Tampilkan postingan dengan label Kawasan Wisata. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Kawasan Wisata. Tampilkan semua postingan

Senin, 13 Mei 2024

TATA KELOLA BAIK (TKB) UNTUK INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN KAWASAN WISATA YANG BERKUALITAS

 

Pendahuluan

Kekayaan (asset) alam Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Pulau Rote, sulit dicari bandingannya di dunia. Keindahan lingkungan alami adalah kekayaan yang nilainya akan terus bertambah apabila potensinya terus digali dan dikembangkan. Sektor pariwisata berpeluang besar menjadikan keindahan alami tersebut sebagai sumber pendapatan ekonomi negara. Pariwisata merupakan salah satu sektor terdampak pandemi Covid, sehingga telah menjadi perhatian Pemerintah untuk pemulihannya. Terlepas dari dampak pandemik, pariwisata telah menjadi bagian integral dari Pembangunan Nasional (Moerwanto dan Junoasmono 2017).

Infrastruktur Kawasan Pariwisata, telah dibangun di 5 (lima) Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Pembangunan infrastruktur tersebut sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020- 2024. Kelima KSPN tersebut adalah KSPN Danau Toba (Sumut), KSPN Borobudur (Jateng), KSPN Mandalika (NTB), KSPN Labuan Bajo (NTT) dan KSPN ManadoLikupang (Sulut) (antaranews.com, 2020). Pembangunan infrastruktur permukiman mendukung KSPN dalam kegiatan penataan kawasan serta dukungan infrastruktur air minum dan sanitasi telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK).

Pembangunan infrastruktur pariwisata dengan pendanaan APBN merupakan suatu bentuk investasi publik yang bertujuan untuk menciptakan dampak langsung maupun tidak langsung untuk keuntungan ekonomi masyarakat (OECD 2016). Sayangnya, pembangunan infrastruktur sektor publik seperti ini secara umum di dunia, syarat dengan korupsi, penyuapan, fraud dan penyalahgunaan fungsi (OECD 2016). Untuk memitigasi terjadinya praktik-praktik negatif tersebut, diperlukan penerapan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas, kesesuaian, dan pertanggungjawaban. Prinsip yang ditawarkan adalah Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik (TKPB). Prinsip ini juga telah diterapkan oleh sektor-sektor publik (Kaihatu 2006). Namun prinsip GCG atau TKPB dijalankan oleh Pemerintah dengan keterpaksaan karena adanya kewajiban untuk mempertanggungjawabkan uang negara yang telah dibelanjakan dan kewajiban untuk meningkatkan pelayanan untuk publik (Asare 2009).

Pada sektor publik yaitu pada lingkungan Pemerintahan, penerapan prinsipprinsip GCG atau TKPB tersebut salah satunya diterapkan melalui Sistem Pengendalian Internal melalui Audit Internal (Asare 2009). Di lingkungan Kementerian PUPR yang telah membelanjakan APBN untuk pembangunan infrastuktur, salah satunya sektor pariwisata, audit internal telah dilaksanakan oleh unit Inspektorat Jenderal.

Hasil pengawasan atau audit internal terhadap pembangunan infrastruktur kawasan wisata oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) menghasilkan temuan-temuan yaitu ketidaksesuaian pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur terhadap norma, standar, peraturan dan kriteria yang berlaku di lingkungan Kementerian PUPR. Terhadap temuan-temuan tersebut, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR telah menyampaikan rekomendasi-rekomendasi untuk ditindaklanjuti guna perbaikan pada setiap tahapan penyelenggaraan infrastruktur. Perbaikan praktik-praktik penyelenggaraan infrastruktur tersebut akan berdampak pada pengurangan rekayasa-rekayasa kinerja dan meningkatkan kualitas laporan keuangan Pemerintah dengan memberikan gambaran yang sebenarnya.

Hasil Pengawasan Pembangunan Infrastruktur Mendukung KSPN

Direktorat Jenderal Cipta Karya telah melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastrukur mendukung pariwisata antara lain penataan kawasan wisata serta pembangunan infrastruktur air minum dan sanitasi untuk mendukung kawasan wisata. Kegiatan pembangunan ini dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan Balai Prasarana Permukiman Wilayah di seluruh Indonesia. Pelaksanaan kegiatan melalui proses perencanaan, pemrograman, penganggaran, survei dan investigasi, pembebasan lahan, desain, konstruksi serta operasi dan pemeliharaan. Inspektorat Jenderal telah melakukan internal audit pada serangkaian proses pelaksanaan kegiatan tersebut.

Tahun 2022, audit internal telah dilakukan di beberapa KSPN yaitu KSPN Sumut, NTB, dan NTT. Hasil audit tersebut menunjukkan masih lemahnya pengendalian pelaksanaan pekerjaan pada 3 (tiga) kategori sebagai berikut (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c):

1. Pelaksanaan Tahap Perencanaan Pekerjaan

1) Belum lengkapnya dokumen readiness criteria yang sebagian besar menjadi ranah Pemerintah Daerah

2) Ketidakcermatan dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) mengakibatkan kemahalan harga

2. Penjaminan Kualitas Pelaksanaan Pekerjaan

1) Penggunaan spesifikasi teknis tidak mengacu pada standar yang mutakhir dan berbeda antara paket pekerjaan dengan ruang lingkup yang sama

2) Material bahan yang digunakan dalam pekerjaan tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam RAB/Spesifikasi Teknis

3) As Built Drawing kurang menyajikan informasi yang detail dan akurat dengan pekerjaan terpasang di lapangan

4) Pelaksanaan pekerjaan mengalami kerusakan sehingga memerlukan perapihan/perbaikan

5) Kekurangan volume pada perkerjaan yang telah terbayarkan

3. Pelaksanaan Manajemen Kontrak

1) Konsultan Supervisi tidak melaksanakan tugasnya sesuai kontrak

2) Pengenaan denda keterlambatan tidak sesuai syarat-syarat kontrak

3) Perpanjangan waktu pelaksanaan tidak didasari atas pertimbangan yang layak dan wajar sehingga mengakibatkan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan

4) Penerapan SMKK tidak sesuai kontrak dan pembayaran item SMKK tidak disertai bukti dukung pengeluaran

5) Perubahan pekerjaan pada MC 100 tidak didukung dengan perubahan kontrak yang memadai

6) Mobilisasi, penggantian personil dan pembayaran biaya personil belum sepenuhnya sesuai kontrak dan kondisi riil

7) Pembayaran prestasi pekerjaan tidak sesuai dengan volume riil di lapangan

8) Belum dilakukannya penanganan kontrak kritis sesuai dengan ketentuan

Pada Pasal 24 Peraturan Menteri PUPR No. 3 Tahun 2022 Tentang Pedoman Umum Pengawasan Intern (Permen PUPR 2022), disebutkan bahwa: “Penyampaian bukti tindak lanjut dan informasi tindak lanjut hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak LHA diterima oleh Auditi.” Ketentuan tersebut mengatur batas waktu pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil audit yang harus tuntas. Ketentuan tersebut membuktikan adanya komitmen dalam melaksanakan GCG atau TKPB.

