Dengan kemajuan teknologi yang ada saat ini, banyak wisatawan berkunjung ke sebuah tempat hanya dengan mengandalkan rekomendasi yang dilihat pada laman yang terdapat pada gawai masing-masing. Rekomendasi tempat disampaikan oleh masyarakat umum yang telah berkunjung maupun influencer yang bekerja sama untuk mempromosikan tempat tersebut. Banyak slogan baru atau tagar yang disematkan agar promosi terhadap sebuah tempat menjangkau orang sebanyak mungkin. Dengan konsep pemasaran seperti ini, masyarakat dengan mudahnya mengakses lokasi terpencil yang dipercaya sebagai “hidden gem”.
Lalu,
ketika sebuah tempat dikunjungi berdasarkan rekomendasi yang ada pada sosial
media (viral), bagaimana peran penataan ruang dalam membangun identitas
kawasan? Apakah dokumen Rencana Tata Ruang yang disusun dan ditetapkan sebagai
bentuk peraturan perundangundangan dan memiliki masa berlaku selama 20 (dua
puluh) tahun dapat mengimbangi perubahan pemanfaatan ruang dari sebuah lokasi
yang viral?
Secara
teori, membangun identitas kawasan memerlukan perencanaan yang matang agar
identitas tersebut dapat dipasarkan dalam kurun waktu yang panjang. Segala
aspek terkait kawasan, baik sejarah, budaya, sosial, fisik, lingkungan, maupun
berbagai aspek lainnya dipertimbangkan untuk membangun “brand” sebuah kawasan.
Identifikasi strengths, weaknesses, opportunities, dan threats dipetakan dan
dianalisis untuk membangun visi dan misi sebuah kawasan.
Ilmu
terkait pemasaran sebuah kawasan yang dikembangkan oleh Kotler et al. (1993)
melalui “Strategic Place Marketing” yaitu memposisikan kawasan sebagai sebuah
bisnis yang akan dipasarkan. Untuk dapat dipasarkan, kawasan harus dapat
merespons kebutuhan kompetisi global, kemajuan teknologi, bahkan penurunan
fungsi kawasan. Pada awal konsep “strategic place marketing” diperkenalkan,
konsep ini hanya menjadi alat untuk memasarkan produk ataupun jasa dengan lebih
efektif, tidak mengembangkan identitas kawasan secara menyeluruh.
Walaupun
dapat diterapkan di kawasan manapun, place branding lebih banyak dilakukan di
perkotaan. Hal ini dilakukan karena membangun identitas kawasan memerlukan
keterlibatan berbagai macam pemangku kepentingan dengan perannya masingmasing.
Apabila identitas kawasan sudah terbangun, diperlukan pengelolaan identitas
kawasan untuk menjamin keberlanjutannya. Kompleksitas perencanaan dan
pengelolaan identitas kawasan tersebut lebih banyak dan lebih mudah tersedia di
kawasan perkotaan.
“Place
branding” di kawasan perkotaan dianggap lebih efektif dan efisien dilakukan
karena beberapa sebab:
1.
konsentrasi penduduk lebih banyak, sehingga jangkauan “place branding” akan
lebih luas;
2.
keterkaitan jejaring kegiatan antara kawasan perkotaan dengan kawasan
sekitarnya lebih erat, sehingga memiliki pengaruh lebih luas;
3.
pemangku kepentingan yang berada di kawasan perkotaan lebih banyak, sehingga
pengelolaan terhadap “place branding” dapat dilakukan secara menyeluruh;
4.
infrastruktur lebih banyak tersedia, terutama terkait infrastruktur digital;
5.
posisi kawasan perkotaan atau kota lebih terlihat pada peta perekonomian
global.
Terkait
jumlah penduduk di kawasan perkotaan, menurut BPS, tahun 2020 sebanyak 56,7%
penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. Persentase tersebut akan terus
meningkat hingga mencapai 66.6% pada tahun 2035. Kawasan perkotaan di Indonesia
timbul dari aglomerasi kota. Kawasan perkotaan tidak dapat berdiri sendiri,
sehingga memerlukan wilayah sekitarnya untuk fungsi pendukung, seperti
permukiman, pariwisata, maupun jasa lainnya. Hal ini menyebabkan “place
branding” yang dibangun di sebuah kawasan perkotaan diamplifikasi pada
kawasan-kawasan sekitarnya. Karena peran sentralnya untuk kawasan sekitarnya,
kawasan perkotaan menjadi fokus pembangunan infrastruktur. Infrastruktur yang
terintegrasi dan terpadu menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi
sebuah kawasan.
Kawasan
perkotaan menjadi pilar penting dalam kegiatan manusia. Kota menggambarkan
mesin penggerak ekonomi, fokus kehidupan sosial masyarakat, bahkan menjadi
bagian dari jaringan global untuk perdagangan maupun migrasi. Kota dianggap
mampu menjadi wakil dari sebuah negara untuk ambil bagian dalam perekonomian
dunia.
Identitas
kawasan perkotaan yang dikembangkan, disesuaikan dengan visi dan misi kawasan.
Pada titik ini, planning-branding nexus terjadi. Sistem pengelolaan spasial
adalah bagian dari pengelolaan narasi dan aset kawasan (gambar 1). Pada
planningbranding nexus ini terdapat 6 (enam) dimensi yang teridentifikasi
saling terkait, yaitu:
1.
strategi yang terintegrasi;
2.
fokus yang sama;
3.
mekanisme yang memungkinkan pemangku kepentingan untuk berpartisipasi;
4.
pelestarian versus inovasi;
5.
sistem pengelolaan yang berjenjang; dan
6.
perencanaan spasial sebagai titik hubung.
Pada
dimensi perencanaan spasial sebagai titik hubung, ada pendapat bahwa
planning-branding nexus perlu dituangkan dalam bentuk perencanaan spasial.
Perencanaan spasial menerjemahkan visi dan misi identitas kawasan perkotaan ke
dalam pembagian fungsi-fungsi ruang. Ini memicu transformasi dan reorganisasi
spasial, yang pada akhirnya akan membentuk identitas kawasan.
Keenam
dimensi yang saling berhubungan pada Planning-Branding Nexus tersebut juga
menyiratkan bahwa perencanaan spasial atau place branding yang tidak terhubung
dengan narasi maupun aset yang dimiliki akan berpotensi pada ketidakberlanjutan
identitas kawasan secara sosioekonomi.
Saat
ini, “branding” memiliki fungsi sebagai: pemberian nama terhadap produk;
merancang logo dan slogan yang akan digunakan produk; membangun atau
menciptakan identitas yang sesuai dengan misi produk; atau membangun reputasi
sebuah produk. Oleh karena itu, selain upayaupaya bersama (co-creation) untuk
membangun identitas kawasan, terdapat pula ancaman-ancaman perusakan
(co-destruction) terhadap identitas kawasan (gambar 2).
Mengelola
identitas kawasan memerlukan peran serta dari berbagai pemangku kepentingan dan
memerlukan berbagai sarana yang tersedia, salah satunya melalui perencanaan
spasial.
Sumber: Oleh Tikki Mahayanti, S.T., M.Eng. dalam BULETIN
Penataan Ruang Edisi II (Mei - Agustus 2024)