Tampilkan postingan dengan label Kawasan Wisata Pantai. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kawasan Wisata Pantai. Tampilkan semua postingan

Minggu, 10 Maret 2024

PENINGKATAN INFRASTRUKTUR PENGELOLAAN SAMPAH DI KAWASAN WISATA PANTAI

Pendahuluan

Pariwisata adalah kegiatan multidimensi dari aspek fisik, sosial budaya, ekonomi, dan politik yang melibatkan berbagai sektor dan lembaga lainnya. Berkembangnya sektor pariwisata menjadi pemicu perkembangan kegiatan penunjang lainnya seperti sektor pertanian, peternakan, perkebunan, kerajinan rakyat dan peningkatan kesempatan kerja. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 14/Permen-KP/2016 tentang Kriteria dan Kategori Kawasan Konservasi Perairan untuk Pariwisata Alam Perairan, kawasan konservasi perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan (Permen Kelautan dan Perikanan, 2016).

Salah satu isu lingkungan yang banyak ditemukan di kawasan wisata pantai adalah masalah sampah permukiman yang mengotori pantai dan perairan. Meningkatnya volume sampah domestik maupun sampah non-domestik yang masuk ke perairan, dimulai dari sungai hingga masuk ke laut, menyebabkan pencemaran dan kerusakan ekosistem, sehingga menjadi masalah yang besar dan menjadi perhatian banyak pihak. Pengelolaan sampah kawasan pantai yang baik berdampak pada pengurangan sampah yang akan di buang ke laut. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, target pengurangan sampah yang dibuang ke laut sebesar 70 % pada tahun 2025 (Peraturan Presiden, 2018).

Berdasarkan kajian Aziz et al. (2020) di kawasan wisata Pantai Carocok Painan Kabupaten Pesisir Selatan, permasalahan sampah antara lain disebabkan adanya ketidaksesuaian praktik pengelolaan dengan standar pengelolaan, belum diterapkannya pengolahan di sumber sampah serta masih adanya praktik pembakaran sampah di beberapa lokasi sepanjang pantai. Mengacu pada kajian Jayantri, A. S. & Agung, R. M. (2021), faktor-faktor yang menyebabkan penumpukan sampah di kawasan pantai antara lain kurangnya kesadaran pengunjung, kurang tersedianya prasarana tempat sampah, sampah rumah tangga tidak dikelola menumpuk di kawasan pantai, sampah yang terbawa arus sungai akibat kebiasaan warga sekitar pantai yang masih membuang sampah ke sungai.

Hasil kajian Yuliadi et al. (2017), menyatakan bahwa sampah plastik merupakan sampah yang paling banyak ditemukan di Pantai Pangandaran yang mencemari lingkungan dan sulit diuraikan oleh tanah. Sedangkan Bali sebagai destinasi pariwisata pantai dan kepulauan kelas dunia, pengelolaan belum dilakukan dengan baik dan sistematis. Mengacu pada hasil penelitian Widyarsana & Aulia (2020), kendala pengelolaan disebabkan karena belum optimalnya koordinasi antara lembaga pengelolaan, masih lemahnya penegakan hukum dari Perda, kurangnya kesadaran masyarakat, masih kurangnya fasilitas pengelolaan persampahan, kurangnya dukungan pembiayaan, serta kurangnya inovasi dalam peningkatan pelayanan penanganan persampahan.

Ruang lingkup kajian adalah mengidentifikasi kondisi eksisting pengelolaan sampah kawasan pantai, mengevaluasi timbulan dan komposisi sampah pantai, dan mengevaluasi infrastruktur pengelolaan sampah di lokasi kajian. Tujuan dari kajian adalah untuk merekomendasikan peningkatan infrastuktur pengelolaan sampah di kawasan wisata pantai. Lokasi kajian di pantai wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat; NTB, pantai wisata Gili Terawangan dan Gili Meno di Kabupaten Lombok Utara, NTB; pantai wisata Pangandaran Jawa Barat dan pantai wisata di Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu DKI Jakarta.

Data yang digunakan adalah data sekunder hasil penelitian terdahulu berdasar kajian Darwati (2019) yang telah ditambah dengan informasi terbaru dari hasil kajian pustaka lainnya. Data sekunder pengelolaan sampah meliputi timbulan dan karakteristik sampah, pemilahan, pewadahan, pengumpulan, pemindahan pengangkutan, pengolahan, pemrosesan akhir, lembaga pengelola, pembiayaan; keterlibatan swasta dan peraturan.