Perbaikan GCG atau TKPB Meningkatkan Kepatuhan

Contoh audit internal sebagaimana di atas, merupakan hasil dari serangkaian proses pengendalian internal dengan ruang lingkup kegiatan yaitu reviu efektivitas dan efisiensi kegiatan, pencatatan laporan keuangan, investigasi fraud, penilaian risiko, pengamanan aset dan kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan(Asare 2009). Dalam tata kelola yang baik, korupsi dan fraud merupakan risiko utama yang harus dikelola oleh instansi publik (Asare 2009).

Di sisi lain, banyaknya temuan yang dihasilkan saat proses audit internal disertai dengan temuan-temuan berupa kelemahan, ketidak-cermatan dan kelalaian adalah sebagai berikut (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c):

1. kekurang-cermatan dalam melakukan pemantapan kegiatan;

2. kelalaian dalam upaya koordinasi untuk pemenuhan dokumen readiness criteria;

3. kekurang-cermatan dalam melakukan verifikasi readiness criteria;

4. kelemahan dalam pengawasan pelaksanaan kontrak paket Kontrak Fisik dan paket jasa Konsultansi Manajemen Konstruksi;

5. ketidakcermatan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak terkait perhitungan volume progres fisik terpasang dan persetujuan dalam tagihan pembayaran;

6. ketidakcermatan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak dan menindaklanjuti perubahan pelaksanaan pekerjaan di lapangan;

7. ketidakcermatan dalam memeriksa perhitungan progres fisik pekerjaan penyedia; dan

8. ketidakcermatan dalam memeriksa output laporan yang disampaikan konsultan.

Temuan-temuan tersebut merupakan bukti-bukti tidak ditaatinya norma, standar, peraturan dan kriteria (NSPK) dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur. Ketidak-taatan ini menjadi suatu risiko tersendiri, dan disebut “risiko kepatuhan” yaitu risiko yang timbul karena lalai dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c). Komisi Pemberantasan Korupsi dalam salah satu modul pelatihannya menyatakan bahwa:

“Kepatuhan yang lahir dari sebuah tekanan yang semata-mata karena regulasi akan menghasilkan kepatuhan semu. Kepatuhan semu adalah kepatuhan berupa pencarian celah-celah untuk rekayasa (tidak patuh), manakala tekanan dari pengawasan mengendur. Oleh karena itu, kepatuhan harus dibangun menjadi sebuah budaya dan menjadi sebuah mekanisme kerja individual dalam arti terinternalisasi dan terorganisasi secara terintegrasi” (Komisi Pemberantasan Korupsi 2016).

Pernyataan tersebut memberi isyarat bahwa kepatuhan harus lahir dari kesadaran dan bukan karena perintah atau kehadiran atasan. Peraturan perundang-undangan harus dijalankan dengan kesadaran dan pemahaman terhadap tujuan serta manfaatnya. Penerbitan sebuah peraturan perundang undangan, pada dasarnya untuk memudahkan penyelenggara infrastruktur dalam melaksanakan tugas fungsinya secara efisien dan efektif. Kemudahan tersebut memberi peluang kepada penyelenggara infrastruktur menepati jadwal waktu dan biaya pembangunan yang direncanakan, dan mutu sesuai spesifikasi.

Menilik masih banyaknya terjadi kekurang-cermatan, kelalaian dan kelemahan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak pembangunan infrastruktur, perlu dilakukan evaluasi bersama terhadap penyebab terjadinya kesalahan tersebut. Selain membangun kawasan wisata, Kementerian PUPR melalui DJCK diamanatkan untuk membangun infrastruktur pelayanan dasar lainnya seperti pengolahan air minum dan sanitasi, bangunan gedung, prasarana strategis yaitu bangunan sekolah dan sarana olahraga. Terkait hal tersebut, satuan kerja (Satker) menangani beberapa kegiatan konstruksi maupun non-konstruksi yang berjalan dalam suatu tahun anggaran. Hal ini menyebabkan pengendalian suatu pekerjaan harus dilaksanakan paralel dengan pengendalian beberapa pekerjaan lainnya.

Sementara itu, proses pemantauan, dan pengendalian pekerjaan oleh Satker mengalami kendala utama yaitu lemahnya tertib administrasi dokumentasi pelaksanaan kontrak. Tertib pengendalian dokumen administrasi saat ini belum menjadi budaya. Satker dan Penyedia Jasa masih fokus mengejar target kemajuan penyelesaian pekerjaan dan penertiban dokumen administrasi dilakukan setelahnya sehingga dokumen menumpuk di akhir pekerjaan. Pengendalian dokumen administrasi belum dilakukan paralel dengan kemajuan pelaksanaan konstruksi, menyebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan yang menjadi temuan audit. Kondisi ini, seringkali diperparah dengan terjadinya keterlambatan pelelangan pekerjaan, sehingga waktu menertibkan hasil pekerjaan menjadi sangat sempit.

Tertib administrasi dapat menjadi upaya mitigasi risiko berulangnya temuan dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur permukiman. Diperlukan pemantauan sistem pengendalian terintegrasi dengan sistem informasi dan penerapan standar operasional prosedur (SOP) yang mendukung terciptanya tertib administrasi. Dalam tertib administrasi, telah dipersyaratkan pemenuhan NSPK terkait. Sehingga, pemenuhan tertib administrasi dapat menjadi langkah pengendalian risiko kepatuhan.

Diperlukan upaya perbaikan tertib administrasi, dan menjadikannya budaya tata kelola yang baik (TKB) dalam penyelenggaraan infrastruktur. TKB tersebut diharapkan mampu menghasilkan kualitas infrastruktur yang handal, terutama untuk infrastruktur kawasan wisata yang menjadi wajah indah Negara Indonesia.

