Tampilkan postingan dengan label Cagar Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cagar Budaya. Tampilkan semua postingan

Jumat, 24 Januari 2025

Pelestarian Kawasan Cagar Budaya melalui Pengaturan Ketinggian Bangunan (Studi Kasus: Kota Pusaka Lasem dan Sekitarnya)

 A.    Pendahuluan

Kota Pusaka Lasem merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB). Lokasinya berada di pusat perkotaan Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Menurut Nurhajarni, dkk (2015) KCB Lasem (Kota Pusaka Lasem) memiliki nilai historis yang merefleksikan perpaduan keragaman etnik arab, tionghoa, dan pribumi sejak zaman Zheng He/ Ceng Ho, Kerajaan Mataram, tokohtokoh besar islam dan berpredikat kota santri, hingga zaman penjajahan (kolonial). Peleburan karakteristik etnik-etnik tersebut membentuk kawasan yang unik akibat adanya karakteristik langgam bangunan jawa, tionghoa, dan kolonial dalam satu kawasan. Hal ini yang membedakan Kota Pusaka Lasem dengan Kawasan Cagar Budaya lainnya di Indonesia. Nilai historis Kota Pusaka Lasem yang sangat tinggi dan unik ini kemudian menjadikan kawasan tersebut sebagai salah satu identitas bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Hal ini terbukti bahwa pada tahun 2021-2022, Kementerian PUPR telah merevitalisasi sebagian Kota Pusaka Lasem sebagai upaya pelestarian KCB di Indonesia.

Transformasi perekonomian Kota Lasem yang bertumpu pada sektor pariwisata memberikan dampak terhadap pemilihan kebijakan penataan ruang yang mampu mendukung KCB. Pemenuhan kebutuhan fungsi dan kegiatan pemanfaatan ruang sektor pariwisata harus memenuhi syarat tidak merubah figure ground kawasan inti cagar budaya dan tidak memberikan dampak negatif terhadap kawasan Kota Pusaka Lasem secara keseluruhan. Adanya fokus pengembangan kawasan Kota Pusaka Lasem berbasis pariwisata dinilai mampu menarik investor untuk membangun hotel di sekitar kawasan inti cagar budaya Lasem, dimana bangunan hotel memiliki kecenderungan berkembang secara vertikal. Hal ini kemudian berdampak terhadap pembayangan yang mempengaruhi intensitas penerimaan pencahayaan kawasan Kota Pusaka Lasem sebagai KCB. Adanya Bangunan Gedung Hijau (BGH) pada bangunan pasar Lasem juga menjadi pertimbangan khusus karena mengandalkan pencahayaan dan penghawaan alami, serta berperan sebagai bangunan inti kawasan Kota Pusaka Lasem bersama dengan Alun-Alun Lasem dan Masjid Agung Lasem.

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Prov. Jateng pasal 8 menyebutkan bahwa perlindungan cagar budaya meliputi penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran. Sesuai pasal 21, sistem zonasi mengatur fungsi ruang pada cagar budaya secara vertikal maupun horizontal. Hal ini didukung juga oleh Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Cagar Budaya di Kabupaten Rembang pasal 6 menyebutkan bahwa Bupati memiliki wewenang untuk melakukan upaya pemanfaatan cagar budaya yang dapat dilakukan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan. Permasalahannya adalah bagaimana mengatur ketinggian bangunan pada zona penunjang dan/atau kawasan sekitar kota pusaka lasem agar mampu memberikan pencahayaan sinar matahari bagi zona-zona KCB.

Walaupun digunakan untuk kegiatan wisata, kegiatan pelestarian bangunan, situs, dan/atau KCB di Kota Pusaka Lasem menjadi tantangan penting untuk dilakukan, dimana dengan memperpanjang usia cagar budaya maka KCB dapat difungsikan sebagai kegiatan budidaya pariwisata dengan daya tarik nasional – internasional secara keberlanjutan. Pengaturan ketinggian bangunan di KCB Lasem dan sekitarnya merupakan salah kunci yang berperan penting agar perkembangan Kota Pusaka Lasem tidak memberikan pembayangan yang kemudian berdampak negatif terhadap keberlanjutan Kawasan Inti Cagar Budaya Lasem. Maka dari itu, penataan ruang melalui pengaturan ketinggian bangunan yang tercantum dalam RDTR perlu disesuaikan kembali agar mampu mengoptimalkan nilai ekonomi yang diperoleh tanpa memberikan dampak negatif pada KCB dengan cara memperpanjang usia cagar budaya melalui pemberian pencahayaan dan penghawaan yang baik pada KCB, sehingga kawasan heritage dapat dilestarikan secara keberlanjutan, serta mampu menjadi salah satu identitas bangsa tanpa dibatasi oleh waktu.

