Sejarah Kota Baru
Pada
awal berdirinya Kraton Yogyakarta tahun 1755, tata ruang Yogyakarta masih
berupa tata ruang dasar yang berkembang dengan munculnya permukiman bangsawan
serta abdi dalem. Di tahun 1790, masa awal kedatangan Belanda di Yogyakarta,
dibangun hunian residen Belanda di utara Alun-alun utara, Belanda juga
membangun Benteng Vredeburg di sisi Timur hunian residennya. Peningkatan
kedatangan penduduk eropa dipicu adanya kemunculan pabrik - pabrik gula di
Yogyakarta, setidaknya ada 19 pabrik gula yang berkembang di wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta kenaikan penduduk tersebut memaksa residen Cornelis Canna
membuat permukiman yang sanggup menampung penduduk Eropa di Yogyakarta.
Kotabaru merupakan salah satu kawasan yang direncanakan untuk hunian masyarakat
kolonial dengan nuansa yang hampir mirip dengan kota di Belanda (Irianadewi,
2002). Kotabaru (Nieuwe Wijk), semula adalah lahan kosong milik Sultan yang
disewa oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemilihan lahan tersebut menjadi
Kotabaru dinilai sangat strategis karena berada di sebelah timur Sungai Code
yang tidak jauh dari kawasan Malioboro sebagai pusat ekonomi; sebelah
selatannya terdapat stasiun kereta api lempuyangan sering digunakan untuk
transportasi darat menuju Semarang dan Solo; sementara sebelah Timur berbatasan
dengan Klitren (Hudiyanto, 1997).
Pada
Tahun 1942, Yogyakarta kedatangan bala tentara militer Jepang ke Indonesia
dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan minyak yang akan digunakan sebagai bahan
bakar untuk perang melawan Cina. Bala tentara militer Jepang dalam tahap
ekspansinya melakukan propaganda terlebih dahulu, toko - toko di daerah
Ketandan, Malioboro, dan Kranggan dibuka dengan harga yang sangat murah dan
memiliki pelayanan yang ramah. Berbeda dengan toko yang dibuka oleh orang
Belanda, yang dipatok dengan harga mahal dan pelayanan kurang baik.
Propaganda
ini digunakan untuk menarik masyarakat Yogyakarta dan mencari simpati. Pada
tanggal 1 Maret 1942 pasukan tentara XVI Angkatan Darat Jepang mendarat di tiga
tempat di Pulau Jawa yaitu di Banten, Eretan Wetan, dan Karagan (Mudaryanti,
1979). Dengan cepat, Jepang berhasil mengusai kota - kota di pulau Jawa
termasuk Yogyakarta melalui Surakarta dengan tidak mendapatkan perlawanan dari
Belanda (Lienau, 1979). Penyerahan tak bersyarat mulai dilakukan Panglima
Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal H. Ter Poorten kepada Letjen
Hitoshi Imamura di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Sedangkan di Yogyakarta
penyerahan dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di ruang tamu kediaman Gubernur
L. Adam yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda di
Yogyakarta.
Ketika
penduduk Hindia Belanda meninggalkan rumahnya di Kotabaru serta kedatangan
Jepang ke Indonesia, perumahan Kotabaru diambil alih oleh pemerintahan
Yogyakarta dan disewakan kepada penduduk pribumi yang bersedia (Fakih, 2008).
Tak berselang lama memerintah di Yogyakarta, Jepang menimbulkan kekacauan
dengan menyuruh penduduk kampung untuk mencuri isi rumah Belanda yang telah
ditinggalkan. Bangunan yang ditinggalkan oleh Belanda mengalami perubahan
fungsi ketika Pemerintah Jepang memerintah, termasuk di kawasan Nieuwe Wijk.
Saat Pemerintahan Jepang Kawasan Kotabaru digunakan untuk kepentingan
perkantoran, perumahan, tangsi, serta gudang. Sementara untuk bangunan yang
lebih luas seperti Gereja Santo Antonius digunakan sebagai markas militer
tentara inti Jepang (Kidobutai) dan gudang senjata.
