Tampilkan postingan dengan label Pengelolaan Air Bersih. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pengelolaan Air Bersih. Tampilkan semua postingan

Jumat, 08 Maret 2024

PENGELOLAAN AIR BERSIH PULAU KECIL UNTUK MEMBANGUN KAWASAN WISATA BERKELANJUTAN DAN RAMAH LINGKUNGAN

Pendahuluan

Kawasan wisata di Indonesia sangat bervariasi karena dibentuk oleh bermacam-macam atraksi yang ditawarkan, kondisi geologi dan topografi kawasan, cuaca dan iklim, serta potensi-potensi wilayah lainnya. Salah satu potensi wilayah yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata adalah pulau-pulau kecil, karena umumnya pulau-pulau kecil memiliki sumber daya alam, aspek lingkungan, dan budaya yang unik. (Sugihamretha et al., 2015). Sementara itu, pembangunan sebuah kawasan wisata, selain prasarana dan sarana transportasi, sangat tergantung pada ketersediaan air tawar. Dengan demikian, kelangkaan air tawar menjadi salah satu kendala untuk membangun kawasan wisata. Tanpa sumber daya air yang cukup, maka kawasan wisata tidak dapat dikembangkan secara optimal. Di sisi lain, air limbah dan sampah akibat kegiatan penduduk setempat maupun pengunjung objek wisata yang tidak dikelola secara memadai dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Akibatnya, kawasan wisata yang sudah dibangun menjadi tidak menarik karena tercemar air limbah dan sampah. Kawasan wisata menjadi tidak ramah lingkungan dan berisiko tidak berkelanjutan.

Beberapa pulau kecil seperti di Pulau Gili Trawangan (NTB), Pulau Bintan (Kepulauan Riau), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta) telah teridentifikasi menghadapi masalah pengelolaan air bersih. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kawasan wisata berkelanjutan dan ramah lingkungan, maka pengelolaan air bersih pulau harus terintegrasi dengan pengelolaan air limbah dan sampah domestik. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pulau-pulau kecil ini semakin meningkat. Dengan demikian, semakin berkembang pariwisata di wilayah-wilayah tersebut, maka semakin besar pula tantangan yang dihadapi (Aryanti & Nasril, 2020).

Tujuan dari karya tulis ini membahas konsep keberlanjutan dan ramah lingkungan, potensi sumber-sumber air dan pilihan pengolahannya agar layak digunakan sebagai air bersih untuk kawasan wisata. Sumber informasi tulisan ini adalah sumber primer yang berasal dari hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan di majalah ilmiah. Penyajiannya berdasarkan hasil-hasil analisis deskriptif terhadap sumber-sumber primer yang relevan, diolah kembali dengan menambahkan beberapa poin tentang aspek keberlanjutan dan aspek ramah lingkungan. Informasi yang disajikan adalah tentang bagaimana konsep dan praktik pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan pada wilayah pulaupulau kecil, apa saja sumber air di pulau-pulau kecil yang dapat digunakan sebagai sumber air baku air bersih, bagaimana mekanisme untuk menampung dan menyimpan serta mengolahnya menjadi air yang aman dikonsumsi dan siapa saja para pengguna air bersih dengan jumlah besar di kawasan wisata pulau-pulau kecil serta bagaimana mengurangi risiko pencemaran air limbah sisa pemakaian air bersih.

