Tampilkan postingan dengan label Identitas Sejarah. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Identitas Sejarah. Tampilkan semua postingan

Rabu, 15 Januari 2025

Kawasan Cagar Budaya Kotabaru : Modern Heritage in City Planning “Menjaga Identitas Sejarah dalam Perencanaan Kota”

Sejarah Kota Baru

Pada awal berdirinya Kraton Yogyakarta tahun 1755, tata ruang Yogyakarta masih berupa tata ruang dasar yang berkembang dengan munculnya permukiman bangsawan serta abdi dalem. Di tahun 1790, masa awal kedatangan Belanda di Yogyakarta, dibangun hunian residen Belanda di utara Alun-alun utara, Belanda juga membangun Benteng Vredeburg di sisi Timur hunian residennya. Peningkatan kedatangan penduduk eropa dipicu adanya kemunculan pabrik - pabrik gula di Yogyakarta, setidaknya ada 19 pabrik gula yang berkembang di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta kenaikan penduduk tersebut memaksa residen Cornelis Canna membuat permukiman yang sanggup menampung penduduk Eropa di Yogyakarta. Kotabaru merupakan salah satu kawasan yang direncanakan untuk hunian masyarakat kolonial dengan nuansa yang hampir mirip dengan kota di Belanda (Irianadewi, 2002). Kotabaru (Nieuwe Wijk), semula adalah lahan kosong milik Sultan yang disewa oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemilihan lahan tersebut menjadi Kotabaru dinilai sangat strategis karena berada di sebelah timur Sungai Code yang tidak jauh dari kawasan Malioboro sebagai pusat ekonomi; sebelah selatannya terdapat stasiun kereta api lempuyangan sering digunakan untuk transportasi darat menuju Semarang dan Solo; sementara sebelah Timur berbatasan dengan Klitren (Hudiyanto, 1997).



Pada Tahun 1942, Yogyakarta kedatangan bala tentara militer Jepang ke Indonesia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan minyak yang akan digunakan sebagai bahan bakar untuk perang melawan Cina. Bala tentara militer Jepang dalam tahap ekspansinya melakukan propaganda terlebih dahulu, toko - toko di daerah Ketandan, Malioboro, dan Kranggan dibuka dengan harga yang sangat murah dan memiliki pelayanan yang ramah. Berbeda dengan toko yang dibuka oleh orang Belanda, yang dipatok dengan harga mahal dan pelayanan kurang baik.

Propaganda ini digunakan untuk menarik masyarakat Yogyakarta dan mencari simpati. Pada tanggal 1 Maret 1942 pasukan tentara XVI Angkatan Darat Jepang mendarat di tiga tempat di Pulau Jawa yaitu di Banten, Eretan Wetan, dan Karagan (Mudaryanti, 1979). Dengan cepat, Jepang berhasil mengusai kota - kota di pulau Jawa termasuk Yogyakarta melalui Surakarta dengan tidak mendapatkan perlawanan dari Belanda (Lienau, 1979). Penyerahan tak bersyarat mulai dilakukan Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal H. Ter Poorten kepada Letjen Hitoshi Imamura di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Sedangkan di Yogyakarta penyerahan dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di ruang tamu kediaman Gubernur L. Adam yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda di Yogyakarta.

Ketika penduduk Hindia Belanda meninggalkan rumahnya di Kotabaru serta kedatangan Jepang ke Indonesia, perumahan Kotabaru diambil alih oleh pemerintahan Yogyakarta dan disewakan kepada penduduk pribumi yang bersedia (Fakih, 2008). Tak berselang lama memerintah di Yogyakarta, Jepang menimbulkan kekacauan dengan menyuruh penduduk kampung untuk mencuri isi rumah Belanda yang telah ditinggalkan. Bangunan yang ditinggalkan oleh Belanda mengalami perubahan fungsi ketika Pemerintah Jepang memerintah, termasuk di kawasan Nieuwe Wijk. Saat Pemerintahan Jepang Kawasan Kotabaru digunakan untuk kepentingan perkantoran, perumahan, tangsi, serta gudang. Sementara untuk bangunan yang lebih luas seperti Gereja Santo Antonius digunakan sebagai markas militer tentara inti Jepang (Kidobutai) dan gudang senjata.

Setelah bom yang dijatuhkan Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah kepada sekutu dan berjanji akan menyerahkan kemerdekaan kepada Indonesia. Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, Kotabaru sekali lagi mengalami perubahan fungsi. Kotabaru berubah menjadi permukiman elit pribumi yang mampu membayar sewa atas hak tanah Kraton (Sofyan, 2013).

