Tampilkan postingan dengan label Kota Berkelanjutan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kota Berkelanjutan. Tampilkan semua postingan

Rabu, 30 Oktober 2024

Konsep Kota Layak Huni dan Berkelanjutan: Karakteristik, Best Practice, Tantangan dan Peran Tata Ruang

Pendahuluan

Kota adalah pusat ekonomi dan aktivitas masyarakat. Berdasarkan data dari World Bank (2021) menyebutkan bahwa urbanisasi masif telah mendorong 57% penduduk dunia tinggal di perkotaan. Artinya, lebih dari setengah penduduk akan tinggal di kawasan perkotaan. Proyeksi dari PBB tahun 2018 (dalam MLCI IAP, 2022:3) akan ada kenaikan sebesar 68% pada tahun 2050, atau sebanyak 2,5 milyar jiwa akan tinggal di perkotaan. Masifnya urbanisasi, perubahan iklim, dan pandemi COVID-19 berdampak signifikan pada kualitas hidup di perkotaan, menjadikan kelayakhunian kota sebagai sebuah keniscayaannya.

Kota yang layak huni didefinisikan sebagai "Sistem perkotaan yang mendukung kesejahteraan fisik, sosial, dan mental serta perkembangan pribadi semua penduduknya, terkait tentang ruang kota yang menyenangkan dan diinginkan yang menawarkan dan mencerminkan kekayaan budaya dan nilai-nilai sakral. Prinsip utama yang mendasari kelayakhunian ini adalah kesetaraan, martabat, aksesibilitas, keramahan, partisipasi, dan pemberdayaan." (Vanessa Timmer dan Nola Kate Seymar, 2003).

Karakteristik

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2022 tentang Perkotaan diatur standar pelayanan perkotaan yang dilakukan melalui metode pengukuran basis data dan persepsi masyarakat. Lebih lanjut dalam pasal 21, Indeks perkotaan berkelanjutan meliputi: ukuran kinerja ekonomi, pendidikan, energi, lingkungan, keuangan, pemerintahan, kesehatan,

Sebuah kota, selain harus layak huni, juga harus berkelanjutan. Konsep kelayakhunian (liveability) dan keberlanjutan (sustainability) merupakan konsep yang saling mendukung. Keberlanjutan kota dipandang sebagai gagasan bahwa suatu kota dapat diorganisir tanpa ketergantungan yang berlebihan dan mampu berkelola mandiri dengan sumber daya energi terbarukan (Siemens, 2009), secara bersamaan juga mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, lingkungan, menyediakan habitat yang tangguh bagi populasi yang ada, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mengalami hal yang sama (Batten, 2018). Hal ini juga senada dengan Global Platform for Sustainable Cities (2018) bahwa sangat penting bagi kota-kota memanfaatkan peluang untuk meningkatkan keberlanjutan kota. Kota harus menjadi tempat inovasi dan pendorong pertumbuhan ekonomi, dimana kesejahteraan dan pekerjaan diciptakan dan sumber daya (resources) digunakan secara efisien. Berikutnya adalah pilihan tentang bagaimana kota dibangun/dikembangkan, dihuni, dan dipelihara sehingga memiliki efek global jangka panjang (long-term global effects).

perumahan, kondisi penduduk dan sosial, rekreasi, keselamatan, limbah padat, olahraga dan budaya, telekomunikasi, transportasi, pertanian di wilayah perkotaan dan keamanan pangan, perencanaan perkotaan, air limbah, air bersih, pelaporan, dan pemeliharaan bukti rekaman.

Berdasarkan peraturan tersebut karakteristik dalam kota layak huni dan berkelanjutan tidak hanya mencakup aspek fisik dan infrastruktur, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan sosial, ekonomi dan partisipasi masyarakat sehingga bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman, aman, sehat, dan mendukung kehidupan warganya dalam jangka panjang.

“A sustainable city provides inclusive access to health care, education, and jobs at walking distance or reachable by short and convenient transit rides seamlessly integrated with pedestrian and bicycle paths.”

(World Bank & GEF, 2018:11)



Indeks setiap kota yang disurvei dalam Most Livable City Index pada tahun 2014, 2017, dan 2022 cenderung fluktuatif. Pada tahun 2014, indeks berkisar antara 58 hingga 71, sementara pada tahun 2017 mengalami penurunan dengan rentang 56 hingga 67. Namun, pada tahun 2022, indeks menunjukkan peningkatan dengan kisaran 62 hingga 67. Meskipun terjadi fluktuasi pada tingkat kota, secara keseluruhan, indeks rata-rata kelayakhunian kota-kota setiap tahunnya menunjukkan tren peningkatan. Seperti halnya hasil progres kelayakhunian kota dalam gambar berikut.

Setiap tahun, aspek-aspek yang menjadi penilaian dan keunggulan kota juga mengalami perubahan. Pada tahun 2014, pada aspek pengelolaan lingkungan, kelengkapan dan kualitas sarana prasarana, kehidupan sosial, tata kota, dan ketersediaan angkutan telah dianggap baik oleh warga kota. Tahun 2017, fokusnya bergeser ke ketercukupan pangan, fasilitas peribadatan dan pelayanan keagamaan, pengelolaan air bersih, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan. Pada tahun 2022, aspek yang menjadi keunggulan meliputi fasilitas peribadatan, fasilitas pendidikan, penyediaan air bersih, jaringan telekomunikasi, dan fasilitas kesehatan. Beberapa aspek seperti fasilitas peribadatan, fasilitas pendidikan, dan penyediaan air bersih selalu muncul sebagai keunggulan di setiap survei, menunjukkan pentingnya aspek-aspek ini dalam mendukung kelayakhunian kota.

Indeks kelayakhunian kota didasarkan atas observasi, data sekunder dan penilaian baik dari sudut pandang subjektivitas peneliti. Dengan demikian, indeks yang didasarkan atas sudut pandang warga kota menjadi dasar penilaian kelayakhunian kota. Dengan hasil yang variatif, setiap tahun menujukkan skor yang meningkat. Kendati demikian, hasil survei ada 8 (delapan) faktor kelayakhunian yang masih memiliki skor rendah, yaitu tingginya biaya hidup di kota, sulitnya mendapatkan pekerjaan, mahalnya harga rumah, angkutan umum yang belum dapat diandalkan, buruknya fasilitas pejalan kaki, kualitas penataan PKL yang kurang baik, minimnya pelibatan warga dalam pembangunan, serta jarangnya penyelenggaraan event.

Best Practice

Salah satu kota di dunia yang dinobatkan sebagai World’s Most Liveable City (Kota Paling Layak Huni di Dunia) menurut Economist Intelligence (2024) adalah Wina, Austria. Kota ini telah menjadi juara bertahan sebagai kota paling layak huni sejak tahun 2021. Berdasarkan penilaian yang dilakukan terhadap 173 kota di seluruh dunia, Wina unggul dalam aspek:

1. stabilitas ekonomi, dengan skor 100;

2. pelayanan kesehatan, dengan skor 100;

3. budaya dan lingkungan, dengan skor 93,5;

4. pendidikan, dengan skor 100, serta;

5. infrastruktur, dengan skor 100.



Pamer (2019) berpendapat bahwa Wina dapat menjadi kota paling layak huni, karena sangat memperhatikan pelayanan untuk pendidikan, kesehatan, jaminan hari tua, serta mobilitas penduduk yang semuanya dibiayai oleh kontribusi pajak. Menurutnya, Wina menempatkan dirinya sebagai “partner” dari penduduk, sehingga masa depan mereka sendiri bergantung pada kesejahteraan penduduknya. Kota paling layak huni seperti Wina dapat menjadi contoh untuk meningkatkan kelayakhunian.

Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) telah meluncurkan tolak ukur penilaian kelayakhunian kota yang dikenal dengan nama Indonesia Most Livable City Index (MLCI). MLCI adalah survei berbasis persepsi warga kota yang mengevaluasi kelayakhunian tempat tinggal mereka. Tolak ukur ini tidak hanya memberikan gambaran tentang kekuatan dan kelemahan masing-masing kota besar di Indonesia, tetapi juga berfungsi sebagai panduan berharga bagi para pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pembangunan perkotaan.

Dalam era urbanisasi yang pesat dan tantangan lingkungan yang semakin kompleks, MLCI menjadi alat yang sangat relevan. Dengan memahami persepsi warga, para pengambil keputusan dapat mengarahkan upaya pembangunan ke arah yang lebih inklusif dan berdaya saing, memastikan setiap kota besar di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang menjadi tempat yang ideal untuk tinggal, bekerja, dan beraktivitas serta memberikan gambaran terkait kekuatan dan kelemahan masing-masing kota besar di indonesia.

Tantangan

Beberapa aspek tercatat selalu muncul sebagai permasalahan juga. Pada tahun 2014, masalah utama meliputi kehidupan ekonomi, kemacetan, keamanan, tingkat biaya hidup, dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Pada tahun 2017, isu yang menonjol adalah transportasi, keselamatan kota, pengelolaan air kotor dan drainase, fasilitas pejalan kaki, serta informasi pembangunan dan partisipasi masyarakat. Pada tahun 2022, masalah yang terus muncul mencakup perekonomian kota, sektor informal kota, fasilitas pejalan kaki, fasilitas kesenian dan budaya, serta informasi pembangunan dan partisipasi masyarakat. Fasilitas pejalan kaki dan informasi pembangunan serta partisipasi masyarakat menjadi sebuah tantangan dalam mewujudkan kota yang layak huni dan berkelanjutan.

Sehingga tata ruang memiliki peran sentral dalam mewujudkan konsep kota layak huni dan berkelanjutan melalui pendekatan outcomebased planning. Pendekatan ini fokus pada hasil akhir yang diinginkan. Perencanaan tata ruang yang berkelanjutan tidak hanya bertujuan untuk mengatur penggunaan lahan, tetapi juga untuk memastikan bahwa setiap rencana yang dibuat dapat menghasilkan outcome yang terukur dan signifikan bagi masyarakat. Integrasi antara outcome-based planning dengan skenario ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi kunci utama dalam menciptakan kota yang layak huni dan berkelanjutan.

Tata ruang kota yang baik membantu menciptakan lingkungan yang nyaman, teratur, dan mendukung kesejahteraan warga. Zonasi wilayah untuk berbagai keperluan seperti pemukiman, komersial, industri, dan ruang hijau dilakukan dengan jelas dan terencana. Ini membantu mencegah konflik penggunaan lahan dan memastikan setiap area dapat berkembang sesuai fungsinya. Penataan ini juga menjaga kelestarian bangunan bersejarah dan warisan budaya kota. Pemerintah Kota Solo juga menerapkan berbagai program pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial jangka panjang, seperti penggunaan energi terbarukan dan upaya konservasi air. Pemerintah kota mengajak partisipasi aktif dari warga dalam perencanaan dan pengelolaan tata ruang. Keterlibatan ini memastikan bahwa pengembangan kota sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Peran tata ruang dalam hal ini benar–benar memiliki peran yang vital, terutama pada substansi rencana. Seperti halnya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dalam mewujudkan kota layak huni, terutama dalam menjawab kriteria tolak ukur penilaian kelayakhunian kota yang dikenal dengan nama Indonesia Most Livable City Index (MLCI) yang telah disusun oleh Ikatan Ahli Perencanaan (IAP). Untuk memastikan keamanan dan kesehatan, RTRW dan RDTR harus mencakup strategi seperti pembangunan ruang terbuka hijau yang memadai, pengendalian polusi, dan pengelolaan limbah yang efektif, serta aksesibilitas fasilitas kesehatan yang merata. Selain itu, penerapan Transit-Oriented Development (TOD) dan pengembangan infrastruktur untuk pejalan kaki dan pesepeda akan mendorong penggunaan transportasi publik dan menciptakan lingkungan yang lebih ramah pejalan kaki. Zonasi wilayah yang mendukung mixeduse development juga diperlukan untuk memastikan berbagai fungsi kota dapat diakses dengan mudah.

Dokumen perencanaan jangka panjang dan menengah seperti RPJPD dan RPJMD tidak kalah penting dalam mencerminkan visi dan program yang sejalan dengan konsep kota layak huni dan berkelanjutan. Program-program berkelanjutan seperti penggunaan energi terbarukan, konservasi air, serta pengelolaan limbah yang efisien harus diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Pengembangan ekonomi lokal yang inklusif, peningkatan kualitas hidup melalui penyediaan fasilitas publik yang memadai, pendidikan berkualitas, dan layanan kesehatan yang mudah diakses, merupakan aspek penting yang harus diperhatikan.

Maka demikian secara keseluruhan, aturan tata ruang yang ada saat ini memiliki potensi besar untuk menjawab kebutuhan kota layak huni, namun implementasi dan penegakannya sering kali menjadi tantangan. Kota-kota perlu memastikan bahwa perencanaan tata ruang tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup warganya. Dengan mempertimbangkan dan mengintegrasikan faktorfaktor kelayakhuniaan dalam perencanaan tata ruang, kota-kota dapat bergerak menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan layak huni bagi semua.

Sumber/Referensi:

1. Batten, J. 2018. Citizen Centric Cities: The Sustainable Cities Index 2018.

2. Economist Intelligence. 2024. The Global Liveability Index 2024. The Economist Intelligence Unit.

3. Global Platform for Sustainable Cities, World Bank. 2018. Urban Sustainability Framework. Washington, DC: World Bank.

4. Ikatan Ahli Perencanaan (IAP). 2022. Indonesia Most Livable City Index

5. Maulana, Syahrir. 2024. Surakarta City. Diambil dari Pemandangan Udara Pemandangan Indah Di Pagi Hari Di Kota Solo Foto Stok - Unduh Gambar Sekarang - iStock (istockphoto.com)

6. Republik Indonesia. 2022. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2022 Tentang Perkotaan. Presiden Republik Indonesia.

7. Republik Indonesia. 1945. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

8. Pamer, Volkmar. 2019. Urban Planning in The Most Liveable City: Vienna. Urban Research & Practice. DOI: 10.1080/17535069.2019.1635728

9. Siemens. (2009). The Crystal – What is Urban Sustainability? Diambil dari https://assets.new.siemens.com/siemens/assets/ public.1551285748.90627521-4620-4b1d-9dc6-d94563b93a46.what-is-urban-sustainability-v1.pdf

10. World Bank & GEF. (2018). Urban Sustainability Framework (USF), 1st ed. In Urban Sustainability Framework (USF), 1st ed. (p. 11). Washington DC: International Bank for Reconstruction and Development, World Bank.

 

Sumber : Oleh Miftahul Jannah Jan Ramadhani, S.P.W.K, Andita Aghatia, dan Luqmanul Hakim, dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi II (Mei - Agustus 2024) 

Senin, 09 Januari 2023

10 Kota Dunia dengan Konsep Sustainable City

Trend kota berkelanjutan di dunia terlihat dari penggunaan energi terbarukan hingga memiliki rute bersepeda, tempat pengisian kendaraan listrik, dan banyak ruang hijau untuk melawan perubahan iklim dan emisi gas rumah kaca.



