A. Pendahuluan
Kota
Pusaka Lasem merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya
(KCB). Lokasinya berada di pusat perkotaan Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang,
Provinsi Jawa Tengah. Menurut Nurhajarni, dkk (2015) KCB Lasem (Kota Pusaka
Lasem) memiliki nilai historis yang merefleksikan perpaduan keragaman etnik
arab, tionghoa, dan pribumi sejak zaman Zheng He/ Ceng Ho, Kerajaan Mataram,
tokohtokoh besar islam dan berpredikat kota santri, hingga zaman penjajahan
(kolonial). Peleburan karakteristik etnik-etnik tersebut membentuk kawasan yang
unik akibat adanya karakteristik langgam bangunan jawa, tionghoa, dan kolonial
dalam satu kawasan. Hal ini yang membedakan Kota Pusaka Lasem dengan Kawasan
Cagar Budaya lainnya di Indonesia. Nilai historis Kota Pusaka Lasem yang sangat
tinggi dan unik ini kemudian menjadikan kawasan tersebut sebagai salah satu
identitas bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Hal ini terbukti bahwa
pada tahun 2021-2022, Kementerian PUPR telah merevitalisasi sebagian Kota
Pusaka Lasem sebagai upaya pelestarian KCB di Indonesia.
Dalam
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian
dan Pengelolaan Cagar Budaya Prov. Jateng pasal 8 menyebutkan bahwa
perlindungan cagar budaya meliputi penyelamatan, pengamanan, zonasi,
pemeliharaan, dan pemugaran. Sesuai pasal 21, sistem zonasi mengatur fungsi
ruang pada cagar budaya secara vertikal maupun horizontal. Hal ini didukung
juga oleh Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 5 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Cagar Budaya di Kabupaten Rembang pasal 6 menyebutkan bahwa Bupati
memiliki wewenang untuk melakukan upaya pemanfaatan cagar budaya yang dapat
dilakukan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan,
teknologi, dan kebudayaan. Permasalahannya adalah bagaimana mengatur ketinggian
bangunan pada zona penunjang dan/atau kawasan sekitar kota pusaka lasem agar
mampu memberikan pencahayaan sinar matahari bagi zona-zona KCB.
Walaupun
digunakan untuk kegiatan wisata, kegiatan pelestarian bangunan, situs, dan/atau
KCB di Kota Pusaka Lasem menjadi tantangan penting untuk dilakukan, dimana
dengan memperpanjang usia cagar budaya maka KCB dapat difungsikan sebagai
kegiatan budidaya pariwisata dengan daya tarik nasional – internasional secara
keberlanjutan. Pengaturan ketinggian bangunan di KCB Lasem dan sekitarnya
merupakan salah kunci yang berperan penting agar perkembangan Kota Pusaka Lasem
tidak memberikan pembayangan yang kemudian berdampak negatif terhadap
keberlanjutan Kawasan Inti Cagar Budaya Lasem. Maka dari itu, penataan ruang
melalui pengaturan ketinggian bangunan yang tercantum dalam RDTR perlu
disesuaikan kembali agar mampu mengoptimalkan nilai ekonomi yang diperoleh tanpa
memberikan dampak negatif pada KCB dengan cara memperpanjang usia cagar budaya
melalui pemberian pencahayaan dan penghawaan yang baik pada KCB, sehingga
kawasan heritage dapat dilestarikan secara keberlanjutan, serta mampu menjadi
salah satu identitas bangsa tanpa dibatasi oleh waktu.
B.
Metode
Pendekatan
kuantiatif dilakukan dalam penelitian untuk menghasilkan ketinggian maksimum
pada setiap blok pengaturan zonasi di sekitar KCB Lasem. Data jarak dari inti
kawasan terhadap blok kemudian digunakan sebagai dasar untuk dilakukan analisis
sky exposure plane (SEP) hingga menghasilkan ketinggian bangunan maksimal yang
dapat dibangun pada setiap blok zonasi. Lokasi inti KCB menggunakan bangunan
pasar Lasem dengan pertimbangan bahwa bangunan tersebut merupakan satu-satunya
BGH di Kota Pusaka Lasem, dimana syarat BGH membutuhkan pencahayaan dan
penghawaan yang baik.
