Saat ini pertumbuhan kota-kota metropolitan dan pengembangan kota kecil sedang yang berkiblat kepada kota besar metropolitan. Timbul pertanyaan menjadi seperti apakah wajah lanskap dan budaya perkotaan pada masa 20 tahun, 50 tahun, 100 tahun bahkan 800 tahun ke depan? Apakah masih dapat menampilkan wajah pemukiman seperti di Kampung Hulu Muntok Bangka Barat, Wologae NTT, ataukah wajah kota seperti BSD dan "konsep-konsep tematik" yang mendasari kota-kota baru di Indonesia? Apakah kota pusaka masih memiliki kearifan lokal?
ADA APA KOTA-KOTA DI INDONESIA?
Secara hipotetik, perjalanan sejarah kota-kota di Indonesia tidak
dapat lepas dari perkembangan kota Jakarta. Sah saja bahwa Jakarta menjadi
parameter daerah, karena Jakarta adalah ibukota negara, kota metropolitan,
pusat kegiatan pemerintahan, pusat administrasi negara dan pusat kehidupan
politik. Jakarta juga menyandang fungsi-fungsi sebagai pusat kegiatan
internasional, pusat perdagangan, pusat seni budaya serta pusat pendidikan. Bahkan
menurut buku Jakarta 50 tahun dalam Pengembangan dan Penataan Kota yang dikeluarkan
Dinas Tata Kota DKI Jakarta, di masa pertengahan abad ke-18 kota ini dikenal
dengan julukan Queen of the East Batavia, kota pantai pelabuhan dan pusat
perdagangan yang paling dihandalkan di Timur Jauh oleh Belanda.
Jakarta juga mencatat perhimpunan Budi Oetomo 28 Oktober 1928
dalam Kongres Pemuda II dan menggaungkannya hingga ke seluruh negeri , dalam
era perjalanan menuju kemerdekaan Republik Indonesia. Jakarta adalah kota yang
menggemakan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus
1945. Kota ini juga memanfaatkan ruang terbuka sebagai ruang publik, dengan
diselenggarakannya rapat raksasa di Lapangan Gambir untuk mengespresikan
kebulatan tekad dan semangat kemerdekaan. Beragam rekam jejak sejarah perjalanan
bangsa , sebelum dan sesudah proklamas i kemerdekaan serta spirit kebangsaan,
menjadikan Kota Jakarta memiliki nilai-nilai peradaban dan makna yang otentik
secara nasional.
Spirit mengisi kemerdekaan juga terjadi di kota- kota lainnya
di Indonesia. Kota-kota memiliki rekam jejak sejarah secara tak benda/nir
ragawi di setiap tempat/ruang dan waktu yang beragam. Tata letak ruang terus
berubah, terlebih pada masa otonomi daerah. Hasil pengamatan lapangan dan data
sekunder seperti pada contoh studi kasus warisan Kota Satelit Kebayoran Baru Jakarta
Selatan.
Hasil tinjauan lapangan dan konsultasi dengan pemerintah
daerah di beberapa kota menunjukkan penataan ruang kota dalam era otonomi
daerah pada umumnya diawali dengan pembangunan pusat pemerintahan. Kawasan
pusat pemerintahan sebagai identitas kota. Pusat pemerintahan juga merupakan pemekaran
pemukiman, contohnya seperti yang terjadi di kota Muntok Bangka Barat, Sangata
Kalimantan Timur, Tobelo Halmahera Utara, Bangkinang Kampar dan kota-kota
otonomi baru lainnya. Upaya menciptakan identitas kota bisa jadi sebagai dampak
dari kegalauan melawan krisis jatidiri kota. Kesempatan mencari karakter dan
peluang dalam "aksi mengejar citra kota". Gelar yang diburu untuk
mendapatkan citra sebagai kota mandiri, kota sehat, kota aktif, kota hijau,
kota pusaka, kota kreatif, kota anak dan setumpuk aksi program-program terkait
yang dicanangkan pemerintah pusat telah direspons secara positif oleh para pemangku
kepentingan daerah untuk turut mengambil peran dan melakukan aksi. Bahkan
program Perserikatan Bangsa-bangsa dalam UNESCO Asia Pacific World Cultural
Heritage Award yang menggaungkan Iomba universal value telah digunakan sebagai
bagian strategis kota untuk meraih perhatian global. Kota-kota yang pernah
mengikuti kegiatan tersebut adalah kota Muntok Bangka Barat (2007) dan kota
Sawahlunto (2008).