Kesimpulan

Pembangunan infrastruktur kawasan wisata telah menjadi salah satu fokus pembangunan oleh Pemerintah. Pendanaan oleh pemerintah disertai dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan uang negara. Pertanggungjawaban dilakukan dengan serangkaian proses pengendalian internal yang salah satunya adalah pelaksanaan audit internal. Audit internal telah dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastruktur kawasan wisata di lingkungan DJCK Kementerian PUPR. Kegiatan internal audit oleh Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR menghasilkan temuan-temuan pada pelaksanaan tahap perencanaan pekerjaan, penjaminan kualitas pekerjaan dan pelaksanaan manajemen kontrak. Temuan-temuan tersebut juga disertai dengan pengungkapan kesalahan-kesalahan yang dilakukan manajemen berupa kelemahan, ketidak-cermatan dan kelalaian dalam menerapkan norma, standar, pedoman dan kriteria (NSPK) yang telah diberlakukan sebagai fungsi pengaturan. Hal ini menunjukkan diperlukannya perbaikan tata kelola dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur, salah satunya melalui peningkatan pengendalian tertib administrasi pelaksanaan kegiatan. Tertib administrasi ini seringkali menjadi titik lemah yang menyebabkan berulangnya terjadinya temuan. Sehubungan dengan hal tersebut, pemantauan pengendalian melalui tertib administrasi merupakan upaya untuk memitigasi terjadinya risiko kepatuhan yang timbul karena mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan Tata Kelola Baik (TKB), pembangunan kawasan pariwisata diharapkan dapat memberikan infrastruktur yang kuat dan berkualitas dan dapat memberikan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.

 

 

 

Sumber : Miradian Isyana Wistyani Dalam Bunga Rampai Infrastruktur Permukiman di Kawasan Wisata, Penerbit Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2023

Kamis, 14 Maret 2024

KONSEP RAMAH LINGKUNGAN DALAM PERENCANAAN TOILET DI KAWASAN WISATA

Pendahuluan

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak kekayaan berupa keindahan alami yang mampu menarik wisatawan mancanegara untuk datang berwisata. Pada tahun 2019 tercatat ada 1,5 miliar kunjungan wisatawan asing ke Indonesia, jumlah ini juga mengalami peningkatan sebesar 4% dari tahun sebelumnya. Kegiatan pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi unggulan yang mampu mendorong pendapatan ekonomi, pembangunan daerah dan membuka lapangan pekerjaan. Sektor pariwisata mampu menyumbang US$ 7,6 triliun atau 10,2% dari PDB global dan mampu membuka 292 juta lapangan pekerjaan (Elysia & Wihadanto, 2020).

Dalam meningkatkan pertumbuhan pariwisata tentunya diperlukan dukungan fasilitas umum yang memadai di setiap objek wisata. Kemudahan akses terhadap fasilitas umum perlu menjadi perhatian untuk mendukung pengembangan kawasan pariwisata. Salah satu fasilitas penting guna mendukung kegiatan pariwisata adalah fasilitas sanitasi, karena mampu menghadirkan pelayanan yang nyaman kepada pengunjung objek wisata. Semakin nyaman fasilitas sanitasi di kawasan tujuan wisata maka semakin meningkat wisatawan untuk dapat berwisata di kawasan tersebut (Subuh & Soamole, 2021). Selain itu fasilitas sanitasi pada tempat umum diperlukan untuk menjaga kesehatan dan agar terhindar penyebaran penyakit menular.

Salah satu sarana sanitasi yang penting di suatu objek wisata adalah sarana toilet atau jamban umum. Toilet umum adalah sarana yang disediakan untuk wisatawan yang berkunjung ke sebuah objek wisata. Penggunanya sangat beragam sehingga dapat menjadi tempat penyebaran penyakit apabila tidak terawat dengan baik dan tidak sehat. Terlebih lagi ketika sedang terjadi wabah Covid-19, memungkinkan penyebaran virus sangat cepat (Bagiastra & Damayanti, 2021).

Penyediaan sarana dan prasarana toilet umum di suatu objek wisata perlu memperhatikan konsep ramah lingkungan. Penerapan konsep ramah lingkungan memiliki banyak manfaat, yang utamanya adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan di objek wisata tersebut. Konsep ramah lingkungan yang diterapkan di suatu bangunan, pada dasarnya harus dirancang secara menyeluruh atau memperhitungkan hubungan timbal balik dengan lingkungannya (Pane & Suryono, 2012). Selain itu, pembangunan toilet umum di kawasan wisata yang berbasis kearifan lokal dapat memberikan nilai tambah terhadap objek wisata tersebut.

Penerapan konsep ramah lingkungan dalam perencanaan toilet di kawasan wisata perlu dilakukan untuk mendukung pemenuhan sarana dan prasarana sanitasi di suatu objek wisata. Tidak cukup dengan penyediaan sarana yang standar, tetapi perlu didukung dengan penerapan konsep yang mendukung kawasan wisata serta meminimalisir dampak lingkungan dengan diterapkannya teknologi pengolahan limbah. Untuk itu diperlukan kajian terhadap konsep ramah lingkungan pada fasilitas toilet umum di kawasan wisata khususnya terhadap pengolahan limbahnya. Penyediaan toilet yang mempunyai desain ramah lingkungan, diharapkan mampu mendukung kegiatan pariwisata dan meningkatkan daya tarik wisatawan.

Konsep Ramah Lingkungan pada Toilet Umum

Sebuah kawasan wisata perlu mendapatkan layanan toilet umum yang nyaman, sehat, memiliki nilai estetika, dan terpelihara dengan baik. Toilet umum, selain berfungsi sebagai tempat buang air besar dan buang air kecil, juga menjadi tempat membasuh tangan. Kebersihannya mencerminkan budaya bangsa (Bagiastra & Damayanti, 2021).

Kehadiran kawasan wisata juga harus memperhatikan kondisi lingkungan dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pariwisata tersebut. Pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan di kawasan wisata salah satunya dapat dilakukan dengan penyediaan infrastruktur toilet umum menggunakan konsep ramah lingkungan. Istilah ramah lingkungan menunjukkan bahwa konsep yang digunakan pada desain toilet umum tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Toilet umum yang ramah lingkungan menggunakan material dan produk yang memiliki dampak positif atau tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Produk yang ramah lingkungan adalah produk yang terbarukan, dapat didaur ulang, dan produk yang saat digunakan tidak merusak lingkungan (Ali, Lestari, & Putri, 2020).

