Minggu, 23 Maret 2025

Kota yang Harmonis Berawal dari lnfrastruktur yang Tertata

Surabaya telah berubah . Setidaknya, kota metropolitan terbesar kedua setelah Jakarta ini telah mulai "berevolusi " menjadi sebuah kota yang lebih harmoni . Ungkapan ini bukan sebuah idealisasi, bukan juga sebuah kalimat basa basi, melainkan fakta yang bisa ·dirasakan secara visual ketika seseorang berada di kota ini. Tak hanya itu , perubahan itu juga berbuah pujian dan penghargaan .

Dalam konteks pengelolaan kota, jika sudut ukurnya adalah bidang infrastruktur, sementara ini belum ada kota yang bisa melampaui prestasi Surabaya . Betapa tidak, tahun lalu Surabaya meraih lima Tropi PKPD-PU sebagai penghargaan atas kiprah para pemangku kota ini melakukan pengelolaan di lima bidang : Sanitasi Persampahan, Penanganan Permukiman Kumuh Perkotaan , Pembinaan Bangunan Gedung , Pengelolaan Jalan dan Jembatan, serta Pembinaan Jasa Konstruksi. Bahkan , satu tahun sebelumnya Surabaya juga meraih Tropi PKPD-PU untuk Bidang Penataan Ruang, yang tahun 2007 lalu ini khusus untuk kategori Kota Metropolitan tidak dilombakan .



Prestasi Surabaya di bidang pengelolaan infrastruktur itu ternyata merupakan sebuah mata rantai penting dari sebuah upaya yang dilakukan pengelola kota ini untuk mewujudkan sebuah Kota yang Harmonis (The Harmonious Cities).

Fenomena Surabaya dengan prestasinya di bidang ,infrastruktur tidak bisa dilepaskan dari visi Bambang Dwi Hartanto , yang dipercaya warga Surabaya untuk menjadi walikota mereka. Bambang D.H, begitu namanya biasa ditulis, ternyata merupakan seorang walikota yang sangat melek infrastruktur. Bahkan, secara sa'dar ia menjadikan pembenahan sektor ini sebagai pintu masuk pembenahan Surabaya.

Prinsipnya sederhana: bahwa kota yang secara fisik dan visual memberikan kenyamanan pada warganya maka hal itu merupakan modal penting yang akan memberikan efek domino bagi harmonisasi di sektor-sektor kehidupan lain. Memang, prinsip itu terkesan abstrak. Oleh karena itu, secara khusus KIPRAH terbang ke Surabaya untuk menemui laki-laki yang telah dua periode memimpin Surabaya sebagai Walikota ini. untuk menggali lebih dalam visinya tentang Kota yang Harmonis. Tentu saja, dalam konteks Surabaya. Berikut petikannya:

Hari Habitat tahun ini mcmiliki tema Harmonious Cities Sebagai Walikota Surabayal, yang belakangan ini dipuji karena meraih berbagai prestasi dibidang pengelolaan infrastruktur, seperti apa visi anda tentang kota yang harmonis?

Saya ingin mengawali dengan analog antara kota dan orkestra. Bagi saya, harmoni adalah keseimbangan. Pada sebuah orkestra harmoni musik yang dimainkan ada di tangan sang konduktor. Dialah yang memadu harmoni. Dalam konteks pengelolaan, seorang Walikota adalah sang konduktor. la harus mampu mewujudkan sebuah keseimbangan antara seluruh elemen kehidupan yang ada di kota ini. Nah, waktu saya mulai menjabat sebagai Walikota, saya melihat ada yang tidak pas dengan Surabaya sebagai sebuah habitat kehidupan. Ada masalah besar. Nah, saya akhirnya memilih untuk menjadikan pembenahan fisik kota sebagai pintu masuk untuk mewujudkan keharmonisan itu,

Maksudnya?

Beberapa hari setelah menjabat sebagai Walikota, saya membaca sebuah surat pembaca di Jawa Pos yang mengomentari Surabaya sebagai kota yang sakit. Sakit secara fisik dan social.

Respon Anda membaca surat pembaca itu?

Secara fisik, ketika itu Surabaya memang relatif 'sakit'. Di musim panas, siang sangat terik. Pada malam hari, sisa-sisa panas itu masih terasa. ltu terjadi karena waktu itu Surabaya miskin pohon. Sementara di musim hujan, sungai-sungai meluap karena saluran pematusan (baca: drainase) tidak lancar. Suasana yang seperti itu semakin membuat masyarakat Surabaya. yang berkarakter temperamental, menjadi semakin mudah murah dan emosi, yang pada akhirnya menjauhkan kehidupan sosial dari suasana harmonis. Nah, karena itu saya semakin yakin bahwa fisik kota sangat berpengaruh pada keharmonisan hidup di sektor non-fisik. ltu visi saya.

Visi terkadang tidak mudah diwujudkan. Lantas, bagaimana Anda menjabarkan visi anda?

Sebagai seorang Walikota, sebelum memutuskan sebuah kebijakan yang tepat bagi kota, pemetaan terhadap persoalan harus jelas. Oleh karena itu, saya melakukan identifikasi tentang berbagai masalah yang ada sehingga saya bisa menyusun program yang tepat agar kota yang identifikasi sakit secara fisik dan sosial ini bisa segera menjadi sehat. Di sektor infrastruktur fisik, saya perintahkan Dinas-Dinas Teknis untuk menyusun rencana induk, seperti rencana induk sistem drainase kota, dan sebagainya . Ternyata, setelah rencana induk itu jadi, hasilnya mencengangkan : Surabaya sering banjir karena banyak saluran pematusan yang tidak tembus laut. Aliran sungai-sungai seperti Kali Kebonagung, Kali Bokor, Kali Wonorejo , dan sebagainya terhalang oleh penyempitan di mulut muara . Bayangkan, ada mulut muara yang hanya tinggal dua meter saja. Akibatnya, terjadi efek bottle neck (melambat), yang pada akhirnya menimbulkan genangan. Tahun 2004, muara-muara itu kami keruk. Kami bersihkan . Sekarang rata-rata lebar mulut muara itu sudah 15 meter sampai 20 meter . Kami juga keruk lumpur-lumpur pada riool bikinan Belanda di Jalan Embung Malang yang sudah puluhan tahun tidak pernah dikeruk . Perlu waktu dua tahun untuk membersihkan itu.

Mengapa drainase menjadi sangat vital sehingga menjadi salah satu prioritas pertama ketika itu?

Sebagai kota pantai, Surabaya ini dulu sering banjir . Saya ingin membuat preseden positif dengan menata drainase agar Surabaya bebas banjir untuk membuka mata masyarakat. Hasilnya, positif. Ketika Jakarta lumpuh karena banjir, Surabaya tidak banjir . Baru masyarakat sadar dan memberi apresiasi kepada Pemerintah Kota.

Saat ini, jalan-jalan di Surabaya penuh dengan taman. Juga di lingkungan permukiman. Bagaimana awalnya?

Dulu, setiap kota punya alun- alun. Di sanalah interaksi sosial antarwarga berlangsung . Sekarang , interaksi itu pindah ke mall-mall dan plaza . Memang itu tidak salah . Tapi, ada hal-hal yang tidak bisa diberikan mall atau plaza, yang hanya bisa diberikan oleh taman . Suasana yang hijau di taman mencerahkan jiwa siapapun yang menikmatinya. lnteraksi yang terjadi di taman merupakan sebuah modal sosial yang sangat berharga . Oleh karena itu, saya menganggarkan dana Rp 1 miliar per kecamatan untuk membangun taman. Memang, meskipun saya plot uang , saya masih tetap berharap pembangunan taman-taman itu bisa didanai oleh perusahaan-perusahaan untuk mensponsori pembangunan taman-taman tersebut. Jika sponsor tidak dapat, setidaknya ada cadangan uang . Jadi, sebelum saya berhenti menjadi walikota , setiap kecamatan sudah akan memiliki taman. Kompleks-kompleks rumah susun pun akan saya buatkan taman.

Penghijauan tidak hanya tentang taman, bukan?

Sejak tahun 2002,  saya sudah menanam pohon lebih dari I juta pohon . Tentang hal ini, tidak sembarang menanam , tapi ada strategi yang saya lakukan , yakni: menanam pohon yang sudah agak besar karena tujuan penanaman pohon itu adalah untuk  mempercepat penyerapan polutan di kota dan memproduksi oksigen bagi kota . Selain itu, pohon-pohon yang ditanam juga pohon -pohon berkanopi dan memiliki nilai estetika tinggi. Jarak tanam pun harus diperhatikan . Juga pola penanaman jenis pohonnya , dibuat bervariasi : ada sonokeling , kemboja , jagaranda , dsb . Jika perlu dibuat warna -warni. Sungguh, elemen estetika fisik itu punya impact yang sangat luar biasa dengan keharmonisan rohani orang yang tinggal di sebuah lingkungan. Lingkungan yang tertata dan asri akan menenangkan suasana hati sehingga bisa meredam keinginan untuk marah , misalnya . Jika anak-anak kita dididik tidak dengan suasana emosi jiwa yang tidak temperamental akan lebih bagus, bukan? ltu artinya, secara tidak langsung tata lingkungan memberi dampak pada pola asuh anak.

Bagaimana dengan pendekatan nonfisik?

Harmonisasi kota juga terkait dengan memberikan rasa aman kepada warga tentang hal-hal yang mereka paling risaukan . Menurut hasil pemetaan yang saya lakukan , ternyata mereka paling risau tentang dua hal: biaya pendidikan dan biaya kesehatan . Maka, saya mencoba melakukan intervensi untuk mengurangi dua beban itu dalam bentuk subsidi. Tapi toh , pada akhirnya bersentuhan juga dengan kebijakan fisik kota . Saya jadi walikota, kampung-kampung saya paving. Dalam pikiran saya , jika jalan kampung bagus, maka lingkungan akan lebih mudah ditata . Dengan begitu , peluang untuk sakit menurun . ltu artinya , pos pengeluaran untuk biaya berobat berkurang.

