Tampilkan postingan dengan label OSS. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label OSS. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 Januari 2024

Integrasi GISTARU dengan Sistem Online Single Submission (OSS) sebagai Bentuk Kemudahan Perizinan Berusaha

Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), Kementerian Investasi/BKPM meluncurkan sistem Online Single Submission (OSS) sebagai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. Sistem OSS wajib digunakan oleh seluruh elemen mulai dari masyarakat hingga pemerintah. Dengan sistem OSS ini maka perizinan di Indonesia menjadi terintegrasi dan terpadu, dengan tetap memperhatikan risiko yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha. Sistem OSS bertujuan untuk meningkatkan transparansi, keterbukaan, dan jaminan dalam mendapatkan izin bagi para pelaku usaha di Indonesia khususnya bagi para pelaku UMKM.

Kemunculan sistem OSS pasca UUCK kemudian diikuti dengan lahirnya norma baru dalam bidang tata ruang yaitu Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). KKPR merupakan salah satu persyaratan dasar yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha dalam rangka memperoleh perizinan berusaha. KKPR menggantikan beberapa norma terdahulu seperti izin lokasi, keterangan rencana kota (KRK), advice planning, dan sebutan lain yang menyatakan kesesuaian tata ruang dengan kegiatan usaha. KKPR juga menjadi acuan tunggal untukpemanfaatan ruang, perolehan tanah, pemindahan hak atas tanah, dan penerbitan hak atas tanah (Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021).

Direktorat Jenderal Tata Ruang yang memiliki tugas melaksanakan kebijakan di bidang perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang bergerak cepat dengan meluncurkan GISTARU (Geographic Information System Tata Ruang) KKPR dalam mewadahi pelaksanaan KKPR untuk mendukung kegiatan berusaha. GISTARU KKPR terintegrasi dengan sistem OSS pada bagian pelaksanaan Penilaian KKPR darat, khususnya konfirmasi KKPR dan Persetujuan KKPR untuk kegiatan berusaha. Berikut gambaran mengenai Integrasi GISTARU KKPR pada sistem OSS.


Pelaksanaan Penilaian KKPR pada sistem GISTARU KKPR dibagi menjadi 2 jenis dokumen, yaitu Konfirmasi KKPR dan Persetujuan KKPR. Apabila suatu wilayah sudah memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang terintegrasi dengan system OSS, maka proses Konfirmasi KKPR dilakukan untuk lokasi rencana kegiatan yang sudah diakomodir oleh Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang terintegrasi dengan sistem OSS tersebut. Namun, apabila suatu wilayah belum memiliki RDTR  yang terintegrasi pada sistem OSS, maka terhadap lokasi rencana kegiatan akan dinilai berdasarkan rencana tata ruang yang tersedia secara berjenjang dan komplementer melalui proses Persetujuan KKPR.

ntegrasi GISTARU KKPR dengan sistem OSS pada Konfirmasi KKPR diwujudkan dengan terintegrasinya RDTR Interaktif pada sistem OSS. Dengan demikian untuk permohonan rencana kegiatan pada wilayah yang telah memiliki RDTR dapat langsung memperoleh dokumen KKPR yang diterbitkan melalui sistem OSS paling lambat 1 hari. Sampai dengan tanggal 25 Oktober 2023 telah terbit 154.396 dokumen Konfirmasi KKPR melalui sistem OSS (sumber : data OSS). Hal ini tentu akan mempercepat perizinan berusaha secara keseluruhan namun tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah disusun.

