Tampilkan postingan dengan label Pemanfaatan Ruang. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pemanfaatan Ruang. Tampilkan semua postingan

Minggu, 07 Mei 2023

PERAN MASING-MASING STAKEHOLDER DALAM PROSES PEMANFAATAN RUANG

A. Siapa Stakeholder

Pemanfaatan ruang bisa dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta atau masyarakat, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Pemanfaatan ruang oleh  masyarakat dapat dilakukan secara orang seorang, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, kelompok profesi, kelompok minat, dan badan hukum. Komponen-komponen tersebut adalah stakeholder dalam pemanfaatan ruang.

Selaku orang seorang, peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Nasional, Propinsi atau Kabupaten/Kota dan dalam pemanfaatan ruang kawasan dapat dilakukan oleh semua warga negara Indonesia berumur 17 (tujuh belas) tahun ke atas atau sudah/pernah kawin, terutama yang bertempat tinggal dan atau mempunyai hak atas ruang di wilayah atau kawasan yang dimanfaatkan.

Selaku kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat, kelompok profesi, atau kelompok minat, peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Nasional, Propinsi  atau Kabupaten/Kota dan dalam pemanfaatan ruang kawasan dapat dilakukan oleh kelompok orang yang tumbuh secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat serta diakui oleh masyarakat di wilayah atau kawasan yang direncanakan, terutama yang bertempat tinggal dan atau mempunyai hak atas ruang di wilayah atau kawasan yang dimanfaatkan. 

Selaku badan hukum, peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Nasional, Propinsi atau Kabupaten/Kota dan dalam pemanfaatan ruang kawasan dapat dilakukan oleh badan hukum terutama yang berkedudukan dan atau mempunyai hak atas ruang di wilayah atau kawasan yang dimanfaatkan.

Selaku kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat, kelompok profesi, atau kelompok minat, peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Nasional, Propinsi  atau Kabupaten/Kota dan dalam pemanfaatan ruang kawasan dapat dilakukan  oleh kelompok orang yang tumbuh secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat serta diakui oleh masyarakat di wilayah atau kawasan yang direncanakan, terutama yang bertempat tinggal dan atau mempunyai hak atas ruang di wilayah atau kawasan yang dimanfaatkan. 

Selaku badan hukum, peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Nasional, Propinsi atau Kabupaten/Kota dan dalam pemanfaatan ruang kawasan dapat dilakukan oleh badan hukum terutama yang berkedudukan dan atau mempunyai hak atas ruang di wilayah atau kawasan yang dimanfaatkan.

Secara kategoris, stakeholder pemanfaatan ruang dapat dikelompokkan menjadi:

(1) Stakeholder yang berwenang mengambil/membuat kebijakan, terdiri dari:

a. Eksekutif, seperti Bappenas, DepKimpraswil, Depdagri, BPN, Bappeda, Sekretariat Daerah dan Kepala Daerah serta Instansi sektoral Pusat dan Daerah seperti Dinas/Kantor terkait yang mempunyai fungsi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan, Perindustrian dan Perdagangan, Pertambangan, Kelautan, Perhubungan,  Lingkungan Hidup/Bappedal, Kepariwisataan;

b. Legislatif, seperti DPR dan DPRD I dan DPRD II;

c. Yudikatif.

(2) Stakeholder yang terkena dampak dari kebijakan, terdiri dari:

a. Kelompok Warga Setempat;

b. Warga sesuai dengan kelompok kegiatannya, seperti kelompok Nelayan, Buruh Tani, Pemakai Air, Forum Agama dan sebagainya.

(3) Stakeholder yang mengawasi kebijakan, terdiri dari:

a. DPR;

b. DPRD I dan DPRD II;

c. LSM;

d. Pers/Media massa;

e. Forum Warga;

f. Partai Politik;

g. Asosiasi Profesi; dan

h. Perguruan Tinggi.

(4) Stakeholder kelompok Interest  d a n  Presure Group yang terkait kebijakan, terdiri

dari:

a. Partai Politik;

b. LSM;

c. Pengusaha;

d. Forum Warga;

e. Asosiasi Profesi;

f. Perguruan Tinggi; dan

g. Kelompok Mediasi.

(5) Stakeholder yang mempunyai kepentingan agar kegiatan atau kebijakannya

berjalan, terdiri dari:

a. Presure group, seperti Partai Politik, LSM, dan Forum Warga;

b. Kelompok Pendukung, seperti Donor, Pengusaha, Perguruan Tinggi, Warga, Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Kelompok Mediasi.

B.  Peran Stakeholder yang berwenang mengambil/membuat kebijakan

Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang mempunyai kewenangan dalam mengambil atau membuat kebijakan dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Menyusun produk hukum dan aturan main (seperti norma, standar, pedoman, petunjuk dan kriteria) yang berkaitan dengan peran dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk pemanfaatan ruang;

b. Merevisi kebijakan yang ada baik pada tingkat nasional, regional, maupun local yang tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat luas;

c. Melakukan review atau penilaian atas kemampuan seluruh pejabat publik terkait pemanfaatan ruang untuk ditindak lanjuti dengan peningkatan kemampuan atau pun penempatan kembali pada posisi yang sesuai (fit and proper);

d. Memberikan komitmen politik, khususnya bagi legislatif dan eksekutif, dalam membuat kebijakan pemanfaatan ruang dengan berpihak pada kesejahteraan masyarakat;

e. Melakukan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia yang ada, baik profesional, birokrat maupun warga masyarakat agar lebih mampu menyelenggarakan pemanfaatan ruang dengan baik dan benar;

f. Mengembangkan komunikasi antar stakeholder melalui berbagai media yang sudah dikuasai maupun yang belum dikuasai oleh warga masyarakat;

g. Mendorong bantuan ke sasaran yang lebih tepat, yaitu masyarakat setempat seperti misalnya mendorong block grand dari kecamatan ke desa ;

h. Melakukan kajian beaya sosial budaya dan ekonomi dalam pemanfaatan ruang untuk diinformasikan kepada stakeholder;

i. Melakukan pengembangan awarness tentang penataan ruang melalui berbagai upaya, seperti penyederhanaan fungsi kawasan agar bisa difahami dan dimengerti warga atau forum warga, mengembangkan serta legalisasi forum warga.

C.  Peran Stakeholder yang terkena dampak kebijakan

Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang terkena dampak kebijakan dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Mendorong pengembangan forum warga;

b. Berupaya mendapatkan manfaat lebih besar dari pemanfaatan ruang yang mencakup wilayahnya;

c. Berupaya meminimalisasi konflik pemanfaatan ruang dengan berorientasi keuntungan dan kesejahteraan masyarakat.

D.  Peran Stakeholder yang mengawasi kebijakan

Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang mengawasi kebijakan dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Melakukan pengawasan secara benar atas proses dan produk pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh stakeholder;

b. Menghidupkan fungsi pengawasan dan guardian angel dalam pemanfaatan ruang;

c. Melembagakan mekanisme pengawasan publik yang transparan dan akuntabel;

d. Melakukan kajian-kajian untuk meningkatkan fungsi pengawasan yang bermoral.

E.  Peran Stakeholder kelompok interest dan presure group yang terkait kebijakan

Peran yang dilakukan oleh stakeholder kelompok interset dan presure group dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Melakukan berbagai upaya penyadaran berbagai stakeholder atas hakekat pemanfaatan ruang yang baik dan benar yaitu lestari dan berkesinambungan;

b. Melakukan kampanye tentang transparansi dan akuntabilitas kebijakan pemanfaatan ruang;

c. Melakukan sosialisasi dan mediasi dari proses dan produk pemanfaatan ruang;

d. Melakukan upaya-upaya yang menguntungkan dalam pemanfaatan ruang, seperti melalui pilot project atau kegiatan sejenis.