Bagaimana Anda menyikapi sikap warga yang terkadang sulit menerima fakta sebuah program penertiban, yang kemudian diterjemahkan sebagai penggusuran?

lntinya harus ada komunikasi. Saya setiap tahun melakukan pertemuan dengan seluruh Ketua RW seSurabaya , sekitar 1.500 RW. Tahun pertama (waktu itu di Hotel Marriot), isi pertemuan dipenuhi dengan caci maki kepada walikota. Bahkan, akhir-akhir ini sudah dengan Ketua RT. Setiap tahun , caci maki itu semakin berkurang . Selain itu, setiap tahun saya juga bertemu dengan seluruh Kepala Sekolah seSurabaya mulai dari tingkat TK hingga SL TA. Juga, dengan Ketua dan Sekretaris OSIS SMP dan SMU se-Surabaya. Ternyata, hal itu efektif menghilangkan tawuran pelajar.

Pesan apa yang Anda sampaikan dalam forum-forum itu?

Secara naluriah, tidak ada orang yang secara utuh menerima policy yang dianggap mengurangi hak mereka. Pasti ada perlawanan, meskipun skala perlawanannya berbeda-beda. Saya mencoba memberi kesadaran kepada mereka bahwa jika saya sebagai walikota bertindak tegas hal itu semata-mata adalah dalam konteks menjaga harmoni. Tentang penggusuran, saya sampaikan kepada masyarakat bahwa saya sebagai walikota tidak ingin menggusur mereka . Saya hanya ingin mengembalikan fungsi semua fasilitas-fasilitas publik yang berubah fungsi. Trotoar bukan untuk berdagang . Pasar bukan untuk tempat tidur . Sungai bukan untuk tempat membuang sampah . Jadi , saya akan tetap tegas untuk mengawal pengembalian fungsi-fungsi fasilitas-fasilitas kota .

 

 

 

 

Sumber : Walikota Surabaya Bambang D.H, dalam KIPRAH Volume 30/ Tahun VII/ Oktober-Nopember 2008

Minggu, 09 Maret 2025

Kota Hijau Bukan Hanya RTH

Green city, atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai kota hijau, memiliki banyak padanan kata yang lain, misalnya ecological city (kota yang berwawasan lingkungan), serta sustainable city (kota yang berkelanjutan ). Demikian menurut pendapat Hadi Susilo Arifin, Ketua Departemen Arsitektur Lanskap, Fakultas Pertanian, lnstitut Pertanian Bogor.



Menurut Hadi, selama ini masyarakat menganggap bahwa kota hijau identik dengan ruang terbuka hijau (RTH). Pandangan tersebut tidak sepenuhnya salah. Namun, yang harus dipahami adalah RTH hanya salah satu dari sekian banyak hal yang harus dilakukan untuk mewujudkan kota hijau.

Konsep utama dari kota hijau adalah 3 penghematan, yakni hemat energi, hemat lahan, dan hemat bahan/material. Menurut International Environmental Technology Center, ada 18 indikator yang terbagi ke dalam 3 tahap untuk mewujudkan kota hijau.

Tahap pertama adalah promotion of eco office yang memiliki 7 indikator, yaitu penghematan energi, penghematan air, pengurangan sampah padat, pengembangan daur ulang, konsep hijau yang aman, konservasi air dan udara yang bersih, serta pengendalian bahan kimia.

Tahap yang kedua, yaitu promotion of eco project. Tahap ini terdiri atas 6 indikator, yakni penggunaan material ramah lingkungan, penggunaan alat yang ramah lingkungan, penggunaan barang daur ulang, pembangunan infrastruktur hijau, pengembangan teknologi hijau/ berwawasan lingkungan, serta mem - promosikan penghijauan.

Tahap ketiga adalah green city planning (perencanaan kota hijau), terdiri atas 5 indikator, yaitu adanya panduan ten - tang infrastruktur ke-PU-an yang bersifat hijau, panduan untuk perumahan hijau, meningkatkan transportasi pub - lik, terutama pembangunan Mass Rapid Transit (MRT), peningkatan capacity building (kemampuan dan kesadaran masyarakat), serta sistem manajemen lingkungan (Environmental Management System/EMS) yang terintegrasi.

Perencanaan dan pengelolaan tata ruang kota-kota di Indonesia seharusnya bersifat terintegrasi. Pun, jika berbicara tentang kota hijau, kita tidak hanya memikirkan kota saja ( eco city), tetapi juga memikirkan desa (eco village). Jangan sekali-kali perencanaan itu bersifat terpisah. Tidak mungkin kita membangun kota hijau jika hanya mengutak -atik satu kawasan saja. Kita memerlukan sesuatu yang komprehensif . Misalnya, kita tidak akan bisa membangun Jakarta sebagai kota hijau jika tidak didukung daerahdaerah di sekitarnya, baik Tangerang, Bogor, Depok, maupun Bekasi.

Sejauh ini, kebijakan dan perencanaan tata ruang kota -kota di Indonesia secara praktis memang belum mengarah ke kota hijau. Jikapun ada, maka kebijakan tersebut hanya terbatas pada sektor tertentu saja. Misalnya , penyediaan RTH sesuai amanat UU Penataan Ruang No. 26 Tahun 2007. Konsep kota hijau juga dicoba diterapkan dalam pembangunan beberapa kota baru/ kota satelit, tetapi itu pun hanya sebatas slogan dan penyediaan RTH saja. Pada skala kota, memang sudah ada kampanye car free day maupun kampanye bike to work. Tetapi, kampanye tersebut kurang didukung dengan penyediaan sarana dan prasarana yang memadai , misalnya pembangunan jalur sepeda, MRT, dan sebagainya.

Di kota-kota besar yang sudah mapan, upaya untuk mewujudkan kota hijau memang akan menghadapi banyak kendala, baik kendala secara bio-fisik, sosial, maupun ekonomi, dan terutama budaya masyarakat. Di tengah masyarakat kita masih berkembang budaya egoisme , istilahnya "asal tidak di halaman rumah saya" {Not In My Back Yard/NIMBY). Mereka kurang peduli dengan kondisi lingkungan sekitar , pokoknya yang penting rumah mereka sendiri bersih. Seharusnya masyarakat tidak bersikap menutup mata seperti itu, sebab pembangunan kota hijau adalah menyangkut masalah budaya dan perilaku masyarakatnya.

Untuk kota -kota yang relatif kecil/baru , seharusnya pembangunannya bisa direncanakan dan dikelola dengan baik, selama ada komitmen yang terintegrasi dari pemerintah, pihak swasta, serta penduduk kota. Di daerah-daerah, masyarakat cenderung lebih peduli kepada lingkungan karena mereka memiliki kearifan lokal yang berhubungan dengan adat istiadat atau kepercayaan setempat. Dengan adanya kearifan lokal tersebut, mereka punya zonasi pemanfaatan lingkungan , terutama hutan .

Upaya untuk mewujudkan kota hijau harus didukung penuh oleh komitmen tiga pihak, yaitu pemerintah, swasta, dan masyarakat . Pemerintah harus memiliki good will untuk menjalankan apa yang disebut dengan eco politic. Yaitu, politik -politik yang mengarah ke pelestarian lingkungan, misalnya melalui UU yang pro terhadap ramah lingkungan. Saat ini, kebijakan yang menga - rah ke tujuan tersebut sudah ada, tetapi masih perlu ditingkatkan lagi jumlah dan implementasinya . Pemerintah juga mesti seger:a mengevaluas i tata ruang kota dengan benar dan akurat sesuai dengan standar dan peraturan yang ada. Selain itu, perlu adanya komitmen tinggi dalam penyusunan rencana penataan dan pengelolaan kota yang ramah lingkungan untuk jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.

Selanjutnya, pemer intah harus melaksanakan penegakan hukum . Konkretnya, memberi sanksi bagi setiap pelanggaran dan sebaliknya, memberikan reward bagi masyarakat yang patuh. Dari sisi teknis, pemerintah bisa mengurangi laju perubahan tata guna lahan yang tidak berpihak pada kelestarian lingkungan dan melakukan kon - solidasi lahan bagi ruang-ruang kota yang kurang teratur, serta mendesain green network dengan koridor hijau maupun koridor biru. Hal lain yang perlu dilakukan adalah menerapkan manajemen limbah secara terintegrasi dan mengimplementasikan konsep green infrastructure, green building, serta green industry.

Perusahaan swasta juga perlu mengambil peran. Salah satunya adalah dengan menjalankan kegiatannya secara pro hijau. Mereka juga harus mematuhi peraturan yang ada dengan disiplin tinggi serta berkontribusi dalam menyediakan lahan untuk ruang terbuka hijau dan ruang terbuka biru. Pemerintah memang yang membuat peraturan, tetapi perusahaan merupakan salah satu pihak yang menjalankannya, apakah itu dengan corporate social responsibility {CSR), penyediaan taman dan RTH, serta penggunaan bahan bangunan dan material yang ramah lingkungan.

Last but not least, masyarakat harus berperan aktif dalam pembangunan kota hijau. Oleh karena itu, perlu adanya pemberdayaan ··masyarakat. Sebab, pada dasarnya masyarakat sebenarnya punya kekuatan jika mereka mau. Jangan bersikap acuh tak acuh jika peme - rintah memberikan bimbingan ataupun bantuan.

Masyarakat perlu berpikir global, tidak hanya berpikir tentang dirinya sendiri saja {budaya NIMBY). Konsep pro hijau harus dipraktekkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari, misalnya hemat energi, hemat lahan, dan hemat bahan. Selain itu, adalah penting untuk selalu mematuhi peraturan yang ada serta penerapan semboyan hidup sehat.

 

 

 

 

Sumber : Oleh Hadi Susilo Arifin Dalam KIPRAH Volume 40 September-Oktober 2010

Jumat, 21 Februari 2025

Mewujudkan Kota Hijau Berkelanjutan

“Tidak dapat dipungkiri bahwa kawasan perkotaan memiliki peran penting dalam pembangunan nasional dan daerah. Tentu saja konsep dan perencanaan tata ruang yang bagus tidaklah cukup. Yang tidak kalah penting adalah konsistensi implementasi pemanfaatan ruang untuk mewujudkan struktur dan pola ruang sesuai dengan rencana dan pengendalian pemanfaatan ruang”.