Garden City sebagai Identitas Kawasan Kotabaru



Kawasan Kotabaru didirikan dengan konsep kota taman (garden city), dan didesain oleh arsitek berkebangsaan Belanda bernama Thomas Karsten yang mengadaptasi teori dari seorang planner berkebangsaan Inggris bernama Ebenezer Howard. Simonds (1994) menyatakan bahwa perencanaan new town yang menggunakan konsep garden city selalu memiliki :

a.     enam buah boulevard, yang menghubungkan pusat kota dengan luar kota, ditengah kota terdapat area terbuka seluas 5 ½ acres yang difungsikan sebagai taman dan dikelilingi oleh fasilitas sosial, perkantoran pemerintah, rumah sakit, gedung konser, museum, dan perpustakaan;

b.     grand avenue, yaitu area hijau dengan lebar 420 kaki dan di daerah ini terdapat sekolah dan area rekreasi, serta area terbuka yang ditanami pohon – pohon besar;

c.     grand avenue dan greenbelt, terdapat area permukuman, industri, dan pertokoan pada masing – masing zona yang dibagi oleh avenue; serta

d.     sisi luar dikelilingi oleh green belt yang merupakan area pertanian yang permanen dan berfungsi sebagai penyaring polusi dari daerah perkotaan, luas area tersebut yaitu 5000 acres.

Modern Heritage di Kotabaru

Menurut identifikasi dan dokumentasi warisan modern UNESCO (2003), konsep modern heritage yaitu perencanaan kota, arsitektur, dan desain lanskap dari abad ke-19 dan ke-20. Tipologi heritage yaitu pembangunan baru komplek industri, moda baru dalam transportasi dan komunikasi, tipe baru perencanaan kota dan standarisasi perumahan, teknologi dan material bangunan baru, serta konsep baru lanskap budaya (Van Oers, 2003). Menurut Ikaputra seorang akademisi Universitas Gadjah Mada, “driving force dari konsep modern heritage adalah adanya inovasi teknologi, adanya inovasi mesin, adanya revolusi industri, warisan klasik dan isu sosial, serta socialpolitical issues, dan lain – lain”. Keunikan Kawasan Kotabaru tidak dapat ditemukan di wilayah lain di Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai dari suasana, visual, karateristik, hingga fasilitas yang dimiliki kawasan cukup lengkap dengan konsep garden city-nya.



Konsep Garden City sebagai Modern Heritage diawali oleh Howard pada tahun 1890-an dan diperbaharui pada tahun 1902, didasari oleh keinginannya untuk menciptakan kota yang :

a. compact, yaitu membuat suatu permukiman yang padat dengan fasilitas yang sudah tersedia;

b. human scale community, yaitu membangun rumah dimana orang mampu dan bisa mengembangkan ide sesuai dengan keinginannya, serta mempunyai ruang terbuka hijau untuk masyarakat;

c. town-country blended ideas, yang bermula dari keinginan Howard untuk menciptakan kota dengan fasilitas yang memadai dengan suasana kota yang tetap asri. Konsep tersebut masih dijadikan acuan hingga saat ini dalam perencaan sebuah kota.

Modern Heritage pada kawasan Kotabaru memiliki keunikan yaitu pada bangunan-bangunan nya dengan konsep arsitektural indische. Arsitektur indische adalah akulturasi antara budaya atau arsitektur gaya eropa yang dominan dengan budaya negara Belanda dan bercampur dengan budaya Jawa. Menurut (Fakih, 2015) Konsep kawasan dan bangunan yang ada di kawasan Kotabaru ini memiliki ciri yaitu:

a.     bangunan dengan arsitektural gaya kolonial indische Belanda dengan skala yang lebih besar, proporsi kepala-badan-kaki bangunan, permukaan, dan pakem-pakem desainnya;

b.     proporsi untuk ruang terbuka hujau dan taman yang lebih besar; bangunan rumah yang lebih mundur dari sempadan jalan;

c.     terdapat vegetasi yang merata di kawasan ini dengan karakter vegetasi pohon perindang besar sehingga membuat kesan teduh;

d.     mempunyai ciri khas pada atap atap bangunan, yaitu kombinasi atap induk asimetris dan atap kecil, bentuk pelana atau limasan;

e.     ukuran jendela besar serta berlapis dan pintu yang besar;

f.      dominan cat berwarna terang (putih dan abuabu);

g.     konfigurasi jalan yang lebar;

h.     jalan raya (boulevard) yang menjadi poros jaringan jalan untuk menuju ruang terbuka (lapangan).

Kotabaru terkenal sebagai kawasan elite pada jamannya karena desain dan kelengkapan fasilitas pada masa itu. Bangunan atau rumah-rumah peninggalan Belanda itu sampai sekarang masih ada, meski sudah ada yang berubah menjadi kantor, sekolah, perdagangan jasa, maupun rumah tinggal. Beberapa ciri yang nampak adalah semua jalan yang terhubung satu sama lain, ada tempat publik seperti taman, lapangan dengan pepohonan besar yang rindang dan lain-lain. Jalan-jalan yang lebar dengan pohon-pohon besar yang sampai sekarang masih tumbuh dan terawat.

