1. Inklusif
Inklusif
tidak hanya menyangkut kesetaraan gender tetapi juga mencakup pelibatan
berbagai kelompok rentan seperti perempuan, kaum muda, lansia, penyandang
disabilitas, pengidap HIV/AIDS dan anggota masyarakat lainnya yang dianggap
rentan dengan mempertimbangkan aspek interseksionalitasnya.
Tidak
dapat disangkal bahwa bencana menimbulkan dampak yang berbeda bagi setiap
individu bergantung pada jenis kelamin, usia, kondisi fisik, dan kesehatan
sehingga perlu diperhatikan aspek kesetaraan gender dan keberagaman dalam
formulasi kegiatan dukungan. Hal ini pun tercermin dalam pengalaman
penanggulangan bencana di masa lalu. Misalnya, terdapat kecenderungan jumlah
korban perempuan lebih banyak daripada lakilaki dikarenakan bias dan
diskriminasi berbasis gender yang telah ada sebelumnya.
Saat
gempa bumi terdahulu di Jepang, angka kematian penyandang disabilitas dua kali
lipat lebih banyak dibandingkan dengan bukan penyandang disabilitas.
Pascabencana, pengidap HIV dan AIDS mungkin akan kesulitan memperoleh
obat-obatan esensial. Dalam pengarusutamaan kesetaraan gender dan inklusi
sosial, penyediaan dukungan tidak hanya berfokus terhadap perempuan, tetapi
juga kelompok rentan lainnya pada situasi pascabencana. Oleh karena itu, perlu
dipertimbangkan pendekatan khusus bagi masing – masing kelompok rentan.
a. Pendekatan Responsif Gender
Pendekatan
responsif gender perlu diperhatikan dalam seluruh langkah – langkah pelaksanaan
kegiatan.
-
Persentase perempuan yang menjadi kepala desa, kepala dusun, ketua RT serta
koordinator di tempat penampungan dan huntara masih sangat rendah. Oleh karena
itu, perempuan di masyarakat perlu berperan serta secara aktif dalam pertemuan
konsultatif untuk memastikan keterwakilan suara serta menyuarakan kebutuhannya
dalam tahap formulasi dan pelaksanaan kegiatan serta menjamin penyebarluasan
informasi bagi perempuan.
-
Peran gender, norma, praktik sosial, dan budaya harus dipertimbangkan dalam
formulasi rancangan rencana kegiatan, kriteria seleksi, dan lainnya. Segala
jenis kegiatan yang tidak responsif gender terhadap perempuan (dewasa dan anak)
harus dihindari. Kegiatan yang dilaksanakan harus memiliki andil dalam
transformasi sosial dan gender untuk pembangunan yang lebih baik dan kesetaraan
gender dalam masyarakat. Dalam hal ini, pendekatan tidak hanya ditujukan bagi
kaum perempuan tetapi juga kaum laki-laki demi menjaga keseimbangan dalam
kegiatan.
- Secara umum, tingkat literasi kaum perempuan
lebih rendah dibandingkan kaum laki-laki, terutama lansia dan etnis minoritas
yang tinggal di daerah perdesaan/terpencil, demikian pula dengan keterampilan
berhitung. Hal ini harus dipertimbangkan dalam penyebarluasan informasi,
pengumpulan proposal kegiatan, penyelenggaraan pelatihan, dan lain-lain.
-
Ketika terjadi bencana, permasalahan yang kerap terjadi dalam kondisi normal
semakin meningkat, seperti kekerasan berbasis gender. Terkait kegiatan
pemulihan masyarakat, potensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan (dewasa
dan anak) dan rumah tangga, pelecehan gender dan kekerasan berbasis gender,
perdagangan perempuan (dewasa dan anak) harus dipertimbangkan dan langkah
penanganan yang tepat harus dilakukan pada saat yang bersamaan.
- Dinas Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak di tingkat provinsi dan kabupaten/kota merupakan penanggung
jawab utama untuk memastikan integrasi pendekatan responsif gender dan responsive
keragaman, serta langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi kekerasan
terhadap perempuan (dewasa dan anak) termasuk kekerasan berbasis gender. Dinas
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di provinsi dan kabupaten/kota
perlu dilibatkan dalam setiap konsultasi dan koordinasi di semua kegiatan.
b. Lapangan Kerja bagi Kaum Muda
Keterlibatan
kaum muda merupakan salah satu faktor yang harus dipertimbangkan dalam menjaga
stabilitas hubungan antara pemuda dan masyarakat serta mengoptimalkan dampak
pemulihan baik secara individu maupun kolektif. Secara umum, kaum muda
merupakan mayoritas dalam populasi, tetapi kebutuhan mereka seringkali
terabaikan karena mekanisme dukungan cenderung berfokus kepada anak-anak dan
perempuan dewasa. Selain itu, kaum muda juga memiliki kesempatan yang terbatas
untuk terlibat dalam kegiatan masyarakat dan pengambilan keputusan.