GISTARU KKPR memiliki peran vital dalam jalannya penilaian Persetujuan KKPR. GISTARU KKPR merupakan pintu gerbang dari penilaian Persetujuan KKPR, karena proses validasi dan penerbitan dilakukan di sistem GISTARU KKPR. Validasi merupakan tahapan dalam memeriksa kelengkapan dokumen persetujuan KKPR. Setelah validasi, pelaku usaha kemudian membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan kemudian dilanjutkan dengan proses penilaian Persetujuan KKPR. Proses penilaian dilakukan oleh tim penilai KKPR di tingkat pusat dan Forum Penataan Ruang (FPR) di daerah dengan rentang waktu maksimal 20 hari kerja. Proses penilaian dilakukan secara paralel dengan Pertimbangan Teknis Pertanahan (PTP) yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan. Setelah penilaian Persetujuan KKPR selesai, maka hasil penilaian tersebut diunggah kembali ke GISTARU KKPR, yang kemudian hasil akhirnya akan dikirimkan ke sistem OSS dan diterbitkan oleh sistem OSS.


Hasil penilaian Persetujuan KKPR disimpan dalam bentuk geodatabase pada GISTARU KKPR yang kemudian akan diintegrasikan kepada sistem OSS. Salah satu penerapan dari geodatabase ini dapat terlihat pada saat pelaku usaha melakukan pendaftaran, apabila terdapat Persetujuan KKPR yang telah terbit pada lokasi usaha yang dimohonkan maka akan muncul peringatan pada sistem OSS. Integrasi ini dilakukan dalam upaya mitigasi adanya tumpang tindih Persetujuan KKPR yang sudah terbit, walaupun saat ini belum berlaku pada Konfirmasi KKPR dan Persetujuan KKPR tanpa penilaian yang diterbitkan sistem OSS.

Database Konfirmasi KKPR dan Persetujuan KKPR tanpa penilaian belum diintegrasikan kepada GISTARU KKPR. Dampak dari hal ini adalah pada saat penilai KKPR dan FPR melakukan penilaian terdapat potensi terjadinya tumpang tindih KKPR terbit, terutama pada Persetujuan KKPR tanpa penilaian. Oleh karena itu diperlukan suatu terobosan dengan menambahkan Database Konfirmasi KKPR dan Persetujuan KKPR tanpa penilaian dari sistem OSS kepada GISTARU KKPR. Integrasi GISTARU dan sistem OSS juga dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat terutama pelaku usaha melalui pengintegrasian RDTR interaktif dan RTR online pada sistem OSS. RDTR interaktif pada sistem OSS memudahkan pelaku usaha untuk melihat jenis kegiatan yang diizinkan untuk suatu lokasi pada suatu wilayah yang telah memiliki RDTR. Sementara RTR online pada sistem OSS memudahkan pelaku usaha untuk melihat peruntukan ruang berdasarkan rencana tata ruang yang telah menjadi produk hukum.

Manfaat dari GISTARU masih dapat dan perlu diperluas kembali dengan melakukan terobosan atau inovasi, antara lain dengan melakukan penambahan fitur maupun integrasi dengan sistem pada Kementerian/ Lembaga lain. Penambahan fitur dapat dilakukan dengan menambahkan fitur IAZ/KUZ pada RTRW yang terintegrasi pada RTR-online. Penambahan fitur dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk mengetahui jenis kegiatan yang diizinkan untuk suatu lokasi pada suatu wilayah, selain mengetahui peruntukan ruangnya. Selain itu, penambahan fitur juga dapat bermanfaat bagi penilai KKPR untuk mempercepat proses penilaian KKPR.

Integrasi dengan sistem pada Kementerian/Lembaga lain dibutuhkan untuk pembaharuan data, seperti pembaharuan penetapan kawasan hutan, pembaharuan wilayah izin usaha pertambangan, dan pembaharuan penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Pembaharuan data ini dilakukan untuk menyelaraskan rencana tata ruang khususnya pemanfaatan ruang melalui KKPR dengan kebijakan sektor lain yang masih berhubungan dengan tata ruang. Selain itu, masih diperlukan pula integrasi dengan sistem informasi pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang diampu oleh Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah Ruang. Integrasi ini untuk memudahkan pengawasan terhadap masyarakat dalam memanfaatkan ruang yang dimilikinya agar sesuai dengan izin yang telah diterbitkan. Masih banyak tugas kita semua untuk mewujudkan kemudahan perizinan berusaha melalui sistem OSS. Untuk itu berbagai terobosan dan inovasi lintas sektor tetap perlu dilakukan untuk menyempurnakan sistem OSS ini, termasuk yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Tata Ruang dengan terus meningkatkan integrasi GISTARU dengan OSS.