 

F.  Peran Stakeholder yang mempunyai kepentingan agar kegiatan/kebijakan berjalan baik

Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang mempunyai kepentingan agar kegiatan/ kebijakan berjalan dengan baik dan lancar dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Melakukan upaya pelembagaan proses partisipasi atau pelibatan masyarakat;

b. Melakukan sosialisasi peran serta atau pelibatan masyarakat;

c. Membangun saluran-saluran dan simpul-simpul partisipasi;

d. Menggali dan mempertimbangkan nilai-nilai dan kearifan lokal;

e. Mendesiminasikan best practices;

f. Memantapkan metode dan sistem informasi pemanfaatan ruang;

g. Menterpadukan kelembagaan dan aparat terkait agar pemanfaatan ruang berjalan baik.

 

Peran masing-masing stakeholder tersebut berlaku untuk berbagai tingkatan hirarki seperti Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, akan tetapi bentuk dan tatacara kegiatannya bisa saja berbeda. Peran tersebut dapat dilakukan oleh stakeholder baik secara sendiri maupun berkelompok atau bersinergi sesuai dengan networking yang dimilikinya.

 

 

Sumber: PEDOMAN PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES PEMANFAATAN RUANG, Penerbit DIREKTORAT PENATAAN RUANG NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Tahun 2001

Senin, 13 Maret 2023

PEMANFAATAN PRASARANA DAN SARANA RUANG PEJALAN KAKI DI KAWASAN PERKOTAAN

Pola pemanfaatan ruang pejalan kaki mengacu pada kebijakan formal yang telah dikeluarkan, sehingga legalitas pemanfaatannya tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Setiap pemanfaatan ruang pejalan kaki diatur berdasarkan jenis kegiatan, waktu pemanfaatan, jumlah pengguna, dan ketentuan teknis yang harus dipenuhi.

Ruang pejalan kaki memiliki fungsi utama sebagai sirkulasi bagi pejalan kaki, selain itu dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan dan fungsi ruang luar bagi masyarakat sekitar.

1.     Aktivitas Pemanfaatan Ruang yang Diperbolehkan

Aktivitas pemanfaaatan ruang yang diperbolehkan adalah:

a) Interaksi Sosial Aktivitas sosial antar pengguna kawasan, seperti: berbincang-bincang, mendengarkan, memperhatikan, duduk, makan, minum.

b) Sirkulasi bagi Difabel Aktivitas sirkulasi para penyandang cacat dari satu tempat ke tempat lainnya.

c) Zona Bagian Depan Gedung (Building frontage zone) Zona ini dapat dimanfaatkan sebagai area masuk (entrance) bangunan, area perluasan aktivitas dari dalam bangunan ke ruang luar bangunan, dan area transisi aktivitas dari dalam bangunan ke bagian luar bangunan.

2.     Aktivitas Pemanfaatan Ruang yang Dilarang

Aktivitas kendaraan bermotor tidak diperbolehkan memanfaatkan fasilitas di ruang pejalan kaki.

3.     Aktivitas Pemanfaatan Ruang yang Diperbolehkan dengan Syarat

a)    Kegiatan Usaha Kecil Formal (KUKF)

Aktifitas jual beli yang dilakukan di dalam ruang pejalan kaki dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi kawasan jika tertata dengan baik, tetapi dapat menimbulkan permasalahan jika ruang pejalan kaki tersebut tidak tertata dengan baik.

Persyaratan pemanfaatan KUKF:

- Jarak bangunan ke area berdagang adalah 1,5 – 2,5 meter, agar tidak menganggu sirkulasi pejalan kaki.

- Lebar pedestrian sekurang-kurangnya 5 meter dan lebar area berjualan maksimal 3 meter, atau 1:1,5 antara lebar jalur pejalan kaki dengan lebar area berdagang.

- Ada organisasi tertentu yang mengelola keberadaan KUKF.

- Untuk jenis KUKF tertentu, waktu berdagang diluar waktu kegiatan aktif gedung/bangunan di depannya.



b)    Aktivitas Pameran Sementara di Ruang Terbuka

Aktivitas pameran sementara di ruang terbuka atau outdoor display dapat dilakukan jika lebar ruang pejalan kaki minimal 5 meter dan lebar area berjualan maksimal 3 meter atau 1:2 antara lebar jalur pejalan kaki dengan lebar area pameran. Dengan asumsi pengunjung pameran memanfaatkan separuh lebar jalur pejalan kaki yang ada.

 


4.     Fasilitas Bersepeda

Fasilitas bersepeda mencakup:

a)    Aktivitas olahraga bersepeda diperbolehkan, jika kondisi luasan jaringan pejalan kaki memungkinkan, yaitu dengan lebar pedestrian minimal 5 meter.

b)    Pada kondisi volume pejalan kaki tinggi, harus disediakan satu jalur khusus untuk bersepeda, dengan cara memperlebar trotoar sampai dengan 2 meter, untuk memisahkan jalur bersepeda dengan jalur lalu lintas yang berdekatan.

Lebar tipikal untuk tipe yang bervariasi dari berbagai fasilitas sepeda ditunjukan dalam gambar 4.3.

Pada umumnya kecepatan bersepeda adalah 10–20 kilometer/jam. Bila memungkinkan kecepatan minimal 20 kilometer/jam, jika:

a)    Ruang dapat dirancang untuk bersepeda dengan kecepatan 30 kilometer/jam sehingga dapat secara mudah diakomodir tanpa peningkatan yang signifikan.

b)    Kecepatan minimum yang diinginkan melebihi 20 kilometer/jam, maka lebar jalur bersepeda dapat diperlebar 0.6 meter hingga 1.0 meter.

 


 


 

 

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan

Kamis, 11 Agustus 2022

URGENSI PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG DAN FENOMENA PERKEMBANGAN KOTA BARU

Pola pertumbuhan kota dan tingkat urbanisasi yang terjadi di Indonesia sebagai negara berkembang mirip dengan negara lainnya. Pertumbuhan penduduk perkotaan di Indonesia yang tinggi mengakibatkan pertumbahan jumlah kota metropolitan. Perkembangan kota metropolitan yang begitu pesat menjadi pengungkit pertumbuhan ekonomi wilayah dan segala permasalahan sosial yang dihadapi. Pada dasarnya membangun dan mengembangkan kota-kota kecil yang ada di sekeliling kota besar dapat mengurangi tekanan penduduk serta beban aktivitas perkotaan di kota inti.

UNICEF (2012) menunjukkan bahwa pada tahun 2010, sebanyak 106 juta penduduk Indonesia tinggal di perkotaan. Jumlah tersebut sekitar 45% dari total penduduk Indonesia apabila dibandingkan dengan hasil sensus penduduk BPS tahun 2010. Lebih lanjut, diperkirakan bahwa pada tahun 2020, penduduk perkotaan di Indonesia mencapai 122 juta jiwa dengan persentase tidak lebih dari 50% dari total jumlah penduduk. Pada tahun 2050, penduduk perkotaan di Indonesia diperkirakan mencapai 19 juta jiwa dengan persentase antara 50% - 75% dari total penduduk di Indonesia saat itu (lihat gambar 1). Hal tersebut menunjukkan potensi perkembangan kota yang luar biasa di Indonesia pada masa mendatang.

Berbagai persoalan di kota–kota besar menyangkut perkembangan aktivitas kota dan keterbatasan ketersediaan lahan mengakibatkan terjadinya kesenjangan antara permintaan (demand) dan ketersediaan (supply). Melihat kondisi itu, maka banyak ahli yang merumuskan suatu gagasan baru yang dianggap bisa mereduksi beban kota, dengan mencoba mengembangkan kosep ”kota baru”, antara lain :

·       Corden yang dikutip oleh Sujarto dalam Malik (2003) mendefinisikan kota baru sebagai suatu komunitas dengan ukuran populasi terbatas, direncanakan di bawah suatu pengusaha atau agen pengembang langsung sebagai satu unit besar yang terdiri dari perumahan, pelayanan rekreasi, tempat kerja yang cukup untuk meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi penduduk yang beragam.