Setelah
bom yang dijatuhkan Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah kepada
sekutu dan berjanji akan menyerahkan kemerdekaan kepada Indonesia. Memasuki
masa kemerdekaan Indonesia, Kotabaru sekali lagi mengalami perubahan fungsi.
Kotabaru berubah menjadi permukiman elit pribumi yang mampu membayar sewa atas
hak tanah Kraton (Sofyan, 2013).
Garden City sebagai Identitas Kawasan Kotabaru
Kawasan
Kotabaru didirikan dengan konsep kota taman (garden city), dan didesain oleh
arsitek berkebangsaan Belanda bernama Thomas Karsten yang mengadaptasi teori
dari seorang planner berkebangsaan Inggris bernama Ebenezer Howard. Simonds
(1994) menyatakan bahwa perencanaan new town yang menggunakan konsep garden
city selalu memiliki :
a.
enam buah boulevard, yang menghubungkan pusat
kota dengan luar kota, ditengah kota terdapat area terbuka seluas 5 ½ acres
yang difungsikan sebagai taman dan dikelilingi oleh fasilitas sosial,
perkantoran pemerintah, rumah sakit, gedung konser, museum, dan perpustakaan;
b.
grand avenue, yaitu area hijau dengan lebar 420
kaki dan di daerah ini terdapat sekolah dan area rekreasi, serta area terbuka
yang ditanami pohon – pohon besar;
c.
grand avenue dan greenbelt, terdapat area
permukuman, industri, dan pertokoan pada masing – masing zona yang dibagi oleh
avenue; serta
d.
sisi luar dikelilingi oleh green belt yang
merupakan area pertanian yang permanen dan berfungsi sebagai penyaring polusi
dari daerah perkotaan, luas area tersebut yaitu 5000 acres.
Modern Heritage di Kotabaru
Menurut
identifikasi dan dokumentasi warisan modern UNESCO (2003), konsep modern
heritage yaitu perencanaan kota, arsitektur, dan desain lanskap dari abad ke-19
dan ke-20. Tipologi heritage yaitu pembangunan baru komplek industri, moda baru
dalam transportasi dan komunikasi, tipe baru perencanaan kota dan standarisasi
perumahan, teknologi dan material bangunan baru, serta konsep baru lanskap
budaya (Van Oers, 2003). Menurut Ikaputra seorang akademisi Universitas Gadjah
Mada, “driving force dari konsep modern heritage adalah adanya inovasi
teknologi, adanya inovasi mesin, adanya revolusi industri, warisan klasik dan
isu sosial, serta socialpolitical issues, dan lain – lain”. Keunikan Kawasan
Kotabaru tidak dapat ditemukan di wilayah lain di Daerah Istimewa Yogyakarta,
mulai dari suasana, visual, karateristik, hingga fasilitas yang dimiliki
kawasan cukup lengkap dengan konsep garden city-nya.
Konsep
Garden City sebagai Modern Heritage diawali oleh Howard pada tahun 1890-an dan diperbaharui
pada tahun 1902, didasari oleh keinginannya untuk menciptakan kota yang :
a.
compact, yaitu membuat suatu permukiman yang padat dengan fasilitas yang sudah
tersedia;
b.
human scale community, yaitu membangun rumah dimana orang mampu dan bisa
mengembangkan ide sesuai dengan keinginannya, serta mempunyai ruang terbuka
hijau untuk masyarakat;
c.
town-country blended ideas, yang bermula dari keinginan Howard untuk
menciptakan kota dengan fasilitas yang memadai dengan suasana kota yang tetap
asri. Konsep tersebut masih dijadikan acuan hingga saat ini dalam perencaan
sebuah kota.