 

 

 

 

Sumber: Oleh : Indira P. Warpani S.T., M.T., M.Sc. , Muhammad Arsyad S.T., M.T. , dan Muhammad Hanif Syaifudin, S.P.W.K. Dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi II | Agustus - Oktober 2023

Kamis, 11 Mei 2023

Penilaian Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR)

BERDASARKAN laporan dari World Bank p a d a t a h u n 2019, pertumbuhan ekonomi nasional dilaporkan mengalami penurunan dan akan terus melemah seiring dengan menurunnya transaksi ekonomi global. Pada kesempatan yang sama, World Bank menyarankan solusi alih-laih mengurangi CAD (Current Account Defisit), Pemerintah harus meningkatkan FDI (Foreign Direct Investment)/ investasi luar negeri yang mampu menciptakan lapangan k e r j a , d a n t i d a k d a p a t mengeluarkan investasinya ke luar negeri dengan mudah. Namun disayangkan, investasi luar negeri tersebut enggan untuk masuk ke Indonesia.

Tingginya jumlah penduduk dan ketersediaan tenaga kerja, membuat Indonesia menjadi negara yang masih diminati untuk investasi; dengan Pulau Jawa sebagai d e s t i n a s i i n v e s t a s i y a n g dianggap paling menjanjikan. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor yang dianggap m e n g h a l a n g i d a t a n g n y a i n v e s t a s i k e I n d o n e s i a . Berdasarkan laporan World Bank, aturan yang saling tumpang tindih, tingginya biaya dan rumitnya perizinan berusaha di Indonesia, menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi nasional.

Selain aturan pokoknya yang diatur melalui Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, banyak peraturan turunan yang mengatur terkait dengan ke t e n t u a n p e r i z i n a n d a n menyebabkan banyaknya proses perizinan dan pintu yang harus dilalui oleh setiap investor atau pelaku usaha. Kondisi tersebut m e n d o r o n g p e m e r i n t a h Indonesia untuk melakukan s e r a n g k a i a n p e r u b a h a n kebijakan, diantaranya adalah melakukan sinkronisasi dan simplifikasi peraturan perizinan berusaha yang dituangkan d a l a m b e n t u k p e rat u ra n perundang-undangan, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sasaran perubahan kebijakan yang dimuat melalui UU Nomor 11/2020 tersebut, diantaranya adalah kebijakan i z i n p e m a n f a a t a n r u a n g dan pertimbangan teknis pertanahan yang disimplifikasi menjadi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.

KKPR dan Penilaian Pelaksanaan KKPR

Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) adalah kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata Ruang. Penerapan KKPR sebagai sebuah perizinan, dituangkan dalam bentuk Konfirmasi KKPR, Persetujuan KKPR, atau Rekomendasi KKPR. Setiap orang atau badan usaha dapat mengajukan K o n f i r m a s i , Persetujuan atau Rekomendasi KKPR, melalui lembaga p e n g e l o l a d a n p e n y e l e n g g a r a O n l i n e S i n g l e Submission (OSS), yang merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan d i b i d a n g penanaman modal, serta sistem elektronik Kementerian ATR/BPN yang sampai dengan saat ini masih dalam tahap pengembangan. OSS sendiri dilaksanakan secara elektronik, dan memungkinkan setiap orang untuk melakukan proses pengajuannya secara mandiri dan otomatis, dengan mengajukan dokumendokumen yang dipersyaratkan, serta membuat surat pernyataan mandiri.