·       Golany (1987) menguraikan bahwa kota baru merupakan kota atau kawasan permukiman yang direncanakan, dibangun, dan dikembangkan dalam skala besar pada daerah yang masih kurang penduduknya, sehingga diharapkan mampu berkembang sendiri dan memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam pengembangannya, kota baru biasanya berorientasi pada sektor agrobisnis dan agroindustri.

·       Verma dalam Budihardjo; Sudjarto (1999), mendefinisikan bahwa kota baru merupakan upaya pengembangan lahan yang luasnya mampu menyediakan elemen–elemen pendukung kota berupa perumahan dan permukiman, perdagangan dan industri sehingga mampu memberikan :

Ø  Kesempatan untuk hidup dan bekerja dalam lingkungannya sendiri;

Ø  Beragam jenis dan harga rumah yang lengkap;

Ø  Ruang terbuka bagi kegiatan pasif dan aktif serta melindungi kawasan tempat tinggal dari dampak kegiatan industri;

Ø  Pengendalian segi estetika yang kuat;

Ø  Pengadaan biaya/investasi yang cukup besar untuk kegiatan pembangunan awal.

·       Golany dalam Budihardjo; Sudjarto (1999), menguraikan bahwa kota baru tidak selalu berarti bahwa kota dibangun di atas lahan yang baru, tetapi juga merupakan pengembangan dan pembaharuan permukiman perdesaan atau kota kecil secara total menjadi kota yang lengkap dan mandiri.

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sebuah kota baru dapat berupa pengembangan baru di suatu kawasan di luar perkotaan yang mampu mencukupi kebutuhan masyarakat di dalamnya. Dengan kata lain, apabila kota tersebut tidak mampu mencukupi kebutuhan, dan masyarakatnya menggantungkan kebutuhan di kota lain, maka dapat dikatakan bahwa kota tersebut tidak memenuhi syarat sebagai kota baru.

 

Jika pertumbuhan penduduk di kota-kota metropolitan dibandingkan satu sama lain, maka tampak adanya tingkat pertumbuhan yang tidak merata. Keadaan tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan daya Tarik kota-kota metropolitan terhadap pendatang (migran), karena tingkat pembangunannya, tingkat Pendidikan dan tingkat aksesibilitas kota-kota metropolitan itu sendiri terhadap kota inti, yaitu suatu kota di mana kota tersebut menjadi pusat kegiatan bagi kota lainnya atau kota sekitarnya.

 

PERKEMBANGAN BSD SEBAGAI KOTA BARU

Bumi Serpong Damai (BSD) yang berlokasi di Kota Tangerang Selatan, Banten merupakan kota baru mandiri yang dibangun oleh pihak swasta, Sinarmas, Bersama pengembang Bumi Serpong Damai, Tbk. pada tahun 1989 lalu. Dengan slogan khas “Big City, Big Opportunity”, kota satelit ini menawarkan berbagai kemudahan bagi penghuninya. Semua kebutuhan masyarakat yang menunjang aktifitas hidup berusaha dipenuhi oleh pengembang mulai dari tempat tinggal yang berkualitas, area komersil,

kawasan industri, pusat perbelanjaan, dan fasilitas umum seperti sekolah, transportasi, tempat ibadah, sarana olahraga serta rekreasi seperti lapangan tenis, kolam renang, taman kota, hingga lapangan golf.

 

Kota baru ini merupakan sebuah peluang yang ditangkap oleh pihak swasta terkait dengan pesatnya pertumbuhan penduduk di sekitar Kota Jakarta pada masa itu. Peningkatan jumlah penduduk di pusat kota dikhawatirkan akan menimbulkan permasalahan seperti fenomena urban sprawl, degrades / penurunan kualitas lingkungan, serta sulitnya memenuhi kebutuhan fasilitas sarana dan prasarana di Kota. Pembangunan Kota baru mandiri BSD ini diharapkan akan dapat mengurangi beban aktivitas Kota Jakarta dan membantu pemerataan ketersediaan fasilitas bagi masyarakat.

Perpindahan penduduk dari desa ke kota, yang biasa dikenal sebagai urbanisasi merupakan tren kependudukan yang terjadi belakangan. Masyarakat perdesaan berbondong-bondong berpindah ke kota karena anggapan bahwa kota mampu menjanjikan kehidupan yang lebih baik, karena ragam aktivitas dan mata pencaharian masyarakatnya. Menurut definisi, kota merupakan tempat dengan konsentrasi penduduk lebih padat dari wilayah sekitarnya, karena terjadi pemusatan kegiatan fungsional yang berkaitan dengan kegiatan atau aktivitas penduduknya. Salah satu kriteria suatu kawasan dapat dikatakan sebagai kota adalah kegiatan utama masyarakatnya adalah bukan berbasis pertanian. 

Menurut F.J. Osborn dan Whittick (1968), fungsi kota baru adalah sebagai alternatif upaya untuk memecahkan dan mengatasi masalah pertumbuhan permukiman tersebar yang tidak terkendali, kemacetan kota besar, serta perpindahan penduduk ke kota-kota besar secara besarbesaran. Pembangunan kota baru pada hakikatnya merupakan upaya pengembangan suatu bagian wilayah baru menjadi sebuah permukiman yang mempunyai kelengkapan perkotaan. Kota baru dapat dibedakan berdasarkan fungsinya, yaitu kota baru yang dibangun untuk pusat pemerintahan baru; kota baru sebagai penunjang kegiatan pemanfaatan sumberdaya alam; sebagai penunjang kegiatan pendidikan; dan sebagai solusi permasalahan kota besar dan metropolitan. Fenomena Kota Baru BSD dapat digolongkan ke dalam fungsi untuk mengurangi permasalahan yang terjadi di kota metropolitan, yaitu DKI Jakarta.

Budiharjo dan Sudjarto (1999) menjelaskan definisi dan konsep kota baru mandiri  jika dilihat dari segi ekonomi dan sosial adalah Ketika kota tersebut mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, atau paling tidak sebagian besar penduduknya, dan secara geografis berlokasi diwilayah tersendiri, berjarak cukup jauh dari kota sekitar 80 km2  dan bukan  lahan pertanian. Kota baru mandiri akan tercipta jika masyarakat tersebut telah terpenuhi seluruh kebutuhan utamanya dalam skala pelayanan lokal. Sebagian besar aktivitas dari masyarakat dilakukan di dalam kota tersebut, hanya sedikit pergerakan yang terjadi keluar wilayah karena kemudahan jarak (keterjangkauan) dalam pencapaian  ke fasilitas-fasilitas yang tersedia.

Lebih dalam dijelaskan bahwa terdapat empat indikator pencapaian suatu kota menjadi mandiri ditinjau dari fungsi sosio-ekonomis, yaitu:

           Memiliki potensi yang mampu menunjang kehidupannya sendiri;

           Berperan sebagai pusat pengembangan wilayah sekitarnya;

           Menjadi daya tarik bagi penduduk sekitarnya (counter magnet); dan

           Memiliki sistem bentuk kota yang spesifik dan geografisnya.

Empat indikator tersebut yang menunjukkan kesuksesan pembangunan kota baru sebagai kota yang mandiri, jika satu saja tidak terpenuhi maka pembangunan kota baru dapat dinilai belum sukses.

Pada awal tahap pembangunannya, kota BSD ini dikonsentrasikan pada pembangunan kawasan hunian, tanpa adanya pembangunan kawasan niaga, dengan alasan mencegah munculnya spekulan yang memanfaatkan perkembangan kota berikutnya. Jenis hunian yang dibangun pada kota ini dapat dikatakan seimbang, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Pemerintah, yaitu 1:3:6. Bahkan, yang berhasil diterapkan oleh kota baru BSD lebih baik dari ketentuan tersebut, yaitu 1:4:8. Angka 1 untuk porsi perumahan kelas atas, angka 4 untuk perumahan kelas menengah, dan angka 8 untuk perumahan skala menengah ke bawah. Pembagian blok (clustering) dari kelas-kelas permukiman juga bukan berupa tembok tinggi yang dikhawatirkan memunculkan kesan eksklusifitas. Hal ini sangat baik dalam membantu pemerintah menyediakan kebutuhan akan perumahan bagi masyarakat, dan mereduksi adanya kesenjangan sosial dalam suatu kawasan.

