Jumat, 24 Januari 2025

Pelestarian Kawasan Cagar Budaya melalui Pengaturan Ketinggian Bangunan (Studi Kasus: Kota Pusaka Lasem dan Sekitarnya)

 A.    Pendahuluan

Kota Pusaka Lasem merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB). Lokasinya berada di pusat perkotaan Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Menurut Nurhajarni, dkk (2015) KCB Lasem (Kota Pusaka Lasem) memiliki nilai historis yang merefleksikan perpaduan keragaman etnik arab, tionghoa, dan pribumi sejak zaman Zheng He/ Ceng Ho, Kerajaan Mataram, tokohtokoh besar islam dan berpredikat kota santri, hingga zaman penjajahan (kolonial). Peleburan karakteristik etnik-etnik tersebut membentuk kawasan yang unik akibat adanya karakteristik langgam bangunan jawa, tionghoa, dan kolonial dalam satu kawasan. Hal ini yang membedakan Kota Pusaka Lasem dengan Kawasan Cagar Budaya lainnya di Indonesia. Nilai historis Kota Pusaka Lasem yang sangat tinggi dan unik ini kemudian menjadikan kawasan tersebut sebagai salah satu identitas bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Hal ini terbukti bahwa pada tahun 2021-2022, Kementerian PUPR telah merevitalisasi sebagian Kota Pusaka Lasem sebagai upaya pelestarian KCB di Indonesia.

Transformasi perekonomian Kota Lasem yang bertumpu pada sektor pariwisata memberikan dampak terhadap pemilihan kebijakan penataan ruang yang mampu mendukung KCB. Pemenuhan kebutuhan fungsi dan kegiatan pemanfaatan ruang sektor pariwisata harus memenuhi syarat tidak merubah figure ground kawasan inti cagar budaya dan tidak memberikan dampak negatif terhadap kawasan Kota Pusaka Lasem secara keseluruhan. Adanya fokus pengembangan kawasan Kota Pusaka Lasem berbasis pariwisata dinilai mampu menarik investor untuk membangun hotel di sekitar kawasan inti cagar budaya Lasem, dimana bangunan hotel memiliki kecenderungan berkembang secara vertikal. Hal ini kemudian berdampak terhadap pembayangan yang mempengaruhi intensitas penerimaan pencahayaan kawasan Kota Pusaka Lasem sebagai KCB. Adanya Bangunan Gedung Hijau (BGH) pada bangunan pasar Lasem juga menjadi pertimbangan khusus karena mengandalkan pencahayaan dan penghawaan alami, serta berperan sebagai bangunan inti kawasan Kota Pusaka Lasem bersama dengan Alun-Alun Lasem dan Masjid Agung Lasem.

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Prov. Jateng pasal 8 menyebutkan bahwa perlindungan cagar budaya meliputi penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran. Sesuai pasal 21, sistem zonasi mengatur fungsi ruang pada cagar budaya secara vertikal maupun horizontal. Hal ini didukung juga oleh Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Cagar Budaya di Kabupaten Rembang pasal 6 menyebutkan bahwa Bupati memiliki wewenang untuk melakukan upaya pemanfaatan cagar budaya yang dapat dilakukan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan. Permasalahannya adalah bagaimana mengatur ketinggian bangunan pada zona penunjang dan/atau kawasan sekitar kota pusaka lasem agar mampu memberikan pencahayaan sinar matahari bagi zona-zona KCB.

Walaupun digunakan untuk kegiatan wisata, kegiatan pelestarian bangunan, situs, dan/atau KCB di Kota Pusaka Lasem menjadi tantangan penting untuk dilakukan, dimana dengan memperpanjang usia cagar budaya maka KCB dapat difungsikan sebagai kegiatan budidaya pariwisata dengan daya tarik nasional – internasional secara keberlanjutan. Pengaturan ketinggian bangunan di KCB Lasem dan sekitarnya merupakan salah kunci yang berperan penting agar perkembangan Kota Pusaka Lasem tidak memberikan pembayangan yang kemudian berdampak negatif terhadap keberlanjutan Kawasan Inti Cagar Budaya Lasem. Maka dari itu, penataan ruang melalui pengaturan ketinggian bangunan yang tercantum dalam RDTR perlu disesuaikan kembali agar mampu mengoptimalkan nilai ekonomi yang diperoleh tanpa memberikan dampak negatif pada KCB dengan cara memperpanjang usia cagar budaya melalui pemberian pencahayaan dan penghawaan yang baik pada KCB, sehingga kawasan heritage dapat dilestarikan secara keberlanjutan, serta mampu menjadi salah satu identitas bangsa tanpa dibatasi oleh waktu.

B.    Metode

Pendekatan kuantiatif dilakukan dalam penelitian untuk menghasilkan ketinggian maksimum pada setiap blok pengaturan zonasi di sekitar KCB Lasem. Data jarak dari inti kawasan terhadap blok kemudian digunakan sebagai dasar untuk dilakukan analisis sky exposure plane (SEP) hingga menghasilkan ketinggian bangunan maksimal yang dapat dibangun pada setiap blok zonasi. Lokasi inti KCB menggunakan bangunan pasar Lasem dengan pertimbangan bahwa bangunan tersebut merupakan satu-satunya BGH di Kota Pusaka Lasem, dimana syarat BGH membutuhkan pencahayaan dan penghawaan yang baik.