Pertimbangan
terhadap Sky Exposure Plane (SEP) dilakukan untuk menentukan ketinggian
bangunan di sekitar KCB, karena SEP mempertimbangkan atas kondisi fisik dasar
yaitu pencahayaan sinar matahari. Permen ATR/BPN No. 11/2021 menyebutkan bahwa
SEP dilakukan dengan melihat perbandingan antara jarak bidang horizontal dengan
vertikal yang terjadi karena bidang lereng khayal akibat pencahayaan matahari.
Walaupun secara umum SEP digunakan untuk menentukan tinggi blok bangunan yang
merapat ke jalan, namun dalam kasus ini SEP dapat digunakan untuk menentukan
tinggi bangunan terhadap jarak blok dengan KCB dan BGH pasar Lasem sebagai
pusatnya. Penentuan selisih ketinggian bangunan, dibutuhkan Angle of Light
(ALO) sebagai sudut pencahayaan yang terkena bayangan matahari.
Permen
ATR/BPN No. 11/2021 menyebutkan bahwa sudut ALO idealnya sebesar 45O; 26,5O;
& 18,3O. Teknik pengaturan zonasi kemudian direkomendasikan berdasarkan
hasil kajian ketinggian bangunan maksimal yang dapat dibangun disekitar KCB
Lasem, untuk mendukung optimalisasi intensitas pemanfaatan ruang tanpa
memberikan dampak negatif pembayangan sinar matahari dan mengoptimalkan
pencahayaan dan penghawaan terhadap KCB Lasem.
C.
Hasil dan Pembahasan
Identifikasi
lokasi yang berpotensi untuk terjadi peningkatan intensitas pemanfaatan ruang
dilakukan secara spasial dengan melakukan tumpang tindih antara layer kawasan
permukiman perkotaan, layer KCB Kota Pusaka Lasem, dan layer figure ground.
Wilayah yang belum terbangun di Kawasan Permukiman Perkotaan Lasem namun bukan
menjadi bagian dari KCB, merupakan wilayah utama yang berpotensi untuk
dikembangkan sebagai zona penunjang KCB Kota Pusaka Lasem dengan kegiatan utama
komersil maupun rekreasi berupa sarana dan prasarana yang mampu menunjang
kegiatan wisata. Berdasarkan lokasi blok yang berpotensi dikembangkan sebagai
lokasi pemenuhan sarana pendukung kegiatan wisata, diketahui jarak blok kawasan
permukiman perkotaan terhadap KCB dengan BGH Pasar Lasem sebagai pusatnya.
Tinggi bangunan memiliki batasan agar tidak melebihi ketentuan SEP bangunan
eksisting dan BGH di kawasan cagar budaya. Dalam hal pengembangan di dalam KCB,
pembatasan ketinggian bangunan maksimal 2 lantai dengan pertimbangan bahwa
tidak melebihi tinggi bangunan eksisting yang didominasi 2 lantai di sepanjang
path utama KCB dan bangunan lain dibelakangnya setinggi 1 lantai. Sedangkan
untuk menentukan ketinggian bangunan di sekitar KCB Kota Pusaka Lasem,
perhitungan SEP diterapkan pada setiap blok dengan menggunakan 2 sudut pencahayaan
sinar matahari (ALO) yang berbeda, yaitu 45O untuk jarak blok terhadap KCB, dan
18,3O untuk jarak blok terhadap BGH. Kedua sudut ini dipilih dengan
pertimbangan bahwa lokasi BGH berada di dalam KCB dan menjadi inti zona cagar
budaya Kota Pusaka Lasem, sehingga dapat digunakan sebagai pusat pengukuran
jarak dengan ALO ideal maksimum, yaitu 18,3O. ALO ideal minimum sebesar 45O
juga digunakan untuk memenuhi tujuan optimalisasi intensitas ketinggian
bangunan yang dapat dipenuhi pada setiap blok dengan prasyarat pengaturan
pembayangan yang diterima KCB.
