BERDASARKAN laporan dari World Bank p a d a t a
h u n 2019, pertumbuhan ekonomi nasional dilaporkan mengalami penurunan dan
akan terus melemah seiring dengan menurunnya transaksi ekonomi global. Pada
kesempatan yang sama, World Bank menyarankan solusi alih-laih mengurangi CAD
(Current Account Defisit), Pemerintah harus meningkatkan FDI (Foreign Direct
Investment)/ investasi luar negeri yang mampu menciptakan lapangan k
e r j a , d a n t i d a k d a p a t mengeluarkan investasinya ke luar negeri
dengan mudah. Namun disayangkan, investasi luar negeri tersebut enggan untuk
masuk ke Indonesia.
Tingginya
jumlah penduduk dan ketersediaan tenaga kerja,
membuat Indonesia menjadi negara yang masih diminati untuk investasi; dengan
Pulau Jawa sebagai d e s t i n a s i i n v e s t a s i y a n g dianggap paling
menjanjikan. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor yang dianggap m e n g
h a l a n g i d a t a n g n y a i n v e s t a s i k e I n d o n e s i a .
Berdasarkan laporan World Bank, aturan yang saling tumpang tindih, tingginya
biaya dan rumitnya perizinan berusaha di Indonesia, menjadi salah satu faktor
penghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi nasional.
Selain
aturan pokoknya yang diatur melalui Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah,
banyak peraturan turunan yang mengatur terkait dengan ke t e n t u a n p e r i
z i n a n d a n menyebabkan banyaknya proses perizinan dan pintu yang harus
dilalui oleh setiap investor atau pelaku usaha. Kondisi tersebut m
e n d o r o n g p e m e r i n t a h Indonesia untuk melakukan s e r a n g k a i
a n p e r u b a h a n kebijakan, diantaranya adalah melakukan sinkronisasi dan
simplifikasi peraturan perizinan berusaha yang dituangkan d a l a m b e n t u k
p e rat u ra n perundang-undangan, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja. Sasaran perubahan kebijakan yang dimuat melalui UU Nomor
11/2020 tersebut, diantaranya adalah kebijakan i z i n p e m a n f a a t a n r
u a n g dan pertimbangan teknis pertanahan yang disimplifikasi menjadi
Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.
KKPR dan Penilaian Pelaksanaan KKPR
Sebagaimana
dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang, Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan
Ruang (KKPR) adalah kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan
Rencana Tata Ruang. Penerapan KKPR sebagai sebuah perizinan, dituangkan dalam
bentuk Konfirmasi KKPR, Persetujuan KKPR, atau Rekomendasi KKPR. Setiap orang
atau badan usaha dapat mengajukan K o n f i r m a s i , Persetujuan atau
Rekomendasi KKPR, melalui lembaga p e n g e l o l a d a n p e n y e l e n g g a
r a O n l i n e S i n g l e Submission (OSS), yang merupakan lembaga pemerintah
nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan d i b i d a n g
penanaman modal, serta sistem elektronik Kementerian ATR/BPN yang sampai
dengan saat ini masih dalam tahap pengembangan. OSS sendiri dilaksanakan secara
elektronik, dan memungkinkan setiap orang untuk melakukan proses pengajuannya
secara mandiri dan otomatis, dengan mengajukan dokumendokumen yang
dipersyaratkan, serta membuat surat pernyataan mandiri.
Penilaian
pelaksanaan K e s e s u a i a n K e g i a t a n Pemanfaatan Ruang sendiri,
merupakan bagian dari upaya pengendalian pemanfaatan ruang, yang dilaksanakan
beriringan dengan penilaian pernyataan mandiri, yang dibuat oleh pelaku Usaha
Mikro dan Kecil (UMK), untuk memastikan:
a.
Kepatuhan pelaksanaan ketentuan KKPR; dan
b.
Pemenuhan p r o s e d u r perolehan konfirmasi, persetujuan a t a u rekomendasi
KKPR
Penilaian
pelaksanaan tersebut dilakukan selama pembangunan, dan setelah dilakukannya
pembangunan atau pemanfaatan ruang. Pe n i l a i a n p e l a k s a n a a n
ketentuan KKPR, dimaksudkan untuk memastikan kepatuhan pelaksanaan dalam
memenuhi ketentuan KKPR. Sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Menteri Agraria
dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/Kepala BPN) N o m o r 1 3
Ta h u n 2 0 2 1 tentang Pelaksanaan KKPR dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan
Ruang, ketentuan KKPR tersebut diantaranya memuat lokasi kegiatan (1) Jenis
kegiatan pemanfaatan ruang (2) Koefisien d a s a r bangunan (3) Koefisien
lantai bangunan (4) Ketentuan tata bangunan (5)
Persyaratan p e l a k s a n a a n k e g i a t a n pemanfaatan ruang, dan (6)
Apabila ditemukan adanya ke t i d a k s e s u a i a n , p e l a ku kegiatan
diharuskan melakukan penyesuaian. Apabila tidak dipatuhi, pelaku kegiatan dapat
dikenai sanksi berdasarkan peraturan perundangundangan.