Penerapan konsep ramah lingkungan pada toilet umum dapat diimplementasikan dengan menggunakan teori desain biophilic yang menciptakan ruang sehat. Konsepnya mengurangi pengaruh panas sehingga lingkungan lebih nyaman dan sehat secara fisik maupun psikis (Zakiyaturrahmah, Nugroho, & Pramesti, 2017). Desain biophilic serupa tetapi tidak sama dengan bangunan hijau (green building). Konsep bangunan hijau hanya berorientasi pada bangunan gedung, sedangkan desain biophilic lebih luas lagi. Menurut teori, desain biophilic dinilai dapat mereduksi kesan-kesan negatif pada toilet umum karena sifatnya yang menjadikan alam sebagai elemen dalam meningkatkan kualitas ruang dan manusia sebagai penggunanya. Desain biophilic dapat dikelompokkan menjadi tiga fokus yaitu, hubungan langsung dengan komponen alam atau “nature in the space”, keberadaan atau eksistensi alam atau “natural analogies”, dan wujud bentang alam atau “nature of the space” (Balai Litbang Perumahan Wilayah I Medan, 2020). Namun, perancangan desain toilet umum pada kawasan wisata yang paling sesuai dengan konsep ramah lingkungan adalah konsep desain biophilic yang berfokus langsung dengan komponen alam (nature in the space). Terdapat beberapa komponen utama pada hubungan langsung tersebut, yaitu melalui hubungan visual dan tidak visual, hubungan dengan suhu, aliran udara, air, dan cahaya (Zakiyaturrahmah dkk, 2017). Hubungan langsung dapat dilakukan dengan melihat objeknya misalnya pintu, jendela, posisi tempat cuci tangan, kloset, dan urinal. Hubungan langsung dapat juga dilakukan dengan mendengar, merasakan, atau mencium aroma tertentu. Cahaya lampu dapat dilihat sedangkan perubahan suhu, aliran udara, hanya dapat dirasakan.

Dengan demikian, perancangan toilet umum pada kawasan wisata yang menggunakan konsep biophilic design nature in the space pada prinsipnya dapat menggunakan hubungan-hubungan tersebut (Balai Litbang Perumahan Wilayah I Medan, 2020). Elaborasi tema dalam perancangan ini diuraikan dalam Tabel 1.


Menurut Wibowo (2017), dalam merancang toilet umum terdapat empat komponen utama yang perlu dipertimbangkan. Keempat komponen tersebut adalah alokasi luasan area hijau tidak terbangun, pengendalian konsumsi listrik, sistem pengolahan air limbah, dan pengelolaan sampah. Keempatnya, dapat diarahkan pada perencanaan yang memperhatikan konsep ekologis.

Atap bangunan (green roof) dan dinding bangunan (green wall), dapat dimanfaatkan untuk menambah luasan area hijau. Pengolahan sampah memperhatikan konsep pengelolaan yang memberikan nilai tambah bagi penghuninya. Sedangkan efisiensi penggunaan energi/listrik dapat dilakukan dengan pemanfaatan teknologi bahan bangunan. Pada penerapan toilet umum yang ramah lingkungan, sistem sanitasi didesain dengan memperhatikan penghematan dan ketersediaan air bersih. Penghematan air dilakukan dengan pemanfaatan air hujan atau grey water sebagai flushing toilet dan menyiram tanaman. Pengolahan grey water dilakukan dengan pengolahan air limbah menggunakan teknologi pengolahan air limbah konvensional atau portable, tangki septik, dan constructed wetland (Ali et al., 2020).

Pembagian area dalam desain lingkungan toilet umum perlu mempertimbangkan pembagian area kering dan area basah. Hal tersebut akan mempengaruhi kenyamanan pengguna serta meningkatkan estetika yang sangat penting dalam mendesain toilet umum di kawasan wisata. Gambar 1, adalah ilustrasi desain area toilet umum karya Restroom Association Singapore (2018).



Pembangunan toilet umum di kawasan wisata ramah lingkungan dapat diintegrasikan dengan budaya setempat yang unik. Adanya keunikan tersebut diharapkan dapat menambah daya tarik pengunjung wisata. Penggunaan material bangunan dan tanaman setempat untuk mengisi area hijau tapak toilet umum, dapat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memeliharanya. Apabila partisipasi masyarakat semakin meningkat, maka semakin besar kontribusinya terhadap keberlanjutan pemeliharaan toilet umum. Oleh karena itu, desain toilet umum yang menjadi bagian infrastruktur permukiman, perlu mempertimbangkan penggunaan sumber daya setempat.

Sistem Pengelolaan Limbah Toilet Umum Kawasan Wisata

Komponen dasar namun vital dalam industri pariwisata yang dapat memberikan kesan dalam pengalaman wisata adalah ketika wisatawan harus menggunakan toilet umum. Toilet umum adalah ruangan atau bilik yang digunakan bersama oleh semua orang untuk buang air kecil dan besar yang terdiri dari setidaknya kloset yang dilengkapi dengan atau tanpa tempat duduk (duduk atau jongkok) dan terhubung ke sistem pengolahan air limbah. Toilet umum harus bersih, dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan aksesoris, berlokasi nyaman, terawat dan dilengkapi dengan sistem pengelolaan limbah dan sampah yang baik (The ASEAN Secretariat, 2016).

Air limbah dari toilet umum termasuk kategori air limbah rumah tangga karena berasal dari kegiatan manusia. Kualitasnya tidak jauh berbeda dengan air limbah yang berasal dari toilet keluarga, tetapi volumenya berbeda tergantung jumlah penggunanya. Fraksi cairan air limbah, jauh lebih besar dari fraksi padatannya yaitu 99,9% berbanding 0,1%. Sebesar 70% dari padatan tersebut adalah zat organik, dan sisanya adalah zat anorganik. Zat organik antara lain adalah lemak, protein, dan karbohidrat, sedangkan zat anorganik antara lain grit, logam dan garam (Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2019). Kriteria sistem pengelolaan lingkungan pada toilet umum mengacu pada adanya sistem pengelolaan limbah dan pengolahan air yang tepat sesuai dengan standar yang berlaku. Studi pengelolaan air limbah yang berkelanjutan, diperlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan dampak lingkungan dan biaya dari sistem yang akan digunakan. Pakar dan pembuat kebijakan sering menggunakan analisis biaya/manfaat untuk memilih sistem air limbah. Dalam pemilihan sistem pengolahan, digunakan beberapa indikator antara lain pembuangan limbah untuk badan air, jumlah lumpur yang dihasilkan, penggunaan energi listrik, serta investasi dan biaya operasional-pemeliharaan yang digunakan.