Penilaian pelaksanaan K e s e s u a i a n K e g i a t a n Pemanfaatan Ruang sendiri, merupakan bagian dari upaya pengendalian pemanfaatan ruang, yang dilaksanakan beriringan dengan penilaian pernyataan mandiri, yang dibuat oleh pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK), untuk memastikan:

a. Kepatuhan pelaksanaan ketentuan KKPR; dan

b. Pemenuhan p r o s e d u r perolehan konfirmasi, persetujuan a t a u rekomendasi KKPR

Penilaian pelaksanaan tersebut dilakukan selama pembangunan, dan setelah dilakukannya pembangunan atau pemanfaatan ruang. Pe n i l a i a n p e l a k s a n a a n ketentuan KKPR, dimaksudkan untuk memastikan kepatuhan pelaksanaan dalam memenuhi ketentuan KKPR. Sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/Kepala BPN) N o m o r 1 3 Ta h u n 2 0 2 1 tentang Pelaksanaan KKPR dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang, ketentuan KKPR tersebut diantaranya memuat lokasi kegiatan (1) Jenis kegiatan pemanfaatan ruang (2) Koefisien d a s a r bangunan (3) Koefisien lantai bangunan (4) Ketentuan tata bangunan (5) Persyaratan p e l a k s a n a a n k e g i a t a n pemanfaatan ruang, dan (6) Apabila ditemukan adanya ke t i d a k s e s u a i a n , p e l a ku kegiatan diharuskan melakukan penyesuaian. Apabila tidak dipatuhi, pelaku kegiatan dapat dikenai sanksi berdasarkan peraturan perundangundangan.

Pelaksanaan penilaian k e p a t u h a n p e l a k s a n a a n ketentuan KKPR tersebut m e r u p a k a n ke w e n a n g a n Menteri ATR/Kepala BPN. Meskipun demikian, Menteri AT R / K e p a l a B P N d a p a t mendelegasikan kewenangan tersebut kepada gubernur, bupati, atau wali kota sesuai dengan kewenangannya.

Berbeda dengan penilaian kepatuhan pelaksanaan k e t e n t u a n K K P R , penilaian prosedur perolehan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dilakukan untuk memastikan kepatuhan pelaku pembangunan atau pemohon, terhadap tahapan dan persyaratan perolehan K e s e s u a i a n K e g i a t a n Pemanfaatan Ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ditemukan adanya kesalahan prosedur, maka konfirmasi, persetujuan, atau rekomendasi KKPR dianggap batal demi hukum. Pembatalan terhadap konfirmasi, persetujuan, atau rekomendasi KKPR juga dapat dilakukan apabila terjadi perubahan Rencana Tata Ruang yang mengakibatkan menjadi tidak sesuainya KKPR tersebut. Apabila terdapat kerugian, maka instansi pemerintah yang menerbitkan KKPR wajib mengganti kerugian terhadap pelaku pembangunan atau pemohon.



Teknik Penilaian Pelaksanaan KKPR

Teknik penilaian pelaksanaan KKPR dalam PP 21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang belum mengatur secara rinci. Meskipun demikian, kita dapat membagi teknik penilaian pelaksanaan KKPR berdasarkan objek penilaiannya. Mengacu pada jenis objek yang perlu dinilai, secara umum kita dapat membaginya dalam 3 metode sebagai berikut:

a. Metode analisis spasial;

b. Metode kuantitatif; dan

c. Metode analisis formil/ kesesuaian dan kelengkapan administrasi.