Kota Baru Mandiri BSD memiliki aksesibilitas yang tinggi untuk menuju ke wilayah sekitarnya. Terdapat banyak akses yang mudah dijangkau masyarakat, terutama sebagai penghubung Kota BSD dengan Kota Jakarta, seperti Jalan Tol Jakarta-Tangerang serta Jalan Tol Bintaro Serpong. Jalan tol ini terhubung dengan Jalan Tol Lingkar Luar Jakarta (JORR). Sedangkan bagi pengguna kendaraan umum, pihak pengembang juga menyedia shuttle bus dan feeder busway menuju kawasan perkantoran Jakarta setiap harinya, kereta api menuju sekitar Jabodetabek, serta angkutan umum di dalam dan sekitar kawasan.

Kecenderungan penghuni kota baru umumnya adalah keluarga muda yang juga memiliki rumah baru di luar pusat kota, baik yang berasal dari luar maupun dalam Kota Jakarta. Asumsi ini digunakan dengan pertimbangan, keluarga baru tersebut menginginkan untuk hidup mandiri (berpisah dari orangtua mereka), dengan harga yang lebih murah, namun tetap menginginkan akses yang cukup dekat dengan pusat kota, karena sebagian besar dari mereka masih bergantung dengan aktivitas pusat kota. Fenomena ini ternyata memunculkan permasalahan bagi kota baru tersebut. Kegiatan commuting  (ulang-alik) masyarakat terjadi setiap harinya. Dan semakin menimbulkan masalah Ketika para commuter semakin difasilitasi oleh pihak pengembang dengan memberikan berbagai kemudahan akses perjalanan melalui ketersediaan dan keterjangkauan berbagai fasilitas transportasi.

Pembangunan kota baru BSD belum berhenti hingga saat ini. Berbeda dengan tahap awal pembangunan, dimana pembangunan BSD berorientasi pada penyediaan unit hunian, saat ini BSD semakin melebarkan sayap dalam penyediaan berbagai unit niaga, seperti ruko, perkantoran, sekolah dan universitas yang bergengsi. Pembangunan tersebut sebenarnya bermanfaat bagi masyarakat setempat, namun justru memiliki dampak negatif, karena ternyata pembangunan tersebut  mengurangi jumlah lahan yang selama ini digunakan sebagai ruang terbuka hijau.

Jika ditinjau lagi secara keseluruhan terkait indikator kota baru mandiri, BSD belum dapat dikategorikan dalam kota baru mandiri. Pada indikator pertama, dinyatakan bahwa kota baru mandiri harus memiliki potensi yang mampu menunjang kehidupannya sendiri, sedangkan masyarakat (penghuni) kota baru BSD masih bergantung pada pusat kota dalam melakukan kegiatannya sehari-hari (commuter). Indikator kota baru mandiri adalah kemampuan kota dalam berperan sebagai pusat pengembangan wilayah sekitarnya. Kota baru BSD mampu berperan dalam pengembangan wilayah sekitarnya, karena setelah BSD sukses merintis pembangunan, semakin banyak bermunculan kawasan perumahan berskala besar lainnya disekitarnya. Kota BSD sebenarnya juga memenuhi indikator kerja, yaitu sebagai daya Tarik bagi penduduk sekitarnya (counter magnet) karena BSD banyak membuka peluang pekerjaan bagi masyarakat sekitar kawasan, dan juga memenuhi indikator keempat yaitu memiliki sistem bentuk kota yang spesifik dan geografisnya. Pembagian sistem bentuk kota terjadi melalui pembagian kelas strata kepemilikan unit hunian, yang kemudian mempengaruhi pola aktivitas pergerakan disekitarnya.

DAMPAK PERKEMBANGAN KOTA BARU

Pertumbuhan kota  akan terus terjadi sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk dan kegiatan sosial ekonomi penduduk. Pertumbuhan ekonomi akan berdampak kepada pola pemilihan lahan yang strategis. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi, bahwa pengguna selalu memaksimalkan pemanfaatan lahannya. Usaha untuk memaksimalkan penggunaan lahan terbentuk dari semakin intensifnya pemanfaatan suatu lahan. Perubahan pemanfaatan lahan dilakukan dalam memaksimalkan nilai strategis lahan.

Semakin bertambahnya penduduk kota menyebabkan semakin bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap jumlah lahan yang digunakan, baik untuk fungsi perumahan, perkantoran, dan fasilitas sosial ekonomi lainnya. Sementara, setiap kota memiliki batas administrasi masing-masing, sehingga jika kebutuhan masyarakat kota terhadap guna lahan semakin meningkat, maka untuk memenuhinya, diperlukan pengembangan atau perluasan wilayah ke daerah-daerah di sekitar kota tersebut. Fenomena ini kini dikenal sebagai fenomena urban sprawl yang ditandai oleh adanya alih fungsi lahan yang ada di sekitar kota (urban periphery) yang tidak terkontrol karena keterbatasan lahan di pusat kota. Pada awalnya, keberadaan fenomena ini diduga akan memberi dampak yang baik bagi kota tersebut maupun daerah perluasan wilayahnya. Namun pada kenyataannya, ternyata lebih banyak dampak negatif yang diberikan oleh fenomena urban sprawl ini terhadap perkembangan suatu wilayah.

Para pengembang swasta – khususnya para pengembang besar, yang merespon gejala urbanisasi yang terjadi di wilayah kota, melakukan intervensi pengembangan lahan berskala besar. Mereka tidak hanya menciptakan pusat pertumbuhan baru, namun juga meningkatkan urban sprawl, terutama untuk daerah peri-urban Jakarta. Sementara urban sprawl merupakan suatu fenomena yang timbul dari lajunya urbanisasi dan pertumbuhan penduduk kota yang semakin tidak terkendali. Ekspansi Kota Jakarta melalui pemanfaatan dan penggunaan lahan menyebabkan densifikasi permukiman yang semakin besar serta populasi penduduk yang semakin tinggi di daerah peri-urban Jakarta. Hal ini diindikasikan dengan pertumbuhan penduduk kota yang terjadi sampai tahun 2014.

Pertumbuhan kota yang terjadi di Jakarta juga berpengaruh terhadap kota pinggirannya seperti BSD yang berada di wilayah Metropolitan Jabodetabek. Dengan terbentuknya BSD menjadi kota baru, maka fenomena urban sprawl juga terjadi di BSD. Semakin banyaknya penduduk, kebutuhan akan perumahan dan fasilitas semakin meningkat sehingga guna lahan di BSD pun semakin tak dapat dikendalikan. Banyaknya alih fungsi lahan yang terjadi membuat masalah-masalah lain, seperti banjir dan sistem pengendalian yang semakin menurun.

Selain BSD, kawasan yang mengalami fenomena urban sprawl saat menjadi kota baru adalah Kebayoran Baru. Kebayoran Baru dibangun di areal pertanian untuk menyediakan perumahan bagi orang-orang yang bekerja di Jakarta. Namun, karena jarak antara Jakarta dan Kebayoran Baru terlalu dekat (kurang dari 10 km) dan tidak ada kontrol terhadap pembangunan di wilayah antaranya, akhirnya Kebayoran Baru menyatu dengan Jakarta.

Pada awalnya, Kebayoran Baru direncanakan memiliki segala fasilitas yang diperlukan penghuninya, seperti perbelanjaan, pendidikan, kesehatan, peribadatan, pelayanan pemerintahan, taman, dan ruang terbuka hijau dengan standar yang tinggi dan diharapkan menjadi kawasan permukiman yang indah, nyaman dan aman. Sayang, rencana tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan. Banyak taman dan ruang terbuka hijau yang diubah peruntukannya jadi perkantoran, perumahan, perbelanjaan dan lainnya. Sejak 1980-an banyak rumah yang diubah fungsinya menjadi kantor dan tempat usaha, bahkan ada perumahan yang dibongkar untuk membangun pusat perbelanjaan baru atau memperluas pusat perbelanjaan yang ada.