Saat ini, perkembangan kawasan perkotaan menjadi sangat cepat yang diindikasikan dengan pesatnya pertumbuhan penduduk. Dalam periode 1950-1990, jumlah penduduk kota di dunia telah meningkat lebih kurang tiga kali lipat, yaitu dari 730 juta jiwa menjadi 2,3 miliar jiwa . Antara tahun 1990 hingga tahun 2020, angka pertumbuhan penduduk ini akan menjadi dua kali lipat, melampaui 4,6 miliar jiwa.

Pada saat ini sekitar 43% penduduk dunia tinggal di perkotaan. Di Indonesia, pada periode 2000-2005 tingkat pertumbuhan penduduk secara nasional sebesar 1,98 % per tahun dibandingkan dengan angka pertumbuhan penduduk kota sebesar 5,98 % per tahun.

Pesatnya pertumbuhan penduduk di perkotaan semakin menambah berat beban perkotaan serta memperluas perkembangan kawasan, terutama di daerah pinggiran kota besar dan metropolitan.



Permasalahan Perkotaan

Pertumbuhan kota secara cepat tersebut secara langsung berimplikasi pada pembangunan infrastruktur dasar dan pelayanan publik. Permasalahan infrastruktur, seperti kurangnya layanan air bersih, sistem sanitasi, dan pemenu - han penyediaan perumahan, serta transportasi yang tidak memadai dalam mendukung pemenuhan kebutuhan pertumbuhan penduduk perkotaan menjadi penyebab utama timbulnya berbagai masalah di perkotaan.

Hal tersebut juga melengkapi permasalahan lanjutan, seperti kemacet - an, permukiman kumuh, kemiskinan, menurunnya kualitas lingkungan perko - taan, luasan ruang terbuka hijau yang semakin menurun, serta berbagai permasalahan lainnya yang semakin menambah kompleksitas permasalahan perkotaan.

Pengelolaan kawasan perkotaan cenderung mengalami tantangan yang berat akibat arus urbanisasi, sementara di satu sisi daya dukung lingkungan dan sosial juga mengalami penurunan. Alih guna lahan (konversi) dari lahan pertanian maupun ruang terbuka hijau menjadi kawasan terbangun menjadi tantangan tersendiri.

Berdasar data BPS (2003) , tingkat kon - versi lahan pertan ian di Indonesia rata - rata mencapai 150 ribu hektar setiap tahunnya. Sedangkan penurunan luas ruang terbuka hijau dalam 30 tahun terakhir ini, terutama pada kota-kota besar, seperti Jakarta, Bandung , Surabaya, dan Medan , dari sekitar 35% di awal 1970-an menjadi kurang dari 10% saat ini.

Perubahan Iklim

Perubahan iklim yang merupakan isu global adalah akibat dari peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer bumi yang dihasilkan berbagai kegiatan manusia, terutama penggunaan bahan bakar fosil dan alih fungsi lahan. Dampak perubahan iklim makin terasa terutama pada dekade terakhir, seperti perubahan pola cuaca, banjir, longsor, kenaikan muka air laut, dan sebagainya. Dampak perubahan iklim tersebut tidak hanya merusak kualitas lingkungan, namun juga membahayakan kesehatan manusia , kegiatan ekonomi, sosial-budaya, serta infrastruktur .

Kota Hijau Berkelanjutan

Kota hijau pada dasarnya memiliki pengertian sebagai kota yang berwawasan lingkungan hidup yang pengembangan kotanya dimaksudkan untuk dapat menjaga kelestarian dan keberadaan berbagai sumber daya yang menunjang kehidupan, mengingat kota dengan wilayah sekitarnya merupakan satu kesatuan sistem geografis yang memiliki hubungan timbal -balik dan ketergantungan.



Kota hijau adalah kota yang berkelan - jutan, baik secara lingkungan fisik, ekonomi , sosial-budaya , maupun tata kelola (governance). Keberlanjutan metabolisme kota dengan pembangunannya harus dapat memenuhi kebutuhan -kebutuhan masa kini tanpa membahayakan kemampuan generasi masa depan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri.

Pola pembangunan yang hanya menekankan pada pertumbuhan ekonomi cenderung mengarah pada pemanfa - atan sumber daya alam dan lingkungan yang kurang terkendali. Kota memiliki keterbatasan daya dukung baik lingkungan maupun sosial, jika dieksploitasi terus-menerus akan mengakibatkan bencana lingkungan dan krisis ekologi. Untuk itu dalam mengelola segenap potensi sumber daya alam tersebut harus dilakukan secara bijak dan penuh kehati-hatian.

Kawasan perkotaan dalam konsep lingkungan hidup adalah merupakan suatu kawasan yang tercipta dari berlangsungnya proses interaksi antara manusia (lingkungan hidup sosial) dengan sumber daya alam (lingkungan hidup alam) yang terejawantah dalam lingkungan binaan manusia (built environment). Konsep tiga roda antara lingkungan hidup alam, lingkungan hidup sosial, dan lingkungan hidup binaan manusia tersebut tidak boleh tersegregasi, namun harus dalam satu kesatuan dan keutuhan sistem.

Peran Penataan Ruang

Berbagai permasalahan perkotaan membutuhkan pendekatan yang tepat, yaitu dengan mengedepankan prinsipprinsip pembangunan berkelanjutan. Harus disadari bahwa kota kita masingmasing memiliki karakteristik yang unik, sehingga kondisi ini membutuhkan pendekatan pengembangan perkotaan yang berbasis kebutuhan dan kemampuan dan potensi yang dimiliki masingmasing kota.



Pengembangan infrastruktur perkotaan harus memasukkan aspek keber - lanjutan sebagai prasyarat utama pembangunan. Dibutuhkan kebijakan dan program yang jelas serta sumber daya yang memadai. Tidak kalah pentingnya adalah keterlibatan dan dukungan segenap pihak dalam penyelenggaraan pembangunan perkotaan .

Penataan ruang memiliki peran yang sangat siginfikan sebagai instrumen dalam rangka mewujudkan kota hijau yang berkelanjutan . Dalam rencana tata ruang kota, diatur hal-hal yang terkait perwujudan kota hijau yang berkelanjutan, seperti pengaturan pusat- pusat kegiatan yang berjenjang dan berhirarki serta pembagian peran dan fungsi pada kota-kota di kawasan metropolitan, kompaksi perkotaan dengan mendekat - kan fungsi dan aktivitas sehingga pola pergerakan menjadi lebih efisien .

Ada juga konservasi terhadap kawasan lindung, penyediaan jalur dan ruang evakuasi bencana, pertimbangan daya dukung lingkungan, pengembangan infrastruktur perkotaan sebagai instrumen pengendalian pemanfaatan ruang, pengembangan sistem jaringan trans - portasi publik dan jalur pejalan kaki, penataan dan pengelolaan sektor informal serta pelestarian terhadap kawasan bersejarah perkotaan .

Selanjutnya, dalam rencana tata ruang kota ditetapkan target ruang terbuka hijau sebesar 30% dari luas kota, di mana proporsi 30% ini merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan sistem hidrologi dan sistem mikroklimat maupun sistem ekologis lain. Hal ini akan meningkatkan ketersediaan udara bersih yang diperlukan oleh masyarakat serta sekaligus meningkatkan estetika kota .

Kendala dalam Mewujudan Kota Hijau Berkelanjutan

Tidak mudah memang mewujudkan kota hijau yang berkelanjutan. Beragam kendala menjadi faktor penghambat, antara lain kurangnya pemahaman dan peran masyarakat dalam upaya perwujudan kota hijau, belum optimalnya kapasitas kelembagaan serta rendahnya kerja sama dan koordinasi antarsektor dalam pengelolaan lingkungan hidup, peningkatan jumlah penduduk perkotaan dan urbanisasi, pembangunan yang berorientasi fisik dan ekonomi, tingginya pendanaan serta terbatasnya lahan perkotaan dalam mewujudkan ruang terbuka hijau sebesar 30% dari luas kota.

Ada pula persepsi bahwa penerapan konstruksi hijau cenderung membuat biaya pembarigunan menjadi lebih mahal. Pada tahap investasi awal penerapan konstruksi hijau memang cenderung lebih mahal 30%-40 % yang disebabkan oleh harga bahan material ramah lingkungan dan hemat energi yang memang relatif lebih mahal, rencana tata ruang belum sepenuhnya dijadikan acuan dalam pembangunan perkotaan, tingginya pendanaan serta terbatasnya lahan perkotaan dalam mewujudkan ruang terbuka hijau.

Ditambah lagi perkembangan kawasan perkotaan cenderung bersifat ekspansif dan menunjukkan gejala urban sprawl yang semakin tidak terkendali, pengalihfungsian kawasan pertanian subur di pinggiran kota, peningkatan ketergantungan pada kendaraan bermotor, dan kurang optimalnya pengawasan oleh aparat dalam mendukung tertib pemanfaatan ruang.



Strategi Cerdas dan lnovatif

Diperlukan strategi yang cerdas, bijak, dan inovatif dalam rangka kota hijau berkelanjutan, ialah adanya kompaksi perkotaan, yaitu strategi pengembangan kota dengan meningkatkan kawasan terbangun dan kepadatan penduduk perumahan, mengintensifkan kegiatan ekonomi, sosial dan budaya perkotaan, memanipulasi ukuran, bentuk dan struktur perkotaan, serta sistem permukiman untuk mencapai manfaat keberlanjutan lingkungan sosial dan global, yang diperoleh dari pemusatan fungsi -fungsi perkotaan, dan penggunaan lahan campuran/mixed land use (Jenk, 2000 ) .

Kemudian, pentingnya mendorong pengembangan sistem transportasi publik antarmoda yang terintegrasi dan hemat energi. Selanjutnya penerapan lnte//egent Building System (JBS) atau sistem bangunan cerdas yang efisien dalam penggunaan energi serta meningkatkan penggunaan teknologi dan bahan bangunan yang ramah lingkungan.

Menghijaukan atap juga dapat mengurangi efek urban heat island (suhu wilayah kota yang lebih tinggi yang mempengaruhi daerah pedesaan, terutama karena meluasnya permukaan keras yang menyerap radiasi matahari).