SITUS uswitch yang merupakan situs perbandingan harga untuk konsumen di dunia memilih kota-kota paling berkelanjutan dan ramah lingkungan. Uswitch melihat energi setiap kota, infrastruktur transportasi, keterjangkauan, polusi, kualitas udara, emisi CO2, dan persentase ruang hijau.

1.     Canberra, Australia

Ibu kota Australia sangat bergantung pada energi bertenaga surya dan ladang angin untuk energi kota mereka. Canberra tidak hanya menyediakan kehidupan yang berkelanjutan bagi penduduknya, tetapi juga memiliki program untuk memastikan bahwa 94% penduduknya memiliki akses internet untuk menjadikan Canberra sebagai kota yang terhubung

2.     Madrid, Spanyol

Kota ini telah menciptakan inisiatif berkelanjutan selama bertahun-tahun karena walikota telah mengumumkan bahwa hutan Madrid perlu dilindungi dengan cara apa pun, ini menyebabkan Madrid menjadi kota yang hijau. Penggunaan energi berkelanjutan untuk transportasi telah menarik perhatian banyak orang.

3.     Brisbane, Australia

Brisbane memiliki berbagai tanaman dan satwa liar asli yang sehat serta kawasan habitat yang terlindungi dan terhubung dengan baik, bebas dari spesies invasif. Dengan beberapa tujuan untuk tahun 2031 adalah 40% daratan Brisbane akan menjadi habitat alami dan rata-rata emisi karbon rumah tangga dari energi, limbah, dan transportasi akan setara dengan enam ton karbon dioksida per tahun.

4.     Dubai, Uni Emirate Arab

Dubai memiliki pembangunan perumahan yang disebut ‘Kota Berkelanjutan’. ‘Kota’ ini mendaur ulang air dan limbahnya serta menghasilkan lebih banyak energi daripada yang dikonsumsinya. Dubai bertujuan untuk mendapatkan 75% energinya dari sumber yang bersih dan terbarukan pada 2050.

5.     Copenhagen, Denmark

Di Copenhagen lebih banyak orang menikmati bersepeda daripada menggunakan kendaraan untuk berkeliling, dengan hanya 29% rumah tangga yang memiliki mobil membantu mereka mencapai tujuan menjadi kota netral CO2 pertama. Makan organik adalah bagian besar kota dengan seperempat dari total penjualan makanan di kota adalah produk organik.

6.     Frankfurt, Jerman

Tujuan utama Frankfurt adalah untuk mengurangi emisi CO2 mereka sebesar 50% pada 2030. Emisi CO2 mereka terutama berasal dari pembakaran bahan bakar fosil dan industri beton mereka. Pada 2000 Frankfurt membuat komitmen untuk menjadi kota paling ramah lingkungan di dunia.

7.     Hamburg Jerman

Jalur sepeda, mobilitas berbasis listrik, pengelolaan sampah, pembangunan kembali lingkungan adalah beberapa praktik positif yang dilakukan Hamburg. Kota ini tengah menuju untuk menjadi ‘kota hijau’ Eropa karena ruang hijau, area rekreasi dan hutan mencapai 16,5% dari wilayah metropolitan.

8.     Praha, Republik Ceko

Praha menerapkan infrastruktur transportasi khusus, dukungan mobil dan sepeda listrik serta pembatasan emisi CO2 . Dewan Kota Praha menyetujui komitmen kota untuk mengurangi emisi CO2 sebesar 45% pada tahun 2030 dan menghilangkannya sepenuhnya paling lambat pada tahun 2050.

9.     Abu Dhabi, Uni Emirat Arab

Kota ini bergantung pada energi matahari dan sumber energi terbarukan lainnya dan dirancang untuk menjadi pusat bagi perusahaan teknologi bersih. Abu Dhabi adalah rumah bagi kluster teknologi bersih yang berkembang pesat, zona bebas bisnis, dan lingkungan perumahan dengan restoran, toko, dan ruang hijau publik.

10. Zurich, Swiss

Kota ini berfokus pada efisiensi energi karena warga dan pendatang didorong untuk berjalan kaki atau menggunakan transportasi umum. Rumah baru dan bangunan umum harus mematuhi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan yang ketat. Industri dan bisnis mereka secara teratur dimintai pertanggungjawaban atas penggunaan energi atau tujuan pengurangan limbah.

 




Dalam melakukan pemeringkatan ini uswtich mempertimbangkan tingkat kejahatan, keterjangkauan properti, tingkat lalu lintas (termasuk waktu perjalanan, emisi CO2 dan inefisiensi sistem lalu lintas), tingkat polusi (udara, air dan jenis yang lebih kecil), penggunaan energi terbarukan. Semua angka dikumpulkan dari data Nomad dan Numbeo, per 19 April 2021.

 

Sumber: KIPRAH Vol 111 th XX | Oktober 2021

Kota Berkelanjutan Bebas Karbon

Dalam mewujudkan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, sebagaimana tertuang dalam New Urban Agenda, Kementerian PUPR menimplementasikannya dalam berbagai kebijakan dan pembangunan infrastruktur fisik.

SABAN tahun, setiap bulan Oktober dunia memperigati Hari Habitat Dunia (HHD) dan Hari Kota Dunia (HKD). Pada tahun ini, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menghelat peringatan hari istimewa itu dengan beragam kegiatan dalam bingkai tema “Mempercepat aksi di lingkungan permukiman perkotaan untuk mewujudkan dunia bebas emisi karbon, dengan mewujudkan Kota Adaptif dan mempunyai ketahanan terhadap perubahan iklim (Accelerating urban action for carbon free world Adapting Cities for Climate Resilience)”.

Peringatan HHD oleh negara-negara anggota Perserikatan BangsaBangsa (PBB) setiap tahunnya, termasuk Indonesia adalah komitmen dalam mengurangi emisi karbon. Selain itu peringatan ditujukan untuk mengulang ajakan kepada masyarakat untuk melakukan aksi-aksi nyata dalam menghadapi fenomena perubahan iklim dan mengkampanyekan cara kita untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Menteri PUPR Basuki Hadimuljono menegaskan, pengalaman yang baik dalam mewujudkan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, yang tertuang dalam New Urban Agenda, bukan hanya sebatas konsep atau teori yang tidak implementatif. “Kegiatan nyata berdampak dan bermanfaat luas, berkelanjutan, serta dapat direplikasi,” kata Menteri Basuki.

Sementara itu, Direktur Jenderal (Dirjen) Cipta Karya Diana Kusumastuti mengatakan, untuk mendukung pengurangan emisi karbon, Kementerian PUPR telah menerbitkan peraturan terkait pembangunan infrastruktur ramah lingkungan melalui Permen PUPR No. 9 tahun 2021 tentang Pedoman Penyelenggaraan Konstruksi Berkelanjutan dan Peraturan Menteri PUPR No. 21 Tahun 2021 tentang Penilaian Kinerja Bangunan Gedung Hijau (BGH). Secara fisik penerapan konsep BGH ini telah diwujudkan dalam pembangunan sejumlah gedung seperti, Gedung Kantor Pusat Kementerian PUPR Jalan Pattimura 20, Kebayoran Baru Jakarta Selatan, pasar tradisional, rumah susun hemat energi, termasuk dalam pemanfaatan energi terbarukan untuk pengoperasian bangunan Gedung.