Pelaksanaan
penilaian k e p a t u h a n p e l a k s a n a a n ketentuan KKPR tersebut m e r
u p a k a n ke w e n a n g a n Menteri ATR/Kepala BPN. Meskipun demikian,
Menteri AT R / K e p a l a B P N d a p a t mendelegasikan kewenangan tersebut
kepada gubernur, bupati, atau wali kota sesuai dengan kewenangannya.
Berbeda
dengan penilaian kepatuhan pelaksanaan k e t e n t u a n K K P R , penilaian
prosedur perolehan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang
dilakukan untuk memastikan kepatuhan pelaku pembangunan atau pemohon, terhadap
tahapan dan persyaratan perolehan K e s e s u a i a n K e g i a t a n
Pemanfaatan Ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila
ditemukan adanya kesalahan prosedur, maka konfirmasi, persetujuan, atau
rekomendasi KKPR dianggap batal demi hukum. Pembatalan terhadap konfirmasi,
persetujuan, atau rekomendasi KKPR juga dapat dilakukan apabila terjadi
perubahan Rencana Tata Ruang yang mengakibatkan menjadi tidak sesuainya KKPR
tersebut. Apabila terdapat kerugian, maka instansi pemerintah yang menerbitkan
KKPR wajib mengganti kerugian terhadap pelaku pembangunan atau pemohon.
Teknik Penilaian Pelaksanaan KKPR
Teknik
penilaian pelaksanaan KKPR dalam PP 21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan
Ruang belum mengatur secara rinci. Meskipun demikian, kita dapat membagi teknik
penilaian pelaksanaan KKPR berdasarkan objek
penilaiannya. Mengacu pada jenis objek yang perlu dinilai, secara umum kita dapat
membaginya dalam 3 metode sebagai berikut:
a.
Metode analisis spasial;
b.
Metode kuantitatif; dan
c.
Metode analisis formil/ kesesuaian dan kelengkapan administrasi.
Metode
analisis spasial kita terapkan pada analisis atau penilaian terhadap lokasi ruang,
koefisien dasar bangunan, ketentuan tata bangunan, dan/ atau persyaratan
pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang lainnya yang merujuk pada dimensi
spasial, seperti koefisien dasar hijau atau koefisien ruang terbuka. Lokasi
ruang memerlukan analisis spasial dengan melakukan penampalan terhadap data
dasar. Dengan m e l a k u k a n p e n a m p a l a n , sekurang-kurangnya kita
dapat mengetahui secara jelas kesesuaian lokasi terhadap KKPR, dengan menguji
data lokasi eksisting terhadap data spasial peta administrasi, maupun peta
bidang tanah yang sebelumnya diajukan oleh pemohon.
Untuk
penilaian koefisien dasar bangunan, ketentuan tata bangunan, dan/atau persyaratan
pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang lainnya, analisis spasial dapat
digunakan untuk mengetahui secara pasti dimensi ruang yang digunakan. Analisis
ini didahului dengan dilakukan pengukuran p a d a b i d a n g t a n a h d a n
bangunan yang dimohonkan pada data spasial peta, dan dihitung menggunakan
kaidah penghitungan yang diatur dalam peraturan perundangundangan terkait.
Misalnya, untuk koefisien dasar bangunan dihitung dengan menggunakan rumus luas
lantai bangunan dibagi dengan luas bidang tanah, dan dikali dengan 100%. Hasil
penghitungan tersebut kemudian kita bandingkan dengan ketentuan dalam KKPR yang
telah diperoleh. Meskipun demikian, teknik penilaian ini tidak harus
menggunakan pendekatan analisis spasial karena data yang diperoleh tidak hanya
dapat diukur melalui data spasial peta, namun juga dapat dilakukan dengan
metode pengukuran langsung.
M
e t o d e k u a n t i t a t i f , diterapkan pada penilaian terhadap koefisien
lantai bangunan, koefisien dasar bangunan, ketentuan tata bangunan, dan
persyaratan p e l a k s a n a a n k e g i a t a n
pemanfaatan ruang lainnya seperti ketentuan khusus terhadap kontruksi minimum b
a n g u n a n t e rt e n t u , at a u p e l a y a n a n j a s a t e r t e n t u
c o n t o h n y a l i m p a s a n a i r maksimum yang diperbolehkan dan
kapasitas daur ulang air baku yang dipersyaratkan. Metode ini juga dilakukan
secara berbeda bergantung pada objek yang dinilai. Penghitungan terhadap
koefisien lantai bangunan, tentu berbeda dengan metode penghitungan t e r h a d
a p l i m p a s a n a i r maksimum yang diperbolehkan. Metode-metode ini secara
khusus perlu melihat rujukan pada peraturan perundangundangan lainnya. Sebagai
contoh, metode koefisien lantai bangunan dihitung dengan cara menghitung
seluruh lantai bangunan, dibagi dengan luas lahan atau luas kawasan
perencanaan.