Berdasarkan
2 sudut pertimbangan tersebut, ketinggian bangunan terendah dipilih dan
direkomendasikan untuk setiap blok kawasan permukiman perkotaan yang tidak
ditetapkan sebagai KCB Kota Pusaka Lasem. Diketahui bahwa ketinggian bangunan
maksimum dapat dikelompokan menjadi 5 kategori, dimana kelompok pertama dengan
ketinggian bangunan maksimum <269 meter menjadi fokus lanjutan dalam
penulisan ini karena dinilai paling realistis untuk pengembangan kondisi
eksisting.
Secara
umum dengan asumsi 1 lantai memiliki ketinggian 4 meter, maka ketinggian
bangunan <269 meter merupakan <67 lantai dan dapat dikelompokan menjadi 5 kategori intensitas dengan interval 13 lantai. Kelompok kategori pertama dan kedua yang memiliki ketentuan intensitas ketinggian bangunan maksimum 8 lantai dan 16 lantai menjadi fokus lanjutan dalam penulisan ini, karena lokasinya yang cenderung berdekatan dan/atau berbatasan langsung dengan KCB, serta jumlah lantai yang paling realistis. Mengingat pengaturan ketinggian bangunan >27
lantai di Kecamatan Lasem masih bersifat pesimistis untuk dikembangkan dalam
kurun waktu perencanaan (20 tahun), sehingga masih belum memungkinkan
pengembangan bangunan dengan ketinggian >27 lantai.
Berdasarkan
Gambar 4 diketahui bahwa blok yang berwana biru tua dengan ketinggian bangunan
maksimum <16 lantai merupakan blok yang mendapat hasil dengan pengaruh dari ketinggian bangunan maksimum berdasarkan ALO 45O terhadap KCB. Sedangkan blok yang berwarna biru lebih muda termasuk warna selain biru merupakan blok yang mendapatkan pengaruh dari penggunaan ALO 18,3O. Maka dari itu, dapat diidentifikasi bahwa terjadi crossing point ALO pada jarak sekitar ±437 meter dari BGH dan/atau sekitar ±152 meter dari KCB, dimana pada blok yang lokasinya berjarak ><297 meter dari BGH pasar Lasem menggunakan ALO 45O, sedangkan blok yang lokasinya berjarak >lantai
merupakan blok yang mendapat hasil dengan pengaruh dari ketinggian bangunan
maksimum <16 lantai merupakan blok yang mendapat hasil dengan pengaruh dari
ketinggian bangunan maksimum berdasarkan ALO 45O terhadap KCB. Sedangkan blok
yang berwarna biru lebih muda termasuk warna selain biru merupakan blok yang
mendapatkan pengaruh dari penggunaan ALO 18,3O. Maka dari itu, dapat
diidentifikasi bahwa terjadi crossing point ALO pada jarak sekitar ±437 meter
dari BGH dan/atau sekitar ±152 meter dari KCB, dimana pada blok yang lokasinya
berjarak <297 meter dari BGH pasar Lasem menggunakan ALO 45O, sedangkan blok yang lokasinya >>437
meter dari BGH pasar Lasem menggunakan 18,3O. Berdasarkan pertimbangan bahwa
optimalisasi intensitas ketinggian bangunan ditentukan berdasarkan sudut
pencahayaan sinar matahari minimum yang diterima KCB, maka TPZ zona performa
menjadi tepat untuk diterapkan. TPZ ini pada dasarnya merupakan teknik
pengaturan blok yang aturannya tidak didasarkan pada aturan prespektif, namun
didasarkan pada kualitas kinerja tertentu yang ditetapkan, yaitu pembayangan
sinar matahari maksimum. Sudut ALO pencahayaan sinar matahari ini mampu
digunakan sebagai standar kondisi/kinerja karena mampu menentukan kriteria
terukur dan mengikat pada suatu blok. Walaupun begitu, tidak semua blok kawasan
permukiman perkotaan di Kecamatan Lasem menjadi tepat untuk diterapkan TPZ zona
performa. TPZ ini hanya tepat untuk diterapkan pada (1) blok kawasan permukiman
perkotaan dengan hasil perhitungan ketinggian bangunan maksimum < 27 lantai
atau sekitar <16 lantai berdasarkan perhitungan suatu blok(jumlah lantai
dinilai masih realistis); dan (2) blok yang mendapatkan pengaruh akibat
berbatasan langsung dengan KCB. Blok-blok sebagaimana dimaksud diatas adalah
blok yang tertulis pada Tabel 4. Kedua pertimbangan ini dipilih karena adanya
lokasi blok yang berbatasan langsung dengan KCB namun memiliki intensitas
ketinggian bangunan maksimum yang cukup tinggi, seperti blok SDT 6. Hal ini
dapat terjadi akibat penggunaan Lokasi BGH pasar lasem sebagai penarikan garis
atau pengukuran jarak terhadap KCB, sedangkan lokasi zona inti tidak berada di
tengah KCB dan deliniasi KCB berbentuk linier “T”, sehingga jarak KCB yang
dihasilkan tidak selalu bernilai kecil.
