“Tidak dapat dipungkiri bahwa kawasan perkotaan memiliki peran penting dalam pembangunan nasional dan daerah. Tentu saja konsep dan perencanaan tata ruang yang bagus tidaklah cukup. Yang tidak kalah penting adalah konsistensi implementasi pemanfaatan ruang untuk mewujudkan struktur dan pola ruang sesuai dengan rencana dan pengendalian pemanfaatan ruang”.
Saat
ini, perkembangan kawasan perkotaan menjadi sangat cepat yang diindikasikan
dengan pesatnya pertumbuhan penduduk. Dalam periode 1950-1990, jumlah penduduk
kota di dunia telah meningkat lebih kurang tiga kali lipat, yaitu dari 730 juta
jiwa menjadi 2,3 miliar jiwa . Antara tahun 1990 hingga tahun 2020, angka
pertumbuhan penduduk ini akan menjadi dua kali lipat, melampaui 4,6 miliar
jiwa.
Pada
saat ini sekitar 43% penduduk dunia tinggal di perkotaan. Di Indonesia, pada
periode 2000-2005 tingkat pertumbuhan penduduk secara nasional sebesar 1,98 %
per tahun dibandingkan dengan angka pertumbuhan penduduk kota sebesar 5,98 %
per tahun.
Pesatnya
pertumbuhan penduduk di perkotaan semakin menambah berat beban perkotaan serta
memperluas perkembangan kawasan, terutama di daerah pinggiran kota besar dan
metropolitan.
Permasalahan Perkotaan
Pertumbuhan
kota secara cepat tersebut secara langsung berimplikasi pada pembangunan
infrastruktur dasar dan pelayanan publik. Permasalahan infrastruktur, seperti
kurangnya layanan air bersih, sistem sanitasi, dan pemenu - han penyediaan
perumahan, serta transportasi yang tidak memadai dalam mendukung pemenuhan
kebutuhan pertumbuhan penduduk perkotaan menjadi penyebab utama timbulnya
berbagai masalah di perkotaan.
Hal
tersebut juga melengkapi permasalahan lanjutan, seperti kemacet - an,
permukiman kumuh, kemiskinan, menurunnya kualitas lingkungan perko - taan,
luasan ruang terbuka hijau yang semakin menurun, serta berbagai permasalahan
lainnya yang semakin menambah kompleksitas permasalahan perkotaan.
Pengelolaan
kawasan perkotaan cenderung mengalami tantangan yang berat akibat arus
urbanisasi, sementara di satu sisi daya dukung lingkungan dan sosial juga
mengalami penurunan. Alih guna lahan (konversi) dari lahan pertanian maupun
ruang terbuka hijau menjadi kawasan terbangun menjadi tantangan tersendiri.
Berdasar
data BPS (2003) , tingkat kon - versi lahan pertan ian di Indonesia rata - rata
mencapai 150 ribu hektar setiap tahunnya. Sedangkan penurunan luas ruang
terbuka hijau dalam 30 tahun terakhir ini, terutama pada kota-kota besar,
seperti Jakarta, Bandung , Surabaya, dan Medan , dari sekitar 35% di awal
1970-an menjadi kurang dari 10% saat ini.
Perubahan Iklim
Perubahan
iklim yang merupakan isu global adalah akibat dari peningkatan konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfer bumi yang dihasilkan berbagai kegiatan manusia, terutama
penggunaan bahan bakar fosil dan alih fungsi lahan. Dampak perubahan iklim
makin terasa terutama pada dekade terakhir, seperti perubahan pola cuaca,
banjir, longsor, kenaikan muka air laut, dan sebagainya. Dampak perubahan iklim
tersebut tidak hanya merusak kualitas lingkungan, namun juga membahayakan
kesehatan manusia , kegiatan ekonomi, sosial-budaya, serta infrastruktur .