Kota baru lainnya yang dibangun untuk menyediakan perumahan bagi orang yang bekerja di kota besar dan metropolitan, antara lain Depok di selatan Jakarta, Karawaci di barat Jakarta, Rancaekek di timur Bandung dan Driorejo di barat Surabaya. Contoh kota baru yang ditujukan untuk menyediakan pembangunan industry adalah Lippo Cikarang di sebelah timur Jakarta. Di kota baru tersebut dibangun pula perumahan bagi karyawan industry di Lippo Cikarang maupun bagi yang bekerja di luar Lippo Cikarang serta berbagai fasilitas pendukung lainnya.

FENOMENA KOTA BARU MEIKARTA

Pertengahan 2017, berbagai media diramaikan dengan fenomena rencana ekspansi besar-besaran sebuah grup pengembang di Indonesia untuk membangun Kota Baru Meikarta yang digadanggadang sebagai tandingan Megapolitan Jakarta. Meikarta merupakan proyek kota baru yang digagas oleh Lippo Group. Proyek bernilai investasi 278 triliun ini dibangun di Kecamatan Cikarang Selatan dan Kecamatan Cikarang Pusat, Kabupaten Bekasi. Meikarta diklaim memiliki lokasi yang strategis karena dekat dengan akses Tol Jakarta – Cikampek. Dalam strategi pemasarannya, dijelaskan bahwa Kota Baru Meikarta akan dilewati kereta ringan (LRT) koridor Jakarta – Bekasi, serta mempunyai akses strategis ke Pelabuhan Patimban, Kereta Cepat JakartaBandung dan Bandara Kertajati (Jawa Barat). Kawasan Meikarta dikelilingi oleh Kawasan CBD dan industry raksasa skala nasional maupun internasional di Kabupaten Bekasi seperti Kawasan Industri Deltamas, Kawasan Industri Jababeka, dan Lippo Cikarang. Dengan adanya kawasan – kawasan yang memiliki ribuan sampai jutaan karyawan, Meikarta dibangun dengan tujuan  menyediakan tempat tinggal bagi para pekerjanya.

Berbagai pro dan kontra terjadi dalam menanggapi rencana pengembangan kota baru tersebut. Pada satu sisi, adanya pembangunan kawasan permukiman skala besar dengan berbagai fasilitas pendukung di dalamnya sangat diperlukan dalam menopang perkembangan ekonomi di Indonesia yang saat ini sedang didorong pertumbuhannya. Penyebaran pusatpusat ekonomi sangat diperlukan, mengingat kondisi Megapolitan Jakarta saat ini sudah terlalu padat dan cenderung mengalami penurunan kualitas perkotaannya akibat kelebihan beban. Apabila kegiatan ekonomi dan permukiman dapat dibagi ke pusatpusat kegiatan di wilayah lain di luar Jakarta, hal tersebut dapat mengurangi beban dari Megapolitan Jakarta. Selain itu, adanya pengembangan kawasan permukiman skala besar dapat membantu pemerintah dalam upaya penyediaan hunian untuk mengatasi backlog perumahan yang menjadi Program Strategis Nasional. Akan tetapi, di sisi lain, dari pihak yang menyatakan kontra terhadap pengembangan Kota Baru Meikarta, mempertanyakan kelengkapan perizinan yang dimiliki developer dalam proses pembangunan Meikarta. Tidak lengkapnya administrasi perizinan dikhawatirkan akan berakibat pada lepasnya control pemanfaatan ruang, khususnya berkaitan dengan dampak yang dihasilkan dari pembangunan skala besar, sehingga menjadi preseden buruk.

Terlepas dari pro dan kontra tersebut, dalam upaya pengembangan kota baru di suatu wilayah, aspek tata ruang adalah hal yang paling utama diperhatikan. Setiap pembangunan yang  akan dilakukan harus mengacu pada arahan rencana struktur ruang dan pola ruang yang terdapat dalam rencana tata ruang. Terkait dengan hal tersebut, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengamanatkan bahwa negara menyelenggarakan Penataan Ruang untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan penataan ruang. Guna menjaga tertib tata ruang, terdapat 4 instrumen pengendalian pemanfaatan ruang yang meliputi Peraturan Zonasi, Pemberian Insentif dan Disinsentif, Ketentuan Perizinan, serta Pemberian Sanksi bagi pelanggarnya.

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN KOTA BARU DI INDONESIA

Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dijelaskan bahwa terdapat hirarki perencanaan yang diterapkan di Indonesia, meliputi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional pada tataran nasional hingga Rencana Detail Tata Ruang pada tataran kabupaten/ kota. Rencana tersebut disusun sebagai acuan terhadap arah pembangunan di wilayah masing-masing sesuai dengan kewenangannya, baik pada tataran nasional, provinsi, maupun kabupaten/ kota. Setiap pemanfaatan ruang harus mengacu pada rencana tata ruang yang berlaku di wilayah tersebut. Pemanfaatan ruang yang tidak mengacu pada rencana tata ruang dapat digolongkan sebagai pelanggaran tata ruang. Karena itu, idealnya, pengembangan suatu kawasan perkotaan baru pun harus memperhatikan arahan yang dicantumkan dalam Rencana Tata Ruang beserta peraturan zonasinya. Rencana Tata Ruang sudah disusun berdasarkan standar yang ditetapkan untuk merencanakan perkembangan wilayah secara keseluruhan, serta melalui proses yang cukup Panjang dalam penetapannya menjadi sebuah peraturan yang harus dipatuhi. Penetapan pusat-pusat kegiatan juga sudah ditetapkan dalam struktur ruang wilayah mulai dari Pusat Kegiatan Nasional (PKN), Pusat Kegiatan Wilayah (PKW), Pusat Kegiatan Lokal (PKL), hingga pusat pelayanan pada tingkat kawasan. Lokasi yang ditetapkan sebagai pusat kegiatan tersebut yang seharusnya didorong untuk pengembangan kegiatan perkotaan, sehingga tidak memberikan dampak buruk pada perwujudan struktur ruang yang telah direncanakan.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019, pembangunan kota baru publik yang mandiri dan terpadu menjadi salah satu sasaran program pengembangan wilayah. Lokasi yang dijadikan prioritas dalam pengembangan kota baru ini tersebar di seluruh Indonesia, antara lain Sorong, Jayapura, Manado, Makassar, Pontianak, Banjarbaru, Tanjung Selor, Maja, Padang, dan Palembang. Kebijakan pembangunan kota baru publik ini juga akan diimbangi dengan optimalisasi kota ukuran sedang di luar Jawa serta peningkatan efisiensi kegiatan ekonomi di Kawasan metropolitan yang sudah ada saat ini.

Terkait dengan pembangunan Kota Baru Meikarta di Kabupaten Bekasi, secara hirarki setidaknya ada 4 (empat) RTR yang harus diacu yaitu Rencana Tata Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Puncak, Cianjur (Perpres Nomor 54 Tahun 2008), Rencana Pengelolaan Pembangunandan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat (Perda Nomor 12 Tahun 2014), Rencana Tata Ruang Provinsi Jawa Barat (Perda Nomor 22 Tahun 2010), dan Rencana Tata Ruang Kabupaten Bekasi (Perda Nomor 12 Tahun 2011).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Puncak, Cianjur (Jabodetabekpunjur) lokasi Meikarta berada pada zona B1. Zona tersebut merupakan zona dengan karakteristik sebagai kawasan yang mempunyai daya dukung lingkungan tinggi, tingkat pelayanan prasarana dan sarana tinggi, dan bangunan Gedung dengan intensitas tinggi, baik vertical maupun horizontal. Posisi dan peran Kabupaten Bekasi diperjelas dalam  RTRW Provinsi Jawa Barat, dimana Rencana pengembangan wilayah Kabupaten Bekasi berada dalam Wilayah Pengembangan (WP) Bodebekpunjur. Selain itu, Perda No. 22 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Barat, menjelaskan bahwa Kabupaten Bekasi diarahkan sebagai kawasan penyangga dalam sistem PKN kawasan perkotaan Jabodetabek, pengembangan sector industri ramah lingkungan dan hemat penggunaan air tanah, serta kegiatan pertambangan mineral logam dan non logam untuk mendukung pembangunan di Bodebekpunjur.

