Tampilkan postingan dengan label Hak Nelayan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hak Nelayan. Tampilkan semua postingan

Kamis, 04 Mei 2023

Menggagas Tata Ruang Perairan Berbasis Hak Nelayan

Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU PR), mengharuskan penyelenggara negara memasukan laut sebagai bagian yang sangat penting dan terintegrasi, bahkan di subordinatkan dalam manajemen pemanfaatan ruang. Sehingga tujuan menjamin kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya.

Menilik dari judul diatas terbangun atas tiga subtansi pokok yaitu, penataan ruang, perairan pesisir, dan hak nelayan. Sehingga kepentingan untuk menata ruang laut, melahirkan komitmen legislasi berupa UU Np. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK), yang menjadikan wilayah perairan sebagai ruang pengaturan utamanya.

Bahkan undang-undang tersebut menyatakan perairan pesisir adalah laut yang berbatasanb dengan daratan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Lantas bagaimana kepentingan nelayan tradisional dapat terakomodasi ditengah berkembanganya komersialisasi pesisir?

Namun setelah UU PWP-PPK diterapkan maka pemanfaatan perairan pesisir diarahkan dengan menggunakan mekanisme sertifikasi, yakni melalui instrument Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Tak hanya itu, UU juga mengatakan bahwa HP3 adalah hak pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut, dan untuk masa waktu pengusahaan 60 tahun akumulatif. Sekaligus, negara memberikan landasan hukum dalam rangka komersialisasi perairan pesisir.

Kemudian, setidaknya ada tiga hal yang perlu dicermati dalam penataan ruang perairan pesisir yang berkaitan dengan hak nelayan tradisional Indonesia.

1.Aspek pemunuhan atas perlindungan dan keselamatan warga negara dari ancaman bencana. Seperti diketahui, wilayah Indonesia terletak di sepanjang gunung api (yang dikenal dengan ring of fire), serta pertemuan tiga lempeng bumi, yang secara alamiah telah menyebabkan Indonesia rawan bencana. Diperkirakan lebih lebih dari separuh kejadian bencana di Indonesia terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.  

Ada juga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berantakan membuat bencana banjir didesa-desa pesisir Indonesia. Kalau tahun 1996-1999 terdapat 7.000 desa terendam banjir, maka pada periode 2000-2003 terdapat 12.000 desa yang terkena bencana. Lonjakan semakin mengkhawatirkan di Pulau Jawa, yakni, dari 1.289 desa pesisir menjadi 2.823 desa pesisir.

Tak berhenti disitu, bencana alam berupa Tsunami dan naiknya air laut  (sea level rise) dan aksi pencemaran laut, hingga kini belum tertangani dengan baik. Kesemuanya memberikan isyarat betapa rentannya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Karena hal itulah perlindungan danperlakuan khusus terhadap pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan berlandas pada pemenuhan hak konstitusi setiap warga negara atas kenyamanan dan keselamatan, serta menghindari kerugian yang lebih besar pasca terjadinya bencana perlu dikedepan.

Diberikannya jaminan perlindungan pengusahaan kawasan melalui HP3, justru mereduksikapasitas dan tugas pemerintah melindungi kepentingan warga pesisir, khususnya nelayan tradisional atas ruang perairan pesisir yang aman dan sehat. 

Selanjutnya, yang kedua adalah aspek akuntabilitas dan pastisipasi public dalam tata ruang pesisir, dimana dalam pasal 7 UU PWP-PPK membaginya dalam empat tahapan:

Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K);Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K);Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K); danRencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAWP-3-K).Secara keseluruhan, usulan tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah daerah dan dunia usaha sehingga keterlibatan nelayan dalam memastikan kepentingannya terhadap ruang perairan pesisir sebagai bagian hak melekat padanya sulit terpenuhi.