Kota Hijau Berkelanjutan
Kota
hijau pada dasarnya memiliki pengertian sebagai kota yang berwawasan lingkungan
hidup yang pengembangan kotanya dimaksudkan untuk dapat menjaga kelestarian dan
keberadaan berbagai sumber daya yang menunjang kehidupan, mengingat kota dengan
wilayah sekitarnya merupakan satu kesatuan sistem geografis yang memiliki
hubungan timbal -balik dan ketergantungan.
Kota
hijau adalah kota yang berkelan - jutan, baik secara lingkungan fisik, ekonomi
, sosial-budaya , maupun tata kelola (governance). Keberlanjutan metabolisme
kota dengan pembangunannya harus dapat memenuhi kebutuhan -kebutuhan masa kini
tanpa membahayakan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.
Pola
pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi cenderung mengarah
pada pemanfa - atan sumber daya alam dan lingkungan yang kurang terkendali.
Kota memiliki keterbatasan daya dukung baik lingkungan maupun sosial, jika
dieksploitasi terus-menerus akan mengakibatkan bencana lingkungan dan krisis
ekologi. Untuk itu dalam mengelola segenap potensi sumber daya alam tersebut
harus dilakukan secara bijak dan penuh kehati-hatian.
Kawasan
perkotaan dalam konsep lingkungan hidup adalah merupakan suatu kawasan yang
tercipta dari berlangsungnya proses interaksi antara manusia (lingkungan hidup
sosial) dengan sumber daya alam (lingkungan hidup alam) yang terejawantah dalam
lingkungan binaan manusia (built environment). Konsep tiga roda antara
lingkungan hidup alam, lingkungan hidup sosial, dan lingkungan hidup binaan
manusia tersebut tidak boleh tersegregasi, namun harus dalam satu kesatuan dan
keutuhan sistem.
Peran Penataan Ruang
Berbagai
permasalahan perkotaan membutuhkan pendekatan yang tepat, yaitu dengan
mengedepankan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan. Harus disadari bahwa
kota kita masingmasing memiliki karakteristik yang unik, sehingga kondisi ini
membutuhkan pendekatan pengembangan perkotaan yang berbasis kebutuhan dan
kemampuan dan potensi yang dimiliki masingmasing kota.
Pengembangan
infrastruktur perkotaan harus memasukkan aspek keber - lanjutan sebagai
prasyarat utama pembangunan. Dibutuhkan kebijakan dan program yang jelas serta
sumber daya yang memadai. Tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan dan
dukungan segenap pihak dalam penyelenggaraan pembangunan perkotaan .
Penataan
ruang memiliki peran yang sangat siginfikan sebagai instrumen dalam rangka
mewujudkan kota hijau yang berkelanjutan . Dalam rencana tata ruang kota,
diatur hal-hal yang terkait perwujudan kota hijau yang berkelanjutan, seperti
pengaturan pusat- pusat kegiatan yang berjenjang dan berhirarki serta pembagian
peran dan fungsi pada kota-kota di kawasan metropolitan, kompaksi perkotaan
dengan mendekat - kan fungsi dan aktivitas sehingga pola pergerakan menjadi
lebih efisien .
Ada
juga konservasi terhadap kawasan lindung, penyediaan jalur dan ruang evakuasi
bencana, pertimbangan daya dukung lingkungan, pengembangan infrastruktur
perkotaan sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang, pengembangan sistem
jaringan trans - portasi publik dan jalur pejalan kaki, penataan dan
pengelolaan sektor informal serta pelestarian terhadap kawasan bersejarah
perkotaan .
Selanjutnya,
dalam rencana tata ruang kota ditetapkan target ruang terbuka hijau sebesar 30%
dari luas kota, di mana proporsi 30% ini merupakan ukuran minimal untuk
menjamin keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat maupun sistem
ekologis lain. Hal ini akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang
diperlukan oleh masyarakat serta sekaligus meningkatkan estetika kota .