Pertimbangan terhadap Sky Exposure Plane (SEP) dilakukan untuk menentukan ketinggian bangunan di sekitar KCB, karena SEP mempertimbangkan atas kondisi fisik dasar yaitu pencahayaan sinar matahari. Permen ATR/BPN No. 11/2021 menyebutkan bahwa SEP dilakukan dengan melihat perbandingan antara jarak bidang horizontal dengan vertikal yang terjadi karena bidang lereng khayal akibat pencahayaan matahari. Walaupun secara umum SEP digunakan untuk menentukan tinggi blok bangunan yang merapat ke jalan, namun dalam kasus ini SEP dapat digunakan untuk menentukan tinggi bangunan terhadap jarak blok dengan KCB dan BGH pasar Lasem sebagai pusatnya. Penentuan selisih ketinggian bangunan, dibutuhkan Angle of Light (ALO) sebagai sudut pencahayaan yang terkena bayangan matahari.

Permen ATR/BPN No. 11/2021 menyebutkan bahwa sudut ALO idealnya sebesar 45O; 26,5O; & 18,3O. Teknik pengaturan zonasi kemudian direkomendasikan berdasarkan hasil kajian ketinggian bangunan maksimal yang dapat dibangun disekitar KCB Lasem, untuk mendukung optimalisasi intensitas pemanfaatan ruang tanpa memberikan dampak negatif pembayangan sinar matahari dan mengoptimalkan pencahayaan dan penghawaan terhadap KCB Lasem.

C.    Hasil dan Pembahasan

Identifikasi lokasi yang berpotensi untuk terjadi peningkatan intensitas pemanfaatan ruang dilakukan secara spasial dengan melakukan tumpang tindih antara layer kawasan permukiman perkotaan, layer KCB Kota Pusaka Lasem, dan layer figure ground. Wilayah yang belum terbangun di Kawasan Permukiman Perkotaan Lasem namun bukan menjadi bagian dari KCB, merupakan wilayah utama yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai zona penunjang KCB Kota Pusaka Lasem dengan kegiatan utama komersil maupun rekreasi berupa sarana dan prasarana yang mampu menunjang kegiatan wisata. Berdasarkan lokasi blok yang berpotensi dikembangkan sebagai lokasi pemenuhan sarana pendukung kegiatan wisata, diketahui jarak blok kawasan permukiman perkotaan terhadap KCB dengan BGH Pasar Lasem sebagai pusatnya. Tinggi bangunan memiliki batasan agar tidak melebihi ketentuan SEP bangunan eksisting dan BGH di kawasan cagar budaya. Dalam hal pengembangan di dalam KCB, pembatasan ketinggian bangunan maksimal 2 lantai dengan pertimbangan bahwa tidak melebihi tinggi bangunan eksisting yang didominasi 2 lantai di sepanjang path utama KCB dan bangunan lain dibelakangnya setinggi 1 lantai. Sedangkan untuk menentukan ketinggian bangunan di sekitar KCB Kota Pusaka Lasem, perhitungan SEP diterapkan pada setiap blok dengan menggunakan 2 sudut pencahayaan sinar matahari (ALO) yang berbeda, yaitu 45O untuk jarak blok terhadap KCB, dan 18,3O untuk jarak blok terhadap BGH. Kedua sudut ini dipilih dengan pertimbangan bahwa lokasi BGH berada di dalam KCB dan menjadi inti zona cagar budaya Kota Pusaka Lasem, sehingga dapat digunakan sebagai pusat pengukuran jarak dengan ALO ideal maksimum, yaitu 18,3O. ALO ideal minimum sebesar 45O juga digunakan untuk memenuhi tujuan optimalisasi intensitas ketinggian bangunan yang dapat dipenuhi pada setiap blok dengan prasyarat pengaturan pembayangan yang diterima KCB.



Berdasarkan 2 sudut pertimbangan tersebut, ketinggian bangunan terendah dipilih dan direkomendasikan untuk setiap blok kawasan permukiman perkotaan yang tidak ditetapkan sebagai KCB Kota Pusaka Lasem. Diketahui bahwa ketinggian bangunan maksimum dapat dikelompokan menjadi 5 kategori, dimana kelompok pertama dengan ketinggian bangunan maksimum <269 meter menjadi fokus lanjutan dalam penulisan ini karena dinilai paling realistis untuk pengembangan kondisi eksisting.

Secara umum dengan asumsi 1 lantai memiliki ketinggian 4 meter, maka ketinggian bangunan <269 meter merupakan <67 lantai dan dapat dikelompokan menjadi 5 kategori intensitas dengan interval 13 lantai. Kelompok kategori pertama dan kedua yang memiliki ketentuan intensitas ketinggian bangunan maksimum 8 lantai dan 16 lantai menjadi fokus lanjutan dalam penulisan ini, karena lokasinya yang cenderung berdekatan dan/atau berbatasan langsung dengan KCB, serta jumlah lantai yang paling realistis. Mengingat pengaturan ketinggian bangunan >27 lantai di Kecamatan Lasem masih bersifat pesimistis untuk dikembangkan dalam kurun waktu perencanaan (20 tahun), sehingga masih belum memungkinkan pengembangan bangunan dengan ketinggian >27 lantai.

Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa blok yang berwana biru tua dengan ketinggian bangunan maksimum <16 lantai merupakan blok yang mendapat hasil dengan pengaruh dari ketinggian bangunan maksimum berdasarkan ALO 45O terhadap KCB. Sedangkan blok yang berwarna biru lebih muda termasuk warna selain biru merupakan blok yang mendapatkan pengaruh dari penggunaan ALO 18,3O. Maka dari itu, dapat diidentifikasi bahwa terjadi crossing point ALO pada jarak sekitar ±437 meter dari BGH dan/atau sekitar ±152 meter dari KCB, dimana pada blok yang lokasinya berjarak ><297 meter dari BGH pasar Lasem menggunakan ALO 45O, sedangkan blok yang lokasinya berjarak >lantai merupakan blok yang mendapat hasil dengan pengaruh dari ketinggian bangunan maksimum <16 lantai merupakan blok yang mendapat hasil dengan pengaruh dari ketinggian bangunan maksimum berdasarkan ALO 45O terhadap KCB. Sedangkan blok yang berwarna biru lebih muda termasuk warna selain biru merupakan blok yang mendapatkan pengaruh dari penggunaan ALO 18,3O. Maka dari itu, dapat diidentifikasi bahwa terjadi crossing point ALO pada jarak sekitar ±437 meter dari BGH dan/atau sekitar ±152 meter dari KCB, dimana pada blok yang lokasinya berjarak <297 meter dari BGH pasar Lasem menggunakan ALO 45O, sedangkan blok yang lokasinya >>437 meter dari BGH pasar Lasem menggunakan 18,3O. Berdasarkan pertimbangan bahwa optimalisasi intensitas ketinggian bangunan ditentukan berdasarkan sudut pencahayaan sinar matahari minimum yang diterima KCB, maka TPZ zona performa menjadi tepat untuk diterapkan. TPZ ini pada dasarnya merupakan teknik pengaturan blok yang aturannya tidak didasarkan pada aturan prespektif, namun didasarkan pada kualitas kinerja tertentu yang ditetapkan, yaitu pembayangan sinar matahari maksimum. Sudut ALO pencahayaan sinar matahari ini mampu digunakan sebagai standar kondisi/kinerja karena mampu menentukan kriteria terukur dan mengikat pada suatu blok. Walaupun begitu, tidak semua blok kawasan permukiman perkotaan di Kecamatan Lasem menjadi tepat untuk diterapkan TPZ zona performa. TPZ ini hanya tepat untuk diterapkan pada (1) blok kawasan permukiman perkotaan dengan hasil perhitungan ketinggian bangunan maksimum < 27 lantai atau sekitar <16 lantai berdasarkan perhitungan suatu blok(jumlah lantai dinilai masih realistis); dan (2) blok yang mendapatkan pengaruh akibat berbatasan langsung dengan KCB. Blok-blok sebagaimana dimaksud diatas adalah blok yang tertulis pada Tabel 4. Kedua pertimbangan ini dipilih karena adanya lokasi blok yang berbatasan langsung dengan KCB namun memiliki intensitas ketinggian bangunan maksimum yang cukup tinggi, seperti blok SDT 6. Hal ini dapat terjadi akibat penggunaan Lokasi BGH pasar lasem sebagai penarikan garis atau pengukuran jarak terhadap KCB, sedangkan lokasi zona inti tidak berada di tengah KCB dan deliniasi KCB berbentuk linier “T”, sehingga jarak KCB yang dihasilkan tidak selalu bernilai kecil.


Pengenaan TPZ zona performa pada suatu blok juga mendukung tujuan optimalisasi intensitas ketinggian bangunan sarana yang mendukung kegiatan wisata seperti sarana perhotelan di sekitar KCB Kota Pusaka Lasem. Walaupun batas maksimum suatu blok telah ditetapkan, pembangunan gedung pada suatu lokasi masih diperbolehkan melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan pada blok tersebut, selama tidak melebihi sudut ALO pembayangan sinar matahari maksimum terhadap KCB. Hal ini bertujuan agar pemanfaatan ruang yang memiliki jarak yang lebih jauh dalam satu blok ataupun berbeda blok dapat memiliki ketinggian bangunan yang berbeda dan lebih tinggi daripada pemanfaatan ruang dengan jarak yang lebih pendek terhadap BGH-KCB, sehingga optimalisasi intensitas pemanfaatan ruang dapat dilaksanakan tanpa memberikan pembayangan yang mengganggu pemberian pencahayaan dan penghawaan alami untuk mendukung pelestarian kawasan cagar budaya secara berkelanjutan sebagai identitas bangsa pada masa kini maupun masa mendatang.

