Pembangunan di kawasan perkotaan yang demikian pesat telah menjadikan kawasan ini memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Begitu pula, dengan setiap aspek kehidupan sosial di dalamnya yang juga berkembang dengan sangat baik.
HAL
INI memunculkan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan yang pada
akhirnya, mengakibatkan peningkatan laju urbanisasi.
Percepatan
laju urbanisasi berakibat pula pada terdesaknya sektor pertanian yang berujung pada
penurunan produktivitas pertanian. Hal tersebut ditandai dengan semakin
tingginya konversi lahan pertanian menjadi kawasan perkotaan. Akibatnya,
Indonesia harus mendatangkan produk-produk pertanian dari luar negeri untuk
memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.
Sementara
itu, populasi penduduk yang semakin meningkat diperkirakan mencapai angka
sekitar 400 juta jiwa di tahun 2035, berbanding lurus dengan kebutuhan pangan
masyarakat Indonesia. Dalam kurun waktu 35 tahun mendatang, kebutuhan pangan
masyarakat diperkirakan akan meningkat lebih dari dua kali lipat kebutuhan
pangan saat ini (Siswono Yudohusodo. 2002). Dengan demikian, penurunan produktivitas
pertanian dikhawatirkan dapat menimbulkan kondisi rawan pangan di masa mendatang.
Namun,
penurunan produktivitas pertanian tidak hanya semata-mata disebabkan
terdesaknya sektor pertanian akibat konversi lahan dan percepatan urbanisasi.
Melainkan, juga dipicu oleh produktivitas dan pemasaran pertanian yang masih
rendah, budaya petani lokal yang cenderung subsisten, serta kelembagaan dan
lingkungan permukiman yang tidak kondusif.
Berkaca
pada kondisi tersebut, diperlukan upaya-upaya pengembangan kawasan perdesaan
yang mencakup segala aspek kehidupan dengan memanfaatkan seluruh potensi sumber
daya yang dimiliki perdesaan. Sebagai sebuah negara yang memiliki berbagai
produk unggulan di setiap daerahnya, pengembangan ekonomi Indonesia hendaknya
berorientasi pada pembangunan agribisnis yang berbasis pertanian. Maka,
pengembangan Kawasan Agropolitan pun menjadi alternatif solusi pembangunan
kawasan perdesaan. Kawasan Agropolitan memungkinkan pembangunan dengan tetap
berbasis pada sektor pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi desa yang
dipadukan dengan pembangunan sektor industri melalui pengembangan prasarana dan
sarana layaknya perkotaan yang disesuaikan dengan lingkungan perdesaan.
Dengan
kata lain, pengembangan Kawasan Agropolitan merupakan penguatan sentra-sentra
produk pertanian yang berbasiskan pada kekuatan internal sehingga perdesaan
menjadi kawasan yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan daya kompetensi, baik
secara interregional maupun intraregional. Oleh karena itu, keberhasilan
pembangunan Kawasan Agropolitan membutuhkan komitmen dan tanggung jawab dari
segenap aparatur pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Dengan demikian,
pembangunan kawasan ini dapat berlangsung secara terintegrasi, terarah,
efektif, dan eftsien sehingga tercipta keterpaduan dengan pembangunan sektor
lainnya dan pembangunan yang berwawasan lingkungan.
Pengembangan
Kawasan Agropolitan pun menjadi salah satu program pengembangan permukiman
perdesaan yang dilaksanakan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) melalui Direktorat
Jenderal Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Permukiman. Dengan program yang
terfokus pada penyediaan dan kemajuan infrastruktur perdesaan, yaitu berupa
prasarana dan sarana yang memadai dan mendukung pengembangan sistem dan usaha
agribisnis, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan Kawasan
Agropolitan, khususnya masyarakat perdesaan.