Jangan dilupakan kearifan lokal, nilainilai kearifan lokal, budaya, sosial, kesejarahan, tradisi yang tercermin dalam arsitektur tradisional dapat menjadi rujukan dalam perancangan arsitektur di masa depan yang ramah lingkungan dan hemat energi. Terakhir adalah penerapan green construction yang merupakan sebuah pola tatanan infrastruktur yang dilakukan mulai dari proses perencanaan, perancangan, pelaksanaan, pemakaian, hingga daur ulangnya meng - gunakan energi seminimal mungkin .

Upaya peran strategis dan dukungan sektor-sektor harus diselenggarakan secara terpadu dan berkelanjutan berbasis pengembangan wilayah dengan instrumen penataan ruang. Melalui penerapan prinsip keterpaduan tersebut, diharapkan aka·n tercipta pola dan struktur ruang wilayah yang efisien dan efektif yang dicapai secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Untuk itu diperlukan komitmen dan konsitensi yang kuat dan sungguh-sungguh dalam menyelenggarakan penataan ruang, baik pada tingkat nasional, provinsi, kabupaten maupun kota sehingga dapat terwujud ruang kota yang nyaman, produktif dan berkelanjutan ke depan.

 

 

 

Sumber : Oleh Taufan Madiasworo dalam Volume40 • KIPRAH Tahun 2010

Rabu, 19 Februari 2025

Jalan Panjang Menuju Kota yang Harmonis

 Akibat perencanaan kota yang tidak matang, kondisi lingkungan wilayah pada banyak kota di negeri ini pada umumnya mengalami kerusakan serius.

Masih ingatkah Anda pada jerit histeris dan pekik tangis puluhan perempuan dan anak-anak di area Taman Bersih-Manusiawi-Wibawa (BMW) yang meratapi "rumah-rumah " mereka saat digusur satuan polisi pamong praja setingkat kompi dari Pemerintah KotaJakarta Utara? Juga, peristiwa-peristiwa yang kurang lebih serupa, semisal penertiban terhadap ratusan pedagang kaki lima di sejumlah kota besar, beberapa waktu silam? Konflik fisik sesekali terjadi pada peristiwa semacam itu, karena apapun alasan penggusuran , bagi rakyat kecil, rumah atau lebih tepat disebut gubuk dan lingkungan permukiman ilegal itu adalah segalanya bagi mereka untuk bisa hidup di kota metropolitan ini.

Sepenggal kisah di Taman BMW di atas menebarkan muatan jamak. Persoalannya tidak hanya menyangkut masalah ketidakabsahan dan pelanggaran pemanfaatan ruang kota oleh ratusan lebih kepala keluarga. Tapi, kejadian itu juga membuka tirai tentang ketaktersediaan lahan permukiman yang layak bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), masalah sosial , ekonomi, budaya , bahkan sampai ke persoalan politik dan keamanan kawasan , di Jakarta ini.

Begitulah, sejatinya , dimensi panataan ruang, merupakan urusan prinsipil suatu kota yang sering dilupakan banyak orang. Lebih dari sekadar penataan fisik kawasan agar terlihat indah dan teratur , penataan ruang kota direncanakan untuk mengakomodasi berbagai kepentingan. seperti ekonomi, sosial, pendidikan , kebutuhan akan permukiman, konservasi lingkungan , bahkan sebagai salah satu penciptaan strategi pertahanan dan keamanan suatu kawasan . Pola penataan ruang sebuah kota senantiasa menentukan perilaku warga kota dalam menata habitat hidup mereka .

Contoh yang paling mudah adalah aktivitas warga kota di pusat perbelanjaan yang tidak menyediakan lahan parkir yang memadai. Akibatnya, setiap orang harus berlomba mendapatkan sepetak area parkir , atau memarkir kendaraan di jalan raya. Dari sini muncullah persoalan , seperti premanisme. Apalagi, persoalan ini kemudian dibumbui dengan adanya perputaran uang banyak di sana. lni berlanjut dengan akibat-akibat terusannya , seperti kemacetan, persampahan, hingga tindak kriminal.

Sebaliknya , sebuah kota yang memiliki cukup banyak ruang publik , seperti taman yang menghijau yang memungkinkan warga kota melepaskan lelah dan penat, area lingkungan kota yang bersih dan terbebas dari sampah , dan seterusnya , akan "memaksa " warga kota untuk bertindak santun dan etis, baik terhadap sesama maupun terhadap lingkungannya . Habitat hidup yang senyaman itu tak pelak ikut membentuk karakter manusia -manusia yang tinggal di dalamnya .

Jakarta, sebagai misal, adalah magnet bagi masyarakat perdesaan , tidak hanya bagi penduduk di sekitar lbukota ini, tetapi juga bagi orang -orang dari berbagai pelosok Tanah Air, untuk memenuhi sejumlah kepentingan . Maklum , Jakarta adalah kota dengan tingkat pendapatan perkapita yang tertinggi - meski pertumbuhannya di bawah Gorontalo dan Lampung . Fakta bahwa Jakarta merupakan kota dengan jumlah terendah penduduk di bawah garis kemiskinan telah menjadi alasan sederhana bagi banyak orang desa untuk datang ke kota metropolitan ini.



Apa hendak dikata , kota metropolitan terbesar di Indon esia ini pada akhirnya tidak siap dengan pertumbuhan yang mahacepat itu . Jakarta pun kian sump ek. Tidak hanya oleh ledakan jumlah penduduk , tetapi terutama akibat pertumbuhan kota yang tidak terpola dengan baik. Tidak semua kebutuh an warga kota akan permukiman bisa dip enuhi . Ke mana lagi mereka yang tak mampu membeli rumah yang kian mahal itu hendak tinggal? Kasus Taman BMW di atas hanyalah salah satu potret buram dari kelengahan di bidang perencanaan tata ruang kota di Jakarta, hal yang sejatinya juga terjadi di banyak kota di Indonesia. Ilustrasi nyata tadi menunjukkan betapa erat keterkaitan antara perencanaan ruang kota yang ideal dan kondisi habitat perkotaan itu sendiri.

Habitat Kian Terancam

Akibat perencanaan kota yang tidak matang , kondisi Jingkungan wilayah pada banyak kota di negeri ini pada umumnya mengalami kerusakan serius . Lihatlah bagaimana hutan lindung dialihfungsikan menjadi kawasan komersil tanpa kompensasi pengganti lahan untuk konservasi secara memadai, dan kerusakan hutan dalam skala masif di seluruh pulau di Tanah Air. Karena luasan daerah tangkapan air yang kian sempit dan rusak, maka banjir adalah suatu keniscayaan. Cermatilah juga area persawahan produktif , terlebih di Jawa , yang semakin berkurang karena telah dijadikan sebagai kawasan permukiman . Yang terakhir ini bukan hanya berpengaruh bagi kelestarian habitat, tetapi juga ekonomi.

Memang selalu ada upaya untuk menghijaukan kota. Namun, penambahan luasan Taman Kota di banyak kabupaten atau kota di Indo - nesia tidak seimbang dengan pergerakan pemanfaatan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya . Jadi, ada kesan yang kuat bahwa din amika pembangunan di banyak tempat itu lebih menyiratkan ketidak - tere ncanaan ketimbang sebaliknya

Kerusakan lingkungan akibat perencanaan kota yang buruk seperti ditunjukkan oleh pengembangan kawasan permukiman meninggalkan catatan tersendiri . Para pengembang pada umumnya tidak menyediakan prasarana sanitasi sehingga keberadaan permukiman baru itu mengganggu habitat di sekitarnya . Tidak semua bangunan rumah memiliki saluran drainase serta sumur resapan sendiri . Air limbah pun lantas ditumpahkan kejaringan drainase terbuka . Sungai -sungai penuh sampah , dan sedihnya kotoran-kotoran itu berjenis nonorganik . Belum lagi pembuangan limbah industri secara liar ke Sungai-sungai .

Demikian juga dengan pemenuhan prasarana air minum. Fenomena ini mendapat perhatian serius Dirjen Cipta Karya Departemen PU, Budi Yuwono . Menurut Budi Yuwono, para pengembang wajib membangun akses perpipaan air minum seandainya dekat dengan sumber air minum atau setidaknya membangun sumur bar sampai dengan kedalaman 30 meter . "ldealnya, pengembang memiliki Water Treatment Plant (WTP) sendiri yang pengoperasiannya diserahkan kepada PDAM . Sayang , hal ini sering diabaikan . Beberapa kasus akibat sanitasi yang tidak memadai itu telah mencemari sistem air minum yang ada di kawasan perumahan , sehingga warga harus mengkonsumsi air yang tak layak minum, " kata Budi Yuwono .

Habitat tempat di mana kita tinggal sekarang ini telah menurun drastis kualitasnya . Banyak orang lupa , bahwa ada kaitan erat antara penataan ruang dan kelestarian habitat atau lingkungan . Bisa dipastikan bahwa penataan ruang yang benar akan menghasilkan lingkungan yang sehat, dan berkelanjutan . Habitat yang baik terlahir karena penataan ruang yang mantap .

Harus diakui , masih banyak pihak yang belum memahami dengan benar makna dari penataan ruang ini, hingga muncul persepsi yang kacau, bahkan sikap tidak mau tahu . Jumlah yang tak terhitung dari bangunan yang melanggar peruntukan lahan di beberapa sudut lbukota Jakarta mungkin menjelaskan fenomena ini. Ya, bisajadi suatu kota sebenarnya telah memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang bagus tetapi pelanggaran sering terjadi. Dari sinilah, antara lain keruwetan kota pada umumnya berawal.

Stop! Terlampau banyak rapor merah kota-kota di Tanah Air akibat kelalaian dalam perencanaan tata ruang kotanya. Kini saatnya kita untuk menata kembali kota-kota tercinta itu .