Konsep dan Prinsip Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan

Konsep berkelanjutan dan ramah lingkungan dalam pengelolaan air ini memiliki beberapa prinsip antara lain kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi masyarakat dalam membangun budaya ramah air, penataan muka dan badan air secara berkelanjutan dan pengelolaan air dan limbah secara baik (Abdulaziz et al., 2019). Pengelolaan air secara berkelanjutan dan ramah lingkungan yang dapat diterapkan pada kawasan pulau kecil adalah pengelolaan pada skala masyarakat/pemilik usaha. Model pengelolaan air seperti ini mempunyai peran dan berkontribusi positif terhadap kualitas dan kuantitas air yang ada di kawasan tersebut. Pengelolaan sumber daya alam di pulau-pulau kecil yang memadai khususnya air bersih harus dapat meminimalisir produk sampingnya. Air limbah domestik adalah produk samping pemakaian air bersih. Besarnya volume pemakaian air bersih berhubungan dengan pesatnya perkembangan industri pariwisata yang menjadi andalan pulau-pulau kecil. Hal ini disebabkan karena pendapatan utamanya bergantung sekali dengan wisatawan yang datang. Dengan demikian, sumber daya alam pulau-pulau kecil khususnya ketersediaan air bersih menjadi fokus pembahasan keberlanjutan dan ramah lingkungan.

Perkembangan sektor pariwisata mempengaruhi pengelolaan air. Hotel dan resort merupakan pengguna air yang besar, selain itu juga sebagai penghasil air limbah yang besar. Untuk memenuhi kebutuhan air wisatawan, pengelolaan air harus dilakukan secara efisien dan berkelanjutan agar tidak terjadi bencana ekosistem bagi pulau-pulau kecil tersebut. Pada musim liburan, dimana konsumsi air bisa berlipat ganda dan untuk memenuhi permintaan di musim turis, tentu harus diimbangi dengan kuantitas air bersih yang harus mencukupi. Dengan meningkatnya konsumsi air, demikian pula produksi air limbah, dan tanpa penanganan yang tepat, terjadi peningkatan beban pencemaran (UNEP, 2003).

Solusi Masalah Air Bersih di Pulau-Pulau Kecil

Terdapat dua masalah utama sumber daya air di pulau-pulau kecil yang perlu dicarikan solusinya yaitu ketersediaan dan kualitas air. Peningkatan ketersediaan air dan kualitas air dari segi teknologi maupun kebijakan oleh para pemangku kepentingan merupakan solusi yang diperlukan untuk memecahkan permasalahan air bersih yang kerap terjadi pada wilayah pulau-pulau kecil. Beberapa solusi untuk kedua tujuan tersebut adalah pemanenan air hujan (rainwater harvesting), meningkatkan kapasitas daerah tangkapan air, impor air, desalinasi air laut, dan daur ulang air limbah.

1.     Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting)

Pemanenan air hujan (Rainwater Harvesting), adalah sebuah teknologi untuk mengumpulkan dan menyimpan air hujan yang dicurahkan dari langit, dan jatuh di atap-atap bangunan tanah dan batuan di lahan-lahan pekarangan ke dalam sebuah bangunan penyimpan air seperti tandon air dan reservoir (GDRC, 2006).

Pemanenan air hujan juga dipandang sebagai salah satu solusi yang paling tepat untuk meningkatkan pasokan air dalam skala mikro. Teknologinya mudah dipasang dan dioperasikan, masyarakat lokal dapat dengan mudah dilatih untuk menerapkannya dan bahan konstruksi juga tersedia (Hophmayer- Tokich & Kadiman, 2006).

Biaya operasional pemanenan air hujan relatif kecil, bahkan hampir dapat diabaikan. Air dikumpulkan dari atap tangkapan biasanya memiliki kualitas yang dapat diterima untuk keperluan rumah tangga dan memiliki sedikit dampak negatif pada lingkungan. Kapasitas pemanenan air hujan juga bergantung pada kapasitas dan kebutuhan dari hotel atau penginapan tersebut. Kapasitas pengumpulan dan penyimpanan air dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan dalam ketersediaan sumber daya air di daerah tangkapan air. Namun demikian, pemanenan air hujan tidak dapat dipandang sebagai teknologi utama atau satusatunya sumber air, terutama karena terbatasnya pasokan dan ketidakpastian curah hujan. Ini mungkin membuat pemanenan air hujan kurang menarik bagi beberapa instansi pemerintah dan penggiat pariwisata yang bertugas harus selalu menyediakan pasokan air di setiap waktu (GDRC, 2006).