Jika kawasan sekitar KCB Kota Pusaka Lasem diarahkan untuk menggunakan TPZ zona performa sebagai upaya optimalisasi intensitas pemanfaatan ruang, maka blok yang ditetapkan sebagian atau seluruh wilayahnya sebagai KCB Kota Pusaka Lasem diarahkan untuk menggunakan TPZ zona pengendalian pertumbuhan. Pada TPZ ini diterapkan pembatasan pembangunan dalam upaya melindungi karakteristik kawasan. Dalam hal blok pada KCB terdapat bangunan dan situs yang ditetapkan sebagai bangunan/ situs cagar budaya, maka TPZ zona pelestarian cagar budaya juga dapat diterapkan karena mampu mengatur pemanfaatan bangunan cagar budaya dengan memberikan pembatasan pembangunan guna mempertahankan bangunan dan situs yang memiliki nilai budaya tertentu, dimana persyaratan khusus yang diterapkan biasanya tidak merubah struktur dan bentuk asli bangunan.

 

D.    Kesimpulan dan Rekomendasi

Kawasan cagar budaya merupakan kawasan yang perlu dilestarikan, mengingat warisan budaya merupakan historis bangsa yang terakumulasi menjadi suatu karakter berwujud identitas suatu kota maupun bangsa. Pengaturan ketinggian bangunan pada suatu pemanfaatan ruang merupakan salah satu alat penataan ruang yang mampu menciptakan pelestarian kawasan cagar budaya dari tekanan urbanisasi disekitarnya, salah satunya adalah kerusakan alami yang timbul akibat masifnya proses pengkotaan hingga berdampak terhadap buruknya pencahayaan dan pengahawaan alami yang dimiliki KCB. Maka dari itu, perlu dilakukan pengaturan intensitas pemanfaatan ruang, khususnya pengaturan ketinggian bangunan yang mempengaruhi pemberian pembayangan pada KCB. Dengan adanya pengaturan ketinggian bangunan disekitar KCB, diharapkan pencahayaan dan penghawaan alami yang diterima KCB dapat optimal, sehingga meminimalisir kerusakan alami pada KCB dan menunjang pelestarian KCB sebagai wujud identitas bangsa yang berkelanjutan.

Berdasarkan 2 jenis ALO yang digunakan, terjadi crossing point ALO pada sekitar ±437 meter dari BGH dan/atau sekitar ±152 meter dari KCB, dimana pada blok yang lokasinya berjarak <297 meter dari BGH Pasar Lasem menggunakan ALO 45O, sedangkan blok yang lokasinya berjarak >437 meter dari BGH Pasar Lasem menggunakan 18,3O. Hasil perhitungan SEP menunjukan bahwa terdapat 18 blok yang dinilai masih mendapatkan pengaruh secara realistis akibat adanya KCB Kota Pusaka Lasem dan BGH pasar lasem, dimana ketinggian bangunan maksimum yang dapat diterapkan bervariasi sesuai jaraknya, mulai 4 meter dengan ketinggian maksimum 1 lantai, hingga 65 meter dengan ketinggian maksimum 16 antai. Teknik Pengaturan Zonasi (TPZ) yang paling tepat untuk diterapkan pada blok tersebut adalah zona performa, mengingat intensitas ketinggian bangunan ditetapkan berdasarkan standar kondisi fisik/ kinerja pencahayaan sinar matahari minimum. Sedangkan blok yang sebagian dan/atau seluruh wilayahnya ditetapkan sebagai KCB, maka TPZ yang dapat diterapkan adalah zona pengendalian pertumbuhan dan/atau zona pelestarian cagar budaya sesuai kebutuhan perlindungan KCB beserta bangunan cagar budaya didalamnya.

Berdasarkan pertimbangan SEP dan ALO pencahayaan sinar matahari terhadap KCB dan BGH tersebut, blok yang dinilai masih mendapatkan pengaruh terhadap adanya KCB dapat diterapkan TPZ zona performa. Sedangkan blok yang sebagian dan/atau seluruh wilayah ditetapkan sebagai KCB dapat diterapkan TPZ zona pengendalian pertumbuhan dan/atau zona pelestarian cagar budaya.



Walaupun begitu, gambar diatas menunjukan bahwa terdapat blok yang memiliki ketinggian bangunan maksimum dengan intensitasi tinggi walaupun bersebelahan langsung dengan KCB. Hal ini terjadi karena penggunaan lokasi BGH Pasar Lasem tidak berada ditengah KCB dan digunakan sebagai pusat penarikan jarak dari blok dengan KCB, menyebabkan lokasi tertentu memiliki jarak yang jauh dari BGH. Selain itu, bentuk KCB yang cenderung linier hingga membentuk “T”, menyebabkan pembayangan pada sekitar sudut KCB dengan batas blok yang berada jauh dari zona inti di bagian utara persimpangan “T”. Pertimbangan lain yang perlu dimasukan dalam variabel analisis adalah umumnya sinar matahari bergerak dari arah timur ke barat, namun pola pergerakan pencahayaan sinar matahari tidak selalu tepat berada diatas lokasi dan cenderung berubah-ubah, dimana arahnya dapat bisa berasal dari tenggara, barat daya, barat laut, hingga timur laut. Guna mengantisipasi sudut asal pencahayaan sinar matahari, dalam penyusunan aturan wajib PZ RDTR Kecamatan Lasem khusus bagian ketinggian bangunan perlu dilakukan penelitian lanjutan pada wilayah yang dinilai bermasalah sebagaimana dimaksud di atas, dimana penentuan ketinggian bangunan maksimum akan menggunakan jarak terdekat dari blok menuju KCB Kota Pusaka Lasem secara langsung tanpa menggunakan zona inti cagar budaya dan/atau BGH Pasar Lasem sebagai pusat penarikan garis atau pengukuran jaraknya.