MENGAPA IDENTITAS KOTA DIBUTUHKAN?
Identitas kota dibutuhkan karena merupakan karakter kota, baik
ragawi maupun nir ragawi, dan butuh proses dalam pembentukannya. Seperti yang
dikutip dari buku Jakarta 50 tahun dalam Pengembangan dan Penataan Kota:
"Identitas kota berkaitan dengan ritme sejarah yang telah melalui proses
panjang, misalnya yang pada awalnya adalah kawasan pemukiman (kampung atau desa)
seperti wajah kota Jakarta yang pada masa lalu dijuluki The Big Village menjadi
metropolitan, kemudian menjadi kota dunia. Identitas kota membutuhkan waktu
yang lama untuk membentuknya berkaitan dengan ritme sejarah yang telah melalui
proses panjang sehingga jati diri suatu kota tidak dapat diciptakan begitu saja.
Butuh proses perjalanan waktu yang bertahun-tahun, bahkan melampaui rentang
generasi peradaban bangsa."
Kebutuhan identitas kota berkelanjutan sejalan dengan pernyataan
dari sumber anonim, "Dunia di sekeliling kita mengalami perubahan tak
pernah henti berkat pikiran dan tangan man usia, namun sejarah juga mencatat
bahwa sebaik apapun ideologi yang dibangun manusia, selalu saja terjadi
degradasi dan proses pembusukan karena pikiran dan perilaku manusianya sehingga
muncul konflik. .... "
ADA APA DENGAN KEARIFAN LOKAL Dl TANAH AIR KITA?
Masalah sosial politik budaya ekonomi dan bencana lingkungan
yang bertubi-tubi di beberapa kota di Indonesia tidak dapat lepas dari peran
pengelola dan pengguna kota. Kota tidak dapat tumbuh dan berkembang secara
independen. Kota-kota di Indonesia tidak bersinergi dengan kota-kota terdekat
di sekitarnya, tidak juga dengan desa-desa tradisional dan kampung-kampung orisinal
yang menjadi penguat dan pendukungnya. Tidak terjaganya dan tidak
dilestarikannya peruntukan laban di kawasan konservasi daerah hulu menimbulkan
dampak ketidakstabilan pada kondisi keamanan dan keselamatan lingkungan di
hilir perkotaan. Contohnya, perubahan tata guna laban pertanian dan perkebunan
kawasan konservasi di kota-kota kabupaten di sekitar Bogor menjadi salah satu
penyebab banjir di hilir kota Jakarta.
Ketiadaan ruang publik yang bersih, tertib dan nyaman mengakibatkan
warga terhimpit dengan hiruk-pikuk, kebisingan dan ketidakstabilan emosi. Arus
informasi dari media elektronik dan jejaring sosial dunia maya yang tak
terbendung dan tanpa seleksi juga telah merubah pola pikir, sikap dan respons
masyarakat terhadap cara berinteraksi dengan sesama manusia maupun dengan alam.
Kebrutalan para pelajar dalam mengekspresikan ketidakpuasan adalah contoh
gamblang tentang ini .
Hal tersebut diatas mempengaruhi tata perilaku, tata perikehidupan
dan tata cara menyalurkan gagasan dalam mengelola lingkungan hidup disekitar
tempat bermukim bekerja, berdagang, belajar dan berekreasi. Pengelolaan dan
pengembangan kota-kota lebih banyak mengadopsi pengaruh global. Sayangnya
nilai-nilai kearifan dan keunikan yang berada di lingkungan sekitar tidaklah lebih
disemarakkan.