Metode analisis spasial kita terapkan pada analisis atau penilaian terhadap lokasi ruang, koefisien dasar bangunan, ketentuan tata bangunan, dan/ atau persyaratan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang lainnya yang merujuk pada dimensi spasial, seperti koefisien dasar hijau atau koefisien ruang terbuka. Lokasi ruang memerlukan analisis spasial dengan melakukan penampalan terhadap data dasar. Dengan m e l a k u k a n p e n a m p a l a n , sekurang-kurangnya kita dapat mengetahui secara jelas kesesuaian lokasi terhadap KKPR, dengan menguji data lokasi eksisting terhadap data spasial peta administrasi, maupun peta bidang tanah yang sebelumnya diajukan oleh pemohon.

Untuk penilaian koefisien dasar bangunan, ketentuan tata bangunan, dan/atau persyaratan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang lainnya, analisis spasial dapat digunakan untuk mengetahui secara pasti dimensi ruang yang digunakan. Analisis ini didahului dengan dilakukan pengukuran p a d a b i d a n g t a n a h d a n bangunan yang dimohonkan pada data spasial peta, dan dihitung menggunakan kaidah penghitungan yang diatur dalam peraturan perundangundangan terkait. Misalnya, untuk koefisien dasar bangunan dihitung dengan menggunakan rumus luas lantai bangunan dibagi dengan luas bidang tanah, dan dikali dengan 100%. Hasil penghitungan tersebut kemudian kita bandingkan dengan ketentuan dalam KKPR yang telah diperoleh. Meskipun demikian, teknik penilaian ini tidak harus menggunakan pendekatan analisis spasial karena data yang diperoleh tidak hanya dapat diukur melalui data spasial peta, namun juga dapat dilakukan dengan metode pengukuran langsung.

M e t o d e k u a n t i t a t i f , diterapkan pada penilaian terhadap koefisien lantai bangunan, koefisien dasar bangunan, ketentuan tata bangunan, dan persyaratan p e l a k s a n a a n k e g i a t a n pemanfaatan ruang lainnya seperti ketentuan khusus terhadap kontruksi minimum b a n g u n a n t e rt e n t u , at a u p e l a y a n a n j a s a t e r t e n t u c o n t o h n y a l i m p a s a n a i r maksimum yang diperbolehkan dan kapasitas daur ulang air baku yang dipersyaratkan. Metode ini juga dilakukan secara berbeda bergantung pada objek yang dinilai. Penghitungan terhadap koefisien lantai bangunan, tentu berbeda dengan metode penghitungan t e r h a d a p l i m p a s a n a i r maksimum yang diperbolehkan. Metode-metode ini secara khusus perlu melihat rujukan pada peraturan perundangundangan lainnya. Sebagai contoh, metode koefisien lantai bangunan dihitung dengan cara menghitung seluruh lantai bangunan, dibagi dengan luas lahan atau luas kawasan perencanaan.

Adapun metode analisis f o r m i l / k e s e s u a i a n d a n kelengkapan administrasi, digunakan untuk menilai k e s e s u a i a n k e g i a t a n pemanfaatan ruang, proses p e r o l e h a n K K P R , s e r t a p e m e n u h a n t e r h a d a p persyaratan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan seperti kewajiban tambahan untuk membangun sarana prasarana. Proses analisis ini hanya menggunakan penilaian visual dan matriks perbandingan, untuk membandingkan antara ada dan tidaknya dokumen, sama dan tidaknya kegiatan yang dilaksanakan, atau telah dilaksanakan atau belum dilaksanakannya perintah atau kewajiban yang dicantumkan dalam KKPR.

Perlu kita ketahui, penilaian p e l a k s a n a a n K K P R p a d a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, serupa dengan teknik penilaian terhadap persyaratan i z i n p e m a n f a at a n r u a n g . Persyaratan izin pemanfaatan ruang sebagaimana diatur dalam peraturan sebelumnya, mencakup ketentuan terhadap batas sempadan, Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH), fungsi bangunan, fungsi lahan, dan penyediaan fasilitas umum atau fasilitas sosial. Mengacu pada ketentuan tersebut, disusun pedoman teknik penilaiannya, yang dituangkan sebagai bagian dari Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2017 tentang Audit Tata Ruang. Sebelum kemudian ditentukan peraturan baru yang mencabut peraturan menteri tersebut dan mengubah teknik penilaiannya, maka teknik penilaian pada peraturan menteri tersebut seharusnya dapat digunakan sebagai acuan.