B.    Metode

Pendekatan kuantiatif dilakukan dalam penelitian untuk menghasilkan ketinggian maksimum pada setiap blok pengaturan zonasi di sekitar KCB Lasem. Data jarak dari inti kawasan terhadap blok kemudian digunakan sebagai dasar untuk dilakukan analisis sky exposure plane (SEP) hingga menghasilkan ketinggian bangunan maksimal yang dapat dibangun pada setiap blok zonasi. Lokasi inti KCB menggunakan bangunan pasar Lasem dengan pertimbangan bahwa bangunan tersebut merupakan satu-satunya BGH di Kota Pusaka Lasem, dimana syarat BGH membutuhkan pencahayaan dan penghawaan yang baik.



Pertimbangan terhadap Sky Exposure Plane (SEP) dilakukan untuk menentukan ketinggian bangunan di sekitar KCB, karena SEP mempertimbangkan atas kondisi fisik dasar yaitu pencahayaan sinar matahari. Permen ATR/BPN No. 11/2021 menyebutkan bahwa SEP dilakukan dengan melihat perbandingan antara jarak bidang horizontal dengan vertikal yang terjadi karena bidang lereng khayal akibat pencahayaan matahari. Walaupun secara umum SEP digunakan untuk menentukan tinggi blok bangunan yang merapat ke jalan, namun dalam kasus ini SEP dapat digunakan untuk menentukan tinggi bangunan terhadap jarak blok dengan KCB dan BGH pasar Lasem sebagai pusatnya. Penentuan selisih ketinggian bangunan, dibutuhkan Angle of Light (ALO) sebagai sudut pencahayaan yang terkena bayangan matahari.

Permen ATR/BPN No. 11/2021 menyebutkan bahwa sudut ALO idealnya sebesar 45O; 26,5O; & 18,3O. Teknik pengaturan zonasi kemudian direkomendasikan berdasarkan hasil kajian ketinggian bangunan maksimal yang dapat dibangun disekitar KCB Lasem, untuk mendukung optimalisasi intensitas pemanfaatan ruang tanpa memberikan dampak negatif pembayangan sinar matahari dan mengoptimalkan pencahayaan dan penghawaan terhadap KCB Lasem.

C.    Hasil dan Pembahasan

Identifikasi lokasi yang berpotensi untuk terjadi peningkatan intensitas pemanfaatan ruang dilakukan secara spasial dengan melakukan tumpang tindih antara layer kawasan permukiman perkotaan, layer KCB Kota Pusaka Lasem, dan layer figure ground. Wilayah yang belum terbangun di Kawasan Permukiman Perkotaan Lasem namun bukan menjadi bagian dari KCB, merupakan wilayah utama yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai zona penunjang KCB Kota Pusaka Lasem dengan kegiatan utama komersil maupun rekreasi berupa sarana dan prasarana yang mampu menunjang kegiatan wisata. Berdasarkan lokasi blok yang berpotensi dikembangkan sebagai lokasi pemenuhan sarana pendukung kegiatan wisata, diketahui jarak blok kawasan permukiman perkotaan terhadap KCB dengan BGH Pasar Lasem sebagai pusatnya. Tinggi bangunan memiliki batasan agar tidak melebihi ketentuan SEP bangunan eksisting dan BGH di kawasan cagar budaya. Dalam hal pengembangan di dalam KCB, pembatasan ketinggian bangunan maksimal 2 lantai dengan pertimbangan bahwa tidak melebihi tinggi bangunan eksisting yang didominasi 2 lantai di sepanjang path utama KCB dan bangunan lain dibelakangnya setinggi 1 lantai. Sedangkan untuk menentukan ketinggian bangunan di sekitar KCB Kota Pusaka Lasem, perhitungan SEP diterapkan pada setiap blok dengan menggunakan 2 sudut pencahayaan sinar matahari (ALO) yang berbeda, yaitu 45O untuk jarak blok terhadap KCB, dan 18,3O untuk jarak blok terhadap BGH. Kedua sudut ini dipilih dengan pertimbangan bahwa lokasi BGH berada di dalam KCB dan menjadi inti zona cagar budaya Kota Pusaka Lasem, sehingga dapat digunakan sebagai pusat pengukuran jarak dengan ALO ideal maksimum, yaitu 18,3O. ALO ideal minimum sebesar 45O juga digunakan untuk memenuhi tujuan optimalisasi intensitas ketinggian bangunan yang dapat dipenuhi pada setiap blok dengan prasyarat pengaturan pembayangan yang diterima KCB.