Pemanenan air hujan untuk keperluan air minum belum diadopsi secara luas karena kekhawatiran terhadap risiko adanya polutan yang dapat berasal dari bahan kimia dan mikrobiologi. Di pihak lain belum tersedianya petunjuk yang spesifik dalam memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum dan cara mengelola risiko yang mungkin ditimbulkan dari polutan kimia dan mikrobiologi tersebut masih terbatas dan masih banyak yang belum mengetahuinya (Ahmed et al., 2011).

Ditinjau dari aspek kualitas air, pemanenan air hujan termasuk pilihan teknologi yang ramah lingkungan bila dibandingkan dengan sumber air lainnya. Selain itu, sumberdaya air hujan termasuk sumberdaya yang terbarukan sehingga dijamin keberlanjutan pasokannya setiap tahun. Namun, kuantitas air hujan yang dipanen relatif terbatas sehingga tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber air untuk memenuhi kebutuhan di pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, solusinya adalah kombinasi pemanfaatan dengan sumber lain seperti air permukaan yang ditampung di tandon air, embung atau waduk lapang serta pemanfaatan olahan air laut. Pemanfaatan sumber daya air permukaan dan air laut memerlukan pengolahan yang lebih intensif sebelum digunakan.

Pengambilan keputusan pemilihan sumber air tentang kombinasi pemanfaatan sumber air baku didasarkan pada perkembangkan kebutuhan kawasan wisata pulau-pulau kecil sesuai kecepatan pengembangan kawasan wisata tersebut. Selain itu, perlu dilakukan studi kelayakan yang mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan teknis operasional, lingkungan, sosial dan ekonomi serta budaya. Data dasar seperti topografi, iklim, curah hujan, kondisi sosial ekonomi, dan budaya masyarakat setempat perlu dikumpulkan secara lengkap untuk mendukung analisis kelayakan pengembangan pengelolaan air bersih yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Gambar 1 memberi ilustrasi tentang pemanenan air hujan beserta pengelolaan dan pemanfaatannya untuk penggelontoran toilet dan cuci mobil. Limpasan airnya dikembalikan ke dalam lapisan pembawa air tanah.



Ilustrasi tersebut menjelaskan proses pemanenan air hujan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

2.     Meningkatkan Kapasitas Daerah Tangkapan Air

Meningkatkan penyimpanan air dapat dilakukan melalui proyek infrastruktur besar (misalnya pembuatan bendungan, waduk atau embung) dapat menjadi cara yang berguna untuk meningkatkan ketersediaan air pada pulau-pulau kecil yang sangat bergantung pada sektor pariwisata (Hophmayer- Tokich & Kadiman, 2006).

Sistem penangkapan air dengan membuat bendungan yang dibuat pada pulaupulau kecil yang masih terdapat sungai, konstruksinya diperkuat dengan lapisan kedap air berupa batu, tras, pasangan batu serta beton yang berfungsi sebagai pencegahan resapan di badan air (Sutirto, 2012). Sedangkan untuk embung, pembentukan embung pada dasarnya adalah untuk menyimpan air bersih dari curah air hujan yang turun terutama pada musim kemarau (Dewi & Wahidin, 2020).

Lahan di beberapa pulau-pulau yang kecil, mungkin tidak cukup tersedia untuk pembangunan infrastruktur. Lahan tersebut diperlukan untuk menampung air permukaan sehingga daya tampung airnya lebih besar. Cara ini lebih cocok digunakan pada pulau-pulau yang lahannya cukup luas sehingga memungkinkan dibuatkan infrastruktur atau pulau-pulau yang mempunyai aliran sungai (Asian Development Bank, 2015).

Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa pembangunan waduk atau embung embung memerlukan alih fungsi lahan yang semula mungkin lahan pertanian atau permukiman perdesaan. Alih fungsi lahan tersebut adalah dampak pembangunan terhadap lingkungan dan dipandang kurang ramah lingkungan. Namun, pemanfaatan air permukaan sebagai sumber daya air terbarukan di kawasan wisata, sehingga termasuk kategori berkelanjutan.