Konsep pengelolaan air limbah toilet umum yang berkelanjutan perlu dirancang dengan memaksimalkan penggunaan air siklus daur ulang. Sumber air yang dapat dimanfaatkan yaitu air hujan dan penggunaan kembali air olahan greywater. Pendekatan penelitian toilet sistem berbasis air daur ulang masih belum umum di Indonesia dan belum diizinkan untuk beberapa daerah yang memiliki kondisi seperti tanah yang dianggap tidak cocok untuk pembuangan limbah langsung di kawasan. Pengelolaan air limbah yang berkelanjutan dianalisis melalui pendekatan yang efisien untuk penggunaan air melalui sistem daur ulang (Ali et al., 2020). Daur ulang air dapat menghemat listrik dan bahan kimia, bahkan diketahui bahwa penggunaan air limbah daur ulang dapat mengurangi penggunaan air bersih hingga 50% (Jenseen, Vrale, & Lindholm, 2007). Aspekaspek desain yang dikaji dalam makalah ini meliputi sistem pengelolaan air bersih dan air limbah, fasilitas, kebersihan dan keamanan.

Toilet umum harus terhubung ke saluran pembuangan khusus yang sudah tersedia untuk pengolahan air limbah domestik skala kawasan. Namun, apabila tidak memungkinkan tersambung dengan saluran pembuangan skala kawasan, maka perlu mempertimbangkan penggunaan instalasi pengolahan sekunder. Jenis sistem dan metode pengelolaan limbah harus ditentukan oleh karakteristik lokasi dan diatur sesuai dengan pedoman yang ada untuk pembuangan dan penanganan limbah. Air limbah dari toilet, khususnya grey water, memiliki potensi besar untuk diolah menjadi air daur ulang yang dapat digunakan sebagai sumber air bersih yang tidak dapat diminum. Dengan memanfaatkan daur ulang air limbah grey water sebagai sumber pasokan air lainnya, jumlah air tanah atau air permukaan digunakan dapat diminimalkan secara signifikan (Jenseen, et al., 2007). Grey water yang diolah dapat digunakan kembali sebagai flush untuk toilet dan urinal.

Instalasi sistem perpipaan harus mempertimbangkan untuk dipasang dengan cara yang mencegah arus balik. Perlengkapan pipa harus dipasang dengan cara memudahkan akses untuk dibersihkan dan perbaikan serta harus dipasang dengan pengaturan yang tepat. Perlengkapan harus dalam kondisi baik, memiliki permukaan yang halus, tidak berpori dan tidak ada potensi penumpukan kotoran yang sulit untuk dilakukan pembersihan. Perlengkapan di toilet umum harus tahan lama dan berkualitas yang diharapkan sesuai dengan standar yang berlaku. Perlengkapan di toilet umum harus terhubung ke saluran pembuangan tahan korosi (The ASEAN Secretariat, 2016). Sementara alternatif teknologi pengolahan air limbah dapat dipilih sesuai dengan karakteristik pengolahan serta kondisi lingkungan dengan mempertimbangkan aksesibilitas dan kemudahan operasional-pemeliharaan (Firdaus et al., 2020).

Kesimpulan

Toilet umum kawasan wisata beserta instalasi pengolahan limbahnya merupakan salah satu infrastruktur pendukung kawasan wisata yang seringkali luput dari perhatian, baik dalam tahap perencanaan hingga pengelolaannya. Penerapan konsep ramah lingkungan pada perencanaan kawasan wisata termasuk dalam penyediaan toilet umum akan mampu memberi nilai tambah terhadap suatu kawasan wisata. Konsep ramah lingkungan dapat diimplementasikan dengan menggunakan material/produk yang ramah lingkungan (tidak memiliki dampak negatif pada lingkungan). Kemudian, desain arsitektur bangunan dapat menggunakan prinsip hubungan langsung dengan alam seperti pengaturan pencahayaan alami, penggunaan material alam, dan pemanfaatan vegetasi untuk meningkatkan estetika bangunan. Dengan mempertimbangkan aspek teknis dan prinsip arsitektur bangunan ramah lingkungan, maka adanya toilet umum ramah lingkungan di kawasan wisata berkontribusi mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dari aktivitas pariwisata.

Penyediaan instalasi pengolahan limbah domestik yang tepat guna pada toilet umum telah mampu meminimalisir potensi pencemaran lingkungan terhadap kawasan wisata, yang akan berdampak pada kenyamanan pengunjung serta keberlanjutan kawasan wisata itu sendiri. Siklus pengelolaan air berkelanjutan, yang memanfaatkan limbah terolah menjadi air bersih yang digunakan kembali dapat meningkatkan keberlanjutan lingkungan. Beberapa instalasi pengolahan air limbah setempat yang pernah diterapkan di fasilitas umum dapat diterapkan kedepannya oleh stakeholder yang berkepentingan dalam penyediaan infrastruktur di kawasan wisata. Adanya toilet wisata yang ramah lingkungan diharapkan mampu memberikan kenyamanan kepada wisatawan sehingga dapat meningkatkan daya tarik wisatawan lainnya untuk berkunjung ke objek wisata tersebut.