Berdasarkan 2 sudut pertimbangan tersebut, ketinggian bangunan terendah dipilih dan direkomendasikan untuk setiap blok kawasan permukiman perkotaan yang tidak ditetapkan sebagai KCB Kota Pusaka Lasem. Diketahui bahwa ketinggian bangunan maksimum dapat dikelompokan menjadi 5 kategori, dimana kelompok pertama dengan ketinggian bangunan maksimum <269 meter menjadi fokus lanjutan dalam penulisan ini karena dinilai paling realistis untuk pengembangan kondisi eksisting.

Secara umum dengan asumsi 1 lantai memiliki ketinggian 4 meter, maka ketinggian bangunan <269 meter merupakan <67 lantai dan dapat dikelompokan menjadi 5 kategori intensitas dengan interval 13 lantai. Kelompok kategori pertama dan kedua yang memiliki ketentuan intensitas ketinggian bangunan maksimum 8 lantai dan 16 lantai menjadi fokus lanjutan dalam penulisan ini, karena lokasinya yang cenderung berdekatan dan/atau berbatasan langsung dengan KCB, serta jumlah lantai yang paling realistis. Mengingat pengaturan ketinggian bangunan >27 lantai di Kecamatan Lasem masih bersifat pesimistis untuk dikembangkan dalam kurun waktu perencanaan (20 tahun), sehingga masih belum memungkinkan pengembangan bangunan dengan ketinggian >27 lantai.

Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa blok yang berwana biru tua dengan ketinggian bangunan maksimum <16 lantai merupakan blok yang mendapat hasil dengan pengaruh dari ketinggian bangunan maksimum berdasarkan ALO 45O terhadap KCB. Sedangkan blok yang berwarna biru lebih muda termasuk warna selain biru merupakan blok yang mendapatkan pengaruh dari penggunaan ALO 18,3O. Maka dari itu, dapat diidentifikasi bahwa terjadi crossing point ALO pada jarak sekitar ±437 meter dari BGH dan/atau sekitar ±152 meter dari KCB, dimana pada blok yang lokasinya berjarak ><297 meter dari BGH pasar Lasem menggunakan ALO 45O, sedangkan blok yang lokasinya berjarak >lantai merupakan blok yang mendapat hasil dengan pengaruh dari ketinggian bangunan maksimum <16 lantai merupakan blok yang mendapat hasil dengan pengaruh dari ketinggian bangunan maksimum berdasarkan ALO 45O terhadap KCB. Sedangkan blok yang berwarna biru lebih muda termasuk warna selain biru merupakan blok yang mendapatkan pengaruh dari penggunaan ALO 18,3O. Maka dari itu, dapat diidentifikasi bahwa terjadi crossing point ALO pada jarak sekitar ±437 meter dari BGH dan/atau sekitar ±152 meter dari KCB, dimana pada blok yang lokasinya berjarak <297 meter dari BGH pasar Lasem menggunakan ALO 45O, sedangkan blok yang lokasinya >>437 meter dari BGH pasar Lasem menggunakan 18,3O. Berdasarkan pertimbangan bahwa optimalisasi intensitas ketinggian bangunan ditentukan berdasarkan sudut pencahayaan sinar matahari minimum yang diterima KCB, maka TPZ zona performa menjadi tepat untuk diterapkan. TPZ ini pada dasarnya merupakan teknik pengaturan blok yang aturannya tidak didasarkan pada aturan prespektif, namun didasarkan pada kualitas kinerja tertentu yang ditetapkan, yaitu pembayangan sinar matahari maksimum. Sudut ALO pencahayaan sinar matahari ini mampu digunakan sebagai standar kondisi/kinerja karena mampu menentukan kriteria terukur dan mengikat pada suatu blok. Walaupun begitu, tidak semua blok kawasan permukiman perkotaan di Kecamatan Lasem menjadi tepat untuk diterapkan TPZ zona performa. TPZ ini hanya tepat untuk diterapkan pada (1) blok kawasan permukiman perkotaan dengan hasil perhitungan ketinggian bangunan maksimum < 27 lantai atau sekitar <16 lantai berdasarkan perhitungan suatu blok(jumlah lantai dinilai masih realistis); dan (2) blok yang mendapatkan pengaruh akibat berbatasan langsung dengan KCB. Blok-blok sebagaimana dimaksud diatas adalah blok yang tertulis pada Tabel 4. Kedua pertimbangan ini dipilih karena adanya lokasi blok yang berbatasan langsung dengan KCB namun memiliki intensitas ketinggian bangunan maksimum yang cukup tinggi, seperti blok SDT 6. Hal ini dapat terjadi akibat penggunaan Lokasi BGH pasar lasem sebagai penarikan garis atau pengukuran jarak terhadap KCB, sedangkan lokasi zona inti tidak berada di tengah KCB dan deliniasi KCB berbentuk linier “T”, sehingga jarak KCB yang dihasilkan tidak selalu bernilai kecil.