Kondisi Pengelolaan Sampah di Kawasan Pantai

Dengan menggunakan data sekunder hasil penelitian Darwati (2019), kondisi pengelolaan sampah di lokasi kajian dianalisis berdasar nilai dan kategori. Kategori kurang (K) dengan nilai <2,7, sedang (S) dengan nilai 2,7-3,8 dan baik (B) dengan nilai ≥ 3,8. Hasil kompilasi data disajikan pada tabel 1 dan tabel 2.


Evaluasi Timbulan dan Komposisi Sampah Kawasan Pantai

Untuk kawasan pantai, data sampah dibedakan atas data sampah darat dan bawaan laut. Data sampah darat di pantai di Pulau Untung Jawa memberikan gambaran bahwa komposisi dan timbulan sampah dipengaruhi oleh kunjungan wisatawan. Gambar 1 menyajikan data komposisi sampah di Pulau Untung Jawa pada hari kerja yang didominasi oleh sampah daun sebesar 48,6%. Untuk sampah dapur pada hari kerja hanya sebesar 3,35%, sampah jenis plastik sebesar 9,01% terdiri atas 2,07% plastik kerasan dan 6,94% plastik lembaran. Komposisi sampah pada akhir pekan berbeda dengan hari kerja dimana pada akhir pekan timbulan sampah dapur meningkat menjadi 19,7% sedangkan sampah daun hanya sebesar 23,4%. Selain kedua sampah tersebut sampah batok kelapa juga cukup banyak yaitu 16,3%.

Gambar 2 menyajikan data sampah bawaan laut Pulau Untung Jawa, umumnya sampah bawaan laut didominasi oleh sampah yang sulit membusuk sebesar 64,74% yang terdiri dari berbagai macam komponen selain plastik diantaranya styrofoam, popok sekali pakai, kain dan lain-lain. Gambar 3 menyajikan data rata-rata timbulan sampah per hari dari bulan Januari 2015 hingga Juni 2015. Timbulan terendah terjadi pada bulan Februari dan yang tertinggi terjadi pada bulan April. Namun secara statistik timbulan sampah bawaan laut dapat mencapai 7,67 m3/hari.

Evaluasi Infrastruktur Pengelolaan Sampah

Evaluasi kinerja infrastruktur pengelolaan sampah dilakukan dengan metode indeks kinerja kumulatif. Infrastruktur pengelolaan sampah dinilai berdasarkan 12 variabel dengan indikator dan pertimbangan penilaian yang mempengaruhi kinerja dari tiap variabel sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3.

Parameter penilaian untuk setiap indikator didasarkan pada jenjang (hierarki) prioritas. Dalam hal ini, jenjangnya mengikuti skala kurang (rentang < 2,7), sedang (rentang 2,7-3,8) dan baik rentang (>=3,8). Variabel sistem yang kinerjanya baik, mencerminkan belum memerlukan peningkatan sedangkan yang kurang baik, mencerminkan sangat membutuhkan peningkatan. Hasil penilaian indeks kinerja kumulatif pengelolaan sampah dapat dilihat pada tabel 4, berdasarkan kriteria penilaian kondisi pengelolaan sampah wisata pantai yang dijelaskan pada tabel 5.



Berdasarkan hasil analisis, penilaian kebutuhan terhadap variabel pengelolaan sampah di lokasi kajian disajikan pada gambar 3 berdasarkan kriteria penilaianpenilaian yang ditetapkan pada tabel 6. Variabel pengelolaan yang masih kategori kurang adalah dengan nilai < 70,21 yaitu varibel ketersediaan data timbulan dan komposisi sampah, pengumpulan dan pengolahan sampah.





Berdasarkan hasil analisis penilaian indeks kinerja kumulatif, semua lokasi mempunyai kinerja kategori baik dengan nilai >=793,20 sebagaimana dapat dlihat pada gambar 4 dan tabel 7.



Peningkatan Infrastruktur Pengelolaan Sampah Kawasan Pantai

Dari hasil analisis, peningkatan infrastruktur pengelolaan sampah di kawasan wisata pantai adalah sebagai berikut:

1)    Ketersediaan data karakteristik timbulan dan komposisi sampah

Timbulan dan komposisi sampah merupakan faktor utama dalam menentukan teknis operasional pengelolaan sampah perkotaan. Data timbulan dan komposisi sampah merupakan data dasar dalam perencanaan besaran kapasitas dan kelayakan jenis pengolahan sampah berbasis 3R (Reduce, Reuse, Recyling). Cara pengujian komposisi sampah masih mengacu pada SNI 19 – 3964 – 1994 tentang Metoda Pengambilan dan Pengukuran Sampel Timbulan dan Komposisi Sampah (Badan Standardisasi Nasional, 1994). Pemerintah daerah perlu melakukan sampling terhadap timbulan dan komposisi sampah di kawasan pantai meliputi sampah darat yang disebabkan aktivitas domestik maupun sampah non-domestik dan sampah perairan serta sampah bawaan laut.