Modern
Heritage pada kawasan Kotabaru memiliki keunikan yaitu pada bangunan-bangunan
nya dengan konsep arsitektural indische. Arsitektur indische adalah akulturasi
antara budaya atau arsitektur gaya eropa yang dominan dengan budaya negara
Belanda dan bercampur dengan budaya Jawa. Menurut (Fakih, 2015) Konsep kawasan
dan bangunan yang ada di kawasan Kotabaru ini memiliki ciri yaitu:
a.
bangunan dengan arsitektural gaya kolonial
indische Belanda dengan skala yang lebih besar, proporsi kepala-badan-kaki
bangunan, permukaan, dan pakem-pakem desainnya;
b.
proporsi untuk ruang terbuka hujau dan taman
yang lebih besar; bangunan rumah yang lebih mundur dari sempadan jalan;
c.
terdapat vegetasi yang merata di kawasan ini
dengan karakter vegetasi pohon perindang besar sehingga membuat kesan teduh;
d.
mempunyai ciri khas pada atap atap bangunan,
yaitu kombinasi atap induk asimetris dan atap kecil, bentuk pelana atau
limasan;
e.
ukuran jendela besar serta berlapis dan pintu
yang besar;
f.
dominan cat berwarna terang (putih dan abuabu);
g.
konfigurasi jalan yang lebar;
h.
jalan raya (boulevard) yang menjadi poros
jaringan jalan untuk menuju ruang terbuka (lapangan).
Kotabaru
terkenal sebagai kawasan elite pada jamannya karena desain dan kelengkapan
fasilitas pada masa itu. Bangunan atau rumah-rumah peninggalan Belanda itu
sampai sekarang masih ada, meski sudah ada yang berubah menjadi kantor,
sekolah, perdagangan jasa, maupun rumah tinggal. Beberapa ciri yang nampak
adalah semua jalan yang terhubung satu sama lain, ada tempat publik seperti
taman, lapangan dengan pepohonan besar yang rindang dan lain-lain. Jalan-jalan
yang lebar dengan pohon-pohon besar yang sampai sekarang masih tumbuh dan
terawat.
Salah
satu ciri yang sampai sekarang masih terlihat adalah jalan yang menghubungkan
pusat kota saat itu atau kawasan Malioboro yang dulu menjadi pusat pemerintahan
Hindia Belanda dengan kawasan Kotabaru. Jalan itu dulunya bernama Kerk Weg
(Jalan Gereja) atau jalan menuju Gereja Santo Antonius. Fasad bangunan yang ada
di Kotabaru identik dengan warna dominan putih dan massa bangunan yang tidak
simetris, pintu dan jendela yang berukuran besar serta dinding yang tebal.
Keunikan lain dari Kotabaru adalah vegetasi yang ada di kawasan ini yang berupa
pohon-pohon besar perindang, pohon yang harum baunya dan pohon buah-buahan. Pohon-pohon
tersebut ditanam di halaman rumah, rumah sakit, sekolah, gereja maupun di
sepanjang jalan serta boulevard.
Bangunan
di Kotabaru sebagai kota compact bergaya Indische pada saat itu masih bertahan
hingga sekarang. Kala itu, dibangun sarana penting termasuk sarana olahraga
yang dikenal dengan Kridosono, dan sekolah untuk orang eropa seperti Algemeene
Middlebare School (AMS) yang sekarang menjadi SMAN 3 Yogyakarta, Christelijke
MULO School yang sekarang menjadi SMA Bopkri I Yogyakarta, dan Normal School
yang saat ini menjadi SMPN 5 Yogyakarta. Terdapat juga Rumah Sakit Petronella,
yang saat ini dikenal sebagai Rumah Sakit Bethesda, selain itu dibangun juga
rumah ibadah pertama yaitu Gereja Kristen Protestan HKBP (Gereformeerde Kerk
Djogja) dan disusul dengan dibangunnya Gereja Katolik Nieuwe Wijk Katholieke
Kerk yang dikenal sebagai Gereja Katholik Santo Antonius Kotabaru.