Mengacu pada Perda Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan di Jawa Barat, lokasi Meikarta masuk dalam ruang lingkup wilayah Metropolitan Bodebekkarpur. Oleh karena itu, Pemprov Jawa Barat memiliki kewenangan untuk mengontrol pembangunan yang ada di wilayahnya. Perizinan pembangunan pada bidang-bidang yang bersifat strategis berskala metropolitan, lintas daerah serta lintas pemerintahan dan/atau berimplikasi skala metropolitan di Provinsi Jawa Barat menjadi kewenangan Pemerintah Kabupaten/ Kota setelah mendapat rekomendasi dari Gubernur sebagaimana tercantum dalam pasal 10 huruf f Perda Provinsi Jawa Barat No. 12 Tahun 2014. Selain itu, konsep pembangunan Kota Baru Meikarta harus sesuai arah kebijakan pengembangan Metropolitan Bodebekkarpur, bahwa pengembangan diwujudkan melalui pendekatan Metropolitan Kembar (Twin Metropolitan) Bodebekkarpur DKI Jakarta sehingga Metropolitan Bodebekkarpur diarahkan menjadi metropolitan level-1 yang setara dengan DKI Jakarta (Pasal 21 Perda Provinsi Jawa Barat No. 12 Tahun 2014).

Dalam Perda Kabupaten Bekasi Nomor 12 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bekasi Tahun 2011-2031, lokasi Meikarta termasuk dalam Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) Bidang Pertumbuhan Ekonomi. Dari aspek pola ruang, menurut RTRW peruntukan lahan di lokasi site Meikarta merupakan peruntukan industri dan peruntukan permukiman perkotaan. Dari aspek struktur ruang, Kecamatan Cikarang Selatan ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Lokal Promosi (PKLp) sedangkan Kecamatan Cikarang Pusat sebagai Pusat Kegiatan Lokal. PKLp merupakan wilayah yang diusulkan Pemerintah Kabupaten Bekasi untuk ditetapkan sebagai kawasan perkotaan yang berfungsi sebagai pusat wilayah kabupaten yang meliputi beberapa kecamatan di RTRW Provinsi.

Dari aspek perizinan, dalam PP Nomor 15 Tahun 2010, dijelaskan bahwa perizinan dilakukan untuk menjamin terwujudnya tata ruang sesuai dengan rencana. Berdasarkan kajian Direktorat  Pengendalian Pemanfaatan Ruang  (2017), untuk melakukan pembangunan di Kawasan Cikarang, setidaknya ada 9 jenis perizinan beserta persyaratan perizinannya yang harus dipenuhi agar tercipta kualitas perkotaan yang baik bagi masyarakat di dalamnya serta kawasan di sekitarnya.

Perizinan-perizinan tersebut merupakan bentuk pengendalian terhadap pemanfaatan ruang, khususnya dalam upaya menanggulangi dampak perkembangan yang dihasilkan pasca pelaksanaan pembangunan. Pada dasarnya, izin-izin dengan berbagai persyaratan yang ditetapkan tersebut didasarkan pada Rencana Tata Ruang. Izin tersebut selain untuk memastikan perkembangan sesuai rencana, juga diperlukan untuk menilai dampak yang dihasilkan secara detail dan mendalam, sehingga meminimalkan terjadinya bencana pada masa mendatang, seperti kemacetan, kegagalan konstruksi, kekurangan persediaan air baku, banjir, serta hal lain yang mengurangi kualitas kehidupan masyarakatnya.

Kajian daya dukung dan daya tampung lingkungan sangat perlu dilakukan oleh pengembang Kota Baru Meikarta. Hal yang tidak kalah penting, pengembang wajib memenuhi persyaratan administratif, termasuk perizinan. Kelengkapan dokumen perizinan dapat memberikan kepastian hukum dan keamanan transaksi bagi konsumen. Pembangunan Kota Baru Meikarta yang sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan, serta didukung oleh kelengkapan administrasi perizinan berpotensi menciptakan sebuah lingkungan hunian perkotaan yang ideal nyaman, aman dan dapat dijangkau oleh semua kalangan. Dengan demikian, Meikarta dapat ikut berkontribusi untuk mengurangi angka backlog perumahan yang saat ini masih tinggi.

URGENSI PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

Memandang berbagai teori dan fenomena perkotaan yang terjadi di Indonesia dalam dua dekade terakhir, perkembangan kota baru adalah sebuah keniscayaan yang tidak dapat dibendung. Pertanyaan besar yang muncul adalah mengenai dampak yang akan terjadi dengan munculnya perkotaan baru tersebut, baik dalam skala kawasan maupun skala wilayah yang lebih luas. Upaya antisipasi sangat diperlukan guna menghindari dampak negatif yang berpotensi muncul. Dalam hal ini, perlu kajian komprehensif dan mendalam terhadap daya dukung dan daya tampung lingkungan, khususnya pada tahapan perencanaan. Lemahnya analisis dalam penyusunan Rencana Tata Ruang dapat menjadi hambatan dalam membendung laju perkembangan wilayah yang tidak terkontrol. Penentuan prioritas tujuan pengembangan kota-kota baru harus dilakukan secara seimbang antara aspek ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan. Jangan sampai hanya karena mengedepankan laju pertumbuhan ekonomi, kemudian mengabaikan aspek sosial budaya dan juga lingkungan. Banyak sekali kasus dimana proyek pengembangan sebuah kawasan – umumnya dari kawasan non perkotaan menjadi kawasan bercirikan perkotaan – membuat warga lokal termarginalkan karena tidak dapat mengikuti gaya hidup di kota baru tersebut. Contoh lain adalah berkaitan dengan penyediaan air bersih di Kawasan kota baru. Pembangunan Kawasan perkotaan pastinya membutuhkan suplai air baku untuk mencukupi kegiatan di dalamnya. Pada dasarnya, pusat-pusat kegiatan yang ada dalam rencana tata ruang seharusnya sudah memperhitungkan ketersediaan Sumber daya semacam itu hingga akhir tahun perencanaan. Munculnya sebuah kota baru yang tidak sesuai dengan rencana pusat kegiatan akan mengacaukan perhitungan tersebut. Bisa jadi, keberadaan kota baru tersebut ikut mengambil air yang menjadi sumber air baku di kota yang sudah terbentuk di sekitarnya. Akibatnya, akan terjadi defisit dalam penyediaan air baku di pusat-pusat kegiatan yang sudah direncanakan di sekitarnya.

Pengkajian mendalam pada pada level perencanaan akan menjadi modal yang kuat pada level pengendalian pemanfaatan ruangnya. Kajian-kajian tersebut akan menjadi pegangan dalam penerbitan perizinan pemanfaatan ruang serta penentuan persyaratan persyaratan yang harus dipenuhi dalam rencana pengembangan kawasan. Persyaratan-persyaratan tersebut dapat berupa kajian tambahan, rekayasa teknik, atau pembatasan-pembatasan yang sifatnya mereduksi dampak yang dihasilkan dari pengembangan kota baru, dan dibebankan kepada pihak pemohon. Perizinan merupakan wujud kehadiran pemerintah terhadap pengendalian tersebut, dan pihak pengembang harus menghormati proses di dalamnya demi tertib tata ruang. Apabila perlu, pada tahap-tahap yang sifatnya strategis dan penting, dapat dipersyaratkan adanya regulasi berupa advice planning (rekomendasi teknis) dari Pemerintah Pusat untuk pengembangan permukiman skala besar baik pada pembangunan permukiman skala kawasan maupun skala kota. Hal tersebut untuk mereduksi dampak negatif dari aspek sosial, ekonomi, maupun lingkungan, dan mendukung ketahanan wilayah serta keberlanjutan kota. Penguatan payung hukum dan kapasitas kelembagaan sangat diperlukan untuk mendukung posisi rekomendasi teknis tersebut sebagai control perkembangan. Regulasi pemerintah yang diimbangi dengan taat asas dari para pemangku kepentingan dalam upaya pengendalian pemanfaatan ruang akan menciptakan ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan sesuai tujuan yang diharapkan.