Kurangnya
dukungan terhadap kaum muda baik laki-laki maupun perempuan atau terbatasnya
akses terhadap pekerjaan yang produktif dapat berdampak secara fisik maupun
psikis selain stres yang tinggi akibat bencana. Oleh karena itu, sangat penting
untuk menciptakan peluang kerja baru, peningkatan keahlian, dan pelatihan
keterampilan bagi kaum muda. Hal ini merupakan peluang bagi pemuda khususnya
perempuan muda untuk mempelajari bidang dan keahlian baru seperti keterampilan
sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM) dan juga teknologi informatika
dan komunikasi (TIK) yang bisa menjadi pilihan untuk digeluti. Pelibatan pemuda
dapat mempercepat pemulihan kaum muda dan masyarakat serta hubungan sosial
kemasyarakatannya.
c. Lansia dan Penyandang Disabilitas
Di
sejumlah lokasi huntara, bangunan telah dirancang dengan mempertimbangkan
kondisi lansia dan penyandang disabilitas. Kepala desa selaku penanggung jawab
pengaturan/pengalokasian penghuni huntara di desanya telah memprioritaskan
lansia dan penyandang disabilitas dalam pengaturan relokasi. Oleh karena itu,
direkomendasikan untuk mengaplikasikan “rancangan atau desain bangunan
universal” yang dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan kelompok rentan di
hunian sementara maupun hunian tetap.
d. Pengidap HIV dan AIDS
Sulitnya
memperoleh perawatan medis dapat mengancam kehidupan pengidap HIV dan AIDS maka
kebutuhan mereka perlu dipertimbangkan dan dipersiapkan sebelumnya. Seperti
halnya penderita penyakit kronis yang lain, pengidap HIV dan AIDS wajib
mengonsumsi obat-obatan secara rutin (Pengobatan Anti-Retroviral–ART) yang bisa
menekan aktivitas virus sehingga pengidap HIV dan AIDS bisa hidup normal
seperti individu yang lain.
Ketika
bencana skala besar terjadi, sarana penopang kehidupan dan fasilitas medis
dapat terganggu/terhenti sehingga penyediaan pengobatan yang diperlukan dapat
terhambat. Pada kasus pengidap HIV dan AIDS, Kondisi ini sangat berbahaya
karena virus dapat berkembang lebih cepat dan resisten terhadap obat-obatan
yang digunakan. Pada umumnya pengidap HIV dan AIDS bisa memperoleh obat-obatan
yang diperlukan di rumah sakit, tetapi perubahan kondisi pascabencana dapat
menyulitkan mereka untuk mengakses obat-obatan dan perawatan yang dibutuhkan.
2. Keberlanjutan
a. Membangun Kembali Lebih Baik (Build
Back Better) untuk pemulihan dan pembangunan kembali masyarakat yang
berkelanjutan Keberlanjutan dalam perspektif ekonomi, lingkungan, sosial dan
kelembagaan perlu dipertimbangkan di seluruh aspek tahapan pemulihan dan
pembangunan kembali. Pemulihan dan penguatan tidak hanya berkaitan dengan
pemulihan kembali ke kondisi awal di daerah terdampak bencana, tetapi yang
paling penting pada tahapan ini adalah kesempatan untuk mengurangi risiko
bencana di masa depan melalui masyarakat yang lebih tangguh dan menjaga keberlanjutan
kegiatan.
b. Ramah Lingkungan Selama pemulihan dan
pembangunan kembali, perlu dipertimbangkan aspek konservasi lingkungan alam dan
sosial. Kondisi kehidupan dan mata pencaharian masyarakat berubah akibat
bencana sehingga membutuhkan banyak sumber daya untuk pemulihan dan pembangunan
kembali. Dalam kondisi ini, keberkelanjutan sumber daya alam adalah salah satu
hal yang harus dipertimbangkan.
3. Kemandirian
Masyarakat
didorong dan difasilitasi untuk menginisiasi dan melaksanakan kegiatan swadaya.
Pascabencana, masyarakat perlu memulihkan kehidupannya dan mengeratkan hubungan
sosial kemasyarakatannya, baik secara swadaya, gotong royong, maupun dengan
bantuan pemerintah.
Mengingat
keterbatasan sumber daya pemerintah untuk membantu masyrakat, khususnya
pascabencana karena Mereka harus mampu memulihkan kehidupan mereka dan
melakukan penguatan masyarakat secara mandiri, gotong royong, dan melalui
bantuan publik. Mengingat sumber daya pemerintah untuk membantu masyarakat
terbatas, terutama selama bencana, prioritas difokuskan pada pemeliharaan
stabilitas dalam masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat harus menjadi mitra
pemerintah dan memiliki inisiatif dalam melakukan kegiatan swadaya
Sumber: Panduan
Dukungan Pemulihan Mata Pencaharian dan Penguatan Masyarakat Pascabencana Penerbit
Kementerian PPN/Bappenas - JICA