Konsep Kawasan Agropolitan
Secara
haraftah. istilah Agropolitan berasal dari kata Agro yang berarti 'pertanian'
dan Polis/Politan yang berarti 'kota'. Dalam buku Pedoman Umum Pengembangan
Kawasan Agroplitan & Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan
Agropolitan yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian, Agropolitan dideftnisikan
sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan
usaha agribisnis sehingga mampu melayani, mendorong, menarik, serta menghela
kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Buku
tersebut juga mendefinisikan Kawasan Agropolitan sebagai sistem fungsional desa-desa
yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yang ditandai dengan keberadaan
pusat agropolitan dan desa-desa disekitarnya sehingga terbentuklah Kawasan
Agropolitan.
Definisi
Kawasan Agropolitan pun telah termaktub dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang yang menyebutkan Kawasan Agropolitan sebagai kawasan
yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai
sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang
ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan
sistem permukiman dan agrobisnis.
Ada
pun konsep Agropolitan merupakan konsep yang dikenalkan Friedman dan Douglas (1975).
Konsep ini ditawarkan atas pengalaman kegagalan pengembangan sektor industri
yang terjadi dialami negara-negara berkembang di Asia. Kegagalan tersebut
mengakibatkan terjadinya hyper ubanization, pembangunan hanya terjadi di
beberapa kota saja, tingkat pengangguran dan setengah penggangguran yang
tinggi, kemiskinan akibat pendapatan yang tidak merata, terjadinya kekurangan
bahan pangan, penurunan kesejahteraan masyarakat desa, serta ketergantungan
kepada dunia luar.
Friedman
mengungkapkan konsep agropolitan sebagai distrik-distrik agropolitan yang
merupakan kawasan pertanian perdesaan dengan kepadatan penduduk rata-rata 200
jiwa/km2 •
Distrik
agropolitan terdiri atas kota-kota tani berpenduduk 10.000- 25.000 jiwa. Luas
wilayahnya dibatasi dengan radius sejauh 5-10 km sehingga menghasilkan jumlah
penduduk total antara 50.000- 150.000 jiwa yang mayoritas bekerja di sektor
pertanian. Konsep Friedman tidak membedakan secara spesifik antara pertanian
modern ataupun konvensional dan menyebutkan setiap distrik sebagai satuan
tunggal yang terintegrasi.
Definisi
Friedman di atas menggunakan besaran penduduk dan luasan wilayah sebagai ukuran.
Maka. dapat disimpulkan bahwa suatu distrik Agropolitan setara dengan 1 Wilayah
Pengembangan Parsial (WPP) permukiman transmigrasi jika dilihat dari besaran
penduduknya. Sedangkan. jika dilihat dari luasan wilayahnya yang berkisar pada
100- 250 km2 atau 10.000- 25.000 ha. ukurannya dapat lebih kecil dari luasan 1
WPP. Apabila dilihat secara administratif, besaran penduduk dan luasan wilayah
tersebut setara dengan luasan wilayah kecamatan yang berpenduduk sampai dengan 25.000
jiwa dan sudah dapat berfungsi sebagai suatu simpul jasa distribusi.
Sementara,
berdasarkan strukturnya, Kawasan Agropolitan dibedakan atas Orde Pertama (Kota
Tani Utama), Orde Kedua (Pusat Distrik Agropolitan atau Pusat Pertumbuhan), dan
Orde Ketiga (Pusat Satuan Kawasan Pertanian). Setiap orde berfungsi sebagai
simpul jasa koleksi dan distribusi dengan skala yang beragam dan berjenjang
(hirarki) serta pusat pelayanan permukiman. Antarsimpul tersebut disambungkan
oleh jaringan transportasi yang sesuai. Orde Pertama dan Kedua dipisahkan oleh
jarak sekitar 35-60 km. sesuai dengan· kondisi gegografis wilayah. Sedangkan,
Orde Kedua dan Ketiga terletak dalam satu distrik agropolitan yang berjarak
sekitar 15-35 km satu sama lainnya.
Menurut
definisi yang ada, Agropolitan atau Kota Pertanian dapat merupakan Kota
Menengah, Kota Kecil, Kota Kecamatan, Kota Perdesaan, atau Kota Nagari yang
berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Sebagai pusat pertumbuhan, Kota
Pertanian ini pun mampu mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan
desa-desa di wilayah sekitarnya (hinterland) melalui pengembangan berbagai sektor,
mulai dari pertanian, industri kecil, jasa pelayanan, hingga pariwisata.