Planning for All Pesan Hari Tata Ruang

Ada/ah World Town Planning Day yang jatuh setiap 8 Nopember . Pada hari itu, masyarakat Indonesia juga memperingati Hari Tata Ruang Nasional untuk pertama kalinya . Momentum ini menjadi istimewa ketika dihadapkan pada fakta kesemrawutan penataan kota-kota di Indonesia. Hari itu seperti telah dijadikan sebagai kesempatan untuk melakukan evaluasi nasional di bidang penataan ruang kawasan kota-kota di Indonesia. Dan, tema yang diusung pun tepat , yakni "Penataan Ruang untuk Semua". Sementara itu, satu bulan sebelumnya, masyarakat internasionaljuga merayakan World Habitat Day atau Hari Habitat Dunia 2008, yang bertemakan : Harmonious Cities. Dua even yang hanya satu bulan itu menjadi simbol dari mata rantai yang terpisahkan antara perencanaan ruang perkotaan dan kualitas habitat di perkotaan .



Departemen Pekerjaan Umum berkepentingan untuk menjadikan even Hari Tata Ruang Nasional tersebut sebagai upaya untuk menyosialisasikan ide-ide, konsep, serta hasil-hasil yang sudah dicapai dari pengaplikasian penataan ruang selama ini. Sejak Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang diterbitkan, gema tentang wacana penataan ruang masih terbatas pada kalangan tertentu . "Karena itu, pesan dari Hari Tata Ruang Nasional kali ini adalah Planning for Al(' kata Dirjen Penataan Ruang Departemen PU Imam S. Ernawi. di acara puncak peringatan Hari Tata Ruang Nasional di Plaza Selatan Senayan. Jakarta (Baca: Jangan Main-main DenganPenataan Ruang).

Benar, sejatinya, perencanaan ruang kota harus dikondisikan sebagai tanggung jawab semua pihak dan dimanfaatkan untuk semua warga kota. Sebab, penataan ruang disusun untuk mengakomodasi berbagai kepentingan agar pengembangan kota ke depan bisa berkelanjutan , aman, nyaman, dan berkeadilan , dan terjadi harmoni antarwarga kota dan antara penghuni kawasan dengan lingkungannya . Bila kepentingan-kepentingan warga di atas telah terpenuhi dengan baik, itulah kota yang harmonis (Harmoni our cities).

Kelestarian habitat ini harus beriringan dengan kehidupan sosial yang harmonis antarwarga kota , dinamika ekonomi , politik, hingga keamanan . Bahkan, perencanaan tata ruang kota juga diperuntukkan bagi pemenuhan hasrat berkesenian para pemangku kepentingan kota .

Penataan ruang berdedikasi untuk menyediakan wahana bagi penduduk dalam suatu konsep pemanfaatan ruang yang harmonis dalam berbaga i'aspek . Sebuah kota yang harmonis adalah habitat yang bukan hanya indah secara fisik , namun juga termasuk mengakomodasi perkembangan kawasan dari waktu ke waktu-itulah makna berkelanjutan. Karena, sekali salah dalam merencanakan , dampaknya akan beruntun dan kompleks . ltulah latar belakang penggusuran, itulah penyebab banjir, pencemaran, dan seterusnya . Upaya memperbaiki kawasan yang terlanjur berkembang tanpa kendali bisa memerlukan ongkos sosial politik yang tidak murah-seperti antara lain tergambar dalam kegiatan penggusuran.

Dihadapkan pada banyak ketelanjuran penataan ruang , tiap Pemda harus selalu merevisi RTRW-nya paling lama dalam tempo lima tahun . Harus ada politik ruang oleh masing-masing daerah untuk mengantisip asi praktik pemanfaatan ruang yang melanggar rencana.

Mengedepankan Konsep Agropolitan

Di antara kelengahan para pemangku kepentingan di negeri ini dalam perencanaan tata ruang kota adalah membiarkan ketakseimbangan pembangunan yang terjadi di kota dan desa. Selain menimbulkan urbanisasi, kesenjangan desa-kota juga mempengaruhi sebaran pemanfaatan alam yang tidak seimbang .

Menurut ahli perencanaan kota, Kawik Sugiana, kawasan perdesaan dan perkotaan adalah fenomena yang bertautan . Dikotomis antara kota dan desa, menurut Sugiana, hanya akan menyulitkan pengembangan di kedua kawasan itu. "Kawasan perdesaan akan sukar mengembangkan kegiatan ekonominya tanpa mempertimbangkan kota sebagai pusat pengolahan produksi dan pemasaran," kata Sugiana.

Sebaliknya, pembangunan di perkotaan tidak dapat difakukan melalui pemanfaatan sumber daya manusia dan alam di perdesaan untuk kepentingan jangka pendek . "Dalam hal ini, pembangunan di perkotaan tidak berkelanjutan, " tambah Sugiana.

la mengusulkan penguatan hubungan desa-kota dengan menciptakan linkage yang saling menguntungkan dan sinergis. Namun, menurut dia, keterkaitan desa-kota cenderung bersifat spesifik-tidak terjadi pada semua aspek. "Karena itu, pertimbangan keterkaitan yang dipilih untuk dikembangkan diharapkan sejalan dengan keunggulan komparatif dan kompetitif perdesaan dan wilayah tersebut," jelas pakar perencana kota dan daerah dari UGM itu.

Pengembangan kawasan perdesaan seperti ini sering disebut sebagai agropolitan . Di dalam pengembangan desa itu dimasukkan unsur-unsur urbanitas yang dianggap penting, terutama demi kenyamanan barang dan jasa publik .

Konsep agropolitan ini telah masuk dalam pembahasan UndangUndang No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Di sana, agropolitan didefinisikan sebagai kawasan yang terdiri dari satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengolahan sumberdaya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agribisnis .

Bila di desa orang bisa memenuhi semua kebutuhannya , mengapa harus pergi ke kota? Apa lagi, dalam konsep agropolitan itu, hubungan desa-kota kian pendek karena prasarana seperti jalan dan alat komunikasi tersedia dengan baik . Pengembangan agropolitan sedikit banyak akan memangkas masalah akut kota-kota di Indonesia .

Elite Daerah: Ujung Tombak Perencanaan Kota

Jalan untuk mencapai kota yang harmonis masih panjang , memang . Selain banyak pekerjaan yang bersifat administratif dan riset, seperti penyusunan RTRW, pembuatan rencana detail penataan ruang, zonasi, setiap kota memiliki pekerjaan yang tidak ringan berkaitan dengan kesemrawutan kawasan . lni semua tidak mudah untuk dimulai, apalagi untuk satu Perda dibutuhkan dukungan legislatif atau DPRD.

Pada saat ini baru sepertiga Pemda yang telah melengkapi atau merevisi RTRW dalam sebuah Peratura n Daerah . Padahal, deadline yang diberikan Undang-Undang Penataan Ruang sampai pada 20 I 0. "Harus diakui, semestinya pada saat ini sudah separuh Pemda telah merampungkan revisi RTRW-nya. Nah, data itu bisa menunjukkan bagai - mana kesiapan mer eka," ungkap Dirjen Penataan Ruang Imam S. Ernawi.

lni memang sebuah keterlambatan. Karena itu, Ditj en Penataan Ruang Departemen PU yang bertindak sebagai pengawas pelaksanaan penataan ruang tersebut akan terus mendorong Pemda untuk segera menyelesaikan tugas yang tertunda itu . Imam juga meminta agar para elit di daerah, khususnya DPRD, ikut mendukung usaha ini agar Pemda bisa menganggarkan kegiatan revisi RTRW dalam APBD.

Meski demikian , cukup banyak dinamika menarik dari sejumlah elit daerah dalam mengapresiasi pene - rapan penataan ruang ini. Misalnya dalam hal usaha penambahan luasan taman kota . Walikota Yogyakarta , Herry Zudianto , adalah salah satunya. fa pernah dijufuki Wagiman, yakni wafikota gila taman. la memang paham benar bagaimana menghadapi tingkat polusi yang kian tinggi serta keharusan 30% luasan RTH yang harus  tersedia di kota pelajar itu. Karena itu, sejak dua tahun lalu ia bangun taman di mana-mana. Tentang julukan Wagiman , ia berseloroh. "Biarin."

Fenomena langka juga bisa ditemui di Surabaya. Mungkin kasus pembongkaran sebuah SPBU yang telah lama berdiri di jalur hijau kota hanya baru sekali terjadi di kota pahlawan ini, yakni di JI. Sulawesi. Area ini dikembalikan fungsinya sebagai jalur hijau "Saya hanya ingin konsisten dalam menerapkan aturan tentang peruntukan lahan ," kata Walikota Surabaya Bambang DH (baca: Kota yang Harmonis Berawal dari lnfrastruktur yang Tertata) .

Justru karena komitmen penguasa daerah ini, PT. Telkom merenovasi sebuah taman, bernama Taman Boengkoel dengan biaya hampir mencapai Rp I ,2 miliar . Juga , PT. Pertamina , yang membiayai penataan taman eks-SPBU dengan biaya mencapai Rp I miliar. Tak hanya itu, Bambang DH terus menggedor para pemanfaat terbesar dari masyarakat dan Kota Surabaya, yakni pengusaha, untuk memberikan kontribusinya dalam usaha menghijaukan Surabaya . Boleh dibilang , Surabaya merupakan salah satu kota yang sangat peduli dengan berbagai rencana induk pengembangan wilayah . Selain RTRW, kota inijuga dilengkapi dengan Master Plan Pengembangan Drainase Kota, yang disusun oleh para ahli dari negeri Belanda .

Sementara itu, Kabupaten Sumbawa Barat (KSB) mungkin kebalikan dari Surabaya dalam hal kelengkapan peraturan atau payung politik penataan ruang , namun tidak dalam hal komitmennya. Di sana, setiap warga diwajibkan menanam pohon sebanyak I0 batang. Tiap warga, karena itu, mendapat sebuah sertifikat yang merupakan persyaratan untuk mendapatkan jaminan kesehatan dan pendidikan gratis. Bupati Sumbawa Barat Zulkifli Muhadli , menyatakan bahwa penataan ruang kotanya didesain sedemikian rupa untuk mempertimbangkan kelestarian alam."Di pusat perkantoran pemerintah daerah, sebagai contoh , saat ini sudah dikelilingi sabuk hijau," tutur Muhadli.