Dalam
Kawasan Kotabaru terdapat beberapa bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan
cagar budaya dan wajib mempertahankan fasad bangunannya sesuai dengan konsep
kolonial (sumber: SK Gub DIY No 130). Bangunan tersebut terdiri dari beberapa
rumah tinggal, Rumah Sakit Bethesda, Rumah Sakit dr. R. Soetarto, Museum Sandi,
Bangunan Mess, Gedung Radio Republik Indonesia, Gereja, SMAN 3 Yogyakarta, SMPN
5 Yogyakarta, SMA BOPKRI 1 Yogyakarta, dan beberapa bangunan bergaya indische
lainnya. Bangunan – bangunan tersebut menjadi penanda pada era rentang waktu
yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan sosial ekonomi yang cepat.
Saat
ini kawasan Kotabaru dikenal sebagai salah satu kelurahan di pusat Kota
Yogyakarta yang dipenuhi dengan bangunan – bangunan bernuansa indische yang
masih terjaga. Keunikan Kawasan Kotabaru menempatkan Kotabaru sebagai salah
satu Satuan Ruang Strategis (SRS) sesuai dengan Peraturan Daerah Istimewa DIY
Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Ruang Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.
Dalam
Peraturan tersebut, Kotabaru masuk sebagai salah satu Satuan Ruang Strategis
Tanah Kasultanan pada Tanah Bukan Keprabon (tanah bukan keprabon adalah Tanah
Kasultanan atau Tanah Kadipaten yang asal – usulnya dari Kasultanan dan
Kadipaten dengan hak Anggaduh, tanah yang telah digunakan oleh masyarakat atau
institusi yang telah atau belum memiliki serat kekancingan, dan tanah yang
belum digunakan).
Dalam
pemanfaatannya, Kawasan Satuan Ruang Strategis (SRS) Kotabaru diperbolehkan
sebagai ruang terbuka hijau; permukiman; bangunan pendukung fungsi kawasan
budaya dan ilmu pengetahuan; perdagangan dan jasa; serta sarana pelayanan umum.
Adapun ketentuan khusus arsitektur pada Satuan Ruang Strategis Kotabaru yaitu
bangunan baru menggunakan gaya arsitektur indische dan kolonial.
Wilayah
Satuan Ruang Strategis (SRS) Kotabaru terletak di antara 7° 46' 33,9'' LS - 7°
47' 33'' LS dan 110° 22' 4,9'' BT - 110° 22' 58,9'' BT, dengan batas wilayah :
sebelah utara berbatasan dengan sebagian Kelurahan Terban (Kemantren
Gondokusuman) dan Kalurahan Caturtunggal (Kapanewon Depok); sebelah selatan
berbatasan dengan Kelurahan Bausasran, Kelurahan Tegalpanggung, Kelurahan
Suryatmajan (Kemantren Danurejan), Kelurahan Baciro (Kemantren Gondokusuman);
sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Demangan dan Kelurahan Klitren
(Kemantren Gondokusuman); sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Gowongan
dan Kelurahan Cokrodiningratan (Kemantren Jetis).
Luasan
SRS Satuan Ruang Strategis Kotabaru sebesar 185,159 Ha yang terdiri dari
kawasan inti seluas 85,206 Ha dan kawasan penyangga sebesar 99,953 Ha. Secara
administratif SRS Satuan Ruang Strategis Kotabaru berada di Kemantren
Gondomanan, Kemantren Danurejan, Kemantren Gondokusuman, dan Kapanewon Depok.
Kotabaru dalam Konstelasi Kebijakan Daerah
Fasilitasi
yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk mengembalikan Kotabaru menjadi kawasan
yang dikenal dengan konsep garden city dengan arsiektur kolonial-nya selalu
diupayakan. Mulai dari penyusunan Strategi Pengembangan Wilayah SRS Kotabaru,
rencana induk SRS Kotabaru, hingga penyusunan RTBL Kawasan Kotabaru.