Pengembangan
Kawasan Agropolitan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan
masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterikatan
desa dan kota. Hal ini dapat terwujud melalui pengembangan sistem dan usaha
agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan, dan
terdesentralisasi di Kawasan Agropolitan. Sementara itu, pengembangan kawasan
ini juga ditujukan untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi
menjadi Kawasan Agropolitan melalui strategi pengembangan sebagai berikut:
•
Meningkatkan diversifikasi ekonomi perdesaan melalui peningkatan nilai tambah
dan daya saing produk pertanian, baik berupa hasil produksi maupun olahan.
•
Meningkatkan akses petani terhadap sumberdaya produktif dan permodalan dengan
memfasilitasi ketersediaan layanan yang dibutuhkan petani dan masyarakat.
Layanan dapat berupa penyediaan sarana produksi, sarana pascapanen, dan
permodalan yang tersedia di kawasan dalam jumlah, jenis, waktu, kualitas, dan
lokasi yang tepat.
•
Meningkatkan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam upaya memajukan industri
pertanian sesuai kebutuhan masyarakat. Prasarana dan sarana publik yang
disediakan pemerintah dilaksanakan dengan pendekatan kawasan, yaitu
memerhatikan hasil identifikasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya
buatan, serta tingkat perkembangan Kawasan Agropolitan.
•
Mewujudkan permukiman perdesaan yang nyaman dan tertata, serta menjaga
kelestarian lingkungan melalui pengaturan dan pelaksanaan masterplan Kawasan
Agropolitan secara konsisten dan terkoordinasi.
Visi
dan misi yang telah ditetapkan, kemudian diterjemahkan ke dalam Kebijakan dan
Strategi Pembangunan lnfrastruktur Agropolitan berupa dukungan terhadap
pengembangan sistem dan usaha Agribisnis. Dengan demikian, kebijakan dan
strategi yang ditetapkan mampu mendorong ketiga hal, yaitu :
a.
Peningkatan produktivitas hasil pertanian sehingga dihasilkan produk-produk
pertanian yang berdaya saing tinggi dan diminati pasar.
b.
Pengolahan hasil pertanian untuk memperoleh nilai tambah atas produk hasil
pertanian sebagai produk primer dengan menjadikannya berbagai produk olahan,
baik intermediate product maupun final product.
c.
Pemasaran hasil pertanian untuk menunjang sistem pemasaran hasil pertanian
dengan memperpendek mata rantai tata niaga perdagangan hasil pertanian. Mulai
dari sentra produksi sampai ke sentra pemasaran akhir (outlet).
Pengembangan
Kawasan Agropolitan yang sepenuhnya memanfaatkan potensi lokal merupakan konsep
Agropolitan yang sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya sosial
lokal. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), pengembangan
Kawasan Agropolitan haruslah mendukung pengembangan kawasan andalan.
Oleh
karena itu, pengembangannya tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem
pusatpusat kegiatan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten.
Sementara
itu, kondisi negeri ini sangat memungkinkan untuk dikembangkannya Kawasan
Agropolitan. Kondisi yang dimaksud adalah adanya ketersediaan lahan pertanian
dan tenaga kerja yang murah di Indonesia. Sebagian besar petani juga telah
memiliki kemampuan (skills) dan pengetahuan (knowledge) yang didukung oleh
keberadaan jaringan sektor hulu dan hilir serta kesiapan institusi.
Namun
demikian, pengembangan Kawasan Agropolitan bukan tanpa kendala. Beragam permasalahan
yang dihadapi, antara lain pengembangan produk pertanian yang belum mendapat
dukungan makro ekonomi sepenuhnya, keterbatasan jaringan infrastruktur fisik
dan ekonomi, serta potensi dan peluang investasi di seluruh sektor yang masih
belum tergali sehingga investor lebih berminat menanamkan modalnya di kawasan
yang telah maju. Selain itu, kebijakan fiskal dan moneter juga belum berpihak
pdda sektor pertanian yang ditandai dengan masuknya produkproduk pertanian
impor secara bebas serta tingginya suku bunga kredit pertanian.