Apa yang telah dilakukan KSB memang baik, bahkan layak ditiru . Namun , melengkapi segala peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang adalah juga sangat penting. Sebab itulah , payung hukum yang mencerminkan komitmen bersama dalam perencanaan kota atau politik ruang sangat diperlukan .

Dalam hal ini, Diden Penataan Ruang Imam S. Ernawi mengingatkan kepada para pejabat di daerah untuk tidak melanggar ketentuan undangunda ng dengan tidak menyusun RTRW. Pelanggaran undang-undang bisa dikenakan sanksi pidana. "Jangan bermain-main dengan Undang -Undang Penataan Ruang ini," tegas Diden Penataan Ruang mengingatkan.

 

 

 

 

 

Sumber: Majalah Kiprah, Volume 30/ Tahun VII/ Oktober-Nopember 2008

Rabu, 05 Februari 2025

Kota Selain Direncanakan, Harus Pula Dirancang

 

Peringatan Hari Tata Ruang 2010 mengangkat tema Smart Green City Planning atau Perencanaan Cerdas Mewujudkan Kota Hijau, yakni mengedepankan kepentingan perencanaan kota hijau secara cerdas melalui pertimbangan ekonomi lingkungan , sosial budaya dan tata kelola secara berkelanjutan . Penyelenggaraan Hari Tata Ruang ini juga bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan apresiasi publik serta para pemangku kepen - tingan terhadap penataan ruang . Bagaimanakah tanggapan dari Direktur Jenderal Penataan Ruang Kementerian PU, Imam S. Ernawi, mengenai hal tersebut ? Berikut intisari wawancara KIPRAH dengan beliau .

Peringatan Hari Tata Ruang tahun ini mengangkat tema Smart Green City Planning. Apa yang melatarbelakangi diangkatnya tema tersebut?

Perkembangan kota yang tidak terkelola dengan baik akan cenderung tidak terkendali dan mengakibatkan persoalan turunan seperti kemacetan lalu lintas, tumbuhnya kawasan-kawasan kumuh perkotaan dan lainnya. lni disebut sebagai urban paradox, yaitu kota yang diharapkan menciptakan kesejahteraan sebagai engine of growth justru melahirkan kantong -kantong kemiskinan baru . Kota itu selain direncanakan harus pula dirancang pemanfaatan dan pengendaliannya . Untuk itu, perlu draf Rencana Tata Ruang Wilayah atau RTRW dan Rencana Detail Tata Ruang Kota (RDTRK) yang memuat rencana makro dan mikro arah perkembangan suatu kota. lsu-isu tersebut memperlihatkan bahwa kualitas penataan ruang, terutama pengendalian yang kita upayakan selama ini masih sangat terbatas. Untuk itulah , ke depan kita harus lebih memberikan perhatian terhadap aspek pemanfaatan dan pengendalian ruang untuk menjamin keberlanjutan kawasan perkotaan kita .

Apakah kebijakan dan perencanaan tata ruang kota-kota di Indonesia saat ini sudah mengarah ke green city?

Saat ini kebijakan dan arah perencanaan kota - kota di Indonesia telah mengarah pada green city concept. Hal ini dapat ditunjukkan dari aspek perencanaan. Rencana tata ruang kota-kota di Indonesia yang saat ini tengah didorong (percepatan) penyelesaian perdanya, telah merujuk pada UU Penataan Ruang serta pedoman terkait, seperti Permen No. 17 tahun 2009 tentang Pedoman RTRW Kota yang mensyaratkan beberapa hal pokok berkaitan dengan kebijakan dan strategi perwujudan kota hijau, seperti pertimbangan terhadap daya dukung lingkungan, perlindungan terhadap kawasan lindung, pengaturan pusat-pusat kegiatan yang berjenjang dan berhierarki serta pembagian peran dan fungsi pada kota-kota metropolitan, pengembangan jaringan sistem transportasi umum dan jalur khusus pejalan kaki, pengembangan RTH minimal 30% dari luas kota dan pengembangan jaringan infrastruktur seperti jaringan air minum, serta pengolahan sampah dan air limbah.

Namun demikian, perwujudan kota-kota ke arah kota hijau tidak hanya pada aspek perencanaan saja namun juga pada aspek pemanfaatan dan pengendalian tata ruang sebagai suatu siklus yang berkepanjangan. Perencanaan tata ruang dengan konsep yang baik namun juga dalam pelaksanaan/ pemanfaatan dan pengendaliannya tidak berjalan sesuai rencana tidak akan dapat tercapai juga kota hijau yang menjadi harapan kita bersama.

Apa saja yang menjadi indikator dari perencanaan tata ruang untuk mewujud - kan kota hijau?

Menurut hemat saya, terdapat beberapa indikator dari perencanaan tata ruang untuk mewujudkan kota hijau. Diantaranya, aspek ekonomi yang berarti kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya lokal atau regional secara produktif bagi kesejahteraan masyarakat untuk jangka panjang tanpa merusak sumber daya alam. Ada juga aspek lingkungan terkait pada dampak dari proses produksi dan konsumsi kota dan terkait pada daya dukung lingkungan, termasuk di dalamnya konsep zero waste, konsep zero run off, infrastruktur hijau, transportasi hijau, RTH seluas 30% dari luas kota, green building, dan partisipasi masyarakat.

Lalu ada aspek sosial budaya. Dimensi ini berupa intervensi yang memungkinkan kesetaraan akses dan hak-hak atas sumber-sumber alam dan modal terutama bagi kaum miskin dan terpinggirkan. Terakhir adalah aspek tata kelola terkait dengan kualitas sistem tata pemerintahan yang mengatur hubungan dan tindakan-tindakan pelbagai pelaku-pelaku dari aspek di atas dalam rangka mewujudkan kota hijau yang berkelanjutan.

Sejauh mana target serta pencapaian perencanaan kota hijau yang diterapkan di Indonesia, terutama RTH dan infrastruktur hijau?

Pencapaian RTH di kota-kota di Indonesia beragam, seperti kota-kota di pulau Jawa yang sangat padat dimana ketersediaan lahan terbatas, maka proses pencapaian luas RTH 30% dilakukan secara bertahap, baik dengan penyediaan lahan maupun dengan penerapan teknologi tinggi. Sementara itu, kota - kota di luar Jawa, dimana masih banyak lahan hijaunya, maka lahan hijau tersebut harus dipertahankan dan ditingkatkan kualitasnya . Saat ini 419 kota dan kabupaten sedang melakukan konsultasi perubahan draf RTRW 2010-2030 ke tingkat pusat yang diharapkan selesai tahun 2011. Langkah ini perlu diikuti dengan penyesuaian langkah dan waktu yang diperlukan untuk mencapainya.

Beberapa contoh studi kasus dalam penyediaan RTH seperti di DKI Jakarta dan Kata Bandung adalah pengembalian fungsi RTH yang ditandai dengan dibongkarnya SPBU di semua jalur hijau kota, di Surakarta dengan mengembalikan fungsi sempadan yang digunakan oleh PKL dan permukiman kumuh, dan lain sebagainya.

Apa saja kendala dalam mewujudkan kota hijau di Indonesia?

Kendalanya dapat dicermati dalam beberapa aspek. Pertama, turbinlakwas (pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan). Peraturan perlu dilengkapi dengan peraturan turunan yang sifatnya lebih detail, pembinaan terkait belum optimalnya kapasitas kelembagaan, pelaksanaan Rencana Tata Ruang belum sepenuhnya digunakan sebagai acuan pembangunan dan Pengawasan dari aparat pun kurang optimal. Kedua aspek ekonomi, terutama masalah tingginya pendanaan dan terbatasnya lahan perkotaan. Kemudian, aspek sosial dimana ada perilaku sebagian masyarakat yang kontraproduktif dan destruktif, serta kurangnya pemahaman masyarakat. Kemudian aspek lingkungan, terkait peningkatan jumlah penduduk dan pembangunan yang cenderung berorientasi ekonomi. Lalu, aspek tata kelola yang mana masih rendahnya kerja sama dan koordinasi antarsektor. Terakhir, aspek spasial, terkait perkembangan kawasan kota yang cenderung ekspansif dan menunjukkan gejala urban sprawl yang tak terkendali.

Bagaimanakah peran Petugas Penyidik Tata Ruang?

Peran penyidik tata ruang adalah melakukan pembinaan penegakan hukum melalui sosialisasi peraturan perundangan mengenai tata ruang, melakukan penyelidikan apabila terdapat dugaan penyalahgunaan fungsi ruang dan melaksanakan penyidikan tindak pidana penataan ruang sebagaimana dimaksud dalam pasal 69 sampai dengan pasal 73 UU nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, apabila ditemukan pelanggaran rencana tata ruang, pemanfaatan tata ruang tidak sesuai dengan izin, pelanggaran perizinan pemanfaatan tata ruang, penutupan akses dan penerbitan izin tidak sesuai dengan rencana tata ruang.

 

 

 

Sumber : Oleh Imam S. Ernawi: Dalam KIPRAH Volume 40/ September-Oktober Tahun 2010


Jumat, 24 Januari 2025

Pelestarian Kawasan Cagar Budaya melalui Pengaturan Ketinggian Bangunan (Studi Kasus: Kota Pusaka Lasem dan Sekitarnya)

 A.    Pendahuluan

Kota Pusaka Lasem merupakan kawasan yang ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya (KCB). Lokasinya berada di pusat perkotaan Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Menurut Nurhajarni, dkk (2015) KCB Lasem (Kota Pusaka Lasem) memiliki nilai historis yang merefleksikan perpaduan keragaman etnik arab, tionghoa, dan pribumi sejak zaman Zheng He/ Ceng Ho, Kerajaan Mataram, tokohtokoh besar islam dan berpredikat kota santri, hingga zaman penjajahan (kolonial). Peleburan karakteristik etnik-etnik tersebut membentuk kawasan yang unik akibat adanya karakteristik langgam bangunan jawa, tionghoa, dan kolonial dalam satu kawasan. Hal ini yang membedakan Kota Pusaka Lasem dengan Kawasan Cagar Budaya lainnya di Indonesia. Nilai historis Kota Pusaka Lasem yang sangat tinggi dan unik ini kemudian menjadikan kawasan tersebut sebagai salah satu identitas bangsa yang perlu dilindungi dan dilestarikan. Hal ini terbukti bahwa pada tahun 2021-2022, Kementerian PUPR telah merevitalisasi sebagian Kota Pusaka Lasem sebagai upaya pelestarian KCB di Indonesia.