Gubernur
DIY telah menetapkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 9 Tahun 2023 tentang Strategi
Pengembangan Wilayah SRS Kasultanan dan SRS Kadipaten Tahun 2023 – 2043. Dalam
Pergub tersebut mengamanahkan kebijakan SRS Kotabaru yaitu :
a.
penguatan karakter kota taman;
b. pengembangan
fungsi pelayanan umum, pelayanan sosial, perdagangan dan jasa; serta
c. pengembangan
perkotaan fungsional yang nyaman berbasis pada nilai budaya, filosofi, dan
sejarah.
Selain itu, Pemerintah Kota Yogyakarta telah menetapkan
Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 47 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Bangun
dan Lingkungan Kawasan Kotabaru, visi pembangunan Kawasan Kotabaru yaitu
mewujudkan Kawasan Kotabaru sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB) dengan citra
Kawasan sebagai Garden City, dan citra bangunan indische/ kolonial serta
menyiratkan nilai sejarah perjuangan yang berjati diri, nyaman, produktif, dan
berkelanjutan.
Dalam
melestarikan kawasan, pemilihan desain, ornamen, material, dan warna untuk
bangunan, signage, dan street furniture lainnya harus selaras dengan karakter
kawasan. Adapun strategi pembangunan yang telah ditetapkan kedepan meliputi:
a.
melaksanakan konsep kualitas visual Kawasan
Kotabaru;
b. .
mempertahankan struktur Kawasan berbentuk radial konsentris dengan jari – jari
boulevard;
c. mempertahankan
intensitas bangunan Kawasan Kotabaru;
d. mempertahankan
vegetasi dan hijauan yang optimal dalam persil;
e. melaksanakan revitalisasi dan pemeliharaan prasaranan dan sarana pedestrian
Kawasan Kotabaru;
f. merevitalisasi Stadion Kridosono sebagai inti Kawasan;
g. merevitalisasi RTH Sempadan Sungai; dan
h. penataan jalur pergerakan kendaraan untuk meningkatkan kenyamanan jalur
pejalan kaki di Kawasan Kotabaru.
Partisipasi seluruh pihak dalam melindungi kawasan
dilakukan mulai dari hulu ke hilir, ditingkat Provinsi selain pengawasan khusus
terhadap kawasan Kotabaru yang ditinjau langsung oleh Dewan Warisan Budaya
Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY turut andil
dalam melestarikan kawasan melalui perlombaan design visual signage (desain
penanda kawasan) pada Kawasan SRS Kotabaru yang diadakan pada bulan Agustus
2024 hingga Oktober 2024, kegiatan ini diusung dalam rangka melibatkan masyarakat
untuk menata kawasan sekaligus mengenalkan SRS Kotabaru kepada masyarakat yang
lebih luas. Penanda
kawasan tersebut nantinya berfungsi sebagai identitas kawasan dan memperkuat
nilai kawasan, “The Chronostasis of Nieuwe Wijk” sebuah konsep yang membawa
kembali identitas kawasan (Garden City) dalam bentuk spirit tanpa harus
mengubah bentuk fasad tatanan kota, membawa masyarakat abad ke-21 untuk
menikmati suasana kota pada jaman kolonial.
Pindah
ke bagian hilir sektor tumpuan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, Pemerintah
Kelurahan Kotabaru juga turut berperan dalam menjaga dan melestarikan kawasan
melalui pengawasan secara langsung, “kami pihak kelurahan akan langsung
melaporkan kerusakan terhadap bangunan maupun kawasan, kami juga kerap
melakukan edukasi kepada masyarakat dalam rapat rutin warga untuk menjaga dan
memelihara bangunan dan Kawasan Kotabaru”.
Sumber : Penulis Hanny Ulqia Queene
Azki, S.T. dan Astri Wulandari Rochmah, S.T. dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi
III (September - Desember 2024)