“Beberapa bangunan gedung yang didirikan di Kementerian PUPR sudah mendapatkan penghargaan tingkat ASEAN untuk kategori Bangunan dengan Tingkat Penggunaan Energi Efisien (Energy Efficient Building) pada Kategori Bangunan Tropis,” kata Diana. Selain itu, sambungnya, upaya mengurangi karbon dari sektor persampahan dilakukan dengan melanjutkan program-program pengelolaan sanitasi (air limbah domestik dan persampahan) melalui pelaksanakan kegiatan sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.

Pengelolaan persampahan dalam RPJMN 2020-2024 ditargetkan 80% sampah ditangani dan 20% pengurangan sampah. Pemerintah Pusat melalui Kementerian PUPR juga mendukung pemerintah daerah untuk penanganan sampah berupa bantuan dalam penyediaan infrastruktur Tempat Pemrosesan Akhir (TPA).

“Dan untuk mendukung pemenuhan target 20% pengurangan sampah dilakukan dengan mendukung penyediaan Tempat Pengolahan Sampah dengan prinsip Reuse, Reduce, and Recyle (TPS 3R) maupun penyediaan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST), melalui alokasi anggaran setiap tahun,” kata Diana.

Selain pengurangan emisi karbon, Kementerian PUPR juga membangun infrastruktur yang membantu kota lebih tangguh untuk beradaptasi dengan perubahan iklim, antara lain melalui pembangunan Terowongan Air Nanjung untuk atasi banjir di Kawasan Metropolitan Bandung; Tanggul Pantai Jakarta Utara untuk mengantisipasi naiknya permukaan air laut (sea level rise); bendungan untuk irigasi dalam rangka menjamin ketahanan pangan; serta pemanfaatan sampah plastik untuk campuran aspal.

Sementara itu, Putu Ayu Saraswati sebagai Putri Indonesia Lingkungan 2020 mengatakan, perubahan iklim merupakan sumber dari berbagai banyak bencana seperti banjir bandang, kenaikan permukaan laut, dan banyak jenis bencana-bencana yang merusak tempat tinggal dan lingkungan kita serta merenggut tidak sedikit nyawa manusia dan makhluk hidup lainnya.

“Semua permasalahan tersebut sumbernya adalah perubahan iklim, dan kita memiliki andil yang sangat besar dalam memperburuk atau memperbaiki lingkungan ke depannya,” terangnya dalam peringatan Hari Habitat Dunia tahun 2021 di Kementerian PUPR. Putu Ayu Saraswati menyampaikan “betapa pentingnya pengurangan emisi karbon di perkotaan, dan bagaimana kita semua memiliki peran yang sangat krusial untuk mengambil bagian dalam pengurangan emisi karbon ini, karena di perkotaan merupakan pusat aktifitas kita sehingga jumlah emisi karbon yang dihasilkan di perkotaan sangat tinggi,” jelasnya.

Cerdas, Modern, Tahan Bencana

Seperti yang diungkapkan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono, pengalaman yang baik dalam mewujudkan pembangunan perkotaan yang berkelanjutan, yang tertuang dalam Agenda Baru Perkotaan (New Urban Agenda), bukan hanya sebatas konsep atau teori yang tidak implementatif. Kementerian PUPR telah mengerahkan segala upaya untuk mewujudkannya.

Pada 2030 mendatang, “wajah” kotakota di Indonesia saai ini sudah dan sedang didesain dengan memperhatikan beberapa aspek seperti keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Selain itu, kota-kota di Indonesia bakal memperhatikan aspek-aspek ketahanan terhadap bencana, kota cerdas, dan modern (sesuai dengan standar perkotaan internasional).


Kota-kota di Indonesia ditegaskan Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono harus bersifat inklusif dan berkelanjutan. Selain itu, memiliki layanan dasar dan perumahan yang aman dan terjangkau, serta mempromosikan pembangunan ekonomi lokal. Tidak hanya itu, pada 2030 “wajah” kota-kota di Indonesia dirancang tanpa limbah, karbon rendah, dan mempunyai ruang terbuka hijau publik. Kemudian sistem transportasi
yang mampu menjangkau untuk semua warga kota dan juga menjamin keselamatan jalan. Untuk menuju ke sana, Indonesia perlu mempercepat pembangunan infrastruktur, terutama di perkotaan dimana lebih dari 50% masyarakat Indonesia saat ini tinggal.

Untuk itu Kementerian PUPR telah melakukan perencanaan dan pemrograman pembangunan infrastruktur terpadu untuk beberapa kawasan perkotaan, seperti kawasan metropolitan, kota baru, kota perbatasan, serta kota yang tangguh terhadap bencana. Hal itu dilakukan untuk mempercepat tercapainya Agenda Baru Perkotaan (New Urban Agenda).

Hal tersebut merupakan aksi nyata Visi Jangka Panjang Kementerian PUPR (Visium) hingga 2030. Untuk sektor Sumber Daya Air diproyeksikan membangun kapasitas air baku mencapai 120 m3 /kapita/tahun. Sektor Bina Marga diproyeksikan dapat mencapai Kondisi Jalan Mantap 99 persen, Konstruksi Jalan Tol mencapai 2.000 Km, 3.000 Km Jalan Nasional Baru, dan Pembangunan Jembatan Baru mencapai 70.000 meter.

Sedangkan sektor Cipta Karya ditargetkan mencapai 100 persen untuk akses air minum, 0 persen (nol persen) kota yang bebas kumuh, dan 100 persen untuk akses terhadap sanitasi yang layak. Untuk sektor Perumahan diantaranya diharapkan dapat memenuhi 3 Juta kekurangan pasokan (backlog) rumah untuk masyarakat berpenghasilan rendah


Sumber: KIPRAH Vol 111 th XX | Oktober 2021

Kamis, 20 Oktober 2022

KOTA BERKELANJUTAN: PARADIGMA MASA KINI

Fenomena demografis global menunjukkan fakta bahwa lebih dari separuh penduduk dunia berada di kawasan perkotaan pada awal dekade kedua abad ke-21. Fenomena ini memerlukan perhatian kita bersama. Kawasan perkotaan yang semakin berkembang menuntut kebutuhan prasarana dan sarana yang semakin berkualitas. Perkembangan kawasan perkotaan tersebut berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun perkembangan tersebut juga menimbulkan implikasi pada meningkatnya tuntutan terhadap ruang perkotaan yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

Sebagai respon atas perkembangan kota yang semakin kompleks tersebut, maka menjadi keniscayaan bahwa perencanaan kota secara konvensional harus diubah menjadi perencanaan kota yang progresif dan implementatif. Progresif berani tanggap terhadap perkembangan kota yang berjalan cepat dan juga terhadap isu perubahan iklim.

Caranya adalah mengadopsi prinsip pengembangan perkotaan berkelanjutan (sustainable urban development). Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi kini tanpa membahayakan kemampuan generasi mendarang untuk dapat memenuhi sendiri kebutuhan mereka. Prinsip ini menyelaraskan 3 (tiga) aspek yaitu ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan, dengan fondasi urban governance. Sedangkan implementatif berarti mampu mentransformasi teori menjadi praktis nyata yang sistematis.

Pembangunan perkotaan berkelanjutan perlu diawali dengan perencanaan tata ruang yang harus selesai pada semua level, yaitu nasional, regional dan lokal. Syarat ini memastikan bahwa pendekatan komprehensif sudah dilakukan, rermasuk pada kawasan perkotaan.