Mekanisme Pengembangan Kawasan Agropolitan
Secara
internal, Kawasan Agropolitan terdiri dari kota-kota pertanian dan desa-desa
sentra produksi pertanian. Kawasan ini tidak dibatasi oleh batasan
administratif pemerintahan (desa/ kelurahan, kecamatan, dan kabupaten/ kota).
Melainkan, disesuaikan dengan memerhatikan skala ekonomi kawasannya sehingga
dirasakan lebih fleksibel. Dengan demikian, bentuk dan luasan Kawasan
Agropolitan dapat meliputi satu desa/kelurahan, kecamatan, atau beberapa
kecamatan dalam satu wilayah Kabupaten/Kota. Kawasan ini dapat pula meliputi
wilayah yang menembus wilayah Kabupaten/Kota lain yang berbatasan.
Dari
sisi eksternal, Kawasan Agropolitan harus memiliki aksesibilitas dengan
kota-kota berjenjang lebih tinggi di sekitarnya untuk menciptakan sebuah sistem
pemasaran yang terpadu. Pada dasarnya, perdesaan yang menjadi sasaran lokasi
pengembangan Kawasan Agropolitan adalah yang memiliki komoditi unggulan
pertanian, seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan
perikanan.
Dalam
pengembangan Kawasan Agropolitan, terurai mekanisme pengajuan usulan
pengembangan Kawasan Agropolitan. Cakupan mekanisme berupa prosedur pengajuan
lokasi dan proses pemilihan/penilaian Kawasan Agropolitan. Berkenaan dengan
prosedur pengajuan lokasi, mekanismenya meliputi kegiatan-kegiatan berikut ini.
a.
Usulan dari Kabupaten oleh Pemerintah Provinsi.
Pemerintah Kabupaten mengajukan usu Ian mengenai Kawasan Agropolitan.
Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten telah melakukan identifikasi potensi dan
masalah terlebih dahulu. ldentifikasi dimaksudkan untuk mengetahui kondisi dan
potensi lokal, yaitu komoditas unggulan. Lokasi Kawasan Agropolitan yang berada
di dalam kawasan kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.
b.
Pemerintah Pusat menilai kesiapan lokasi untuk
dapat dikembangkan sebagai Kawasan Agropolitan. Penilaian dilakukan berdasarkan
kelengkapan persyaratan administrasi dan potensi lokasi kawasan yang diusulkan.
Persyaratan administrasi berupa dokumen perencanaan yang terdiri dari SK
lokasi, SK pokja, Masterplan, RPIJM, dan DED.
c.
Pengembangan Kawasan Agropolitan yang diusulkan
dapat dipenuhi jika telah memenuhi kondisi berikut.
• Apabila
kelengkapan administrasi dan potensi kawasan yang diusulkan telah memenuhi
persyaratan dalam butir huruf b.
• Apabila
kelengkapan administrasi belum terpenuhi semua, tetapi kawasan yang diusulkan
memiliki potensi yang baik, dilihat dari profil kawasan tersebut, maka kawasan
ini akan diberi kesempatan untuk melengkapinya. Apabila dalam kurun waktu 1
tahun belum terlengkapi, dana bantuan pembangunan pada tahun berikutnya akan
dihentikan untuk sementara.
Kawasan
Agropolitan yang dikembangkan merupakan bagian dari sistem kewilayahan
kabupaten. Oleh karena itu, potensi kabupaten harus dikaji terlebih dahulu
berdasarkan pertimbangan aspek strategis dari unsur/komponen makro pembentuk
Kawasan Agropolitan, yakni memiliki komoditas/potensi unggulan yang dapat
diandalkan untuk mengembangkan kawasan secara keseluruhan. Potensi/komoditas
unggulan dapat berupa ketersediaan sumber alam potensial, prasarana dan sarana,
atau kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang memadai. Proses
penilaian/pemilihan Kawasan Agropolitan yang diusulkan diuraikan secara lebih
detil berikut ini:
•
Program-program pengembangan kawasan dari departemen/badan yang memiliki
keterkaitan lingkup kegiatan (tupoksi) dengan pengembangan kawasan berbasis
agribisnis.