Mari kita lihat kota Yogya. Kota pusaka ini memiliki karakter
rekam jejak dan perikehidupan masyarakat keraton dan proletar, menjadikan Yogya
kaya dengan ragam kearifan lokal. Namun sikap pemerintah daerah dan masyarakat
dalam memanfaatkan ruang terbuka dan menata kota menimbulkan dilema. Di satu sisi
secara nir ragawi (intangible), suasana kota menampakkan kekayaan dan kekuatan
kreatihtas kriya dalam skala rumah tangga. Di sisi lain, secara fisik
(tangible) distorsi kota pusaka ini sangat dirasakan yaitu tumpang-tindihnya
fungsi ruang.
Ini tampak jelas di Jalan Malioboro. Padahal jalan ini adalah
poros dan sumbu utama spiritual dalam pembentukan kota awalnya. Tetapi kota
seperti melakukan pembiaran estetika dengan ketiadaan kontrol olah desain.
Dekorasi iklan yang berkelebihan dan
keanekaragaman warna fasad bangunan jauh sekali dari warna-warna tradisional
Yogya. Ruang jalur pedestrian disatukan dengan dengan jalur kendaraan beroda,
jalur kuda dokar, sepeda, motor dan pedagang kaki lima.
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI IDENTITAS
Kearifan lokal adalah nilai-nilai tata perilaku manusia,
kearifan, etika yang bersumber dari pemikiran, bakat dan atau talenta yang
terdapat dalam setiap individu. Peran serta dan Prakarsa individu terhadap
lingkungan keluarga yang diikuti kelompok maupun komunitas merupakan
langkah-langkah kecil menuju aksi masyarakat.
Menurut kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan
Syadily, 'kearifan lokal' (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan
(wisdom) dan lokal (local). 'Lokal' berarti setempat, sedangkan 'kearifan' sama
dengan kebijaksanaan. Secara umum kearifan lokal dapat dipahami sebagai
gagasan-gagasan setempat (local) yang
bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya.
Comoh kearifan lokal dalam kota dapat terlihat di kota Madinah.
Menurut Haekal dalam buku Sejarah Hidup Muhammad: "Konsep civil society
yang dalam bahasa Arab adalah madani, memang mengacu pada hal-hal yang ideal,
paling tidak dalam dua hal. Pertama, mengacu pada kehidupan Nabi Muhammad SAW periode
Madinah. Saat itu beliau dengan pesona keberhasilannya membangun dan membina
masyarakat yang plural, demokratis, damai, saling menghormati berlandaskan
hukum, hak, dan tanggung jawab bersama.
Kedua, kata madani juga ideal dalam konteks sosiologis dunia Arab,
yang menyiratkan kota selalu menjanjikan peradaban yang lebih makmur daripada
daerah-daerah di luar kota yang hanya dihiasi panorama padang pasir tanpa air.
Barangkali karena kondisi ideal itulah, arti Madinah dalam kamus Arab sarat
dengan hal-hal yang ideal, seperti penduduk perkotaan yang memahami hukum atau
undang-undang, kualitas kehidupan yang lebih tinggi dari segi cita rasa, daya
dan pola berpikir serta tingkah laku seharihari."
MEMBANGUN KOTA BERKELANJUTAN DENGAN KEARIFAN LOKAL
Banyak cara dan langkah strategis yang telah dilakukan para pemangku
kepentingan. Perlu spirit, keyakinan spiritual, perjuangan, konsistensi dan
komitmen untuk menjamin Kota Berkelanjutan antara lain:
Membangun Sistem Partisipasi Masyarakat
Peran para individu, kelompok dan para pemangku kepentingan
kota telah menunjukan upaya-upaya menghidupkan nuansa kesemarakan kota.
Masyarakat lokal merupakan modal dan panglima dalam menjamin kota berlanjutan.
Museum dan amusement menjadi langkah-langkah awal. Museum kehidupan dilakukan di
beberapa kota yang memiliki karakter dan rekam jejak sejarah. Amusement sebagai
upaya mempromosikan kota melalui kegiatan kepariwisataan. Contohnya partisipasi
masyarakat dalam melestarikan dan menjadikan kawasan destinasi wisata pada
Kampung Batik Laweyan . Batik sebagai Warisan Dunia, Adakah system partisipasi
masyarakat yang dibangun berbasis kearifan lokal?