3.     Impor Air (Water Importation)

Impor air adalah pemindahan air dari pulau lain atau dari daratan utama ke pulau-pulau kecil yang sangat terbatas sumber daya air bersihnya. Beberapa pulau-pulau kecil dengan air permukaan dan air tanah yang terbatas atau tidak ada, dan curah air hujan yang terbatas bergantung pada impor air tawar dari pulau lain atau dari daratan utama. Dalam kasus lain, impor air digunakan untuk menangani kasus kekeringan.

Air biasanya diimpor melalui jaringan perpipaan dengan pulau lain atau daratan utama. Akan tetapi apabila pulau yang membutuhkan air tersebut sangat jauh jaraknya untuk dijangkau jaringan perpipaan, maka air diimpor dengan transportasi laut, misalnya kapal besar/tanker, dan di beberapa kasus, air bersih akan diantar dengan perahu atau kano ke pulau-pulau terdekat dengan sumber daya air yang tersedia (Asian Development Bank, 2015).

Gambar 3 memberi ilustrasi tentang pendekatan impor air bersih dari pulau lain melalui pipa transmisi yang ditanam di bawah air laut sehingga tidak mengganggu transportasi laut. Penanaman pipa di bawah laut adalah contoh mitigasi dampak lingkungan sehingga impor air bersih tetap ramah lingkungan.

4.     Instalasi Pengolahan Air Laut (Desalination)

Pengolahan air laut atau air payau menjadi air tawar dapat dilakukan dengan cara desalinasi atau dengan penyaringan melalui semi permeable membran bertekanan tinggi (reserve osmosis). Dengan demikian, ada perbedaan proses teknologi desalinasi maupun reserve osmosis.

Pada proses pengolahan air laut menggunakan teknologi desalinasi, diperlukan peralatan yang sifatnya spesifik untuk setiap pengolahan. Tetapi ada peralatan yang bersifat umum seperti sistem pompa air baku, saringan (screen) dan saringan (filter), sistem distribusi produk air desalinasi, tangki penampungan (storage tank), peralatan penerima dan pembagi aliran listrik (Nugroho, 2004).

Instalasi Pengolahan Air Laut mungkin terlihat efisien dan mudah dilihatnya karena hanya mengolah air laut menjadi air tawar. Akan tetapi, pemeliharaan dan peralatan yang digunakan sangat mahal. Selain itu, pemakaian daya listrik cenderung sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan petugas yang kompeten di bidangnya untuk mengoperasikan Instalasi Pengolahan Air Laut berbasis teknologi desalinasi tersebut.

Gambar 4 memberi ilustrasi tentang lokasi instalasi pengolahan air laut di kawasan pantai. Tampak pada gambar ini unit-unit instalasi pengolahan air laut. Instalasi ini juga memerlukan lahan yang relatif luas dan pengadaannya memerlukan proses alih fungsi lahan. Mungkin saja, sebelumnya digunakan untuk lahan budidaya tambak udang atau tambak ikan. Oleh karena itu, dampak alih fungsi lahan harus dipertimbangkan dalam proses perencanaan sehingga keputusan alih fungsi lahan di pantai ini dipilih yang paling ramah lingkungan.

5.     Daur Ulang Limbah Non-Kakus (Grey Water)

Air bekas pakai dari kamar mandi, air cuci pakaian dan dari dapur termasuk air nonkakus (grey water) karena bukan dari kotoran manusia termasuk air pembersihnya. Sementara itu, kotoran beserta air yang ditampung di kloset disebut air kakus (black water). Kandungan bahan cemaran grey water tidak sepekat black water, berpotensi besar untuk dimanfaatkan kembali. Kadar nitrogen didalam grey water hanya 10% dari black water. Selain itu, kandungan bakteri patogen yang merugikan dalam grey water hanya sedikit. Volume grey water bisa mencapai 60% dari total air buangan rumah tangga sehingga berpotensi besar untuk didaur ulang menjadi air bersih dan dapat digunakan kembali (Bestari et al., 2017).