Salah satu ciri yang sampai sekarang masih terlihat adalah jalan yang menghubungkan pusat kota saat itu atau kawasan Malioboro yang dulu menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda dengan kawasan Kotabaru. Jalan itu dulunya bernama Kerk Weg (Jalan Gereja) atau jalan menuju Gereja Santo Antonius. Fasad bangunan yang ada di Kotabaru identik dengan warna dominan putih dan massa bangunan yang tidak simetris, pintu dan jendela yang berukuran besar serta dinding yang tebal. Keunikan lain dari Kotabaru adalah vegetasi yang ada di kawasan ini yang berupa pohon-pohon besar perindang, pohon yang harum baunya dan pohon buah-buahan. Pohon-pohon tersebut ditanam di halaman rumah, rumah sakit, sekolah, gereja maupun di sepanjang jalan serta boulevard.

Bangunan di Kotabaru sebagai kota compact bergaya Indische pada saat itu masih bertahan hingga sekarang. Kala itu, dibangun sarana penting termasuk sarana olahraga yang dikenal dengan Kridosono, dan sekolah untuk orang eropa seperti Algemeene Middlebare School (AMS) yang sekarang menjadi SMAN 3 Yogyakarta, Christelijke MULO School yang sekarang menjadi SMA Bopkri I Yogyakarta, dan Normal School yang saat ini menjadi SMPN 5 Yogyakarta. Terdapat juga Rumah Sakit Petronella, yang saat ini dikenal sebagai Rumah Sakit Bethesda, selain itu dibangun juga rumah ibadah pertama yaitu Gereja Kristen Protestan HKBP (Gereformeerde Kerk Djogja) dan disusul dengan dibangunnya Gereja Katolik Nieuwe Wijk Katholieke Kerk yang dikenal sebagai Gereja Katholik Santo Antonius Kotabaru.



Dalam Kawasan Kotabaru terdapat beberapa bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dan wajib mempertahankan fasad bangunannya sesuai dengan konsep kolonial (sumber: SK Gub DIY No 130). Bangunan tersebut terdiri dari beberapa rumah tinggal, Rumah Sakit Bethesda, Rumah Sakit dr. R. Soetarto, Museum Sandi, Bangunan Mess, Gedung Radio Republik Indonesia, Gereja, SMAN 3 Yogyakarta, SMPN 5 Yogyakarta, SMA BOPKRI 1 Yogyakarta, dan beberapa bangunan bergaya indische lainnya. Bangunan – bangunan tersebut menjadi penanda pada era rentang waktu yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan sosial ekonomi yang cepat.

Saat ini kawasan Kotabaru dikenal sebagai salah satu kelurahan di pusat Kota Yogyakarta yang dipenuhi dengan bangunan – bangunan bernuansa indische yang masih terjaga. Keunikan Kawasan Kotabaru menempatkan Kotabaru sebagai salah satu Satuan Ruang Strategis (SRS) sesuai dengan Peraturan Daerah Istimewa DIY Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Ruang Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.

Dalam Peraturan tersebut, Kotabaru masuk sebagai salah satu Satuan Ruang Strategis Tanah Kasultanan pada Tanah Bukan Keprabon (tanah bukan keprabon adalah Tanah Kasultanan atau Tanah Kadipaten yang asal – usulnya dari Kasultanan dan Kadipaten dengan hak Anggaduh, tanah yang telah digunakan oleh masyarakat atau institusi yang telah atau belum memiliki serat kekancingan, dan tanah yang belum digunakan).

Dalam pemanfaatannya, Kawasan Satuan Ruang Strategis (SRS) Kotabaru diperbolehkan sebagai ruang terbuka hijau; permukiman; bangunan pendukung fungsi kawasan budaya dan ilmu pengetahuan; perdagangan dan jasa; serta sarana pelayanan umum. Adapun ketentuan khusus arsitektur pada Satuan Ruang Strategis Kotabaru yaitu bangunan baru menggunakan gaya arsitektur indische dan kolonial.

Wilayah Satuan Ruang Strategis (SRS) Kotabaru terletak di antara 7° 46' 33,9'' LS - 7° 47' 33'' LS dan 110° 22' 4,9'' BT - 110° 22' 58,9'' BT, dengan batas wilayah : sebelah utara berbatasan dengan sebagian Kelurahan Terban (Kemantren Gondokusuman) dan Kalurahan Caturtunggal (Kapanewon Depok); sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Bausasran, Kelurahan Tegalpanggung, Kelurahan Suryatmajan (Kemantren Danurejan), Kelurahan Baciro (Kemantren Gondokusuman); sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Demangan dan Kelurahan Klitren (Kemantren Gondokusuman); sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Gowongan dan Kelurahan Cokrodiningratan (Kemantren Jetis).