• Komoditas
unggulan sebagai pemicu untuk tumbuh kembangnya kehidupan dan penghidupan dari
sektor-sektor komoditi ikutan lainnya. Komoditas tersebut meliputi komoditas
subsektor tanaman pangan, subsektor perkebunan, subsektor perikanan, dan
subsektor peternakan.
• Potensi
kabupaten yang akan dikembangkan menjadi Kawasan Agropolitan. Potensi kabupaten
merupakan faktor pendukung berkembangnya Kawasan Agropolitan.
• Kawasan
Agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administrasi pemerintahan. Namun,
prosedur penetapannya dimulai dari penetapan kabupaten terpilih dan basis
analisa data berdasarkan batas administrasi. Oleh karena itu, proses penilaian
Kawasan Agropolitan diawali dengan proses penilaian Kabupaten yang berpotensi
untuk mendapatkan kawasan terpilih.
•
Ketersediaan infrastruktur sebagai unsur penting dalam pembangunan Kawasan
Agropolitan.
•
Persyaratan pengembangan Kawasan Agropolitan sebagai kriteria untuk mengidentifikasi
Kawasan Agropolitan.
Disamping
itu, pemilihan Kawasan Agropolitan pun harus dapat meliputi sejumlah kriteria,
sebagai berikut:
• Kawasan
Agropolitan merupakan satu kesatuan kawasan perdesaan yang terdiri dari desa
pusat dan desa-desa hinterlandnya yang diindikasikan oleh adanya hubungan
fungsional antara kegiatan di desa pusat (zona inti) dan di desa hinterlandnya;
• Mempunyai
potensi khusus atau komoditas unggulan yang dapat diandalkan untuk
mengembangkan kawasan secara keseluruhan.
• Kawasan
Agropolitan yang diusulkan sudah menetapkan struktur hirarki kawasan.
• Memiliki
sistem kelembagaan dan sistem pengelolaan yang mendukung berkembangnya Kawasan
Agropolitan seperti adanya organisasi petani, organisasi produsen agribisnis,
dan lain-lain.
• Komitmen
yang kuat dari pemerintah daerah dengan diterbitkannya SK penetapan kawasan
dari Bupati atau dana bantuan dari pemerintah daerah setempat.
Pada kawasan
yang telah berhasil dikembangkan sebagai Kawasan Agropolitan, kawasan tersebut
memiliki ciri-ciri yang dapat diidentifikasi dengan jelas. Adapun ciri khas
dari Kawasan Agropolitan yang telah berkembang, dijabarkan sebagai berikut:
a. Kegiatan
agribisnis (pertanian) merupakan kegiatan perekonomian utamanya, kegiatan ini
mencakup industri pengolahan hasil pertanian, perdagangan dan kegiatan ekspor
hasil pertanian, perdagangan agribisnis hulu berupa sarana pertanian dan
permodalan, agrowisata, serta jasa pelayanan.
b. Dengan
agribisnis sebagai kegiatan utamanya, maka pendapatan sebagian besar
masyarakatnya pun diperoleh dari kegiatan agribisnis.
c. Tercipta
hubungan timbal balik (interdependensi) yang harmonis dan saling membutuhkan
antara kota dan desa-desa di Kawasan Agropolitan. Dalam Kawasan Agropolitan
dikembangkan usaha budidaya (on farm) dan industri olahan skala rumah tangga
(off farm). Sementara, kota menyediakan beragam fasilitas yang mendukung
perkembangan usaha budidaya dan agribisnis.
d.
Ketersediaan infrastruktur berupa prasarana dan sarana yang memadai di Kawasan
Agropolitan telah menciptakan kehidupan masyarakat layaknya di kawasan
perkotaan.