Memelihara Spirit dan Spiritual
Dalam upaya menebar benih peduli kota berkelanjutan, Oirektorat
Jenderal Penataan Ruang memfasilitasi pelaksanaan progam-program rencana aksi.
Kegiatan yang telah dilaksanakan sejak tahun 2008 hingga tahun 2012 adalah
peringatan Hari Tata Ruang, dengan tema-tema kepedulian lingkungan hidup.
Promosi ruang terbuka dan taman seperti di lapangan Senayan kota Jakarta, di
ruang privat dan ruang publik kota Denpasar, ruang terbuka pantai Losari
Makasar. Kegiatan yang dalam beberapa tahun terakhir dilakukan merupakan
langkah-langkah signifikan.
Kebiasaan dan tradisi menebar benih peduli kota berkelanjutan
memang masih dalam tahap hiburan dan seremonial. Patut diapresiasi , hal
tersebut merupakan perjalanan menuju kebiasaan yang merupakan cikal bakal
sebuah peradaban baru. Siapa tahu, hal yang serupa kelak akan hidup terus.
Mengelola Perubahan
Proses menuju akhir yang baik dalam membangun kota berkelanjutan
yang hakiki membutuhkan kepercayaan, keyakinan dan jaringan interaksi secara
holistik. Menggali nilai-nilai kearifan lokal di lingkungan urban dapat melalui
keilmiahan dan mengelaborasi praktik-praktik teruji yang dievaluasi, diterapkan
dan diarsipkan. Proses daur ulang atas penggalian, penemuan, pengenalan,
pemahaman dan penerapan dapat disesuaikan dengan budaya lokal. Meningkatkan
edukasi kapasitas dalam pemahaman nilai-nilai kemanusiaan dan kelestarian
lingkungan perlu dirumuskan dan dilatih ketrampilannya. Piagam 10 Prakarsa Bali
dan SUD Index yang digagas SUD-FI dapat diadopsi dan diadaptasi. Prakarsa dan
indeks parameter sebagai alat dapat dibudidayakan melalui model-model kreatifitas
karya dalam menuju kota berkelanjutan.
Perlu upaya kearifan dan etika dalam mengimbangi gelombang budaya
hibrid dan pengaruh global yang menggiurkan. Ritme serba cepat menunrut
kreatifitas dalam pengelolaan 10 Prakarsa Bali dan SUD Indeks. Pertanyaannya
adalah bagaimanakah memanfaatkan, mengelola dan melestarikan aset-aser pusaka
alam dan nilai-nilai kearifan lokal di setiap kota secara sinergis dan terintegritasi?
Bagaimana memaksimalkan hubungan interaksi timbal balik perikehidupan berbangsa
dan bernegara ini dalam skala lokal, demi kepentingan nasional dan menyenruh
nilai-nilai universal?
Memfasilitasi dan mengapresiasi kearifan lokal
Kegiaran komuniras peduli lingkungan hidup, pelesrari budaya dan
pegiat kota berkelanjutan memburuhkan sisrem dan mekanisme fasilitas maupun
pendanaan serta apresiasi yang dapat menjamin keberlangsungannya. Sebagai
conroh: kota Bau-bau, pengembangan pusat pemerintahan, pembangunan kota baru dan
pelestarian kota lama (kota pusaka) mendapat perharian yang serius oleh para
pengambil kebijakan. Peran serta masyarakar dilibarkan melalui homestay di
rumah-rumah warga. Pendatang baik sebagai pelancong maupun peneliti dapat
ringgal Bersama dengan penduduk setempat. Proses belajar mengajar dari para pengguna
kota didapat dari perikehidupan masyarakat setempat sebagai penghuni kota
Bau-bau. Dilesrarikannya pola tata ruang pada kawasan pemukiman juga
menunjukkan conroh peran ruang terbuka pada halaman rumah. Pekarangan menjadi
tempat berinteraksi sosial dan bertanam pohon-pohon buah dan tanaman herbal.