 

 

 

 

 

Sumber : Penulis Danna Prasetya Nusantara, S.T, Dr. Ir. Retno Susanti, M.T, dan Nanda Cahyani Putri, S.P.W.K., M.P.W.K, Dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi III (September - Desember 2024)

Rabu, 15 Januari 2025

Kawasan Cagar Budaya Kotabaru : Modern Heritage in City Planning “Menjaga Identitas Sejarah dalam Perencanaan Kota”

Sejarah Kota Baru

Pada awal berdirinya Kraton Yogyakarta tahun 1755, tata ruang Yogyakarta masih berupa tata ruang dasar yang berkembang dengan munculnya permukiman bangsawan serta abdi dalem. Di tahun 1790, masa awal kedatangan Belanda di Yogyakarta, dibangun hunian residen Belanda di utara Alun-alun utara, Belanda juga membangun Benteng Vredeburg di sisi Timur hunian residennya. Peningkatan kedatangan penduduk eropa dipicu adanya kemunculan pabrik - pabrik gula di Yogyakarta, setidaknya ada 19 pabrik gula yang berkembang di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta kenaikan penduduk tersebut memaksa residen Cornelis Canna membuat permukiman yang sanggup menampung penduduk Eropa di Yogyakarta. Kotabaru merupakan salah satu kawasan yang direncanakan untuk hunian masyarakat kolonial dengan nuansa yang hampir mirip dengan kota di Belanda (Irianadewi, 2002). Kotabaru (Nieuwe Wijk), semula adalah lahan kosong milik Sultan yang disewa oleh pemerintah kolonial Belanda. Pemilihan lahan tersebut menjadi Kotabaru dinilai sangat strategis karena berada di sebelah timur Sungai Code yang tidak jauh dari kawasan Malioboro sebagai pusat ekonomi; sebelah selatannya terdapat stasiun kereta api lempuyangan sering digunakan untuk transportasi darat menuju Semarang dan Solo; sementara sebelah Timur berbatasan dengan Klitren (Hudiyanto, 1997).



Pada Tahun 1942, Yogyakarta kedatangan bala tentara militer Jepang ke Indonesia dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan minyak yang akan digunakan sebagai bahan bakar untuk perang melawan Cina. Bala tentara militer Jepang dalam tahap ekspansinya melakukan propaganda terlebih dahulu, toko - toko di daerah Ketandan, Malioboro, dan Kranggan dibuka dengan harga yang sangat murah dan memiliki pelayanan yang ramah. Berbeda dengan toko yang dibuka oleh orang Belanda, yang dipatok dengan harga mahal dan pelayanan kurang baik.

Propaganda ini digunakan untuk menarik masyarakat Yogyakarta dan mencari simpati. Pada tanggal 1 Maret 1942 pasukan tentara XVI Angkatan Darat Jepang mendarat di tiga tempat di Pulau Jawa yaitu di Banten, Eretan Wetan, dan Karagan (Mudaryanti, 1979). Dengan cepat, Jepang berhasil mengusai kota - kota di pulau Jawa termasuk Yogyakarta melalui Surakarta dengan tidak mendapatkan perlawanan dari Belanda (Lienau, 1979). Penyerahan tak bersyarat mulai dilakukan Panglima Angkatan Perang Hindia Belanda Letnan Jenderal H. Ter Poorten kepada Letjen Hitoshi Imamura di Kalijati, Subang, Jawa Barat. Sedangkan di Yogyakarta penyerahan dilakukan pada tanggal 8 Maret 1942 di ruang tamu kediaman Gubernur L. Adam yang pada saat itu menjabat sebagai Gubernur Hindia Belanda di Yogyakarta.

Ketika penduduk Hindia Belanda meninggalkan rumahnya di Kotabaru serta kedatangan Jepang ke Indonesia, perumahan Kotabaru diambil alih oleh pemerintahan Yogyakarta dan disewakan kepada penduduk pribumi yang bersedia (Fakih, 2008). Tak berselang lama memerintah di Yogyakarta, Jepang menimbulkan kekacauan dengan menyuruh penduduk kampung untuk mencuri isi rumah Belanda yang telah ditinggalkan. Bangunan yang ditinggalkan oleh Belanda mengalami perubahan fungsi ketika Pemerintah Jepang memerintah, termasuk di kawasan Nieuwe Wijk. Saat Pemerintahan Jepang Kawasan Kotabaru digunakan untuk kepentingan perkantoran, perumahan, tangsi, serta gudang. Sementara untuk bangunan yang lebih luas seperti Gereja Santo Antonius digunakan sebagai markas militer tentara inti Jepang (Kidobutai) dan gudang senjata.