Adapun
metode analisis f o r m i l / k e s e s u a i a n d a n kelengkapan
administrasi, digunakan untuk menilai k e s e s u a i a n k e g i a t a n
pemanfaatan ruang, proses p e r o l e h a n K K P R , s e r t a p e m e n u h a
n t e r h a d a p persyaratan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan seperti kewajiban
tambahan untuk membangun sarana prasarana. Proses analisis ini hanya
menggunakan penilaian visual dan matriks perbandingan, untuk membandingkan
antara ada dan tidaknya dokumen, sama dan tidaknya kegiatan yang dilaksanakan,
atau telah dilaksanakan atau belum dilaksanakannya perintah atau kewajiban yang
dicantumkan dalam KKPR.
Perlu
kita ketahui, penilaian p e l a k s a n a a n K K P R p a d a Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang,
serupa dengan teknik penilaian terhadap persyaratan i z i n p e m a n f a at a
n r u a n g . Persyaratan izin pemanfaatan ruang sebagaimana diatur dalam
peraturan sebelumnya, mencakup ketentuan terhadap batas sempadan, Koefisien
Lantai Bangunan (KLB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Dasar Hijau
(KDH), fungsi bangunan, fungsi lahan, dan penyediaan fasilitas umum atau
fasilitas sosial. Mengacu pada ketentuan tersebut, disusun pedoman teknik
penilaiannya, yang dituangkan sebagai bagian dari Peraturan Menteri ATR/Kepala
BPN Nomor 17 Tahun 2017 tentang Audit Tata Ruang.
Sebelum kemudian ditentukan peraturan baru yang mencabut peraturan menteri
tersebut dan mengubah teknik penilaiannya, maka teknik penilaian pada peraturan
menteri tersebut seharusnya dapat digunakan sebagai acuan.
Proses Monitoring dan Penilaian Pelaksanaan KKPR
Dalam
melakukan penilaian pelaksanaan KKPR, artinya perlu dilakukan monitoring d a n
p e n i l a i a n t e r h a d a p seluruh pemohon atau pelaku pembangunan yang
telah mendapatkan konfirmasi, persetujuan, atau rekomendasi KKPR. Dengan
didorongnya penerapan sistem OSS pada pengajuan permohonan KKPR, dan semakin
meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengajukan izin, maka objek penilaian KKPR
akan meningkat secara masif. Oleh karenanya, perlu dibuat sistem monitoring
yang baik, untuk mendukung pelaksanaan penilaian
KKPR. Sistem penilaian KKPR perlu dibuat secara terintegrasi dalam satu
ekosistem, transparan, dan mudah dimonitor.
Berdasarkan
PP Nomor 2 1 Ta h u n 2 0 2 1 t e n t a n g Penyelenggaraan Penataan Ruang,
kewenangan penilaian pelaksanaan KKPR saat ini hanya menjadi kewenangan Menteri
ATR/Kepala BPN. Meskipun memiliki kantor perwakilan di Provinsi dan
Kabupaten/Kota, tugas ini terlalu berat untuk dapat ditangani sendirian oleh
sebuah lembaga kementerian/badan. Untuk itu, perlu segera dilakukan delegasi
kewenangan terhadap gubernur, bupati, dan wali kota agar dapat melaksanakan
fungsi-fungsi tersebut. Dalam hal ini, pemerintah daerah juga memiliki
kepentingan sekaligus tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi
pengendalian pemanfaatan r u a n g , d a n m e n j a m i n terwujudnya rencana
tata ruang yang telah disusun.
Organisasi
yang dimiliki pemerintah daerah yang m e l i n g ku p i h i n g g a l e v e l
kelurahan atau desa, tentu memiliki keunggulan dalam melaksanakan proses-proses
penilaian baik pada saat dilaksanakan pembangunan, maupun pasca pembangunan
atau pemanfaatan. Namun h a l t e r s e b u t j u g a p e r l u didukung dengan
pemahaman, pengetahuan, dan ketrampilan d a l a m m e l a k s a n a k a n
penilaian tersebut. Untuk m e n d a p a t k a n n y a , p e r l u d i l a k u k
a n r e k r u t m e n SDM berkualitas dengan memanfaatkan lulusan-lulusan d i b
i d a n g p e re n c a n a a n , arsitektur, maupun teknik sipil, maupun
pengadaan pelatihanpelatihan dan penyusunan modul standar yang rinci. Dengan
demikian, pelaksanaan penilaian pelaksanaan KKPR dapat terlaksana dengan baik,
dan pemanfaatan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan rencana tata ruang yang
telah ditetapkan.
Sumber: Penulis Dr. Andi Renald, S.T., M.T, Muhammad Amin Cakrawijaya, S.T., M.T. Dalam BULETIN PENATAAN RUANG
EDISI 4 | JULI - AGUSTUS 2021