Demikian juga kelesrarian aser ketrampilan berkriya dan pusaka-pusaka
arsitektural.
Pernyaraan di atas sesuai dengan sumber tulisan anonim yang menyarakan:
"beberapa waktu belakangan ini bersama-sama gerakan ekologis, orang
berusaha menggali dan menghidupkan kembali kearifan-kearifan lokal yang masih
tersisa. Beberapa pemikir dan pemerhati kebudayaan menganggapnya sebagai bentuk
encounter dan arah-balik pencaharian dahaga spiritual akibat kejenuhan, untuk
tidak mengarakan sebagai kekeringan spiritual masyarakat modern. Saat ini
sebagian besar kearifan local sebenarnya telah menghilang alias tak lagi
dipercaya, dipraktikkan ataupun diproduksi". Bisakah swasta dan pemerinrah
bersinergis dalam membangun mekanisme reward and punishment berbasis kearifan
lokal?
Melindungi dan mengelola Kota Pusaka
Kebijakan daerah rerhadap perlindungan pelestarian dan penataan
kota lama mulai mendapatkan proporsinya. lnventarisasi, dokumentasi dan
pengkajian nilai-nilai keilmiahan serta menginterprerasikan kawasan cagar
budaya atau bagian kota pusaka menjadi langkah awal dalam keberlanjutan kora.
Dibutuhkan perlindungan hukum unruk menjamin keberlanjutan, melalui Perda dan
hukum adat. Pengelolaan yang berbasis pelestarian ekologis, kearifan lokal dan
ekonomi kerakyatan dapat dikaji dan diratakemas ulang dalam nilai-nilai yang
universal.
Sikap ini dapar kita lihat di kota Semarang. Para pemangku kepentingan
baik dari pemerintah kota maupun pengusaha swasta berusaha keras
mengimplementasikan visi dan misi menuju Kota Pusaka Dunia. Conroh lain yang
rerkenal adalah warisan dunia Subak. lnilah kearifan lokal yang mampu mengangkat
nilai tambah kota-kota pusaka lain di Pulau Bali seperti Ubud, Denpasar, Karang
Asem dan lainnya.
PENUTUP
Kota membutuhkan sistem tata kelola yang baik, tujuan keberlanjutan
adalah reroprimalisasikannya sistem kinerja yang terpantau dan terjaganya
nila-nilai kearifan yang ridak bersifat statis. Tujuan yang telah ditetapkan,
capaian yang telah dijangkau serta antisipasi resiko pengembangannya dipantau
dan dinilai oleh para pengelola dan pengguna kota. Kota tidak dapat berdiri sendiri.
Kebutuhan tata kelola secara inregriras dan holisrik antar Iimas jaringan kota
diburuhkan dalam bersinergis dan berkolaborasi menggali nilai-nilai kearifan
lokal.
Kearifan lokal membemuk lansekap budaya perkotaan di bumi Indonesia
dan rekam jejak teknik-teknis spesifik dalam tata guna tanah di Nusantara.
Perkembangan sosial kemasyarakatan, kekerabatan antar Iimas komunitas, serta
imaginasi dan vitalitas spiritual kemanusiaan adalah bagian dari identitas kita
bersama, penghuni planet ini.
Komunitas diharapkan dapat berperan sebagai panglima dalam menuju
kota berkelanjutan. Komunitas merupakan sumber nilainilai ideologi dan
idealisme. Seperti dalam pernyataan sumber anonim "Kita perlu menyusun dan
membangun barisan komunitas yang dapat merespons perubahan tak rerduga.
Kebutuhan kita adalah membangun tempat kerja yang "hidup" dimana
pikiran, talenta dan hati bersinergi".
Sumber: Dani B Ishak, Dalam KOTA INDONESIA BERKELANJUTAN UNTUK
SEMUA, Penerbit Kementrian Pekerjaan Umum Direktorat Jenderal Penataan Ruang &
SUD Forum Indonesia