 

 

 

 

 

Sumber : Oleh Ryo Teguh Sukarto, Tanjung Mega Dwi Puspita Dalam BUNGA RAMPAI INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DI KAWASAN WISATA, Penerbit Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2023

Jumat, 08 Maret 2024

PENGELOLAAN AIR BERSIH PULAU KECIL UNTUK MEMBANGUN KAWASAN WISATA BERKELANJUTAN DAN RAMAH LINGKUNGAN

Pendahuluan

Kawasan wisata di Indonesia sangat bervariasi karena dibentuk oleh bermacam-macam atraksi yang ditawarkan, kondisi geologi dan topografi kawasan, cuaca dan iklim, serta potensi-potensi wilayah lainnya. Salah satu potensi wilayah yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata adalah pulau-pulau kecil, karena umumnya pulau-pulau kecil memiliki sumber daya alam, aspek lingkungan, dan budaya yang unik. (Sugihamretha et al., 2015). Sementara itu, pembangunan sebuah kawasan wisata, selain prasarana dan sarana transportasi, sangat tergantung pada ketersediaan air tawar. Dengan demikian, kelangkaan air tawar menjadi salah satu kendala untuk membangun kawasan wisata. Tanpa sumber daya air yang cukup, maka kawasan wisata tidak dapat dikembangkan secara optimal. Di sisi lain, air limbah dan sampah akibat kegiatan penduduk setempat maupun pengunjung objek wisata yang tidak dikelola secara memadai dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Akibatnya, kawasan wisata yang sudah dibangun menjadi tidak menarik karena tercemar air limbah dan sampah. Kawasan wisata menjadi tidak ramah lingkungan dan berisiko tidak berkelanjutan.

Beberapa pulau kecil seperti di Pulau Gili Trawangan (NTB), Pulau Bintan (Kepulauan Riau), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta) telah teridentifikasi menghadapi masalah pengelolaan air bersih. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kawasan wisata berkelanjutan dan ramah lingkungan, maka pengelolaan air bersih pulau harus terintegrasi dengan pengelolaan air limbah dan sampah domestik. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pulau-pulau kecil ini semakin meningkat. Dengan demikian, semakin berkembang pariwisata di wilayah-wilayah tersebut, maka semakin besar pula tantangan yang dihadapi (Aryanti & Nasril, 2020).

Tujuan dari karya tulis ini membahas konsep keberlanjutan dan ramah lingkungan, potensi sumber-sumber air dan pilihan pengolahannya agar layak digunakan sebagai air bersih untuk kawasan wisata. Sumber informasi tulisan ini adalah sumber primer yang berasal dari hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan di majalah ilmiah. Penyajiannya berdasarkan hasil-hasil analisis deskriptif terhadap sumber-sumber primer yang relevan, diolah kembali dengan menambahkan beberapa poin tentang aspek keberlanjutan dan aspek ramah lingkungan. Informasi yang disajikan adalah tentang bagaimana konsep dan praktik pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan pada wilayah pulaupulau kecil, apa saja sumber air di pulau-pulau kecil yang dapat digunakan sebagai sumber air baku air bersih, bagaimana mekanisme untuk menampung dan menyimpan serta mengolahnya menjadi air yang aman dikonsumsi dan siapa saja para pengguna air bersih dengan jumlah besar di kawasan wisata pulau-pulau kecil serta bagaimana mengurangi risiko pencemaran air limbah sisa pemakaian air bersih.

Konsep dan Prinsip Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan

Konsep berkelanjutan dan ramah lingkungan dalam pengelolaan air ini memiliki beberapa prinsip antara lain kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi masyarakat dalam membangun budaya ramah air, penataan muka dan badan air secara berkelanjutan dan pengelolaan air dan limbah secara baik (Abdulaziz et al., 2019). Pengelolaan air secara berkelanjutan dan ramah lingkungan yang dapat diterapkan pada kawasan pulau kecil adalah pengelolaan pada skala masyarakat/pemilik usaha. Model pengelolaan air seperti ini mempunyai peran dan berkontribusi positif terhadap kualitas dan kuantitas air yang ada di kawasan tersebut. Pengelolaan sumber daya alam di pulau-pulau kecil yang memadai khususnya air bersih harus dapat meminimalisir produk sampingnya. Air limbah domestik adalah produk samping pemakaian air bersih. Besarnya volume pemakaian air bersih berhubungan dengan pesatnya perkembangan industri pariwisata yang menjadi andalan pulau-pulau kecil. Hal ini disebabkan karena pendapatan utamanya bergantung sekali dengan wisatawan yang datang. Dengan demikian, sumber daya alam pulau-pulau kecil khususnya ketersediaan air bersih menjadi fokus pembahasan keberlanjutan dan ramah lingkungan.

Perkembangan sektor pariwisata mempengaruhi pengelolaan air. Hotel dan resort merupakan pengguna air yang besar, selain itu juga sebagai penghasil air limbah yang besar. Untuk memenuhi kebutuhan air wisatawan, pengelolaan air harus dilakukan secara efisien dan berkelanjutan agar tidak terjadi bencana ekosistem bagi pulau-pulau kecil tersebut. Pada musim liburan, dimana konsumsi air bisa berlipat ganda dan untuk memenuhi permintaan di musim turis, tentu harus diimbangi dengan kuantitas air bersih yang harus mencukupi. Dengan meningkatnya konsumsi air, demikian pula produksi air limbah, dan tanpa penanganan yang tepat, terjadi peningkatan beban pencemaran (UNEP, 2003).

Solusi Masalah Air Bersih di Pulau-Pulau Kecil

Terdapat dua masalah utama sumber daya air di pulau-pulau kecil yang perlu dicarikan solusinya yaitu ketersediaan dan kualitas air. Peningkatan ketersediaan air dan kualitas air dari segi teknologi maupun kebijakan oleh para pemangku kepentingan merupakan solusi yang diperlukan untuk memecahkan permasalahan air bersih yang kerap terjadi pada wilayah pulau-pulau kecil. Beberapa solusi untuk kedua tujuan tersebut adalah pemanenan air hujan (rainwater harvesting), meningkatkan kapasitas daerah tangkapan air, impor air, desalinasi air laut, dan daur ulang air limbah.

1.     Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting)

Pemanenan air hujan (Rainwater Harvesting), adalah sebuah teknologi untuk mengumpulkan dan menyimpan air hujan yang dicurahkan dari langit, dan jatuh di atap-atap bangunan tanah dan batuan di lahan-lahan pekarangan ke dalam sebuah bangunan penyimpan air seperti tandon air dan reservoir (GDRC, 2006).

Pemanenan air hujan juga dipandang sebagai salah satu solusi yang paling tepat untuk meningkatkan pasokan air dalam skala mikro. Teknologinya mudah dipasang dan dioperasikan, masyarakat lokal dapat dengan mudah dilatih untuk menerapkannya dan bahan konstruksi juga tersedia (Hophmayer- Tokich & Kadiman, 2006).