Pengenaan TPZ zona performa pada suatu blok juga mendukung tujuan optimalisasi intensitas ketinggian bangunan sarana yang mendukung kegiatan wisata seperti sarana perhotelan di sekitar KCB Kota Pusaka Lasem. Walaupun batas maksimum suatu blok telah ditetapkan, pembangunan gedung pada suatu lokasi masih diperbolehkan melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan pada blok tersebut, selama tidak melebihi sudut ALO pembayangan sinar matahari maksimum terhadap KCB. Hal ini bertujuan agar pemanfaatan ruang yang memiliki jarak yang lebih jauh dalam satu blok ataupun berbeda blok dapat memiliki ketinggian bangunan yang berbeda dan lebih tinggi daripada pemanfaatan ruang dengan jarak yang lebih pendek terhadap BGH-KCB, sehingga optimalisasi intensitas pemanfaatan ruang dapat dilaksanakan tanpa memberikan pembayangan yang mengganggu pemberian pencahayaan dan penghawaan alami untuk mendukung pelestarian kawasan cagar budaya secara berkelanjutan sebagai identitas bangsa pada masa kini maupun masa mendatang.

Jika kawasan sekitar KCB Kota Pusaka Lasem diarahkan untuk menggunakan TPZ zona performa sebagai upaya optimalisasi intensitas pemanfaatan ruang, maka blok yang ditetapkan sebagian atau seluruh wilayahnya sebagai KCB Kota Pusaka Lasem diarahkan untuk menggunakan TPZ zona pengendalian pertumbuhan. Pada TPZ ini diterapkan pembatasan pembangunan dalam upaya melindungi karakteristik kawasan. Dalam hal blok pada KCB terdapat bangunan dan situs yang ditetapkan sebagai bangunan/ situs cagar budaya, maka TPZ zona pelestarian cagar budaya juga dapat diterapkan karena mampu mengatur pemanfaatan bangunan cagar budaya dengan memberikan pembatasan pembangunan guna mempertahankan bangunan dan situs yang memiliki nilai budaya tertentu, dimana persyaratan khusus yang diterapkan biasanya tidak merubah struktur dan bentuk asli bangunan.

 

D.    Kesimpulan dan Rekomendasi

Kawasan cagar budaya merupakan kawasan yang perlu dilestarikan, mengingat warisan budaya merupakan historis bangsa yang terakumulasi menjadi suatu karakter berwujud identitas suatu kota maupun bangsa. Pengaturan ketinggian bangunan pada suatu pemanfaatan ruang merupakan salah satu alat penataan ruang yang mampu menciptakan pelestarian kawasan cagar budaya dari tekanan urbanisasi disekitarnya, salah satunya adalah kerusakan alami yang timbul akibat masifnya proses pengkotaan hingga berdampak terhadap buruknya pencahayaan dan pengahawaan alami yang dimiliki KCB. Maka dari itu, perlu dilakukan pengaturan intensitas pemanfaatan ruang, khususnya pengaturan ketinggian bangunan yang mempengaruhi pemberian pembayangan pada KCB. Dengan adanya pengaturan ketinggian bangunan disekitar KCB, diharapkan pencahayaan dan penghawaan alami yang diterima KCB dapat optimal, sehingga meminimalisir kerusakan alami pada KCB dan menunjang pelestarian KCB sebagai wujud identitas bangsa yang berkelanjutan.