Setelah bom yang dijatuhkan Sekutu di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang menyerah kepada sekutu dan berjanji akan menyerahkan kemerdekaan kepada Indonesia. Memasuki masa kemerdekaan Indonesia, Kotabaru sekali lagi mengalami perubahan fungsi. Kotabaru berubah menjadi permukiman elit pribumi yang mampu membayar sewa atas hak tanah Kraton (Sofyan, 2013).

Garden City sebagai Identitas Kawasan Kotabaru



Kawasan Kotabaru didirikan dengan konsep kota taman (garden city), dan didesain oleh arsitek berkebangsaan Belanda bernama Thomas Karsten yang mengadaptasi teori dari seorang planner berkebangsaan Inggris bernama Ebenezer Howard. Simonds (1994) menyatakan bahwa perencanaan new town yang menggunakan konsep garden city selalu memiliki :

a.     enam buah boulevard, yang menghubungkan pusat kota dengan luar kota, ditengah kota terdapat area terbuka seluas 5 ½ acres yang difungsikan sebagai taman dan dikelilingi oleh fasilitas sosial, perkantoran pemerintah, rumah sakit, gedung konser, museum, dan perpustakaan;

b.     grand avenue, yaitu area hijau dengan lebar 420 kaki dan di daerah ini terdapat sekolah dan area rekreasi, serta area terbuka yang ditanami pohon – pohon besar;

c.     grand avenue dan greenbelt, terdapat area permukuman, industri, dan pertokoan pada masing – masing zona yang dibagi oleh avenue; serta

d.     sisi luar dikelilingi oleh green belt yang merupakan area pertanian yang permanen dan berfungsi sebagai penyaring polusi dari daerah perkotaan, luas area tersebut yaitu 5000 acres.

Modern Heritage di Kotabaru

Menurut identifikasi dan dokumentasi warisan modern UNESCO (2003), konsep modern heritage yaitu perencanaan kota, arsitektur, dan desain lanskap dari abad ke-19 dan ke-20. Tipologi heritage yaitu pembangunan baru komplek industri, moda baru dalam transportasi dan komunikasi, tipe baru perencanaan kota dan standarisasi perumahan, teknologi dan material bangunan baru, serta konsep baru lanskap budaya (Van Oers, 2003). Menurut Ikaputra seorang akademisi Universitas Gadjah Mada, “driving force dari konsep modern heritage adalah adanya inovasi teknologi, adanya inovasi mesin, adanya revolusi industri, warisan klasik dan isu sosial, serta socialpolitical issues, dan lain – lain”. Keunikan Kawasan Kotabaru tidak dapat ditemukan di wilayah lain di Daerah Istimewa Yogyakarta, mulai dari suasana, visual, karateristik, hingga fasilitas yang dimiliki kawasan cukup lengkap dengan konsep garden city-nya.



Konsep Garden City sebagai Modern Heritage diawali oleh Howard pada tahun 1890-an dan diperbaharui pada tahun 1902, didasari oleh keinginannya untuk menciptakan kota yang :

a. compact, yaitu membuat suatu permukiman yang padat dengan fasilitas yang sudah tersedia;

b. human scale community, yaitu membangun rumah dimana orang mampu dan bisa mengembangkan ide sesuai dengan keinginannya, serta mempunyai ruang terbuka hijau untuk masyarakat;

c. town-country blended ideas, yang bermula dari keinginan Howard untuk menciptakan kota dengan fasilitas yang memadai dengan suasana kota yang tetap asri. Konsep tersebut masih dijadikan acuan hingga saat ini dalam perencaan sebuah kota.

Modern Heritage pada kawasan Kotabaru memiliki keunikan yaitu pada bangunan-bangunan nya dengan konsep arsitektural indische. Arsitektur indische adalah akulturasi antara budaya atau arsitektur gaya eropa yang dominan dengan budaya negara Belanda dan bercampur dengan budaya Jawa. Menurut (Fakih, 2015) Konsep kawasan dan bangunan yang ada di kawasan Kotabaru ini memiliki ciri yaitu:

a.     bangunan dengan arsitektural gaya kolonial indische Belanda dengan skala yang lebih besar, proporsi kepala-badan-kaki bangunan, permukaan, dan pakem-pakem desainnya;

b.     proporsi untuk ruang terbuka hujau dan taman yang lebih besar; bangunan rumah yang lebih mundur dari sempadan jalan;

c.     terdapat vegetasi yang merata di kawasan ini dengan karakter vegetasi pohon perindang besar sehingga membuat kesan teduh;

d.     mempunyai ciri khas pada atap atap bangunan, yaitu kombinasi atap induk asimetris dan atap kecil, bentuk pelana atau limasan;

e.     ukuran jendela besar serta berlapis dan pintu yang besar;

f.      dominan cat berwarna terang (putih dan abuabu);

g.     konfigurasi jalan yang lebar;

h.     jalan raya (boulevard) yang menjadi poros jaringan jalan untuk menuju ruang terbuka (lapangan).