Kota yang berkelanjutan perlu menjadi prioriras pada pembangunan saat ini. Mengapa? Karena akan membantu pengambilan kebijakan pada penyediaan kebutuhan pelayanan, mengurangi biaya pembangunan infrastrukrur akibar pelayanan rerhadap penduduk lebih terkonsentrasi, serta meningkatkan kerjasama pemerintah dengan pihak swasta.

Pada level nasional, instrumen yang harus dikembangkan adalah Kebijakan dan Strategi Perkotaan Nasional (KSPN) serta Sistem Perkotaan Nasional dalam RTRWN. Instrumen ini untuk mewujudkan pemerataan pembangunan wilayah. Selain itu instrumen tersebut akan memandu pemerintah daerah dalam memanfaatkan urbanisasi sebagai potensi pembangunan perkotaan, khususnya bagi Indonesia sebagai negara berkembang.

Sementara itu, pada level regional dan lokal, pemerintah daerah sangat berperan penting dan besar pada implemenrasi pembangunan perkotaan secara efekrif dan efisien sesuai dengan karakrerisrik dan isu-isu lokal. Ini karena merekalah yang sangat dekat dengan masyarakat secara langsung.

Dalam konsep pengembangan perkotaan yang berkelanjutan, kita perlu memahami bahwa keberlanjutan bukanlah tujuan akhir pengembangan perkotaan. Keberlanjutan adalah proses yang dilakukan secara terus-menerus untuk mewujudkan kualitas ruang perkotaan yang mampu menyejahterakan warga masyarakatnya.

Oleh sebab itu, dalam rangka mendorong perubahan paradigma pengembangan perkotaan yang visioner, tanggap terhadap bencana dan perubahan iklim, mampu menggali kearifan lokal, serta didukung oleh kapasitas kelembagaan dan tata kelola yang baik, SUD Forum Indonesia (SUD-FI) menyuguhkan pemikiran dan gagasan yang ditulis oleh para anggotanya yang tertuang dalam 4 (empat) kluster yaitu Planet, People, Prosperity, dan Governance.

Keempat kluster ini adalah ejawantah 3 (tiga) aspek pembangunan berkelanjutan (lingkungan, sosial, ekonomi) serta dibina melalui tata kelola yang baik. Keempat kluster tersebut mengakomodasi berbagai isu pengembangan perkotaan berkelanjutan yang saat ini tengah menjadi fokus berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia.

CLUSTER PLANET: LINGKUNGAN BAGI KOTA BERKELANJUTAN

Pada kluster pertama, Planet, gagasan rerkait penjagaan kualitas lingkungan menjadi sangat penting. Pengembangan kota yang tanggap rerhadap bencana dan perubahan iklim adalah tantangan yang memerlukan upaya yang tak sedikit. Seperti kita ketahui, posisi Indonesia di kawasan pertemuan 3 (tiga) lempeng dunia ini mengakibatkan rawan bencana geologi (antara lain: gempa bumi, tsunami, gunung berapi, dan gerakan tanah).

Di sisi lain, kondisi alam Indonesia saat ini mengalami degradasi fisik dan habitat akibat kelalaian pemanfaatan ruang sehingga menimbulkan bencana alam seperti banjir, longsor, kebakaran huran, intrusi air laur, dan kekeringan. Fenomena perubahan iklim dan pemanasan global pun turut mengakibatkan degradasi kualitas dan fungsi lingkungan perkotaan. Dengan demikian, tidak bisa dipungkiri bahwa kota-kota di Indonesia umumnya, terutama yang berada di wilayah pesisir, menjadi sangat rentan terhadap bencana dan perubahan iklim.

Berdasarkan tantangan tersebur, tentunya menjadi keharusan mengembangkan perkotaan dengan konsep yang tak hanya mementingkan pertumbuhan ekonomi semata. Perhatian terhadap aspek lingkungan menjadi sangat penting. Karena itu muncullah prakarsa kota lestari, kota hijau, dan revitalisasi kota tepi air yang saat ini tengah digalakkan.

Selain itu, telah ditegaskan komitmen bersama prakarsa kota lestari oleh sekitar 491 pemerintah kota dan kabupaten untuk bekerja sama mewujudkan kota-kota berkelanjutan di wilayah masing-masing. Semua prakarsa dan komitmen tersebut adalah langkah awal menuju implementasi pembangunan perkotaan yang berkelanjutan.

Sementara itu pengembangan kota hijau di beberapa kota di Indonesia, antara lain melalui perwujudan tiga puluh persen ruang rerbuka hijau (RTH) sesuai amanat Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, juga menjadi salah satu upaya serius. Tentu saja implementasi kota hijau tidak hanya dicapai melalui pemenuhan RTH, namun juga menjangkau berbagai aspek lain seperti infrastruktur hijau/biru, transportasi ramah lingkungan, pejalan kaki dan pesepeda, dan peran komunitas perkotaan.

Konsep kota hijau (green city) yang tengah diadaptasi dalam Program Pengembangan Kota Hijau (P2KH) oleh Kementerian Pekerjaan Umum c.q. Direktorat Jenderal Penataan Ruang adalah sebuah konsep pengembangan perkotaan berkelanjutan yang mengadopsi prinsip perencanaan kota yang progresif dan implementatif.

Kota hijau adalah terobosan baru dalam pembangunan kota yang memfokuskan pencapaian sasaran ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan secara terintegrasi. Kota hijau tercermin dalam bemuk kota yang ramah lingkungan, dihuni oleh orang-orang dengan kesadaran menghemat energi, air, dan makanan, serta mengurangi buangan limbah, pencemaran udara, dan pencemaran air.

Umuk mewujudkannya, setiap kota diharapkan menerapkan standar lingkungan kota hijau sesuai dengan 8 (delapan) atribut kota hijau yang meliputi green planning and design, green open space, green waste, green transportation, green water, green energy, green building, dan green community. Kedelapan atribut tersebut tidak dapat berdiri sendiri, namun menjadi sebuah sistem yang memiliki ketergantungan dan mempengaruhi satu sama lain.




CLUSTER PEOPLE: POTENSI MASYARAKAT KOTA BERKELANJUTAN

Selain aspek lingkungan, keberadaan masyarakat sebagai pengisi Bumi adalah elemen penting untuk mendongkrak pencapaian pembangunan perkotaan yang berkelanjutan sebagaimana yang diuraikan dalam kluster kedua tentang People. Indonesia adalah negara yang kaya akan keanekaragaman budaya, etnis, suku, dan ras. Lebih dari 389 suku bangsa yang memiliki adat istiadat, bahasa, tata nilai, dan budaya yang berbeda-beda (Asian Brain, 201 0). Dengan potensi tersebut, maka kearifan lokal yang ada perlu dilestarikan, dijaga kesinambungannya, dan menjadi pijakan perencanaan dan perancangan lingkungan binaan berkelanjutan.

Kearifan lokal dipandang sebagai identitas kota berkelanjutan, karena dibentuk dalam wakru yang lama melalui proses sejarah yang panjang. Kearifan tersebut termanifesrasi dalam benruk kelembagaan, nilai-nilai adat, serta tata cara dan prosedur, termasuk dalam pemanfaatan ruang (tanah ulayat).

Salah satu upaya Kemenrerian Pekerjaan Umum c.q. Direkrorar Jenderal Penataan Ruang mengadaptasi kearifan lokal ke dalam identitas kota adalah Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) yang bekerjasama dengan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI). Dengan adanya komitmen pemerintah kota dan kabupaten dalam menyusun kebijakan pelestarian berbagai pusaka alam dan budaya di wilayahnya sebagaimana yang digagas dalam kegiatan P3KP, diharapkan lingkungan fisik kota dapat ditata dengan unsur kehidupan budaya.

