang tidak sesuai dengan peruntukan ruang harus ditolak kecuali ada ketetapan
peraturan daerah tersebut mencantumkan dispensasi/keringanan yang
diperbolehkan, sesuai ketentuan yang berlaku.
Berdasarkan
UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dan dijabarkan dengan
lebih rinci dalam Pasal 148-Pasal 197 Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010
tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, mekanisme pengendalian penyelenggaraan
penataan ruang pada dasarnya terdiri dari empat jenis: peraturan zonasi,
perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi:
l
Peraturan Zonasi, merupakan ketentuan yang
mengatur tentang persyaratan pemanfaatan ruang dan ketentuan pengendaliannya
dan disusun untuk setiap blok/ zona peruntukan yang penetapan zonanya dalam
rencana rinci tata ruang;
l
Perizinan, merupakan upaya untuk memperbolehkan
atau tidak memperbolehkan suatu kegiatan berlangsung pada suatu wilayah sesuai
dengan tata ruang, dengan mengeluarkan penerbitan surat izin.
l
Pemberian Insentif dan Disinsentif, merupakan
upaya untuk mengarahkan pembangunan dengan memberikan dorongan terhadap
kegiatan yang sejalan dengan rencana tata ruang dan memberikan upaya menghambat
terhadap kegiatan yang bertentangan dengan rencana tata
ruang;
l
Pengenaan Sanksi, merupakan upaya untuk
memberikan tindakan penertiban atas pemanfaatan ruang yang tidak sesuai dengan
rencana tata ruang dan peraturan zonasi.
Pengendalian
ruang, pada pokoknya adalah salah satu bentuk dari tiga pokok pelaksanaan
penataan ruang yakni planning, actuating, dan controlling Pengendalian ruang
adalah pengejawantahan dari fungsi controlling, yaitu untuk mewujudkan tatanan
ruang yang produktif dan berkelanjutan, dengan mengedepankan kepentingan
ekonomi, lingkungan, dan sosial secara seimbang:
1.
Proses perencanaan tata ruang wilayah, yang menghasilkan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW), disamping sebagai “guidance of future actions”, RTRW pada
dasarnya merupakan bentuk intervensi yang dilakukan agar interaksi
manusia/makhluk hidup dengan lingkungannya dapat berjalan serasi, selaras,
seimbang untuk tercapainya kesejahteraan manusia/makhluk hidup serta
kelestarian lingkungan dan keberlanjutan pembangunan (development sustainability);
2.
Proses pemanfaatan ruang, yang merupakan wujud operasionalisasi rencana tata
ruang atau pelaksanaan pembangunan itu sendiri memerlukan pengawasan untuk
menjaga arah dari perencanaan tata ruang;
3.
Proses pengendalian pemanfaatan ruang, yang dalam
salah satu bentuk spesifiknya berupa penertiban ruang, yang dalam bentuk
spesifiknya berupa penertiban ruang, mengambil bentuk penerapan punishment
terhadap implementasi penggunaan ruang yang menyimpang dari rencana tata ruang.
dalam prosesnya dilakukan melalui check dan recheck terhadap perizinan dan
tindakan berdasarkan hukum dengan tujuan menjaga arah penataan ruang tetap
sesuai dengan arahan rencana tata ruang.
Adanya
kegiatan monitoring dan evaluasi terhadap pemanfaatan ruang secara kontinyu
benarbenar diperlukan, untuk menghasilkan produk audit ruang yang diperlukan
sebagai bahan masukan/rekomendasi untuk mewujudkan kesesuaian pemanfaatan ruang
aktual terhadap rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan.
Sebagai
rekomendasi, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:
a.
Jika tingkat kesesuaian antara perencanaan dengan implementasi penataan ruang
tinggi, maka kegiatan selanjutnya adalah memantapkan programprogram pemanfaatan
ruang;
b.
Jika tingkat kesesuaian antara perencanaan dengan implementasi penataan ruang
sedang, perlu kebijakan atau strategi baru untuk memperkuat terwujudnya
kesesuaian; dan/atau pemantapan pelaksanaan pengendalian pemanfaatan ruang.
SUMBER : Oleh :Mochamad
Moro Asih, S.H., C.I.H, Dalam BULETIN
PENATAAN RUANG Edisi V |September - Oktober 2022