Kendala dalam Mewujudan Kota Hijau Berkelanjutan
Tidak
mudah memang mewujudkan kota hijau yang berkelanjutan. Beragam kendala menjadi
faktor penghambat, antara lain kurangnya pemahaman dan peran masyarakat dalam
upaya perwujudan kota hijau, belum optimalnya kapasitas kelembagaan serta
rendahnya kerja sama dan koordinasi antarsektor dalam pengelolaan lingkungan
hidup, peningkatan jumlah penduduk perkotaan dan urbanisasi, pembangunan yang
berorientasi fisik dan ekonomi, tingginya pendanaan serta terbatasnya lahan
perkotaan dalam mewujudkan ruang terbuka hijau sebesar 30% dari luas kota.
Ada
pula persepsi bahwa penerapan konstruksi hijau cenderung membuat biaya
pembarigunan menjadi lebih mahal. Pada tahap investasi awal penerapan
konstruksi hijau memang cenderung lebih mahal 30%-40 % yang disebabkan oleh
harga bahan material ramah lingkungan dan hemat energi yang memang relatif
lebih mahal, rencana tata ruang belum sepenuhnya dijadikan acuan dalam
pembangunan perkotaan, tingginya pendanaan serta terbatasnya lahan perkotaan
dalam mewujudkan ruang terbuka hijau.
Ditambah
lagi perkembangan kawasan perkotaan cenderung bersifat ekspansif dan
menunjukkan gejala urban sprawl yang semakin tidak terkendali, pengalihfungsian
kawasan pertanian subur di pinggiran kota, peningkatan ketergantungan pada
kendaraan bermotor, dan kurang optimalnya pengawasan oleh aparat dalam
mendukung tertib pemanfaatan ruang.
Strategi Cerdas dan lnovatif
Diperlukan
strategi yang cerdas, bijak, dan inovatif dalam rangka kota hijau
berkelanjutan, ialah adanya kompaksi perkotaan, yaitu strategi pengembangan
kota dengan meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan penduduk perumahan,
mengintensifkan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya perkotaan, memanipulasi
ukuran, bentuk dan struktur perkotaan, serta sistem permukiman untuk mencapai manfaat
keberlanjutan lingkungan sosial dan global, yang diperoleh dari pemusatan
fungsi -fungsi perkotaan, dan penggunaan lahan campuran/mixed land use (Jenk,
2000 ) .
Kemudian,
pentingnya mendorong pengembangan sistem transportasi publik antarmoda yang
terintegrasi dan hemat energi. Selanjutnya penerapan lnte//egent Building
System (JBS) atau sistem bangunan cerdas yang efisien dalam penggunaan energi
serta meningkatkan penggunaan teknologi dan bahan bangunan yang ramah
lingkungan.
Menghijaukan
atap juga dapat mengurangi efek urban heat island (suhu wilayah kota yang lebih
tinggi yang mempengaruhi daerah pedesaan, terutama karena meluasnya permukaan
keras yang menyerap radiasi matahari).
Jangan
dilupakan kearifan lokal, nilainilai kearifan lokal, budaya, sosial,
kesejarahan, tradisi yang tercermin dalam arsitektur tradisional dapat menjadi
rujukan dalam perancangan arsitektur di masa depan yang ramah lingkungan dan
hemat energi. Terakhir adalah penerapan green construction yang merupakan
sebuah pola tatanan infrastruktur yang dilakukan mulai dari proses perencanaan,
perancangan, pelaksanaan, pemakaian, hingga daur ulangnya meng - gunakan energi
seminimal mungkin .
Upaya
peran strategis dan dukungan sektor-sektor harus diselenggarakan secara terpadu
dan berkelanjutan berbasis pengembangan wilayah dengan instrumen penataan
ruang. Melalui penerapan prinsip keterpaduan tersebut, diharapkan aka·n
tercipta pola dan struktur ruang wilayah yang efisien dan efektif yang dicapai
secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan komitmen
dan konsitensi yang kuat dan sungguh-sungguh dalam menyelenggarakan penataan
ruang, baik pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten maupun kota sehingga
dapat terwujud ruang kota yang nyaman, produktif dan berkelanjutan ke depan.
Sumber : Oleh Taufan Madiasworo dalam
Volume40 • KIPRAH Tahun 2010