Persoalan kota lain yang dihadapi masyarakat adalah kebutuhan perumahan dan permukiman yang layak sebagai tempat tinggal. Saat ini masyarakat dihadapkan pada persoalan terbatasnya lahan, yang berimplikasi pada meningkatnya backlog perumahan setiap tahunnya.

Persoalan ini diperkeruh dengan persoalan pembiayaan perumahan itu sendiri. Terlebih lagi, kebijakan penyediaan perumahan khususnya, di kawasan perkotaan, belum sepenuhnya berpihak bagi kalangan masyarakat berpenghasilan rendah. Dengan demikian, diperlukan terobosan efektif untuk mengatasinya, antara lain melalui pembangunan kampung susun, rumah sederhana, hingga rumah apung. Dengan demikian tingginya kebutuhan perumahan tersebut tak akan mengabaikan kendala lingkungan dan berprinsip pada pemanfaaran lahan yang terkonsentrasi dan intensitas tinggi (compact city).

CLUSTER PROSPERITY: POTENSI EKONOMI KOTA BERKELANJUTAN

Selain unsur lingkungan dan sosial, unsur ekonomi juga merupakan hal yang tidak dapat diabaikan dalam mewujudkan kota berkelanjutan. Sebagaimana yang dijelaskan dalam kluster ketiga, Prosperity, dengan memandang urbanisasi sebagai berkah bagi pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja, pengembangan ekonomi lokal, termasuk kontribusi sektor informal, menjadi salah satu upaya untuk menggerakkan roda perekonomian kota. Tanpa kita sadari, kontribusi sektor informal terhadap pertumbuhan ekonomi cukup signifikan, sehingga ruang sektor informal perlu dipertimbangkan dalam mengelola kota.

Di samping itu, upaya membangun citizenship dalam pengelolaan kota dipandang penting karena melalui upaya ini maka kesadaran warga kota atas peran, hak, dan kewajibannya dalam suatu komunitas kota akan terbangun. P2KH adalah program yang diinisiasi Pemerintah untuk meningkatkan urban citizenship. Dari program tersebur diharapkan terbentuk kesadaran bersama di antara warga masyarakat untuk mewujudkan kota ya ng berkelanjutan dengan mengotimalkan potensi lokal sebagai modal sosial, ekonomi, dan lingkungan. Dengan terbentuknya kesadaran warga, maka pengelolaan kota menjadi lebih efektif dan efisien yang berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat kota.

Aspek lain yang terkait dengan kluster ini adalah upaya mewujudkan transportasi berkelanjutan sebagai pendorong aktivitas perekonomian kota. Selain itu transportasi berkelanjutan diharapkan mewujudkan kota yang ramah pejalan kaki (walkable city), hemat energi dan rendah carbon (low carbon city), serta berorentasi pada transit.

Umuk menangani masalah transportasi yang demikian kompleks, diperlukan terobosan-terobosan yang mampu mengatasi permasalahan sampai pada akarnya, tidak hanya permasalahan yang tampak di depan mata. Sebagai contoh, upaya penanganan masalah kemacetan di Jakarta seyogyanya tidak dilakukan dengan cara-cara yang instan seperri pembangunan jalan baru, jalan layang, bahkan pengembangan jaringan jalan tol dalam kota. Namun perlu dipikirkan upaya yang menyentuh akar permasalahan mengapa kemacetan tersebut terjadi. Berbagai upaya untuk mengatasi kemacetan tersebut telah dan sedang dilakukan, baik di level makro maupun mikro.

Di level makro, dilakukan pengendalian pembangunan kota-kota baru di sekitar Jakarta yang akan menambah beban transportasi bagi Jakarta. Sedangkan di level mikro mikro, dilaksanakan perbaikan kerusakan jalan, pelebaran jalan, dan pembangunan jalan layang pada persimpangan jalan yang padat maupun perlintasan jalan dengan rel kerera api.

CLUSTER GOVERNANCE: TATA KELOLA YANG BAlK DEMI PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN

Dari aspek tata kelola kota yang dihimpun dalam kluster keempat, Governance, telah menjadi suatu keharusan bagi seluruh pihak termasuk pemerintah dan masyarakat untuk memiliki komitmen mengelola kota yang visioner. Pengelolaan kota harus diarahkan pada suatu pencapaian tujuan pembangunan jangka panjang. Partisipasi seluruh stakeholder secara inklusif dalam pengelolaan kota sangat diperlukan dalam rangka membangun kesepahaman bersama tentang cara mewujudkan kota yang nyaman untuk ditinggali para warganya.

Good governance (tata kelola yang baik) berprinsip pada partisipatori, akunrabilitas, efektivitas, pemerataan dan mendorong kekuatan hukum yang didasarkan pada broad commitment rerhadap masyarakat dan masyarakat miskin (pro-poor) dalam pengambilan kepurusan kebijakan publik. Penetapan good governance pada tingkat lokal, khususnya pemerintah kota/kabupaten akan mendorong kota berkelanjutan melalui berbagai kebijakan yang lebih pro-poor dan pro-public.

Sebagai contoh, Kota Solo dengan city branding sebagai kota budaya serta didukung oleh visi dan misi yang berpihak pada kaum marjinal telah membawa kota tersebut menjadi kota yang sangat didambakan warganya. Tentunya keberhasilan Solo tersebut tidak terlepas dari tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel dengan mengedepankan paradigma pro-poor

Dengan uraian dari keempat kluster rersebur, sudah menjadi sebuah keniscayaan bahwa kota berkelanjutan sebagai paradigma pembangunaan saat ini dapat dicapai apabila dilakukan atas dasar komitmen bersama dan dilakukan dengan melibarkan partisipasi semua pihak secara bersama-sama. Hal yang penting lainnya adalah bahwa rencana tata ruang sebagai tools pengelolaan dan pengembangan kota perlu dijadikan sebagai acuan dalam rangka mewujudkan pembangunan kota yang berkelanjutan.

Dalam menyikapi tujuan keberlanjutan, maka efektivitas upayanya ditentukan oleh keberadaan 2 (dua) hal yang fundamental, yaitu protection entry dan development entry. Protection entry berprinsip bahwa aspek perlindungan lingkungan harus didahulukan agar telapak ekologis tidak semakin besar serta berpeluang untuk mendorong economic development dan social development.

Penerapan pada prinsip proteksi dalam perencanaan menjadi penting untuk menetapkan ruang-ruang perkotaan mana saja yang harus dilindungi serta menerapkan daya dukung dan daya tampung lingkungan.

Sementara itu dalam development entry pengembangan perkotaan harus berprinsip pada pengendalian pemanfaatan ruang yang efektif dan efisein. Hal yang dapat dilakukan di sini salah satunya adalah penerapan intensifikasi dan konsentrasi ruang dan kegiatan seperti konsep compact city termasuk di dalamnya transit oriented development (TOD), ramah pejalan kaki, serta membatasi perkembangan kota secara horisontal sehingga tidak akan menggerus perdesaan.

Dengan demikian, pembangunan perkotaan berkelanjutan juga berprinsip bahwa wilayah perdesaan sebagai sumberdaya alam bagi kawasan perkotaan (rural-urban Linkage) juga harus dipertahankan (pro-rural) agar terjadi keseimbangan antara perkotaan dan perdesaan.