2)    Pengumpulan sampah

Ketentuan tentang sistem pengumpulan sampah telah diatur pada Permen PUPR No. 03/PRT/M/2013, Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Permen PUPR, 2013). Pengumpulan dan pengolahan sampah merupakan bagian dari sistem operasional pengelolaan sampah berbasis 3R. Perencanaan operasional pengumpulan harus memperhatikan jumlah ritasi, jadwal pengangkutan yang disesuaikan dengan komposisi sampah. Pengumpulan dengan menggunakan alat angkut dengan bak tersekat untuk setiap jenis sampah yang telah dipilah. Pelaksana pengumpulan sampah di kawasan pantai melibatkan stakeholder terkait seperti Dinas LH, LSM, masyarakat RT RW setempat serta pihak hotel/restoran/pengusaha kawasan wisata.

Merujuk pada SNI 8632 : 2018 tentang Tata Cara Perencanaan Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, sarana pengumpulan sampah dapat berupa TPS 3R dengan luas 200 m2 (Badan Standardisasi Nasional, 2018). Cakupan pelayanan minimal 200 KK atau 3 m3 /hari, dengan kriteria sedekat mungkin daerah pelayanan, radius < 1 km; dilengkapi dengan naungan, ruang pemilahan, pencacah, pengomposan, gudang, zona penyangga, saluran lindi dan penampung lindi untuk diangkut ke Instalasi Pengolahan Lindi (IPL) di TPA; tidak mengganggu estetika dan lalu lintas; berada dalam wilayah permukiman penduduk, bebas banjir, ada jalan masuk, sebaiknya tidak terlalu jauh dengan jalan raya. Pada pulau kecil bilamana belum tersedia TPS 3R sampah dapat langsung diangkut dengan menggunakan kapal untuk diproses lebih lanjut di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) sampah.

Pengumpulan sampah dapat disinergikan dengan kegiatan Bank Sampah. Sampah yang masih bernilai ekonomi dapat dikumpulkan oleh petugas pengumpul dan masyarakat penghasil sampah bank sampah dapat dioptimalkan untuk mendukung pemanfaatan sampah anorganik untuk dapat ditingkatkan nilai ekonominya sehingga lebih mudah terserap oleh pelaku usaha daur ulang untuk proses selanjutnya. Contoh bank sampah yang diperkenalkan di kawasan Pantai Losari Kota Makassar, dimana masyarakat menunjukkan minat yang tinggi untuk berpartisipasi berdasar studi Rukminasari et al. (2017). Harga jual dari jenis sampah anorganik yang diberikan oleh pelaku usaha daur ulang kepada pengumpul tergantung dari seberapa homogen jenis sampah tersebut, sesuai kebutuhan bahan baku produksi industri daur ulang. Untuk memenuhi syarat penjualan dan meningkatkan nilai jual dari sampah anorganik, maka dilakukan pemilahan lebih lanjut sehingga lebih spesifik dan bersih sesuai tuntutan off taker material daur ulang oleh pengelola sehingga hasil penjualannya dapat menjadi masukan untuk biaya operasional TPS 3R.

3)    Pengolahan sampah

Pengolahan sampah dilakukan pada sampah organik dan sampah anorganik. Pengolahan sampah organik antara lain dengan pengomposan secara biologis dengan memanfaatkan mikroba yang dapat tumbuh selama proses terjadi. Teknologi pengolahan dapat secara aerobik maupun anaerobik. Hasil kompos dapat dimanfaatkan untuk penghijauan dan urban farming dalam penataan taman. Alternatif lain, pengolahan sampah dengan budidaya maggot Black Soldier Fly (BSF). Menurut Dortmans et al. (2017), maggot memiliki kemampuan menguraikan sampah organik dengan cepat, tanpa bau dan sedikit menyisakan residu. Penggunaan larva dari serangga yang dipanen tersebut dapat berguna sebagai sumber protein untuk pakan hewan, sehingga dapat menjadi pakan alternatif pengganti pakan konvensional. Hasil kajian Darwati & Rhomadoni (2021), di TPS 3R Jatisari, Kabupaten Bandung, sampah organik yang dapat diproses sebagai pakan maggot sebesar 23% dari sampah organik, sisanya 67% adalah residu sampah organik dapat diolah menjadi kompos.