Transformasi perekonomian Kota Lasem yang bertumpu pada sektor pariwisata memberikan dampak terhadap pemilihan kebijakan penataan ruang yang mampu mendukung KCB. Pemenuhan kebutuhan fungsi dan kegiatan pemanfaatan ruang sektor pariwisata harus memenuhi syarat tidak merubah figure ground kawasan inti cagar budaya dan tidak memberikan dampak negatif terhadap kawasan Kota Pusaka Lasem secara keseluruhan. Adanya fokus pengembangan kawasan Kota Pusaka Lasem berbasis pariwisata dinilai mampu menarik investor untuk membangun hotel di sekitar kawasan inti cagar budaya Lasem, dimana bangunan hotel memiliki kecenderungan berkembang secara vertikal. Hal ini kemudian berdampak terhadap pembayangan yang mempengaruhi intensitas penerimaan pencahayaan kawasan Kota Pusaka Lasem sebagai KCB. Adanya Bangunan Gedung Hijau (BGH) pada bangunan pasar Lasem juga menjadi pertimbangan khusus karena mengandalkan pencahayaan dan penghawaan alami, serta berperan sebagai bangunan inti kawasan Kota Pusaka Lasem bersama dengan Alun-Alun Lasem dan Masjid Agung Lasem.

Dalam Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 10 Tahun 2013 tentang Pelestarian dan Pengelolaan Cagar Budaya Prov. Jateng pasal 8 menyebutkan bahwa perlindungan cagar budaya meliputi penyelamatan, pengamanan, zonasi, pemeliharaan, dan pemugaran. Sesuai pasal 21, sistem zonasi mengatur fungsi ruang pada cagar budaya secara vertikal maupun horizontal. Hal ini didukung juga oleh Peraturan Daerah Kabupaten Rembang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Cagar Budaya di Kabupaten Rembang pasal 6 menyebutkan bahwa Bupati memiliki wewenang untuk melakukan upaya pemanfaatan cagar budaya yang dapat dilakukan untuk kepentingan agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebudayaan. Permasalahannya adalah bagaimana mengatur ketinggian bangunan pada zona penunjang dan/atau kawasan sekitar kota pusaka lasem agar mampu memberikan pencahayaan sinar matahari bagi zona-zona KCB.

Walaupun digunakan untuk kegiatan wisata, kegiatan pelestarian bangunan, situs, dan/atau KCB di Kota Pusaka Lasem menjadi tantangan penting untuk dilakukan, dimana dengan memperpanjang usia cagar budaya maka KCB dapat difungsikan sebagai kegiatan budidaya pariwisata dengan daya tarik nasional – internasional secara keberlanjutan. Pengaturan ketinggian bangunan di KCB Lasem dan sekitarnya merupakan salah kunci yang berperan penting agar perkembangan Kota Pusaka Lasem tidak memberikan pembayangan yang kemudian berdampak negatif terhadap keberlanjutan Kawasan Inti Cagar Budaya Lasem. Maka dari itu, penataan ruang melalui pengaturan ketinggian bangunan yang tercantum dalam RDTR perlu disesuaikan kembali agar mampu mengoptimalkan nilai ekonomi yang diperoleh tanpa memberikan dampak negatif pada KCB dengan cara memperpanjang usia cagar budaya melalui pemberian pencahayaan dan penghawaan yang baik pada KCB, sehingga kawasan heritage dapat dilestarikan secara keberlanjutan, serta mampu menjadi salah satu identitas bangsa tanpa dibatasi oleh waktu.

B.    Metode

Pendekatan kuantiatif dilakukan dalam penelitian untuk menghasilkan ketinggian maksimum pada setiap blok pengaturan zonasi di sekitar KCB Lasem. Data jarak dari inti kawasan terhadap blok kemudian digunakan sebagai dasar untuk dilakukan analisis sky exposure plane (SEP) hingga menghasilkan ketinggian bangunan maksimal yang dapat dibangun pada setiap blok zonasi. Lokasi inti KCB menggunakan bangunan pasar Lasem dengan pertimbangan bahwa bangunan tersebut merupakan satu-satunya BGH di Kota Pusaka Lasem, dimana syarat BGH membutuhkan pencahayaan dan penghawaan yang baik.



Pertimbangan terhadap Sky Exposure Plane (SEP) dilakukan untuk menentukan ketinggian bangunan di sekitar KCB, karena SEP mempertimbangkan atas kondisi fisik dasar yaitu pencahayaan sinar matahari. Permen ATR/BPN No. 11/2021 menyebutkan bahwa SEP dilakukan dengan melihat perbandingan antara jarak bidang horizontal dengan vertikal yang terjadi karena bidang lereng khayal akibat pencahayaan matahari. Walaupun secara umum SEP digunakan untuk menentukan tinggi blok bangunan yang merapat ke jalan, namun dalam kasus ini SEP dapat digunakan untuk menentukan tinggi bangunan terhadap jarak blok dengan KCB dan BGH pasar Lasem sebagai pusatnya. Penentuan selisih ketinggian bangunan, dibutuhkan Angle of Light (ALO) sebagai sudut pencahayaan yang terkena bayangan matahari.

Permen ATR/BPN No. 11/2021 menyebutkan bahwa sudut ALO idealnya sebesar 45O; 26,5O; & 18,3O. Teknik pengaturan zonasi kemudian direkomendasikan berdasarkan hasil kajian ketinggian bangunan maksimal yang dapat dibangun disekitar KCB Lasem, untuk mendukung optimalisasi intensitas pemanfaatan ruang tanpa memberikan dampak negatif pembayangan sinar matahari dan mengoptimalkan pencahayaan dan penghawaan terhadap KCB Lasem.

C.    Hasil dan Pembahasan

Identifikasi lokasi yang berpotensi untuk terjadi peningkatan intensitas pemanfaatan ruang dilakukan secara spasial dengan melakukan tumpang tindih antara layer kawasan permukiman perkotaan, layer KCB Kota Pusaka Lasem, dan layer figure ground. Wilayah yang belum terbangun di Kawasan Permukiman Perkotaan Lasem namun bukan menjadi bagian dari KCB, merupakan wilayah utama yang berpotensi untuk dikembangkan sebagai zona penunjang KCB Kota Pusaka Lasem dengan kegiatan utama komersil maupun rekreasi berupa sarana dan prasarana yang mampu menunjang kegiatan wisata. Berdasarkan lokasi blok yang berpotensi dikembangkan sebagai lokasi pemenuhan sarana pendukung kegiatan wisata, diketahui jarak blok kawasan permukiman perkotaan terhadap KCB dengan BGH Pasar Lasem sebagai pusatnya. Tinggi bangunan memiliki batasan agar tidak melebihi ketentuan SEP bangunan eksisting dan BGH di kawasan cagar budaya. Dalam hal pengembangan di dalam KCB, pembatasan ketinggian bangunan maksimal 2 lantai dengan pertimbangan bahwa tidak melebihi tinggi bangunan eksisting yang didominasi 2 lantai di sepanjang path utama KCB dan bangunan lain dibelakangnya setinggi 1 lantai. Sedangkan untuk menentukan ketinggian bangunan di sekitar KCB Kota Pusaka Lasem, perhitungan SEP diterapkan pada setiap blok dengan menggunakan 2 sudut pencahayaan sinar matahari (ALO) yang berbeda, yaitu 45O untuk jarak blok terhadap KCB, dan 18,3O untuk jarak blok terhadap BGH. Kedua sudut ini dipilih dengan pertimbangan bahwa lokasi BGH berada di dalam KCB dan menjadi inti zona cagar budaya Kota Pusaka Lasem, sehingga dapat digunakan sebagai pusat pengukuran jarak dengan ALO ideal maksimum, yaitu 18,3O. ALO ideal minimum sebesar 45O juga digunakan untuk memenuhi tujuan optimalisasi intensitas ketinggian bangunan yang dapat dipenuhi pada setiap blok dengan prasyarat pengaturan pembayangan yang diterima KCB.



Berdasarkan 2 sudut pertimbangan tersebut, ketinggian bangunan terendah dipilih dan direkomendasikan untuk setiap blok kawasan permukiman perkotaan yang tidak ditetapkan sebagai KCB Kota Pusaka Lasem. Diketahui bahwa ketinggian bangunan maksimum dapat dikelompokan menjadi 5 kategori, dimana kelompok pertama dengan ketinggian bangunan maksimum <269 meter menjadi fokus lanjutan dalam penulisan ini karena dinilai paling realistis untuk pengembangan kondisi eksisting.

Secara umum dengan asumsi 1 lantai memiliki ketinggian 4 meter, maka ketinggian bangunan <269 meter merupakan <67 lantai dan dapat dikelompokan menjadi 5 kategori intensitas dengan interval 13 lantai. Kelompok kategori pertama dan kedua yang memiliki ketentuan intensitas ketinggian bangunan maksimum 8 lantai dan 16 lantai menjadi fokus lanjutan dalam penulisan ini, karena lokasinya yang cenderung berdekatan dan/atau berbatasan langsung dengan KCB, serta jumlah lantai yang paling realistis. Mengingat pengaturan ketinggian bangunan >27 lantai di Kecamatan Lasem masih bersifat pesimistis untuk dikembangkan dalam kurun waktu perencanaan (20 tahun), sehingga masih belum memungkinkan pengembangan bangunan dengan ketinggian >27 lantai.