Untuk mewujudkan pembangunan kota berkelanjutan, maka upaya-upaya yang dilakukan secara konkrit adalah yang berpihak pada pelestarian lingkungan yang didorong oleh peran Pemerintah kepada pemerintah daerah melalui program-program yang nyata dan kreatif serta berbasis penataan ruang.

Berbagai upaya tersebut dapat tercermin di dalam berbagai konsep tematik kota berkelanjutan seperti competitive city, creative city, resilient city, heritage city, inclusive city, active city, techno city, smart city, productive city, safe and health city dan sebagainya yang sedikit-banyak dijawab dengan kota hijau (green city) secara keseluruhan.

Dengan menggunakan berbagai prinsip pembangunan perkotaan berkelanjutan di atas, diharapkan ke depan kota-kota di Indonesia yang lebih layak huni, berjati diri, produktif dan berkelanjutan dapat diwujudkan secara sistematis

 

 

 

Sumber: Oleh Ruchyat Deni Djakapermana, dalam KOTA INDONESIA BERKELANJUTAN UNTUK SEMUA, Penerbit: Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang & SUD Forum Indonesia.

 

Kamis, 13 Oktober 2022

KONSEP PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN DALAM PERSPEKTIF TATA KELOLA

ARTI PENGELOLAAN PERKOTAAN

Dalam dunia ilmiah, kesepakatan mengenai definisi "pengelolaan kota/perkotaan" (Urban Management (UM) sulit dicapai. Akan tetapi secara prinsipil, pengelolaan perkotaan hampir selalu digambarkan berfokus pada pendekatan manajemen interdisiplin lintas bidang pengetahuan profesional konvensional.

Pada umumnya UM dipelajari untuk menyiapkan pengetahuan yang tidak terlihat (insight) ke dalam solusi-solusi berorientasi praktis yang dapat diterapkan dalam tataran akrivitas pengelolaan kota sehari-hari. Dalam UM biasanya bergabung berbagai pengalaman yang pernah diperoleh berbagai pemerintah daerah , LSM, sekror bisnis/swasta, dan juga konsep-konsep yang dipromosikan oleh organisasi-organisasi pembangunan internasional seperti World Bank, UNDP, dan lain-lain.

RAGAM DEFINISI PENGELOLAAN PERKOTAAN

Beberapa ahli bahkan menyatakan bahwa bahwa pengelolaan perkotaan itu tidak bisa didefinisikan," Urban management is an elusive concept, which escapes definition." (Stren, 1993; Mattingly, 1994). Akan tetapi beberapa ahli lain berusaha membuat definisi dengan merinci cakupan dari UM itu sendiri. Clarke (1991) mendefinisikan pengelolaan perkotaan termasuk mengelola sumberdaya ekonomi perkotaan, rerutama lahan dan aset lingkungan buatan , menciptakan lapangan kerja, dan menarik investasi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang tersedia.

Pakar lain menyatakan bahwa UM mengacu pada struktur politik dan administrasi kota dan tantangan utama yang dihadapi dalam menyediakan layanan infrastruktur sosial dan fisik (Wekwete dalam Rakodi (1997)). Meine Pieter van Dijk dalam Urbanicity (2006) mendefinisikan UM sebagai usaha mengkoordinasikan dan mengintegrasikan tindakan publik dan swasta untuk mengatasi masalah utama yang dihadapi penduduk kota dan mewujudkan kota yang lebih berdaya saing, adil, dan berkelanjutan.

Akan tetapi jika bisa disarikan secara pendek, maka definisi UM tersebut kurang lebih adalah: pengambilan peran aktif dalam pengembangan, pengelolaan dan pengkoordinasian sumberdaya untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan kota/perkotaan tertentu. Atau lebih singkat lagi adalah "peletakan perencanaan ke dalam praktek".

PERSOALAN APA YANG DISOROTI UM?

UM biasanya menyoroti hal-hal yang terkait dengan persoalan-persoalan berat yang biasa dihadapi pembangunan perkotaan. Persoalan tersebut antara lain adalah degradasi lingkungan, pertumbuhan kota yang tidak terkendali, kacaunya sistem pertanahan, sistem perencanaan dan pengambilan keputusan yang kurang tepat, kondisi pekerjaan dan perumahan permukiman yang tidak memadai, ketidakcukupan infrastruktur, utilitas, dan polusi udara, hingga kemunduran kawasan bersejarah di kota.

Dari skema yang disusun oleh Machlis et.al (2002) berikut tampak bahwa ada 5 (lima) aliran materi yang harus dikelola oleh pengelola suatu kota/perkotaan, agar pembangunannya berkelanjutan.


FOKUS PENTING DALAM MASALAH PENGELOLAAN PERKOTAAN

Dalam menetapkan fokus pada masalah kota yang terpenting atau paling strategis, justru isu utamanya adalah siapa yang menetapkan masalah paling penting tersebut? Pemerintah daerah? Atau siapakah yang akan membantu dan berkolaborasi dengan manajer kota menetapkan persoalan yang paling penting tersebut? Setiap pihak bisa mempunyai sudut pandang dan kepentingan yang berbeda.

Menurut World Bank dalam The Urban and City Management Course, contoh isu-isu kunci yang harus ditangani oleh seorang pengelola kota adalah:

• tata kelola/kepemerintahan (governance)

• pembiayaan kota

• daya saing kota

• penguatan kapasitas untuk menarik investasi sektor privat dan penyediaan lapangan pekerjaan

• kapasitas untuk penyediaan pelayanan umum/publik secara efisien

• kapasitas manajeriallingkungan

MENCARI KONTEKS PENGELOLAAN PERKOTAAN DALAM PEMBANGUNAN KOTA BERKELANJUTAN DI INDONESIA

Pendekatan terpadu untuk pengelolaan perkotaan pada dasarnya adalah penanganan simultan dari keseluruhan isu isu penting perkotaan yang terkait satu dengan lainnya. Oleh karena itu, hal ini menuntut lebih banyak lagi keterlibatan semua pemangku kepentingan yang ingin berperan aktif, sehingga akan muncul lebih banyak lagi tuntutan pelaksanaan tindakan-tindakan multi-sektoral. Implikasi pendekaran terpadu seperti ini berimplikasi pada pengelola kota yang memerlukan wewenang, tanggung jawab dan kewajiban yang jelas. Lebih dari itu, diperlukan adanya desentralisasi yang lebih jelas dalam pembangunan kota dan/atau perkotaan.

Mattingly (1994; 1995) menggarisbawahi pentingnya isu 'tanggung jawab' yang menyatu ke dalam konsep pengelolaan itu sendiri, terutama di dalam suaru skenario kelembagaan yang terpecah-pecah seperti di negara-negara sedang berkembang (tanggung jawab dan kewajiban dalam hal ini ridak mudah didefinisikan). Oleh karena itu, dalam mencari konteks pengelolaan perkotaan di Indonesia yang dibutuhkan adalah skenario keterpaduan atau koordinasi. Disini tanggung jawab dan kewajiban dibuat dan ditetapkan tidak semata-mata melalui cara-cara otoritas/kewenangan ataupun alokasi administratif tugas-tugas. Tanggung jawab dan kewajiban tersebut dihasilkan melalui debat, diskusi dan negosiasi antar seluruh pelaku yang berkepentingan.