Pengolahan sampah anorganik yang dapat dilakukan antara lain dengan membuat eco brick, briket sampah, kerajinan sampah anorganik misal kemasan, kaca dan pengolahan sampah plastik dengan pencacahan dan peletasi sampah plastik sebelum dimasukkan ke dalam mesin perajang telah dipisah sesuai dengan jenisnya seperti Low Density Poly Ethylene (LDPE), High Density Poly Ethylene (HDPE), Poly Ethylene Terephthalote (PET), Poly Vinyl Chloride (PVC), Polypropylene (PP), Polystyrene (PS). Pembuatan briket sampah plastik menggunakan teknologi pemanasan untuk melelehkan sampah plastik sesuai dengan suhu/titik lebur plastik jenis tertentu, kemudian dilakukan pendinginan briket menggunakan air. Jenis plastik yang potensial untuk diolah menjadi briket adalah yang memiliki sifat thermoplastic (plastik yang dapat didaur ulang atau dicetak lagi dengan proses pemanasan ulang), contohnya PP dengan titik lebur pada suhu 160oC dan sampah plastik botol air mineral yang termasuk ke dalam jenis plastik PET dengan titik lebur lebih tinggi yaitu pada suhu 250oC.

4)    Peningkatan peran stakeholder dan pengaturan

Untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah di kawasan wisata pantai perlu sinergi semua stakeholder yang terkait, yaitu masyarakat, instansi pengelola sampah, LSM dan pihak pengelola wisata. Pengelolaan sampah berbasis 3R harus diprogramkan dan disosialisasikan pada masyarakat daerah wisata, pengelola wisata pantai, hotel/restoran melalui kerjasama asosiasi/persatuan hotel restoran dengan LSM dan Dinas Lingkungan Hidup/Kebersihan setempat. Berdasar kajian Darwati (2019), pengelolaan sampah di kawasan pantai masih belum ada regulasi khusus, sehingga diperlukan pengaturan terkait tanggung jawab pengelolaan sampah antara pihak pengelola kawasan wisata pantai atau hotel dengan dukungan peraturan daerah. Pengelolaan sampah dari Pemerintah untuk kawasan wisata disarankan dalam bentuk UPTD.

Kesimpulan

Kondisi eksisting pengelolaan sampah wisata pantai di daerah studi umumnya berupa pewadahan, pengumpulan dan pengangkutan yang belum berbasis 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Pengelolaan sampah di kepulauan mengandalkan penimbunan di pulau dan pengangkutan yang dilakukan oleh kapal pengangkut sampah ke TPA. Sampah pantai terdiri atas sampah dari daratan yang timbul akibat aktivitas sekitar pantai yang jumlahnya tergantung pada jumlah pengunjung, jenis fasilitas penunjang, seperti hotel/penginapan, restoran dan sampah bawaan dari laut yang dipengaruhi oleh musim.

Data sampling sampah di Pulau Untung Jawa memberikan gambaran timbulan dan komposisi sampah pantai wisata. Pada hari kerja timbulan sampah sebesar 5,06 m3/hari dan pada akhir pekan sebesar 5,79 m3/hari. Timbulan sampah bawaan laut hasil grab sampling sebesar 2,98 m3/hari, sementara secara statistik rata-rata sebesar 7,67 m3/hari. Komposisi yang banyak dihasilkan dari sampah wisata didominasi sampah yang mudah membusuk terutama sampah daun dan sampah dapur. Sementara komposisi dari sampah bawaan laut didominasi oleh sampah yang sulit membusuk.

Pengelolaan sampah kawasan wisata pantai berdasarkan hasil analisis dengan metode indeks kinerja kumulatif dengan 12 variabel kinerja pengelolaan menunjukkan bahwa kualitas pengelolaan di lokasi kajian sudah baik. Dengan indeks >=793,20 kategori baik. Namun berdasarkan hasil ada tiga komponen sistem yang masih membutuhkan peningkatan yaitu ketersediaan data timbulan dan komposisi sampah, sistem pengumpulan sampah dan sistem pengolahan sampah belum optimal.

Pelaku utama dalam pengelolaan sampah pantai di kawasan wisata adalah pihak hotel/restoran/pengusaha di kawasan wisata yang bekerja sama dengan DLH/Dinas Kebersihan dan atau penyedia jasa swasta untuk pengangkutan sampah. Peningkatan pengelolaan sampah kawasan pantai perlu melibatkan partisipasi antar semua stakeholder yang terkait, kelembagaan pengelola kebersihan yang didukung dengan peraturan daerah setempat.

 

 

 

 

Sumber: Oleh Sri Darwati, Dalam Bunga Rampai Infrastruktur Permukiman di Kawasan Wisata, Penerbit PUPR Tahun 2023