Pengenaan TPZ zona performa pada suatu blok juga mendukung tujuan optimalisasi intensitas ketinggian bangunan sarana yang mendukung kegiatan wisata seperti sarana perhotelan di sekitar KCB Kota Pusaka Lasem. Walaupun batas maksimum suatu blok telah ditetapkan, pembangunan gedung pada suatu lokasi masih diperbolehkan melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan pada blok tersebut, selama tidak melebihi sudut ALO pembayangan sinar matahari maksimum terhadap KCB. Hal ini bertujuan agar pemanfaatan ruang yang memiliki jarak yang lebih jauh dalam satu blok ataupun berbeda blok dapat memiliki ketinggian bangunan yang berbeda dan lebih tinggi daripada pemanfaatan ruang dengan jarak yang lebih pendek terhadap BGH-KCB, sehingga optimalisasi intensitas pemanfaatan ruang dapat dilaksanakan tanpa memberikan pembayangan yang mengganggu pemberian pencahayaan dan penghawaan alami untuk mendukung pelestarian kawasan cagar budaya secara berkelanjutan sebagai identitas bangsa pada masa kini maupun masa mendatang.Jika kawasan sekitar KCB Kota Pusaka Lasem diarahkan untuk menggunakan TPZ zona performa sebagai upaya optimalisasi intensitas pemanfaatan ruang, maka blok yang ditetapkan sebagian atau seluruh wilayahnya sebagai KCB Kota Pusaka Lasem diarahkan untuk menggunakan TPZ zona pengendalian pertumbuhan. Pada TPZ ini diterapkan pembatasan pembangunan dalam upaya melindungi karakteristik kawasan. Dalam hal blok pada KCB terdapat bangunan dan situs yang ditetapkan sebagai bangunan/ situs cagar budaya, maka TPZ zona pelestarian cagar budaya juga dapat diterapkan karena mampu mengatur pemanfaatan bangunan cagar budaya dengan memberikan pembatasan pembangunan guna mempertahankan bangunan dan situs yang memiliki nilai budaya tertentu, dimana persyaratan khusus yang diterapkan biasanya tidak merubah struktur dan bentuk asli bangunan.
D.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kawasan
cagar budaya merupakan kawasan yang perlu dilestarikan, mengingat warisan
budaya merupakan historis bangsa yang terakumulasi menjadi suatu karakter
berwujud identitas suatu kota maupun bangsa. Pengaturan ketinggian bangunan
pada suatu pemanfaatan ruang merupakan salah satu alat penataan ruang yang
mampu menciptakan pelestarian kawasan cagar budaya dari tekanan urbanisasi
disekitarnya, salah satunya adalah kerusakan alami yang timbul akibat masifnya
proses pengkotaan hingga berdampak terhadap buruknya pencahayaan dan
pengahawaan alami yang dimiliki KCB. Maka dari itu, perlu dilakukan pengaturan
intensitas pemanfaatan ruang, khususnya pengaturan ketinggian bangunan yang
mempengaruhi pemberian pembayangan pada KCB. Dengan adanya pengaturan
ketinggian bangunan disekitar KCB, diharapkan pencahayaan dan penghawaan alami
yang diterima KCB dapat optimal, sehingga meminimalisir kerusakan alami pada
KCB dan menunjang pelestarian KCB sebagai wujud identitas bangsa yang
berkelanjutan.