Sementara itu pemerintah di negara maju tak lagi menjadi penyedia layanan publik secara tradisional. Secara pelan tapi pasti, mereka berubah hanya menjadi fasilitator proses-proses tempat masyarakat (dan juga sektor bisnis/swasta) mengartikulasikan kepentingan, memediasi perbedaan yang timbul, dan melaksanakan hak-hak hukum dan kewajiban-kewajiban. Pada intinya, di dunia telah terjadi pergeseran dari manajemen kota tradisional ke arah tata kelola/kepemerintahan. Pergeseran ini lebih melibatkan semua pemangku kepentingan utama kota dalam pengelolaan kota/perkotaannya.

Cakupan tata kelola ini lebih luas. ]oris van Etten dan Leon van den Dool (2001) mengatakan, tata kelola yang baik di tingkat kota tak hanya berhubungan dengan manajemen kota yang baik, tetapi juga interaksi antar seluruh pemangku kepentingan di kota. Karena itu dimensi politis, konteks, dan konstitusional harus dipertimbangkan. Sementara Healy ( 1995) menyatakan bahwa pengelolaan perkotaan jaman sekarang tidak lagi hanya dilakukan dari pemerintah saja dengan model top down atau command and control.

Dalam konteks Indonesia, yang dibutuhkan adalah cara menggeser pengelolaan (manajemen) kota ke tata kelola (governance) kota. Pergeseran ini mendudukkan pemerintah daerah/ kota sejajar dengan pemangku kepentingan lain seperti sektor bisnis/privat dan masyarakat madani untuk bersama-sama menyelesaikan persoalan-persoalan kota dan membangun daya saing kota ke depan menuju keberlanjutan pembangunan. Situasi dualistik sosial-ekonomi yang ada lebih perlu mendudukkan pemerintah dalam prinsip pemerintah yang proporsional (bukan hanya provider atau enabler).

Dalam konteks mencapai tujuan Pembangunan Perkotaan Berkelanjutan, maka Gambar 2 menunjukkan seluruh sumberdaya yang dikelola dalam suatu sistem pengelolaan perkotaan adalah hasil konsensus seluruh pemangku kepentingan pembangunan perkotaan.



KEBUTUHAN PENGATURAN PENGELOLAAN PERKOTAAN Dl INDONESIA

Sebenarnya sudah banyak aturan perundang-undangan yang terkait dengan pengelolaan perkotaan di Indonesia, tetapi sayangnya satu dengan lainnya sepertinya tidak/ kurang komplementer, sehingga banyak celah yang harus diisi. Ambil contoh UU No. 32/2004 Tentang Pemerintahan Daerah, legislasi ini tidak cukup mengatur landasan pengelolaan kota (desentralisasi, otonomi, dan governance) khususnya yang terkait:

• Urusan concurrent: kriteria ekstern alitas, akuntabilitas, efisiensi

• Urusan wajib: pelayanan dasar (rermasuk penaraan ruang)

• Urusan pilihan: core competence kota/daerah atau basis ekonomi kota/daerah

• Koordinasi & kerjasama antar-pemerinrahan: horisontal & vertikal

• Keterlibaran stakeholders kota dalam penentuan kebijakan pembangunan kota

• Sumber dan mekanisme pembiayaan pembangunan kota Selain hal-hal di atas, masih banyak pertanyaan yang mengemuka yang berkaitan dengan peraturan perundangan lain:

• Apakah UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah tidak cukup mengatur pola hubungan antar (hirarki) pemerinrahan dalam pembiayaan pembangunan kota?

• Apakah UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara tidak cukup jelas mengarur mekanisme dan prosedur penganggaran pembangunan kota?

• Apakah UU No. 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional belum cukup jelas mengatur perencanaan program pembangunan kota dan peranserta para pemangku kepentingan dalam hal itu?

• Apakah UU No. 32/2009 tentang Perlindungan & Pengelolaan Lingkungan Hidup kurang jelas mengatur peran, hak & kewajiban pemangku kepentingan dalam menjaga keberlanjutan pembangunan kota?

• Apakah UU No. 26/2007 tentang Penaraan Ruang ridak cukup jelas mengatur sisrem governance dalam penaraan ruang kota?

• Apakah UU No. 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana tidak cukup untuk melandasi usaha manajemen bencana kota/perkotaan?

Semua perundangan yang disebut di atas adalah bukan UU Sekroral, tetapi mengatur kaitan semua sekror pembangunan kota. Oleh karena itu, justru yang perlu diharmonisasikan untuk kepentingan pengelolaan kota di Indonesia adalah kesesuaian antar beragam UU tersebur dan memadukannya dalam suatu Sistem Pengelolaan Pembangunan Daerah Kota/Perkotaan yang efektif & efisien. Pemaduan berbagai UU tersebut dalam pengelolaan perkotaan harus berkesesuaian pula dengan ideologi, konstirusi, dan ekonomi-politik negara untuk tujuan pembangunan kota/ perkotaan yang spesifik Indonesia.

Jika keseluruhan peraturan perundang-undangan di atas dimasukkan ke dalam pola integrasi sistem pengelolaan perkotaan menuju pembangunan berkelanjutan, akan terlihat komplikasi sistem pengelolaan yang harus dijalankan pemerintah daerah. Ini mengingat setiap UU mensyaratkan disusunnya "mandatory plan" yang kesemuanya harus berupa peraturan daerah. Hal tersebut dapat dilihat pada Gambar 3.



KEBUTUHAN PENGATURAN TATA KELOLA PERKOTAAN DI INDONESIA

Karena pengelolaan kota itu elusif atau tidak dapat didefinisikan, maka akan sangat sensitif terhadap kualitas pengelola dan pemangku kepentingan kota yang bersangkutan dalam menjalankan proses urban governance sehari-hari sesuai ideologi, konstitusi, dan ekonomi politik yang di anut. Kalaupun ada yang perlu diatur, maka itu adalah kriteria dan indikator kinerja tata kelola pembangunan kota berkelanjutan secara komprehensif/ inklusif. Kriteria tersebut tidak berbentuk kriteria & indikator sektoral, tetapi gabungan/komposit. Selain itu tidak berbasis output saja, tetapi juga input, process, dan outcome!

Untuk itu hal yang paling dibutuhkan dalam good urban governance di Indonesia dalam konteks pembangunan berkelanjutan adalah koordinasi & kerjasama untuk optimasi, sinergi, dan minimasi konflik pembangunan kota . Konflik yang harus dikelola adalah konflik antar kepentingan/motif pemanfaat ruang, antar sekror pembangunan, antar fungsi ruang, dan antar sistem pembentuk ruang;

Berdasarkan daya dukung & daya tampung wilayah tertentu (administratif: nasional, provinsi, kabupaten, kota; maupun fungsional: WAS/DAS) . Sayangnya Indonesia tidak mengenal desentralisasi fungsional, karena hanya diatur dengan desentralisasi terirorial. Oleh karena iru, yang harus dilakukan lebih banyak adalah koordinasi & kerjasama horisontal (antar daerah) serta vertikal (dengan tingkat pusat) untuk wilayah fungsional yang bersifat lintas-batas administratif.

Secara konsepsional, good urban governance yang akan dibentuk perlu memenuhi beberapa pendekatan seperti yang tertuang dalam Gambar 4. Untuk itu diperlukan juga good regional governance yang bersifat lintas daerah kabupaten/ kota .

Ada beberapa kota di Indonesia yang sudah mulai menerapkan good urban governance. Kota tersebut antara lain adalah Pekalongan, Salatiga, Bandung, Malang, dan Probolinggo.




 

 

 

Sumber: Oleh Andi Oetomo, dalam KOTA INDONESIA BERKELANJUTAN UNTUK SEMUA, Penerbit: Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang & SUD Forum Indonesia.