Kotabaru terkenal sebagai kawasan elite pada jamannya karena desain dan kelengkapan fasilitas pada masa itu. Bangunan atau rumah-rumah peninggalan Belanda itu sampai sekarang masih ada, meski sudah ada yang berubah menjadi kantor, sekolah, perdagangan jasa, maupun rumah tinggal. Beberapa ciri yang nampak adalah semua jalan yang terhubung satu sama lain, ada tempat publik seperti taman, lapangan dengan pepohonan besar yang rindang dan lain-lain. Jalan-jalan yang lebar dengan pohon-pohon besar yang sampai sekarang masih tumbuh dan terawat.

Salah satu ciri yang sampai sekarang masih terlihat adalah jalan yang menghubungkan pusat kota saat itu atau kawasan Malioboro yang dulu menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda dengan kawasan Kotabaru. Jalan itu dulunya bernama Kerk Weg (Jalan Gereja) atau jalan menuju Gereja Santo Antonius. Fasad bangunan yang ada di Kotabaru identik dengan warna dominan putih dan massa bangunan yang tidak simetris, pintu dan jendela yang berukuran besar serta dinding yang tebal. Keunikan lain dari Kotabaru adalah vegetasi yang ada di kawasan ini yang berupa pohon-pohon besar perindang, pohon yang harum baunya dan pohon buah-buahan. Pohon-pohon tersebut ditanam di halaman rumah, rumah sakit, sekolah, gereja maupun di sepanjang jalan serta boulevard.

Bangunan di Kotabaru sebagai kota compact bergaya Indische pada saat itu masih bertahan hingga sekarang. Kala itu, dibangun sarana penting termasuk sarana olahraga yang dikenal dengan Kridosono, dan sekolah untuk orang eropa seperti Algemeene Middlebare School (AMS) yang sekarang menjadi SMAN 3 Yogyakarta, Christelijke MULO School yang sekarang menjadi SMA Bopkri I Yogyakarta, dan Normal School yang saat ini menjadi SMPN 5 Yogyakarta. Terdapat juga Rumah Sakit Petronella, yang saat ini dikenal sebagai Rumah Sakit Bethesda, selain itu dibangun juga rumah ibadah pertama yaitu Gereja Kristen Protestan HKBP (Gereformeerde Kerk Djogja) dan disusul dengan dibangunnya Gereja Katolik Nieuwe Wijk Katholieke Kerk yang dikenal sebagai Gereja Katholik Santo Antonius Kotabaru.



Dalam Kawasan Kotabaru terdapat beberapa bangunan yang ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya dan wajib mempertahankan fasad bangunannya sesuai dengan konsep kolonial (sumber: SK Gub DIY No 130). Bangunan tersebut terdiri dari beberapa rumah tinggal, Rumah Sakit Bethesda, Rumah Sakit dr. R. Soetarto, Museum Sandi, Bangunan Mess, Gedung Radio Republik Indonesia, Gereja, SMAN 3 Yogyakarta, SMPN 5 Yogyakarta, SMA BOPKRI 1 Yogyakarta, dan beberapa bangunan bergaya indische lainnya. Bangunan – bangunan tersebut menjadi penanda pada era rentang waktu yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan sosial ekonomi yang cepat.

Saat ini kawasan Kotabaru dikenal sebagai salah satu kelurahan di pusat Kota Yogyakarta yang dipenuhi dengan bangunan – bangunan bernuansa indische yang masih terjaga. Keunikan Kawasan Kotabaru menempatkan Kotabaru sebagai salah satu Satuan Ruang Strategis (SRS) sesuai dengan Peraturan Daerah Istimewa DIY Nomor 2 Tahun 2017 tentang Tata Ruang Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten.

Dalam Peraturan tersebut, Kotabaru masuk sebagai salah satu Satuan Ruang Strategis Tanah Kasultanan pada Tanah Bukan Keprabon (tanah bukan keprabon adalah Tanah Kasultanan atau Tanah Kadipaten yang asal – usulnya dari Kasultanan dan Kadipaten dengan hak Anggaduh, tanah yang telah digunakan oleh masyarakat atau institusi yang telah atau belum memiliki serat kekancingan, dan tanah yang belum digunakan).

Dalam pemanfaatannya, Kawasan Satuan Ruang Strategis (SRS) Kotabaru diperbolehkan sebagai ruang terbuka hijau; permukiman; bangunan pendukung fungsi kawasan budaya dan ilmu pengetahuan; perdagangan dan jasa; serta sarana pelayanan umum. Adapun ketentuan khusus arsitektur pada Satuan Ruang Strategis Kotabaru yaitu bangunan baru menggunakan gaya arsitektur indische dan kolonial.

Wilayah Satuan Ruang Strategis (SRS) Kotabaru terletak di antara 7° 46' 33,9'' LS - 7° 47' 33'' LS dan 110° 22' 4,9'' BT - 110° 22' 58,9'' BT, dengan batas wilayah : sebelah utara berbatasan dengan sebagian Kelurahan Terban (Kemantren Gondokusuman) dan Kalurahan Caturtunggal (Kapanewon Depok); sebelah selatan berbatasan dengan Kelurahan Bausasran, Kelurahan Tegalpanggung, Kelurahan Suryatmajan (Kemantren Danurejan), Kelurahan Baciro (Kemantren Gondokusuman); sebelah timur berbatasan dengan Kelurahan Demangan dan Kelurahan Klitren (Kemantren Gondokusuman); sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Gowongan dan Kelurahan Cokrodiningratan (Kemantren Jetis).