Proses Monitoring dan Penilaian Pelaksanaan KKPR

Dalam melakukan penilaian pelaksanaan KKPR, artinya perlu dilakukan monitoring d a n p e n i l a i a n t e r h a d a p seluruh pemohon atau pelaku pembangunan yang telah mendapatkan konfirmasi, persetujuan, atau rekomendasi KKPR. Dengan didorongnya penerapan sistem OSS pada pengajuan permohonan KKPR, dan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengajukan izin, maka objek penilaian KKPR akan meningkat secara masif. Oleh karenanya, perlu dibuat sistem monitoring yang baik, untuk mendukung pelaksanaan penilaian KKPR. Sistem penilaian KKPR perlu dibuat secara terintegrasi dalam satu ekosistem, transparan, dan mudah dimonitor.

Berdasarkan PP Nomor 2 1 Ta h u n 2 0 2 1 t e n t a n g Penyelenggaraan Penataan Ruang, kewenangan penilaian pelaksanaan KKPR saat ini hanya menjadi kewenangan Menteri ATR/Kepala BPN. Meskipun memiliki kantor perwakilan di Provinsi dan Kabupaten/Kota, tugas ini terlalu berat untuk dapat ditangani sendirian oleh sebuah lembaga kementerian/badan. Untuk itu, perlu segera dilakukan delegasi kewenangan terhadap gubernur, bupati, dan wali kota agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Dalam hal ini, pemerintah daerah juga memiliki kepentingan sekaligus tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi pengendalian pemanfaatan r u a n g , d a n m e n j a m i n terwujudnya rencana tata ruang yang telah disusun.

Organisasi yang dimiliki pemerintah daerah yang m e l i n g ku p i h i n g g a l e v e l kelurahan atau desa, tentu memiliki keunggulan dalam melaksanakan proses-proses penilaian baik pada saat dilaksanakan pembangunan, maupun pasca pembangunan atau pemanfaatan. Namun h a l t e r s e b u t j u g a p e r l u didukung dengan pemahaman, pengetahuan, dan ketrampilan d a l a m m e l a k s a n a k a n penilaian tersebut. Untuk m e n d a p a t k a n n y a , p e r l u d i l a k u k a n r e k r u t m e n SDM berkualitas dengan memanfaatkan lulusan-lulusan d i b i d a n g p e re n c a n a a n , arsitektur, maupun teknik sipil, maupun pengadaan pelatihanpelatihan dan penyusunan modul standar yang rinci. Dengan demikian, pelaksanaan penilaian pelaksanaan KKPR dapat terlaksana dengan baik, dan pemanfaatan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.


Sumber: Penulis Dr. Andi Renald, S.T., M.T, Muhammad Amin Cakrawijaya, S.T., M.T. Dalam BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 4 | JULI - AGUSTUS 2021

Minggu, 07 Mei 2023

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Melalui Sistem Online Single Submission (OSS)

MELALUI metode Omnibus law Pemerintah telah berhasil melakukan revisi sebanyak 79 Undang-Undang (UU) menjadi satu UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sudah dilengkapi dengan Peraturan Pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah (PP) sebanyak 47 PP maupun Peraturan Presiden (Perpres) sebanyak empat Perpres. Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Melalui Sistem OSS merupakan pelaksanaan Undang-undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana yang diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.5 Tahun 2021.

OSS berbasis risiko ini wajib digunakan oleh Pelaku Usaha sebagai pemohon dan Kementerian/ Lembaga, Pemerintah Daerah baik tingkat Provinsi, Kabupaten/ Kota, Administrator Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Pelabuhan Bebas (KPBPB) selaku penerbit perizinan berusaha.