Sementara itu, searah dengan semangat pemenuhan hak, maka Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO) melalui Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) menyerukan agar negara anggota (Indonesia) atau bukan anggotanya menjamin para nelayan dan pembudidaya ikan dilibatkan dalam perumusan kebijakan dan pelaksanaan.

Pada aspek ketiga, yaitu, konflik perikanan terkait hak pemanfaatan dan kepemilikan. Charles dalam bukunya Sustainable Fishery Systems (2001) membagi ‘struktur’ konflik perikanan kedalam 4 kategori, yaitu: yuridiksi perikanan—terkait dengan siapa yang ‘memiliki’ kontrol atas pengelolaan perikanan;mekanisme pengelolaan—umunya terkait konflik antara nelayan-pemerintah mengenai tingkat/jumlah penangkapan, proses konsultatatif dan penegakan aturan perikanan;alokasi internal—seperti konflik yang dipicu oleh penggunaan alat tangkap yang berbeda; alokasi eksternal—mencakup konflik yang melibatkan nelayan tradisional kapal asing, pembudidaya, industri non-perikanan (seperti pariwisata dan kehutanan) dan masyarakat umum. Kesemuanya menggambarkan ruang perairan pesisir yang rawan konflik perikanan. Pada konteks inilah penataan ruang perairan pesisir kembali menemukan urgensinya.

Menata ruang, memuliakan nelayan

Terdapat 3 kepentingan Negara mengatur ulang tata kelola sumberdaya alam dan ruang pesisir di Indonesia: pertama, kepentingan untuk mengembalikan dan melindungi hak-hak masyarakat yang paling rentan (vulnerable societies) seperti masyarakat adat, nelayan, atau masyarakat pesisir pada umumnya; kedua, kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan warga yang mendiami wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang saat ini mendapati kemiskinan akut; serta kepentingan untuk melakukan harmonisasi pengaturan kebijakan publik, agar tidak berbenturan satu dan lainnya.

FAO pun merincikan tujuan pengelolaan perikanan sejatinya untuk mewujudkan: ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan keberlanjutan lingkungan. Sedangkan mencermati UU No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, maka kepentingan nelayan tradisional dalam pengaturan ruang perairan pesisir belum terakomodir.

Penataan pada dasarnya meliputi tiga hal penting, seperti, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian terhadap pemanfaatan ruang pesisir dan laut. Dengan mempertimbangkan permasalahan dan ketergantungan masyarakat nelayan perairan pesisir, maka keterlibatan aktif nelayan tradisional menjadi keharusan.

Langkah ini dapat diawali dengan mengoperasionalkan penataan ruang, dengan menjamin kehidupan manusia dan mahluk lainnya, kedalam pengaturan penataan ruang perairan pesisir. Guna mencapai tujuan, sesuai dengan pandangan Charles (1992 dan 2001), maka paradigma kebijakan perikanan yang seharusnya dianut pemerintah adalah paradigma sosial. Dimana paradigm tersebut berfokus pada kesejahteraan masyarakat, keadilan distribusi, dan manfaat sosial dan budaya perikanan lainnya guna melindungi nelayan tradisional yang terpinggirkan oleh kekuatan ekonomi.

Karena itulah, upaya judicial review (uji materi) terhadap UU PWP-PPK (khusus Pasal HP3), menjadi penting guna memenuhi hak para nelayan dalam pengelolaan ruang pesisir. Dalam konteks itulah, untuk mewujudkan penataan ruang pesisir yang mengarah pada ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan keberlanjutan lingkungan, maka sudah semestinya Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi yang diajukan oleh masyarakat sipil, termasuk 18 nelayan tradisional.

Penguatan organisasi nelayan tradisional Indonesia, baik berupa serikat nelayan maupun koperasi nelayan sangat diperlukan untuk terlibat dalam penataan ruang yang juga ditopang oleh kapasitas sumberdaya manusia dan organisasi yang handal.

 

 

Sumber : Oleh M. Riza Damanik Dalam Artikel https://tataruang.atrbpn.go.id/Bulletins/Artikel/257