Biaya operasional pemanenan air hujan relatif kecil, bahkan hampir dapat diabaikan. Air dikumpulkan dari atap tangkapan biasanya memiliki kualitas yang dapat diterima untuk keperluan rumah tangga dan memiliki sedikit dampak negatif pada lingkungan. Kapasitas pemanenan air hujan juga bergantung pada kapasitas dan kebutuhan dari hotel atau penginapan tersebut. Kapasitas pengumpulan dan penyimpanan air dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan dalam ketersediaan sumber daya air di daerah tangkapan air. Namun demikian, pemanenan air hujan tidak dapat dipandang sebagai teknologi utama atau satusatunya sumber air, terutama karena terbatasnya pasokan dan ketidakpastian curah hujan. Ini mungkin membuat pemanenan air hujan kurang menarik bagi beberapa instansi pemerintah dan penggiat pariwisata yang bertugas harus selalu menyediakan pasokan air di setiap waktu (GDRC, 2006).

Pemanenan air hujan untuk keperluan air minum belum diadopsi secara luas karena kekhawatiran terhadap risiko adanya polutan yang dapat berasal dari bahan kimia dan mikrobiologi. Di pihak lain belum tersedianya petunjuk yang spesifik dalam memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum dan cara mengelola risiko yang mungkin ditimbulkan dari polutan kimia dan mikrobiologi tersebut masih terbatas dan masih banyak yang belum mengetahuinya (Ahmed et al., 2011).

Ditinjau dari aspek kualitas air, pemanenan air hujan termasuk pilihan teknologi yang ramah lingkungan bila dibandingkan dengan sumber air lainnya. Selain itu, sumberdaya air hujan termasuk sumberdaya yang terbarukan sehingga dijamin keberlanjutan pasokannya setiap tahun. Namun, kuantitas air hujan yang dipanen relatif terbatas sehingga tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber air untuk memenuhi kebutuhan di pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, solusinya adalah kombinasi pemanfaatan dengan sumber lain seperti air permukaan yang ditampung di tandon air, embung atau waduk lapang serta pemanfaatan olahan air laut. Pemanfaatan sumber daya air permukaan dan air laut memerlukan pengolahan yang lebih intensif sebelum digunakan.

Pengambilan keputusan pemilihan sumber air tentang kombinasi pemanfaatan sumber air baku didasarkan pada perkembangkan kebutuhan kawasan wisata pulau-pulau kecil sesuai kecepatan pengembangan kawasan wisata tersebut. Selain itu, perlu dilakukan studi kelayakan yang mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan teknis operasional, lingkungan, sosial dan ekonomi serta budaya. Data dasar seperti topografi, iklim, curah hujan, kondisi sosial ekonomi, dan budaya masyarakat setempat perlu dikumpulkan secara lengkap untuk mendukung analisis kelayakan pengembangan pengelolaan air bersih yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Gambar 1 memberi ilustrasi tentang pemanenan air hujan beserta pengelolaan dan pemanfaatannya untuk penggelontoran toilet dan cuci mobil. Limpasan airnya dikembalikan ke dalam lapisan pembawa air tanah.



Ilustrasi tersebut menjelaskan proses pemanenan air hujan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

2.     Meningkatkan Kapasitas Daerah Tangkapan Air

Meningkatkan penyimpanan air dapat dilakukan melalui proyek infrastruktur besar (misalnya pembuatan bendungan, waduk atau embung) dapat menjadi cara yang berguna untuk meningkatkan ketersediaan air pada pulau-pulau kecil yang sangat bergantung pada sektor pariwisata (Hophmayer- Tokich & Kadiman, 2006).

Sistem penangkapan air dengan membuat bendungan yang dibuat pada pulaupulau kecil yang masih terdapat sungai, konstruksinya diperkuat dengan lapisan kedap air berupa batu, tras, pasangan batu serta beton yang berfungsi sebagai pencegahan resapan di badan air (Sutirto, 2012). Sedangkan untuk embung, pembentukan embung pada dasarnya adalah untuk menyimpan air bersih dari curah air hujan yang turun terutama pada musim kemarau (Dewi & Wahidin, 2020).

Lahan di beberapa pulau-pulau yang kecil, mungkin tidak cukup tersedia untuk pembangunan infrastruktur. Lahan tersebut diperlukan untuk menampung air permukaan sehingga daya tampung airnya lebih besar. Cara ini lebih cocok digunakan pada pulau-pulau yang lahannya cukup luas sehingga memungkinkan dibuatkan infrastruktur atau pulau-pulau yang mempunyai aliran sungai (Asian Development Bank, 2015).

Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa pembangunan waduk atau embung embung memerlukan alih fungsi lahan yang semula mungkin lahan pertanian atau permukiman perdesaan. Alih fungsi lahan tersebut adalah dampak pembangunan terhadap lingkungan dan dipandang kurang ramah lingkungan. Namun, pemanfaatan air permukaan sebagai sumber daya air terbarukan di kawasan wisata, sehingga termasuk kategori berkelanjutan.

3.     Impor Air (Water Importation)

Impor air adalah pemindahan air dari pulau lain atau dari daratan utama ke pulau-pulau kecil yang sangat terbatas sumber daya air bersihnya. Beberapa pulau-pulau kecil dengan air permukaan dan air tanah yang terbatas atau tidak ada, dan curah air hujan yang terbatas bergantung pada impor air tawar dari pulau lain atau dari daratan utama. Dalam kasus lain, impor air digunakan untuk menangani kasus kekeringan.

Air biasanya diimpor melalui jaringan perpipaan dengan pulau lain atau daratan utama. Akan tetapi apabila pulau yang membutuhkan air tersebut sangat jauh jaraknya untuk dijangkau jaringan perpipaan, maka air diimpor dengan transportasi laut, misalnya kapal besar/tanker, dan di beberapa kasus, air bersih akan diantar dengan perahu atau kano ke pulau-pulau terdekat dengan sumber daya air yang tersedia (Asian Development Bank, 2015).

Gambar 3 memberi ilustrasi tentang pendekatan impor air bersih dari pulau lain melalui pipa transmisi yang ditanam di bawah air laut sehingga tidak mengganggu transportasi laut. Penanaman pipa di bawah laut adalah contoh mitigasi dampak lingkungan sehingga impor air bersih tetap ramah lingkungan.

4.     Instalasi Pengolahan Air Laut (Desalination)

Pengolahan air laut atau air payau menjadi air tawar dapat dilakukan dengan cara desalinasi atau dengan penyaringan melalui semi permeable membran bertekanan tinggi (reserve osmosis). Dengan demikian, ada perbedaan proses teknologi desalinasi maupun reserve osmosis.