Luasan SRS Satuan Ruang Strategis Kotabaru sebesar 185,159 Ha yang terdiri dari kawasan inti seluas 85,206 Ha dan kawasan penyangga sebesar 99,953 Ha. Secara administratif SRS Satuan Ruang Strategis Kotabaru berada di Kemantren Gondomanan, Kemantren Danurejan, Kemantren Gondokusuman, dan Kapanewon Depok.

Kotabaru dalam Konstelasi Kebijakan Daerah

Fasilitasi yang dilakukan oleh beberapa pihak untuk mengembalikan Kotabaru menjadi kawasan yang dikenal dengan konsep garden city dengan arsiektur kolonial-nya selalu diupayakan. Mulai dari penyusunan Strategi Pengembangan Wilayah SRS Kotabaru, rencana induk SRS Kotabaru, hingga penyusunan RTBL Kawasan Kotabaru.

Gubernur DIY telah menetapkan Peraturan Gubernur DIY Nomor 9 Tahun 2023 tentang Strategi Pengembangan Wilayah SRS Kasultanan dan SRS Kadipaten Tahun 2023 – 2043. Dalam Pergub tersebut mengamanahkan kebijakan SRS Kotabaru yaitu :

a.     penguatan karakter kota taman;

b.     pengembangan fungsi pelayanan umum, pelayanan sosial, perdagangan dan jasa; serta

c.     pengembangan perkotaan fungsional yang nyaman berbasis pada nilai budaya, filosofi, dan sejarah.

Selain itu, Pemerintah Kota Yogyakarta telah menetapkan Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 47 Tahun 2024 tentang Rencana Tata Bangun dan Lingkungan Kawasan Kotabaru, visi pembangunan Kawasan Kotabaru yaitu mewujudkan Kawasan Kotabaru sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB) dengan citra Kawasan sebagai Garden City, dan citra bangunan indische/ kolonial serta menyiratkan nilai sejarah perjuangan yang berjati diri, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

Dalam melestarikan kawasan, pemilihan desain, ornamen, material, dan warna untuk bangunan, signage, dan street furniture lainnya harus selaras dengan karakter kawasan. Adapun strategi pembangunan yang telah ditetapkan kedepan meliputi:

a.     melaksanakan konsep kualitas visual Kawasan Kotabaru;

b.     . mempertahankan struktur Kawasan berbentuk radial konsentris dengan jari – jari boulevard;

c.     mempertahankan intensitas bangunan Kawasan Kotabaru;

d.     mempertahankan vegetasi dan hijauan yang optimal dalam persil;

e.     melaksanakan revitalisasi dan pemeliharaan prasaranan dan sarana pedestrian Kawasan Kotabaru;

f.      merevitalisasi Stadion Kridosono sebagai inti Kawasan;

g.     merevitalisasi RTH Sempadan Sungai; dan

h.     penataan jalur pergerakan kendaraan untuk meningkatkan kenyamanan jalur pejalan kaki di Kawasan Kotabaru.

Partisipasi seluruh pihak dalam melindungi kawasan dilakukan mulai dari hulu ke hilir, ditingkat Provinsi selain pengawasan khusus terhadap kawasan Kotabaru yang ditinjau langsung oleh Dewan Warisan Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY turut andil dalam melestarikan kawasan melalui perlombaan design visual signage (desain penanda kawasan) pada Kawasan SRS Kotabaru yang diadakan pada bulan Agustus 2024 hingga Oktober 2024, kegiatan ini diusung dalam rangka melibatkan masyarakat untuk menata kawasan sekaligus mengenalkan SRS Kotabaru kepada masyarakat yang lebih luas. Penanda kawasan tersebut nantinya berfungsi sebagai identitas kawasan dan memperkuat nilai kawasan, “The Chronostasis of Nieuwe Wijk” sebuah konsep yang membawa kembali identitas kawasan (Garden City) dalam bentuk spirit tanpa harus mengubah bentuk fasad tatanan kota, membawa masyarakat abad ke-21 untuk menikmati suasana kota pada jaman kolonial.

Pindah ke bagian hilir sektor tumpuan yang berhadapan langsung dengan masyarakat, Pemerintah Kelurahan Kotabaru juga turut berperan dalam menjaga dan melestarikan kawasan melalui pengawasan secara langsung, “kami pihak kelurahan akan langsung melaporkan kerusakan terhadap bangunan maupun kawasan, kami juga kerap melakukan edukasi kepada masyarakat dalam rapat rutin warga untuk menjaga dan memelihara bangunan dan Kawasan Kotabaru”.

 

 

Sumber : Penulis Hanny Ulqia Queene Azki, S.T. dan Astri Wulandari Rochmah, S.T. dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi III (September - Desember 2024)