Berdasarkan Gambar 4 diketahui bahwa blok yang berwana biru tua dengan ketinggian bangunan maksimum <16 lantai merupakan blok yang mendapat hasil dengan pengaruh dari ketinggian bangunan maksimum berdasarkan ALO 45O terhadap KCB. Sedangkan blok yang berwarna biru lebih muda termasuk warna selain biru merupakan blok yang mendapatkan pengaruh dari penggunaan ALO 18,3O. Maka dari itu, dapat diidentifikasi bahwa terjadi crossing point ALO pada jarak sekitar ±437 meter dari BGH dan/atau sekitar ±152 meter dari KCB, dimana pada blok yang lokasinya berjarak ><297 meter dari BGH pasar Lasem menggunakan ALO 45O, sedangkan blok yang lokasinya berjarak >lantai merupakan blok yang mendapat hasil dengan pengaruh dari ketinggian bangunan maksimum <16 lantai merupakan blok yang mendapat hasil dengan pengaruh dari ketinggian bangunan maksimum berdasarkan ALO 45O terhadap KCB. Sedangkan blok yang berwarna biru lebih muda termasuk warna selain biru merupakan blok yang mendapatkan pengaruh dari penggunaan ALO 18,3O. Maka dari itu, dapat diidentifikasi bahwa terjadi crossing point ALO pada jarak sekitar ±437 meter dari BGH dan/atau sekitar ±152 meter dari KCB, dimana pada blok yang lokasinya berjarak <297 meter dari BGH pasar Lasem menggunakan ALO 45O, sedangkan blok yang lokasinya >>437 meter dari BGH pasar Lasem menggunakan 18,3O. Berdasarkan pertimbangan bahwa optimalisasi intensitas ketinggian bangunan ditentukan berdasarkan sudut pencahayaan sinar matahari minimum yang diterima KCB, maka TPZ zona performa menjadi tepat untuk diterapkan. TPZ ini pada dasarnya merupakan teknik pengaturan blok yang aturannya tidak didasarkan pada aturan prespektif, namun didasarkan pada kualitas kinerja tertentu yang ditetapkan, yaitu pembayangan sinar matahari maksimum. Sudut ALO pencahayaan sinar matahari ini mampu digunakan sebagai standar kondisi/kinerja karena mampu menentukan kriteria terukur dan mengikat pada suatu blok. Walaupun begitu, tidak semua blok kawasan permukiman perkotaan di Kecamatan Lasem menjadi tepat untuk diterapkan TPZ zona performa. TPZ ini hanya tepat untuk diterapkan pada (1) blok kawasan permukiman perkotaan dengan hasil perhitungan ketinggian bangunan maksimum < 27 lantai atau sekitar <16 lantai berdasarkan perhitungan suatu blok(jumlah lantai dinilai masih realistis); dan (2) blok yang mendapatkan pengaruh akibat berbatasan langsung dengan KCB. Blok-blok sebagaimana dimaksud diatas adalah blok yang tertulis pada Tabel 4. Kedua pertimbangan ini dipilih karena adanya lokasi blok yang berbatasan langsung dengan KCB namun memiliki intensitas ketinggian bangunan maksimum yang cukup tinggi, seperti blok SDT 6. Hal ini dapat terjadi akibat penggunaan Lokasi BGH pasar lasem sebagai penarikan garis atau pengukuran jarak terhadap KCB, sedangkan lokasi zona inti tidak berada di tengah KCB dan deliniasi KCB berbentuk linier “T”, sehingga jarak KCB yang dihasilkan tidak selalu bernilai kecil.


Pengenaan TPZ zona performa pada suatu blok juga mendukung tujuan optimalisasi intensitas ketinggian bangunan sarana yang mendukung kegiatan wisata seperti sarana perhotelan di sekitar KCB Kota Pusaka Lasem. Walaupun batas maksimum suatu blok telah ditetapkan, pembangunan gedung pada suatu lokasi masih diperbolehkan melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan pada blok tersebut, selama tidak melebihi sudut ALO pembayangan sinar matahari maksimum terhadap KCB. Hal ini bertujuan agar pemanfaatan ruang yang memiliki jarak yang lebih jauh dalam satu blok ataupun berbeda blok dapat memiliki ketinggian bangunan yang berbeda dan lebih tinggi daripada pemanfaatan ruang dengan jarak yang lebih pendek terhadap BGH-KCB, sehingga optimalisasi intensitas pemanfaatan ruang dapat dilaksanakan tanpa memberikan pembayangan yang mengganggu pemberian pencahayaan dan penghawaan alami untuk mendukung pelestarian kawasan cagar budaya secara berkelanjutan sebagai identitas bangsa pada masa kini maupun masa mendatang.

Jika kawasan sekitar KCB Kota Pusaka Lasem diarahkan untuk menggunakan TPZ zona performa sebagai upaya optimalisasi intensitas pemanfaatan ruang, maka blok yang ditetapkan sebagian atau seluruh wilayahnya sebagai KCB Kota Pusaka Lasem diarahkan untuk menggunakan TPZ zona pengendalian pertumbuhan. Pada TPZ ini diterapkan pembatasan pembangunan dalam upaya melindungi karakteristik kawasan. Dalam hal blok pada KCB terdapat bangunan dan situs yang ditetapkan sebagai bangunan/ situs cagar budaya, maka TPZ zona pelestarian cagar budaya juga dapat diterapkan karena mampu mengatur pemanfaatan bangunan cagar budaya dengan memberikan pembatasan pembangunan guna mempertahankan bangunan dan situs yang memiliki nilai budaya tertentu, dimana persyaratan khusus yang diterapkan biasanya tidak merubah struktur dan bentuk asli bangunan.

 

D.    Kesimpulan dan Rekomendasi

Kawasan cagar budaya merupakan kawasan yang perlu dilestarikan, mengingat warisan budaya merupakan historis bangsa yang terakumulasi menjadi suatu karakter berwujud identitas suatu kota maupun bangsa. Pengaturan ketinggian bangunan pada suatu pemanfaatan ruang merupakan salah satu alat penataan ruang yang mampu menciptakan pelestarian kawasan cagar budaya dari tekanan urbanisasi disekitarnya, salah satunya adalah kerusakan alami yang timbul akibat masifnya proses pengkotaan hingga berdampak terhadap buruknya pencahayaan dan pengahawaan alami yang dimiliki KCB. Maka dari itu, perlu dilakukan pengaturan intensitas pemanfaatan ruang, khususnya pengaturan ketinggian bangunan yang mempengaruhi pemberian pembayangan pada KCB. Dengan adanya pengaturan ketinggian bangunan disekitar KCB, diharapkan pencahayaan dan penghawaan alami yang diterima KCB dapat optimal, sehingga meminimalisir kerusakan alami pada KCB dan menunjang pelestarian KCB sebagai wujud identitas bangsa yang berkelanjutan.

Berdasarkan 2 jenis ALO yang digunakan, terjadi crossing point ALO pada sekitar ±437 meter dari BGH dan/atau sekitar ±152 meter dari KCB, dimana pada blok yang lokasinya berjarak <297 meter dari BGH Pasar Lasem menggunakan ALO 45O, sedangkan blok yang lokasinya berjarak >437 meter dari BGH Pasar Lasem menggunakan 18,3O. Hasil perhitungan SEP menunjukan bahwa terdapat 18 blok yang dinilai masih mendapatkan pengaruh secara realistis akibat adanya KCB Kota Pusaka Lasem dan BGH pasar lasem, dimana ketinggian bangunan maksimum yang dapat diterapkan bervariasi sesuai jaraknya, mulai 4 meter dengan ketinggian maksimum 1 lantai, hingga 65 meter dengan ketinggian maksimum 16 antai. Teknik Pengaturan Zonasi (TPZ) yang paling tepat untuk diterapkan pada blok tersebut adalah zona performa, mengingat intensitas ketinggian bangunan ditetapkan berdasarkan standar kondisi fisik/ kinerja pencahayaan sinar matahari minimum. Sedangkan blok yang sebagian dan/atau seluruh wilayahnya ditetapkan sebagai KCB, maka TPZ yang dapat diterapkan adalah zona pengendalian pertumbuhan dan/atau zona pelestarian cagar budaya sesuai kebutuhan perlindungan KCB beserta bangunan cagar budaya didalamnya.

Berdasarkan pertimbangan SEP dan ALO pencahayaan sinar matahari terhadap KCB dan BGH tersebut, blok yang dinilai masih mendapatkan pengaruh terhadap adanya KCB dapat diterapkan TPZ zona performa. Sedangkan blok yang sebagian dan/atau seluruh wilayah ditetapkan sebagai KCB dapat diterapkan TPZ zona pengendalian pertumbuhan dan/atau zona pelestarian cagar budaya.



Walaupun begitu, gambar diatas menunjukan bahwa terdapat blok yang memiliki ketinggian bangunan maksimum dengan intensitasi tinggi walaupun bersebelahan langsung dengan KCB. Hal ini terjadi karena penggunaan lokasi BGH Pasar Lasem tidak berada ditengah KCB dan digunakan sebagai pusat penarikan jarak dari blok dengan KCB, menyebabkan lokasi tertentu memiliki jarak yang jauh dari BGH. Selain itu, bentuk KCB yang cenderung linier hingga membentuk “T”, menyebabkan pembayangan pada sekitar sudut KCB dengan batas blok yang berada jauh dari zona inti di bagian utara persimpangan “T”. Pertimbangan lain yang perlu dimasukan dalam variabel analisis adalah umumnya sinar matahari bergerak dari arah timur ke barat, namun pola pergerakan pencahayaan sinar matahari tidak selalu tepat berada diatas lokasi dan cenderung berubah-ubah, dimana arahnya dapat bisa berasal dari tenggara, barat daya, barat laut, hingga timur laut. Guna mengantisipasi sudut asal pencahayaan sinar matahari, dalam penyusunan aturan wajib PZ RDTR Kecamatan Lasem khusus bagian ketinggian bangunan perlu dilakukan penelitian lanjutan pada wilayah yang dinilai bermasalah sebagaimana dimaksud di atas, dimana penentuan ketinggian bangunan maksimum akan menggunakan jarak terdekat dari blok menuju KCB Kota Pusaka Lasem secara langsung tanpa menggunakan zona inti cagar budaya dan/atau BGH Pasar Lasem sebagai pusat penarikan garis atau pengukuran jaraknya.

 

 

 

 

 

Sumber : Penulis Danna Prasetya Nusantara, S.T, Dr. Ir. Retno Susanti, M.T, dan Nanda Cahyani Putri, S.P.W.K., M.P.W.K, Dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi III (September - Desember 2024)