Luasan SRS Satuan Ruang Strategis Kotabaru sebesar 185,159 Ha yang terdiri dari kawasan inti seluas 85,206 Ha dan kawasan penyangga sebesar 99,953 Ha. Secara administratif SRS Satuan Ruang Strategis Kotabaru berada di Kemantren Gondomanan, Kemantren Danurejan, Kemantren Gondokusuman, dan Kapanewon Depok.

Kotabaru dalam Konstelasi Kebijakan Daerah

Fasilitasi yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk mengembalikan Kotabaru menjadi kawasan yang dikenal dengan konsep garden city dengan arsiektur kolonial-nya selalu diupayakan. Mulai dari penyusunan Strategi Pengembangan Wilayah SRS Kotabaru, rencana induk SRS Kotabaru, hingga penyusunan RTBL Kawasan Kotabaru.

Gubernur DIY telah menetapkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 9 Tahun 2023 tentang Strategi Pengembangan Wilayah SRS Kasultanan dan SRS Kadipaten Tahun 2023 – 2043. Dalam Pergub tersebut mengamanahkan kebijakan SRS Kotabaru yaitu :

a.     penguatan karakter kota taman;

b.     pengembangan fungsi pelayanan umum, pelayanan sosial, perdagangan dan jasa; serta

c.     pengembangan perkotaan fungsional yang nyaman berbasis pada nilai budaya, filosofi, dan sejarah.

Selain itu, Pemerintah Kota Yogyakarta telah menetapkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 47 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Bangun dan Lingkungan Kawasan Kotabaru, visi pembangunan Kawasan Kotabaru yaitu mewujudkan Kawasan Kotabaru sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB) dengan citra Kawasan sebagai Garden City, dan citra bangunan indische/ kolonial serta menyiratkan nilai sejarah perjuangan yang berjati diri, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

Dalam melestarikan kawasan, pemilihan desain, ornamen, material, dan warna untuk bangunan, signage, dan street furniture lainnya harus selaras dengan karakter kawasan. Adapun strategi pembangunan yang telah ditetapkan kedepan meliputi:

a.     melaksanakan konsep kualitas visual Kawasan Kotabaru;

b.     . mempertahankan struktur Kawasan berbentuk radial konsentris dengan jari – jari boulevard;

c.     mempertahankan intensitas bangunan Kawasan Kotabaru;

d.     mempertahankan vegetasi dan hijauan yang optimal dalam persil;

e.     melaksanakan revitalisasi dan pemeliharaan prasaranan dan sarana pedestrian Kawasan Kotabaru;

f.      merevitalisasi Stadion Kridosono sebagai inti Kawasan;

g.     merevitalisasi RTH Sempadan Sungai; dan

h.     penataan jalur pergerakan kendaraan untuk meningkatkan kenyamanan jalur pejalan kaki di Kawasan Kotabaru.

Partisipasi seluruh pihak dalam melindungi kawasan dilakukan mulai dari hulu ke hilir, ditingkat Provinsi selain pengawasan khusus terhadap kawasan Kotabaru yang ditinjau langsung oleh Dewan Warisan Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY turut andil dalam melestarikan kawasan melalui perlombaan design visual signage (desain penanda kawasan) pada Kawasan SRS Kotabaru yang diadakan pada bulan Agustus 2024 hingga Oktober 2024, kegiatan ini diusung dalam rangka melibatkan masyarakat untuk menata kawasan sekaligus mengenalkan SRS Kotabaru kepada masyarakat yang lebih luas. Penanda kawasan tersebut nantinya berfungsi sebagai identitas kawasan dan memperkuat nilai kawasan, “The Chronostasis of Nieuwe Wijk” sebuah konsep yang membawa kembali identitas kawasan (Garden City) dalam bentuk spirit tanpa harus mengubah bentuk fasad tatanan kota, membawa masyarakat abad ke-21 untuk menikmati suasana kota pada jaman kolonial.

Pindah ke bagian hilir sektor tumpuan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, Pemerintah Kelurahan Kotabaru juga turut berperan dalam menjaga dan melestarikan kawasan melalui pengawasan secara langsung, “kami pihak kelurahan akan langsung melaporkan kerusakan terhadap bangunan maupun kawasan, kami juga kerap melakukan edukasi kepada masyarakat dalam rapat rutin warga untuk menjaga dan memelihara bangunan dan Kawasan Kotabaru”.

 

 

Sumber : Penulis Hanny Ulqia Queene Azki, S.T. dan Astri Wulandari Rochmah, S.T. dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi III (September - Desember 2024)