Tangki septik yang dilengkapi dengan lahan basah buatan (constructed wetland) dapat juga memperbaiki kualitas efluennya dengan cara mengurangi kadar BOD (Biochemichal Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) sebelum dibuang ke badan air (Saputri, 2021). Oleh karena itu, peluang daur ulang grey water apalagi black water, masih perlu diuji kelayakannya secara teknis, sosial dan ekonomi serta budaya.

Gambar 5 adalah gambaran sistem daur ulang grey water untuk penyediaan air bersih. Tampak pada gambar ini perubahan air bersih sebelum dan sesudah pemakaiannya. Sebelum pemakaian, air yang dipasok masih dalam keadaan bersih. Namun, setelah dipakai untuk cuci pakaian, cuci peralatan rumah tangga, mandi dan pembersih setelah buang air besar dan buang air kecil, airnya menjadi kotor sehingga harus dibersihkan kembali sebelum dikembalikan ke media lingkungan atau didaur ulang.

Pengaliran atau pembuangan air kotor ke media lingkungan hidup adalah contoh praktik kegiatan yang tidak berkelanjutan dan ramah lingkungan karena mencemari lingkungan. Sebaliknya, daur ulang air kotor atau air limbah non-kakus (grey water) maupun air limbah dari kakus (black water) adalah contoh praktik kegiatan berkelanjutan dan ramah lingkungan.

 

Beberapa solusi untuk meningkatkan pengelolaan air bersih pada kawasan wisata pulau kecil telah diuraikan. Namun, semua teknologi tersebut tentu tidak akan optimal apabila tidak ada inovasi atau perawatan berkala pada infrastruktur pengelolaan air bersih di pulau-pulau kecil tersebut. Kekayaan (asset) infrastruktur permukiman yang dibangun di kawasan wisata, harus dirawat dengan baik sesuai persyaratan yang berlaku. Perawatan yang baik mampu menjaga mutu pelayanan kepada penggunanya. Selain itu, dapat menjaga keberlanjutan infrastruktur dan menjaga tetap ramah lingkungan. Sebaliknya, perawatan yang tidak baik, dapat menimbulkan kerusakan infrastruktur sehingga umur layanannya berkurang dan tidak ramah lingkungan. Dengan demikian, perawatan infrastruktur yang memadai adalah contoh praktik kegiatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pemenuhan kewajiban untuk mewujudkan kawasan wisata pulau yang baik dan sehat pada semua tingkatan sesuai tanggung jawab masing-masing, juga contoh praktik kegiatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Apabila kewajiban tersebut sudah terpenuhi, maka hak-hak semua orang secara individu maupun kelompok masyarakat, dan orang-orang yang bekerja di lembaga pemerintah dan swasta, untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat, otomatis akan terpenuhi. Hak dan kewajiban untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan telah disebutkan di dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kesimpulan

Masalah air di pulau-pulau kecil terutama terkait dengan kuantitas dan kualitas sumber daya air tawar yang terbatas.

Beberapa teknologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas air di pulau-pulau kecil memerlukan analisis kelayakan sebelum diaplikasikan. Informasi yang diperlukanmeliputi bentuk topografi, curah hujan, luasan wilayah pulau-pulau kecil tersebut.

Hasil analisis kelayakan teknologi, lingkungan, sosial ekonomi, dan budaya menjadi acuan pengambilan keputusan pemilihan satu sumber air atau kombinasi dari beberapa sumber air baku serta pilihan teknologi, termasuk pengoperasian dan pemeliharaannya. Pilihan teknologi manajemen terbaik adalah yang mengedepankan aspek keberlanjutan teknis, lingkungan, sosial, dan ekonomi serta aspek ramah lingkungan atau pilihan yang berdampak minimal terhadap lingkungan.

 

 

 

 

Sumber : Oleh Ario Wisnu Wicaksono Dalam BUNGA RAMPAI INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DI KAWASAN WISATA Penerbit Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2023