Dalam hal
pembiayaan, pada prinsipnya, pembiayaan Kawasan Agropolitan dilakukan secara
swadaya masyarakat, baik masyarakat tani, pelaku penyedia agroinput, pengolah hasil,
pelaku pemasaran, penyedia jasa yang mendapat dukungan dan fasilitasi APBN dan
APBD dari Pemerintah. Pembiayaan Pemerintah lebih diarahkan untuk membiayai
prasarana dan sarana publik dan berbagai kegiatan strategis, seperti
penelitian, pelatihan, pendidikan penguatan kelembagaan petani, serta promosi.
Dukungan
lnfrastruktur Kawasan Agropolitan
Keberhasilan
pengembangan Kawasan Agropolitan tak terlepas dari dukungan sistem
infrastruktur dasar yang membentuk struktur ruang. Untuk itu, melalui Satuan
Kerja Penyediaan Prasarana dan Sarana Agropolitan, Ditjen Cipta Karya membangun
infrastruktur dasar bagi perdesaan yang menjadi sasaran lokasi Kawasan
Agropolitan. lnfrastruktur yang disediakan meliputi prasarana dan sarana yang
mendukung berbagai kegiatan agribisnis berikut.
a.
Sub-sistem agribisnis hulu
Prasarana
dan sarana yang disediakan dapat berupa kios-kios Sarana Produksi Pertanian
(Saprotan), gudang, pelataran parkir, dan tempat bongkar muat barang.
b. . Sub-sistem
usaha tani (on-farm agribisnis)
Prasarana
dan sarana yang disediakan berupa:
• Penyediaan
air baku untuk meningkatkan produksi dengan saluran irigasi terbuka, irigasi
tetes, embung-embung, sumur bor, dan sprinkler.
• Penyediaan
air bersih untuk pencucian hasil dengan sistem perpipaan atau sumur dalam.
c. Sub-sistem
pengolahan hasil
Prasarana
dan sarana dapat berupa tempat penjemuran hasil pertanian; gudang penyimpanan
yang dilengkapi sarana pengawetan/pendinginan (cold storage) dan packing house
untuk tempat sortasi dan pengepakan; sarana industri kecil, termasuk food
services; serta Rumah Potong Hewan (RPH).
d. Sub-sistem
pemasaran hasil
Prasarana
dan sarana dapat berupa pasar tradisional yang terdiri dari kios-kios, los-los,
pelataran parkir, dan tempat bongkar muat barang, prasarana dan sarana
SubTerminal Agribisnis (STA), pasar hewan, jalan antar desa-kota, serta
jembatan.
e. Sub-sistem
jasa penunjang
Prasarana
dan sarana yang disediakan dapat berupa:
• Sarana
Utilitas Umum, seperti jaringan air bersih, sanitasi, persampahan, drainase,
listrik, telepon, dan internet.
• Sarana
Pelayanan Umum, seperti pusat perbelanjaan, kesehatan, pendidikan, perkantoran,
peribadatan, rekreasi dan olahraga, serta ruang terbuka hijau.
• Sarana
Kelembagaan, seperti Badan Pengelola Agropolitan, Kantor Perbankan, Koperasi,
Unit-unit Usaha Agropolitan.
•
Pembangunan Kasiba dan Lisiba berikut fasilitas umum dan sosial yang
dibutuhkan.
• Penyusunan
kebijakan pengembangan Kawasan Agropolitan.
• Penyusunan
rencana tata ruang Kawasan Agropolitan.
Keberhasilan
pengembangan Kawasan Agropolitan juga dapat tercapai dengan menerapkan konsep
agropolitan secara tepat di lapangan. Pelaksanaannya harus berjalan secara
terpadu dan di bawah pemantauan (monitoring) kelompok kerja (Pokja) yang
ditetapkan dan bertanggung jawab kepada Bupati/ Walikota. Apabila wilayah
Kawasan Agropolitan merupakan lintas kabupaten, maka pemantauan oleh Pokja
Provinsi yang bertanggung jawab kepada Gubernur.
Disamping
itu, pengembangan kota pertanian ini harus melibatkan petani-petani perdesaan
untuk bersama-sama membangun sebuah sistem pertanian yang terintegrasi.