 

 

Sumber: Oleh DR. ANDI RENALD dalam Buletin Tata Ruang Edisi V Tahun 2017

Jumat, 15 Juli 2022

PENGGUNAAN DRONE DALAM PENGENDALIAN PEMANFAATAN RUANG

RENCANA Tata Ruang (RTR) disusun dengan latar belakang masalah yang sama yaitu bagaimana memanfaatkan ruang yang terbatas ini agar manusia dapat menjalankan aktivitasnya untuk tetap hidup. Aktivitas tersebut dikenal dengan sebutan pemanfaatan ruang. Tidak semua pemanfaatan pada ruang dapat dilakukan secara berdampingan, karena setiap pemanfaatan memiliki p e n g a r u h y a n g b e r b e d a terhadap ruang disekitarnya. Setiap aspek dan pengaruh y a n g a k a n t i m b u l s u d a h seharusnya diperhitungkan d a l a m p e n y u s u n a n t a t a ruang sehingga rencana tata ruang yang akan dihasilkan m e r u p a k a n k o m p o s i s i peraturan terbaik bagi tiap-tiap pemanfaatan ruang. Setelah rencana tata ruang terbaik itu disusun, dibutuhkan suatu instrumen pengendalian agar hal tersebut dapat dilaksanakan dan terwujud secara nyata bukan hanya sebuah rencana tekstual di atas kertas.

Penyelenggaraan penataan r u a n g b e r t u j u a n u n t u k mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan. Tujuan ini dapat tercapai apabila tertib tata ruang dapat terwujud dan ditandai dengan adanya kesesuaian antara pemanfaatan ruang dengan Rencana Tata Ruang (RTR) yang telah ditetapkan. Upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang dilakukan melalui pengendalian pemanfaatan ruang. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, khususnya p a d a p a s a l 1 4 7 a y a t 1 , ditegaskan bahwa pengendalian p e m a n f a a t a n r u a n g dilaksanakan untuk mendorong terwujudnya Tata Ruang sesuai dengan RTR.

Terbitnya Undang- Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK) turut berdampak pada penyelenggaraan tata ruang. Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang disahkan menggantikan peraturan sebelumnya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 15 tahun 2010. Terbitnya peraturan baru mengenai penyelenggaraan penataan ruang berdampak pada setiap tahapan penyelenggaraan, t e r m a s u k p e n g e n d a l i a n pemanfaatan ruang. Perubahan m e n d a s a r t e r j a d i p a d a instrumen pengendaliannya yaitu munculnya istilah penilaian pelaksanaan K e s e s u a i a n K e g i a t a n Pe m a n f a a t a n R u a n g ( K K P R ) dan pernyataan mandiri pelaku U M K s e r t a p e n i l a i a n perwujudan RTR. Pengendalian juga dilakukan dalam bentuk pengenaan sanksi kepada orang yang tidak menaati RTR dan mengakibatkan perubahan fungsi ruang yang diperiksa melalui audit tata ruang. Instrumen pengendalian tersebut kemudian harus dituangkan tidak hanya dalam bentuk tekstual namun juga ke dalam bentuk spasial.

P e r i o d e p e n i l a i a n pelaksanaan KKPR dilakukan selama pembangunan dan pasca pembangunan. Penilaian pelaksanaan KKPR selama pembangunan dilakukan paling lambat dua tahun sejak diterbitkannya KKPR. Penilaian s e l a m a pembangunan dilakukan untuk memastikan kepatuhan p ro s e s p e l a k s a n a a n n y a , sedangkan penilaian pasca pembangunan dilakukan untuk memastikan kepatuhan dari hasil pembangunan. Kedua hasil penilaian harus dituangkan dalam bentuk tekstual dan spasial. Ketika wajib dituangkan dalam bentuk spasial, maka dalam proses penilaiannya akan membutuhkan Informasi Geospasial (IG) baik dasar maupun tematik. Informasi geospasial yang dibutuhkan akan terbagi menjadi dua p e r i o d e y a i t u s a a t s e l a m a pembangunan d a n p a s c a pembangunan. Hal tersebut a k a n m e n j a d i s e b u a h tantangan tersendiri mengingat k e t e r s e d i a a n i n f o r m a s i geospasial di daerah yang sama pada rentang waktu berbeda sangatlah terbatas.

Tantangan keterbatasan IG yang sama juga dihadapi saat melakukan penilaian perwujudan RTR dan audit tata ruang. Penilaian perwujudan RTR dilakukan terhadap kesesuaian p r o g r a m , l o k a s i , w a k t u pelaksanaan pemanfaatan ruang terhadap rencana struktur ruang dan rencana pola ruang yang telah disusun. Penilaian tersebut dilakukan satu kali dalam lima tahun dan dilaksanakan satu tahun sebelum peninjauan kembali RTR. Di sisi lain, a u d i t t a t a r u a n g d a l a m penentuan delineasi lokasi dan pengumpulan data secara jelas tertulis dalam pedoman pelaksanaannya membutuhkan peta penggunaan lahan terbaru sesuai dengan saat audit tata ruang tersebut dilakukan. Oleh karena itu, IG termutakhir saat melakukan penilaian perwujudan RTR sangatlah dibutuhkan

Revolusi Industri 4.0 pada perkembangan A rt i f i c i a l Intelligence (AI) dengan menggunakan Internet of Things (IoT) sebagai penggerak utama turut memajukan teknologi penyediaan IG. Dalam proses pengumpulan data, pemakaian wahana drone atau UAV dapat menjadi suatu alternatif yang patut dicoba. Drone dapat mengambil data geospasial dari berbagai sudut pandang secara bebas, mudah digunakan dan bisa mengakses lokasi yang sulit terjangkau bila menggunakan jalur darat. Dapat mengambil dan menampilkan data visual secara cepat dan real-time membuat drone menjadi salah satu alat yang cocok untuk melakukan pengawasan atau memonitor suatu lokasi. Data visual juga dapat terekam dan tersimpan dengan baik di perangkat drone atau bahkan langsung terkoneksi dengan jaringan penyimpanan berbasis cloud yang dapat dibagipakaikan dengan mudah. Kendala atau tantangan pada pemakaian drone ini ada pada faktor cuaca, tidak dapat dilakukan saat angin kencang atau hujan.

P e n g a m b i l a n d a t a geospasial yang bisa dilakukan kapan saja selama dalam cuaca yang baik menjadi titik kuat pemakaian drone dalam penyediaan IG untuk mendukung pengendalian pemanfaatan RTR. Pada proses penilaian pelaksaan KKPR, pengambilan data dengan drone dapat dilakukan baik selama proses pembangunan b e r l a n g s u n g a t a u p a s c a pembangunan. Begitu pula saat melakukan penilaian perwujudan RTR, pengambilan data geospasial dapat dilakukan secara langsung pada lokasi yang akan dilakukan penilaian. Data geospasial mutakhir akan membuat tahapan persandingan program dan penilaian struktur dan pola ruang dapat terlaksana dengan baik dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan.