Berdasarkan 2 jenis ALO yang digunakan, terjadi crossing point ALO pada sekitar ±437 meter dari BGH dan/atau sekitar ±152 meter dari KCB, dimana pada blok yang lokasinya berjarak <297 meter dari BGH Pasar Lasem menggunakan ALO 45O, sedangkan blok yang lokasinya berjarak >437 meter dari BGH Pasar Lasem menggunakan 18,3O. Hasil perhitungan SEP menunjukan bahwa terdapat 18 blok yang dinilai masih mendapatkan pengaruh secara realistis akibat adanya KCB Kota Pusaka Lasem dan BGH pasar lasem, dimana ketinggian bangunan maksimum yang dapat diterapkan bervariasi sesuai jaraknya, mulai 4 meter dengan ketinggian maksimum 1 lantai, hingga 65 meter dengan ketinggian maksimum 16 antai. Teknik Pengaturan Zonasi (TPZ) yang paling tepat untuk diterapkan pada blok tersebut adalah zona performa, mengingat intensitas ketinggian bangunan ditetapkan berdasarkan standar kondisi fisik/ kinerja pencahayaan sinar matahari minimum. Sedangkan blok yang sebagian dan/atau seluruh wilayahnya ditetapkan sebagai KCB, maka TPZ yang dapat diterapkan adalah zona pengendalian pertumbuhan dan/atau zona pelestarian cagar budaya sesuai kebutuhan perlindungan KCB beserta bangunan cagar budaya didalamnya.

Berdasarkan pertimbangan SEP dan ALO pencahayaan sinar matahari terhadap KCB dan BGH tersebut, blok yang dinilai masih mendapatkan pengaruh terhadap adanya KCB dapat diterapkan TPZ zona performa. Sedangkan blok yang sebagian dan/atau seluruh wilayah ditetapkan sebagai KCB dapat diterapkan TPZ zona pengendalian pertumbuhan dan/atau zona pelestarian cagar budaya.



Walaupun begitu, gambar diatas menunjukan bahwa terdapat blok yang memiliki ketinggian bangunan maksimum dengan intensitasi tinggi walaupun bersebelahan langsung dengan KCB. Hal ini terjadi karena penggunaan lokasi BGH Pasar Lasem tidak berada ditengah KCB dan digunakan sebagai pusat penarikan jarak dari blok dengan KCB, menyebabkan lokasi tertentu memiliki jarak yang jauh dari BGH. Selain itu, bentuk KCB yang cenderung linier hingga membentuk “T”, menyebabkan pembayangan pada sekitar sudut KCB dengan batas blok yang berada jauh dari zona inti di bagian utara persimpangan “T”. Pertimbangan lain yang perlu dimasukan dalam variabel analisis adalah umumnya sinar matahari bergerak dari arah timur ke barat, namun pola pergerakan pencahayaan sinar matahari tidak selalu tepat berada diatas lokasi dan cenderung berubah-ubah, dimana arahnya dapat bisa berasal dari tenggara, barat daya, barat laut, hingga timur laut. Guna mengantisipasi sudut asal pencahayaan sinar matahari, dalam penyusunan aturan wajib PZ RDTR Kecamatan Lasem khusus bagian ketinggian bangunan perlu dilakukan penelitian lanjutan pada wilayah yang dinilai bermasalah sebagaimana dimaksud di atas, dimana penentuan ketinggian bangunan maksimum akan menggunakan jarak terdekat dari blok menuju KCB Kota Pusaka Lasem secara langsung tanpa menggunakan zona inti cagar budaya dan/atau BGH Pasar Lasem sebagai pusat penarikan garis atau pengukuran jaraknya.

 

 

 

 

 

Sumber : Penulis Danna Prasetya Nusantara, S.T, Dr. Ir. Retno Susanti, M.T, dan Nanda Cahyani Putri, S.P.W.K., M.P.W.K, Dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi III (September - Desember 2024)