Kemudian, melibatkan setiap instansi sektoral di perdesaan untuk mengembangkan
pola agribisnis dan agroindustri yang dilaksanakan secara simultan. Peran serta
dan dukungan dari stakeholder terkait seperti Pemerintah Pusat, Pemprov,
Pemkab, RPJM Nasional dan Daerah, swasta, dan masyarakat-juga sangat dibutuhkan
demi kelancaran perkembangan Kawasan Agropolitan.
Kunci
keberhasilan lainnya adalah dengan menetapkan setiap distrik agropolitan
sebagai suatu unit tunggal otonom mandiri sehingga dapat terjaga dari besarnya
intervensi sektorsektor pusat yang tidak terkait. Dilihat dari segi ekonomi,
unit tunggal yang mandiri akan mampu mengatur perencanaan dan pelaksanaan
pertaniannya sendiri, tetapi tetap terintegrasi secara sinergis dengan
keseluruhan sistem pengembangan wilayah.
Dengan kata
lain. keberhasilan pengembangan Kawasan Agropolitan membutuhkan sebuah
kesiapan, komitmen, konsistensi, serta perubahan mendasar dalam sistem
pelaksanaan pembangunan daerah. Disamping itu, Pemerintah Daerah pun harus
memiliki kesanggupan untuk meneruskan pengembangan Kawasan Agropolitan secara
berkelanjutan demi tercapai kawasan yang mandiri melalui kemampuan sumber daya
yang dimiliki.
Dari uraian
tersebut, maka pelaksanaan program pengembangan Kawasan Agropolitan harus
memerhatikan beberapa hal berikut ini:
•
Pembangunan, pemeliharaan, serta pengembangan prasarana dan sarana berdasarkan
program yang disepakati bersama dalam rangka menyediakan fasilitas yang memadai
dan mendukung sistem dan usaha agribisnis, serta mewujudkan tujuan dan sasaran
pengembangan Kawasan Agropolitan.
• Mendorong
kemitraan dengan seluruh stakeholder, terutama kemitraan antara swasta/BUMN
dengan petani/ kelembagaan petani.
•
Pelaksanaan monitoring, evaluasi, pengendalian, dan pengawasan secara berkala
dan teratur agar seluruh kegiatan dapat berlangsung secara efisien dan efektif.
Salah satu
upaya evaluasi dalam pelaksanaan program pengembangan Kawasan Agropolitan
adalah dengan menyusun lndikator Keberhasilan. lndikator Keberhasilan yang
disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kemampuan daerah masing-masing ini
mencakup dampak dan output, dijelaskan dalam jenis dan angka-angka persentase.
Dampak
pengembangan Kawasan Agropolitan diharapkan mampu meningkatkan pendapatan
masyarakat, khususnya petani, dan produktivitas lahan di Kawasan Agropolitan
minimal 5%. Selain itu, investasi masyarakat (petani, swasta, BUMN) di Kawasan
Agropolitan meningkat minimal 10%. Sementara, dari sisi output, lndikator
Keberhasilan dapat terlihat dari beberapa hal berikut:
a. Sebanyak
80% kelembagaan petani mam - pu menyusun usaha yang berorientasi pasar dan
lingkungan.
b. Jaringan
bisnis dari petani/kelompok petani terbentuk dan berlangsung aktif.
c. Tiap desa
dan kecamatan di Kawasan Agropolitan menyusun program tahunan secara
partisipatif dan disetujui bersama untuk dilaksanakan.
d. Rencana
Kegiatan Jangka Panjang dan Detail Engineering Design untuk pelaksanaan fisik
prasarana dan sarana di Kawasan Agropolitan disetujui bersama untuk
dilaksanakan dan 70% dapat dilaksanakan di Kawasan Agropolitan.
e. Sebanyak
80% kontak tani/petani maju terpilih yang dilatih mampu menjadi tempat belajar
bagi petani di lingkungannya.
Sumber: Agropolitan & Minapolitan Konsep Kawasan Menuju Keharmonian,
Penerbit KEMENTERIAN
PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA Tahun 2012