Pada proses pengolahan air laut menggunakan teknologi desalinasi, diperlukan peralatan yang sifatnya spesifik untuk setiap pengolahan. Tetapi ada peralatan yang bersifat umum seperti sistem pompa air baku, saringan (screen) dan saringan (filter), sistem distribusi produk air desalinasi, tangki penampungan (storage tank), peralatan penerima dan pembagi aliran listrik (Nugroho, 2004).

Instalasi Pengolahan Air Laut mungkin terlihat efisien dan mudah dilihatnya karena hanya mengolah air laut menjadi air tawar. Akan tetapi, pemeliharaan dan peralatan yang digunakan sangat mahal. Selain itu, pemakaian daya listrik cenderung sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan petugas yang kompeten di bidangnya untuk mengoperasikan Instalasi Pengolahan Air Laut berbasis teknologi desalinasi tersebut.

Gambar 4 memberi ilustrasi tentang lokasi instalasi pengolahan air laut di kawasan pantai. Tampak pada gambar ini unit-unit instalasi pengolahan air laut. Instalasi ini juga memerlukan lahan yang relatif luas dan pengadaannya memerlukan proses alih fungsi lahan. Mungkin saja, sebelumnya digunakan untuk lahan budidaya tambak udang atau tambak ikan. Oleh karena itu, dampak alih fungsi lahan harus dipertimbangkan dalam proses perencanaan sehingga keputusan alih fungsi lahan di pantai ini dipilih yang paling ramah lingkungan.

5.     Daur Ulang Limbah Non-Kakus (Grey Water)

Air bekas pakai dari kamar mandi, air cuci pakaian dan dari dapur termasuk air nonkakus (grey water) karena bukan dari kotoran manusia termasuk air pembersihnya. Sementara itu, kotoran beserta air yang ditampung di kloset disebut air kakus (black water). Kandungan bahan cemaran grey water tidak sepekat black water, berpotensi besar untuk dimanfaatkan kembali. Kadar nitrogen didalam grey water hanya 10% dari black water. Selain itu, kandungan bakteri patogen yang merugikan dalam grey water hanya sedikit. Volume grey water bisa mencapai 60% dari total air buangan rumah tangga sehingga berpotensi besar untuk didaur ulang menjadi air bersih dan dapat digunakan kembali (Bestari et al., 2017).

Tangki septik yang dilengkapi dengan lahan basah buatan (constructed wetland) dapat juga memperbaiki kualitas efluennya dengan cara mengurangi kadar BOD (Biochemichal Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) sebelum dibuang ke badan air (Saputri, 2021). Oleh karena itu, peluang daur ulang grey water apalagi black water, masih perlu diuji kelayakannya secara teknis, sosial dan ekonomi serta budaya.

Gambar 5 adalah gambaran sistem daur ulang grey water untuk penyediaan air bersih. Tampak pada gambar ini perubahan air bersih sebelum dan sesudah pemakaiannya. Sebelum pemakaian, air yang dipasok masih dalam keadaan bersih. Namun, setelah dipakai untuk cuci pakaian, cuci peralatan rumah tangga, mandi dan pembersih setelah buang air besar dan buang air kecil, airnya menjadi kotor sehingga harus dibersihkan kembali sebelum dikembalikan ke media lingkungan atau didaur ulang.

Pengaliran atau pembuangan air kotor ke media lingkungan hidup adalah contoh praktik kegiatan yang tidak berkelanjutan dan ramah lingkungan karena mencemari lingkungan. Sebaliknya, daur ulang air kotor atau air limbah non-kakus (grey water) maupun air limbah dari kakus (black water) adalah contoh praktik kegiatan berkelanjutan dan ramah lingkungan.

 

Beberapa solusi untuk meningkatkan pengelolaan air bersih pada kawasan wisata pulau kecil telah diuraikan. Namun, semua teknologi tersebut tentu tidak akan optimal apabila tidak ada inovasi atau perawatan berkala pada infrastruktur pengelolaan air bersih di pulau-pulau kecil tersebut. Kekayaan (asset) infrastruktur permukiman yang dibangun di kawasan wisata, harus dirawat dengan baik sesuai persyaratan yang berlaku. Perawatan yang baik mampu menjaga mutu pelayanan kepada penggunanya. Selain itu, dapat menjaga keberlanjutan infrastruktur dan menjaga tetap ramah lingkungan. Sebaliknya, perawatan yang tidak baik, dapat menimbulkan kerusakan infrastruktur sehingga umur layanannya berkurang dan tidak ramah lingkungan. Dengan demikian, perawatan infrastruktur yang memadai adalah contoh praktik kegiatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pemenuhan kewajiban untuk mewujudkan kawasan wisata pulau yang baik dan sehat pada semua tingkatan sesuai tanggung jawab masing-masing, juga contoh praktik kegiatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Apabila kewajiban tersebut sudah terpenuhi, maka hak-hak semua orang secara individu maupun kelompok masyarakat, dan orang-orang yang bekerja di lembaga pemerintah dan swasta, untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat, otomatis akan terpenuhi. Hak dan kewajiban untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan telah disebutkan di dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kesimpulan

Masalah air di pulau-pulau kecil terutama terkait dengan kuantitas dan kualitas sumber daya air tawar yang terbatas.

Beberapa teknologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas air di pulau-pulau kecil memerlukan analisis kelayakan sebelum diaplikasikan. Informasi yang diperlukanmeliputi bentuk topografi, curah hujan, luasan wilayah pulau-pulau kecil tersebut.

Hasil analisis kelayakan teknologi, lingkungan, sosial ekonomi, dan budaya menjadi acuan pengambilan keputusan pemilihan satu sumber air atau kombinasi dari beberapa sumber air baku serta pilihan teknologi, termasuk pengoperasian dan pemeliharaannya. Pilihan teknologi manajemen terbaik adalah yang mengedepankan aspek keberlanjutan teknis, lingkungan, sosial, dan ekonomi serta aspek ramah lingkungan atau pilihan yang berdampak minimal terhadap lingkungan.

 

 

 

 

Sumber : Oleh Ario Wisnu Wicaksono Dalam BUNGA RAMPAI INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DI KAWASAN WISATA Penerbit Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2023