Pengoperasian drone untuk melakukan pengambilan data geospasial dapat dilakukan dengan cukup mudah. Terdapat pilihan pengoperasian secara otomatis atau auto-pilot yang akan menerbangkan drone sesuai dengan perencanaan jalur terbang yang telah dibuat sebelumnya. Drone akan dapat menyesuaikan posisi kamera dan ketinggian terbang serta proses pendaratan secara otomatis. Dalam kegiatan pengendalian pemanfaatan RTR ini akan menjadi nilai tambah karena tidak dibutuhkan suatu latar belakang pendidikan atau keilmuan khusus untuk dapat menerbangkan drone. Namun demikian, terdapat pelatihan dan sertifikasi khusus pilot drone sebagai syarat yang harus dipenuhi sebelum dapat menerbangkan drone dengan baik dan bertanggung jawab.

D r o n e m e n j a d i s a l a h satu sarana yang dibutuhkan dalam melakukan audit tata ruang. Drone dibutuhkan untuk mengambil data visual penggunaan lahan mutakhir suatu lokasi. Hal tersebut dapat menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan data spasial yang mensyaratkan data tersebut haruslah data terkini atau memiliki periode waktu yang sama dengan pelaksanaan audit tata ruang. Mengingat jangka waktu audit tata ruang paling lama dikerjakan dalam 10 bulan, maka kebutuhan data spasial harus cepat terpenuhi. Data tersebut akan digunakan dalam proses analisis kesesuaian pemanfaatan ruang guna mendeteksi indikasi pelanggaran yang terjadi.

I n d i k a s i p e l a n g g a r a n pemanfaatan ruang dapat diketahui melalui penilaian pelaksanaan KKPR dan penilaian perwujudan RTR. Hasil penilaian pelaksanaan KKPR dan penilaian perwujudan RTR digunakan untuk mengetahui implikasi kewilayahan atas pemanfaatan ruang yang nantinya harus dilakukan pengendalian. Implikasi kewilayahan yang umumnya terjadi diantaranya berupa munculnya konsentrasi pemanfaatan ruang tertentu pada wilayah tertentu yang tidak sesuai dengan skenario perwujudan RTR dan adanya dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu. Pada ruang yang memiliki konsentrasi dan/atau dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu yang relatif tinggi serta berpotensi melampaui d a y a d u k u n g d a n d a y a tampung maka dikategorikan sebagai zona kendali agar pemanfaatan ruang dapat dijaga kesesuaiannya dengan skenario perwujudan RTR. Sedangkan pada ruang dengan konsentrasi dan/atau dominasi kegiatan pemanfaatan ruang tertentu yang relatif masih sangat rendah maka dikategorikan sebagai zona yang didorong dan perlu ditingkatkan perwujudannya agar sesuai dengan skenario RTR.

Aktivitas sosial masyarakat pada suatu ruang yang terus meningkat menyebabkan pemanfaatan ruang menjadi s e m a k i n b e r a g a m d a n b e r ke m b a n g k i a n p e s a t . Pe r k e m b a n g a n t e r s e b u t t e r k a d a n g m e n i m b u l k a n tumpangtindih pemanfaatan ruang dan bahkan semakin tak terkendali. Untuk dapat menjaga pemanfaatan ruang yang harmonis, diperlukan sistem penataan ruang mulai dari perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian pemanfaatan ruang yang baik. Ketersediaan data/informasi geospasial y a n g b a i k d a n m a m p u m e n g g a m b a r ka n ko n d i s i sebenarnya memegang peran penting dalam mendukung ke b e r l a n g s u n g a n s i s t e m penataan ruang tersebut. Oleh karena itu, informasi geospasial tiga dimensi (3D) yang mampu merepresentasikan kondisi fisik dengan lebih nyata akan menjadi salah satu komponen yang vital dalam penataan ruang. Salah satu model untuk m e n g g a m b a r ka n ko n d i s i sebenarnya suatu ruang dalam bentuk informasi geospasial tiga dimensi (3D) adalah model kota 3D (3D City Model) atau dikenal pula sebagai kembaran virtual (Digital Twin).

V i s u a l i s a s i i n f o r m a s i geospasial 3D di kota-kota di Indonesia saat ini masih jarang ditemui. Penyebab utamanya dikarenakan oleh keterbatasan data geospasial yang lengkap dan detail. Saat ini perencanaan wilayah kota (RDTR) masih berbasiskan informasi geospasial dua dimensi (2D) yang diperoleh dari peta skala besar, padahal k o n s e p p e n a t a a n r u a n g terutama untuk penataan ruang rinci/detail seharusnya memiliki aspek 3D. Peta Rupabumi Indonesia skala 1:5.000 yang merupakan peta skala besar dari BIG sebenarnya memiliki tingkat kedetailan setara LOD1 (Level of Detail 1). LOD1 ini dapat direpresentasikan sebagai bangunan prismatik dengan atap datar, dimana blok-blok bangunan pada peta skala besar ditambahkan informasi ketinggian sehingga dapat membentuk bangun 3D. Namun, untuk kebutuhan pengawasan dan pengendalian t a t a r u a n g , d i b u t u h k a n informasi geospasial 3D yang lebih baik lagi, baik dari segi kedetailan informasi maupun d a r i s e g i ke t e r b a h a r u a n datanya. Alternatif solusi untuk memenuhi kebutuhan tersebut ada pada teknologi drone, yang mana saat ini dapat memuat sensor untuk foto udara maupun lidar.

Foto udara dapat digunakan dalam pengendalian intensitas pemanfaatan lahan yang berkaitan dengan evaluasi Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH). Foto udara yang bermanfaat dalam pembuatan peta penutup lahan eksisting melalui teknik interpretasi visual dapat menunjang evaluasi KDB dengan jalan menghitung persentase luas lantai dasar bangunan terhadap luas wilayah dan evaluasi KDH dengan menghitung persentase luas ruang terbuka hijau terhadap luas wilayahnya. Sementara data lidar yang berupa point cloud digunakan untuk membangun model kota 3D dengan tingkat kedetailan hingga mencapai L O D 2 , y a n g m e r u p a k a n r e p r e s e n t a s i b a n g u n a n dengan struktur atap yang berbeda, hingga LOD3 yang merepresentasikan struktur atap, dinding bahkan detail vegetasi dan obyek transportasi. Pengolahan p o i n t c l o u d dilakukan melalui klasifikasi semi otomatis terhadap fitur ground dan non ground. Point cloud pada kategori ground merupakan dasar dalam membangun Digital Terrain Model (DTM), dan point cloud non ground pada kelas bangunan digunakan untuk membangun model bangunan 3 D. Tu m p a n g s u s u n DT M dengan model bangunan 3D ini akan menghasilkan 3D City Model yang merepresentasikan permukaan bumi beserta obyekobyek yang ada di wilayah perkotaan. Representasi dalam tingkat kedetailan LOD2 hingga LOD3 ini akan memudahkan d a l a m p e n g e n d a l i a n pemanfaatan ruang yang berkaitan dengan Koefisien Lantai Bangunan (KLB), dimana ketinggian setiap bangunan dapat diketahui secara pasti.

Penggunaan teknologi d ro n e d a l a m m e l a k u k a n pemetaan baik berupa 2D maupun model 3D berkembang menjadi salah satu metode yang potensial untuk memenuhi tantangan penyediaan IG untuk RTR. Kelebihan penggunaan drone ada pada kemudahan dan kecepatan dalam melakukan pengambilan dan pengolahan data sehingga ketersediaan IG untuk pengendalian RTR pada suatu wilayah dapat terpenuhi dengan cepat. Namun, di balik kelebihan tersebut masih terdapat kekurangan khususnya p a d a c a k u p a n w i l a y a h pemetaannya yang terbatas serta tingkat ketelitian dari IG yang dihasilkan. Perlu dilakukan banyak kajian lanjutan untuk mengatasi keterbatasan tersebut agar pemetaan menggunakan d r o n e d a p a t d i l a k u k a n secara efektif dan efisien serta menghasilkan IG yang baik untuk dapat digunakan khususnya pada pengendalian pemanfaatan ruang.

 

 

 

 

Sumber: Oleh  Ryan Pribadi, ST  , I Made Dipta Sudana, ST , Ircham Habib Anggara, S.Si, M.URP Dalam BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 4 | JULI - AGUSTUS 2021