Senin, 04 November 2024

Sinergi Penataan Ruang dan Place Branding dalam Membangun Identitas Kawasan

Dengan kemajuan teknologi yang ada saat ini, banyak wisatawan berkunjung ke sebuah tempat hanya dengan mengandalkan rekomendasi yang dilihat pada laman yang terdapat pada gawai masing-masing. Rekomendasi tempat disampaikan oleh masyarakat umum yang telah berkunjung maupun influencer yang bekerja sama untuk mempromosikan tempat tersebut. Banyak slogan baru atau tagar yang disematkan agar promosi terhadap sebuah tempat menjangkau orang sebanyak mungkin. Dengan konsep pemasaran seperti ini, masyarakat dengan mudahnya mengakses lokasi terpencil yang dipercaya sebagai “hidden gem”.

Lalu, ketika sebuah tempat dikunjungi berdasarkan rekomendasi yang ada pada sosial media (viral), bagaimana peran penataan ruang dalam membangun identitas kawasan? Apakah dokumen Rencana Tata Ruang yang disusun dan ditetapkan sebagai bentuk peraturan perundangundangan dan memiliki masa berlaku selama 20 (dua puluh) tahun dapat mengimbangi perubahan pemanfaatan ruang dari sebuah lokasi yang viral?

Secara teori, membangun identitas kawasan memerlukan perencanaan yang matang agar identitas tersebut dapat dipasarkan dalam kurun waktu yang panjang. Segala aspek terkait kawasan, baik sejarah, budaya, sosial, fisik, lingkungan, maupun berbagai aspek lainnya dipertimbangkan untuk membangun “brand” sebuah kawasan. Identifikasi strengths, weaknesses, opportunities, dan threats dipetakan dan dianalisis untuk membangun visi dan misi sebuah kawasan.

Ilmu terkait pemasaran sebuah kawasan yang dikembangkan oleh Kotler et al. (1993) melalui “Strategic Place Marketing” yaitu memposisikan kawasan sebagai sebuah bisnis yang akan dipasarkan. Untuk dapat dipasarkan, kawasan harus dapat merespons kebutuhan kompetisi global, kemajuan teknologi, bahkan penurunan fungsi kawasan. Pada awal konsep “strategic place marketing” diperkenalkan, konsep ini hanya menjadi alat untuk memasarkan produk ataupun jasa dengan lebih efektif, tidak mengembangkan identitas kawasan secara menyeluruh.

Walaupun dapat diterapkan di kawasan manapun, place branding lebih banyak dilakukan di perkotaan. Hal ini dilakukan karena membangun identitas kawasan memerlukan keterlibatan berbagai macam pemangku kepentingan dengan perannya masingmasing. Apabila identitas kawasan sudah terbangun, diperlukan pengelolaan identitas kawasan untuk menjamin keberlanjutannya. Kompleksitas perencanaan dan pengelolaan identitas kawasan tersebut lebih banyak dan lebih mudah tersedia di kawasan perkotaan.

“Place branding” di kawasan perkotaan dianggap lebih efektif dan efisien dilakukan karena beberapa sebab:

1. konsentrasi penduduk lebih banyak, sehingga jangkauan “place branding” akan lebih luas;

2. keterkaitan jejaring kegiatan antara kawasan perkotaan dengan kawasan sekitarnya lebih erat, sehingga memiliki pengaruh lebih luas;

3. pemangku kepentingan yang berada di kawasan perkotaan lebih banyak, sehingga pengelolaan terhadap “place branding” dapat dilakukan secara menyeluruh;

4. infrastruktur lebih banyak tersedia, terutama terkait infrastruktur digital;

5. posisi kawasan perkotaan atau kota lebih terlihat pada peta perekonomian global.

Terkait jumlah penduduk di kawasan perkotaan, menurut BPS, tahun 2020 sebanyak 56,7% penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. Persentase tersebut akan terus meningkat hingga mencapai 66.6% pada tahun 2035. Kawasan perkotaan di Indonesia timbul dari aglomerasi kota. Kawasan perkotaan tidak dapat berdiri sendiri, sehingga memerlukan wilayah sekitarnya untuk fungsi pendukung, seperti permukiman, pariwisata, maupun jasa lainnya. Hal ini menyebabkan “place branding” yang dibangun di sebuah kawasan perkotaan diamplifikasi pada kawasan-kawasan sekitarnya. Karena peran sentralnya untuk kawasan sekitarnya, kawasan perkotaan menjadi fokus pembangunan infrastruktur. Infrastruktur yang terintegrasi dan terpadu menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi sebuah kawasan.

Kawasan perkotaan menjadi pilar penting dalam kegiatan manusia. Kota menggambarkan mesin penggerak ekonomi, fokus kehidupan sosial masyarakat, bahkan menjadi bagian dari jaringan global untuk perdagangan maupun migrasi. Kota dianggap mampu menjadi wakil dari sebuah negara untuk ambil bagian dalam perekonomian dunia.

Identitas kawasan perkotaan yang dikembangkan, disesuaikan dengan visi dan misi kawasan. Pada titik ini, planning-branding nexus terjadi. Sistem pengelolaan spasial adalah bagian dari pengelolaan narasi dan aset kawasan (gambar 1). Pada planningbranding nexus ini terdapat 6 (enam) dimensi yang teridentifikasi saling terkait, yaitu:

1. strategi yang terintegrasi;

2. fokus yang sama;

3. mekanisme yang memungkinkan pemangku kepentingan untuk berpartisipasi;

4. pelestarian versus inovasi;

5. sistem pengelolaan yang berjenjang; dan

6. perencanaan spasial sebagai titik hubung.

Pada dimensi perencanaan spasial sebagai titik hubung, ada pendapat bahwa planning-branding nexus perlu dituangkan dalam bentuk perencanaan spasial. Perencanaan spasial menerjemahkan visi dan misi identitas kawasan perkotaan ke dalam pembagian fungsi-fungsi ruang. Ini memicu transformasi dan reorganisasi spasial, yang pada akhirnya akan membentuk identitas kawasan.

Keenam dimensi yang saling berhubungan pada Planning-Branding Nexus tersebut juga menyiratkan bahwa perencanaan spasial atau place branding yang tidak terhubung dengan narasi maupun aset yang dimiliki akan berpotensi pada ketidakberlanjutan identitas kawasan secara sosioekonomi.

Saat ini, “branding” memiliki fungsi sebagai: pemberian nama terhadap produk; merancang logo dan slogan yang akan digunakan produk; membangun atau menciptakan identitas yang sesuai dengan misi produk; atau membangun reputasi sebuah produk. Oleh karena itu, selain upayaupaya bersama (co-creation) untuk membangun identitas kawasan, terdapat pula ancaman-ancaman perusakan (co-destruction) terhadap identitas kawasan (gambar 2).

Mengelola identitas kawasan memerlukan peran serta dari berbagai pemangku kepentingan dan memerlukan berbagai sarana yang tersedia, salah satunya melalui perencanaan spasial.

 



 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Oleh Tikki Mahayanti, S.T., M.Eng. dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi II (Mei - Agustus 2024)