Berdasarkan
2 jenis ALO yang digunakan, terjadi crossing point ALO pada sekitar ±437 meter
dari BGH dan/atau sekitar ±152 meter dari KCB, dimana pada blok yang lokasinya
berjarak <297 meter dari BGH Pasar Lasem menggunakan ALO 45O, sedangkan blok yang lokasinya berjarak >437
meter dari BGH Pasar Lasem menggunakan 18,3O. Hasil perhitungan SEP menunjukan
bahwa terdapat 18 blok yang dinilai masih mendapatkan pengaruh secara realistis
akibat adanya KCB Kota Pusaka Lasem dan BGH pasar lasem, dimana ketinggian
bangunan maksimum yang dapat diterapkan bervariasi sesuai jaraknya, mulai 4
meter dengan ketinggian maksimum 1 lantai, hingga 65 meter dengan ketinggian
maksimum 16 antai. Teknik Pengaturan Zonasi (TPZ) yang paling tepat untuk
diterapkan pada blok tersebut adalah zona performa, mengingat intensitas
ketinggian bangunan ditetapkan berdasarkan standar kondisi fisik/ kinerja
pencahayaan sinar matahari minimum. Sedangkan blok yang sebagian dan/atau
seluruh wilayahnya ditetapkan sebagai KCB, maka TPZ yang dapat diterapkan
adalah zona pengendalian pertumbuhan dan/atau zona pelestarian cagar budaya
sesuai kebutuhan perlindungan KCB beserta bangunan cagar budaya didalamnya.
Berdasarkan
pertimbangan SEP dan ALO pencahayaan sinar matahari terhadap KCB dan BGH
tersebut, blok yang dinilai masih mendapatkan pengaruh terhadap adanya KCB
dapat diterapkan TPZ zona performa. Sedangkan blok yang sebagian dan/atau
seluruh wilayah ditetapkan sebagai KCB dapat diterapkan TPZ zona pengendalian
pertumbuhan dan/atau zona pelestarian cagar budaya.
Walaupun
begitu, gambar diatas menunjukan bahwa terdapat blok yang memiliki ketinggian
bangunan maksimum dengan intensitasi tinggi walaupun bersebelahan langsung
dengan KCB. Hal ini terjadi karena penggunaan lokasi BGH Pasar Lasem tidak
berada ditengah KCB dan digunakan sebagai pusat penarikan jarak dari blok
dengan KCB, menyebabkan lokasi tertentu memiliki jarak yang jauh dari BGH.
Selain itu, bentuk KCB yang cenderung linier hingga membentuk “T”, menyebabkan
pembayangan pada sekitar sudut KCB dengan batas blok yang berada jauh dari zona
inti di bagian utara persimpangan “T”. Pertimbangan lain yang perlu dimasukan
dalam variabel analisis adalah umumnya sinar matahari bergerak dari arah timur
ke barat, namun pola pergerakan pencahayaan sinar matahari tidak selalu tepat
berada diatas lokasi dan cenderung berubah-ubah, dimana arahnya dapat bisa
berasal dari tenggara, barat daya, barat laut, hingga timur laut. Guna
mengantisipasi sudut asal pencahayaan sinar matahari, dalam penyusunan aturan
wajib PZ RDTR Kecamatan Lasem khusus bagian ketinggian bangunan perlu dilakukan
penelitian lanjutan pada wilayah yang dinilai bermasalah sebagaimana dimaksud
di atas, dimana penentuan ketinggian bangunan maksimum akan menggunakan jarak
terdekat dari blok menuju KCB Kota Pusaka Lasem secara langsung tanpa
menggunakan zona inti cagar budaya dan/atau BGH Pasar Lasem sebagai pusat
penarikan garis atau pengukuran jaraknya.
Sumber : Penulis Danna Prasetya Nusantara, S.T, Dr. Ir. Retno
Susanti, M.T, dan Nanda Cahyani Putri, S.P.W.K., M.P.W.K, Dalam BULETIN
Penataan Ruang Edisi III (September - Desember 2024)