OSS berbasis risiko memberikan layanan bagi pelaku usaha yang terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dan Non Usaha Mikro dan Kecil (Non UMK). UMK adalah usaha milik Warga Negara Indonesia (WNI), baik perorangan maupun badan usaha, dengan modal usaha maksimal Rp 5 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Non UMK meliputi Usaha Menengah dengan modal usaha Rp 5 miliar – Rp 10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Usaha Besar termasuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan modal usaha lebih dari Rp10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Termasuk Non UMK adalah Kantor Perwakilan dan Badan Usaha Luar Negeri (BULN).

Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah perizinan berusaha berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha dan tingkat risiko tersebut menentukan jenis Perizinan berusaha. Pemerintah telah memetakan tingkat risiko sesuai dengan bidang usaha atau Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). KBLI yang berlaku saat ini adalah KBLI tahun 2020 dengan angka lima digit sebagai kode bidang usaha Berdasarkan Peraturan Kepala BPS No. 2 Tahun 2020.

Untuk usaha dengan tingkat Risiko Rendah (R) dan Menengah Rendah (MR), proses perizinan berusaha cukup diselesaikan melalui sistem Online Single Submission (OSS) tanpa membutuhkan verifikasi atau persetujuan dari Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah dengan produk berupa Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk Risiko R dan NIB+Sertifikat Standar (SS) untuk Risiko MR, sedangkan usaha dengan tingkat Risiko Menengah Tinggi (MT) dan Risiko Tinggi (T) membutuhkan verifikasi atau persetujuan dari Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah dengan produk berupa NIB+SS yang harus diverifikasi untuk Risiko MT dan NIB+IZIN dan SS jika diperlukan untuk Risiko T.

Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dengan Risiko Rendah diberi kemudahan berupa perizinan tunggal sesuai amanat dalam PP No.5 Tahun 2021 Pasal 209. Artinya NIB selain berlaku sebagai identitas dan legalitas juga berlaku sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI), dan Sertifikasi Jaminan Produk Halal (SJPH).

SNI berupa Sertifikat Bina UMK selanjutnya akan dilakukan pendampingan/fasilitasi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). SJPH selanjutnya ditindaklanjuti dengan pendampingan/fasilitasi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.

Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha terdapat transformasi nomenklatur yang semula kita kenal dengan Izin Lokasi, Izin  Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) + Sertifikat Laik Fungsi (SLF) secara berurutan menjadi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), Persetujuan Lingkungan dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) + SLF. Dimana KKPR merupakan tapisan awal dalam sistem OSS bahwa lokasi proyek yang dimohon sudah memiliki kesesuaian pemanfaatan ruangnya sesuai dengan RDTR atau RTR,RZ,KSNT dan RZ KAW baik yang berlokasi di daratan, lautan maupun hutan sebagaimana yang diatur dalam PP No.21 Tahun 2021 tentang Penataan Ruang dan PP No.23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Untuk Persetujuan Lingkungan terintegrasi langsung dengan Perizinan Berusahanya sesuai tingkat risiko dan dampak penting terhadap lingkungan serta kewenangannya sebagaimana dijelaskan dalam PP No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan Persetujuan Bangunan Gedung saat ini merupakan suatu kewajiban yang melekat langsung kepada Pelaku Usaha apabila yang bersangkutan akan mendirikan suatu bangunan sebagaimana diatur dalam PP No.16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Dengan berlakunya OSS berbasis risiko sejak diresmikan oleh Bapak Presiden Joko Widodo pada tanggal 9 Agustus 2021 maka seluruh perizinan berusaha yang telah dimiliki sebelumnya oleh pelaku usaha dan masih berlaku tetap dapat digunakan sebagaimana mestinya, termasuk NIB yang tetap berlaku selama kegiatan usaha masih berjalan.

 


 





 









Sumber: BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 6 | NOVEMBER - DESEMBER 2021