Rabu, 30 Oktober 2024

Konsep Kota Layak Huni dan Berkelanjutan: Karakteristik, Best Practice, Tantangan dan Peran Tata Ruang

Pendahuluan

Kota adalah pusat ekonomi dan aktivitas masyarakat. Berdasarkan data dari World Bank (2021) menyebutkan bahwa urbanisasi masif telah mendorong 57% penduduk dunia tinggal di perkotaan. Artinya, lebih dari setengah penduduk akan tinggal di kawasan perkotaan. Proyeksi dari PBB tahun 2018 (dalam MLCI IAP, 2022:3) akan ada kenaikan sebesar 68% pada tahun 2050, atau sebanyak 2,5 milyar jiwa akan tinggal di perkotaan. Masifnya urbanisasi, perubahan iklim, dan pandemi COVID-19 berdampak signifikan pada kualitas hidup di perkotaan, menjadikan kelayakhunian kota sebagai sebuah keniscayaannya.

Kota yang layak huni didefinisikan sebagai "Sistem perkotaan yang mendukung kesejahteraan fisik, sosial, dan mental serta perkembangan pribadi semua penduduknya, terkait tentang ruang kota yang menyenangkan dan diinginkan yang menawarkan dan mencerminkan kekayaan budaya dan nilai-nilai sakral. Prinsip utama yang mendasari kelayakhunian ini adalah kesetaraan, martabat, aksesibilitas, keramahan, partisipasi, dan pemberdayaan." (Vanessa Timmer dan Nola Kate Seymar, 2003).

Karakteristik

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2022 tentang Perkotaan diatur standar pelayanan perkotaan yang dilakukan melalui metode pengukuran basis data dan persepsi masyarakat. Lebih lanjut dalam pasal 21, Indeks perkotaan berkelanjutan meliputi: ukuran kinerja ekonomi, pendidikan, energi, lingkungan, keuangan, pemerintahan, kesehatan,

Sebuah kota, selain harus layak huni, juga harus berkelanjutan. Konsep kelayakhunian (liveability) dan keberlanjutan (sustainability) merupakan konsep yang saling mendukung. Keberlanjutan kota dipandang sebagai gagasan bahwa suatu kota dapat diorganisir tanpa ketergantungan yang berlebihan dan mampu berkelola mandiri dengan sumber daya energi terbarukan (Siemens, 2009), secara bersamaan juga mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, lingkungan, menyediakan habitat yang tangguh bagi populasi yang ada, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mengalami hal yang sama (Batten, 2018). Hal ini juga senada dengan Global Platform for Sustainable Cities (2018) bahwa sangat penting bagi kota-kota memanfaatkan peluang untuk meningkatkan keberlanjutan kota. Kota harus menjadi tempat inovasi dan pendorong pertumbuhan ekonomi, dimana kesejahteraan dan pekerjaan diciptakan dan sumber daya (resources) digunakan secara efisien. Berikutnya adalah pilihan tentang bagaimana kota dibangun/dikembangkan, dihuni, dan dipelihara sehingga memiliki efek global jangka panjang (long-term global effects).

perumahan, kondisi penduduk dan sosial, rekreasi, keselamatan, limbah padat, olahraga dan budaya, telekomunikasi, transportasi, pertanian di wilayah perkotaan dan keamanan pangan, perencanaan perkotaan, air limbah, air bersih, pelaporan, dan pemeliharaan bukti rekaman.

Berdasarkan peraturan tersebut karakteristik dalam kota layak huni dan berkelanjutan tidak hanya mencakup aspek fisik dan infrastruktur, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan sosial, ekonomi dan partisipasi masyarakat sehingga bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman, aman, sehat, dan mendukung kehidupan warganya dalam jangka panjang.

“A sustainable city provides inclusive access to health care, education, and jobs at walking distance or reachable by short and convenient transit rides seamlessly integrated with pedestrian and bicycle paths.”

(World Bank & GEF, 2018:11)



Indeks setiap kota yang disurvei dalam Most Livable City Index pada tahun 2014, 2017, dan 2022 cenderung fluktuatif. Pada tahun 2014, indeks berkisar antara 58 hingga 71, sementara pada tahun 2017 mengalami penurunan dengan rentang 56 hingga 67. Namun, pada tahun 2022, indeks menunjukkan peningkatan dengan kisaran 62 hingga 67. Meskipun terjadi fluktuasi pada tingkat kota, secara keseluruhan, indeks rata-rata kelayakhunian kota-kota setiap tahunnya menunjukkan tren peningkatan. Seperti halnya hasil progres kelayakhunian kota dalam gambar berikut.

Setiap tahun, aspek-aspek yang menjadi penilaian dan keunggulan kota juga mengalami perubahan. Pada tahun 2014, pada aspek pengelolaan lingkungan, kelengkapan dan kualitas sarana prasarana, kehidupan sosial, tata kota, dan ketersediaan angkutan telah dianggap baik oleh warga kota. Tahun 2017, fokusnya bergeser ke ketercukupan pangan, fasilitas peribadatan dan pelayanan keagamaan, pengelolaan air bersih, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan. Pada tahun 2022, aspek yang menjadi keunggulan meliputi fasilitas peribadatan, fasilitas pendidikan, penyediaan air bersih, jaringan telekomunikasi, dan fasilitas kesehatan. Beberapa aspek seperti fasilitas peribadatan, fasilitas pendidikan, dan penyediaan air bersih selalu muncul sebagai keunggulan di setiap survei, menunjukkan pentingnya aspek-aspek ini dalam mendukung kelayakhunian kota.

Indeks kelayakhunian kota didasarkan atas observasi, data sekunder dan penilaian baik dari sudut pandang subjektivitas peneliti. Dengan demikian, indeks yang didasarkan atas sudut pandang warga kota menjadi dasar penilaian kelayakhunian kota. Dengan hasil yang variatif, setiap tahun menujukkan skor yang meningkat. Kendati demikian, hasil survei ada 8 (delapan) faktor kelayakhunian yang masih memiliki skor rendah, yaitu tingginya biaya hidup di kota, sulitnya mendapatkan pekerjaan, mahalnya harga rumah, angkutan umum yang belum dapat diandalkan, buruknya fasilitas pejalan kaki, kualitas penataan PKL yang kurang baik, minimnya pelibatan warga dalam pembangunan, serta jarangnya penyelenggaraan event.

Best Practice

Salah satu kota di dunia yang dinobatkan sebagai World’s Most Liveable City (Kota Paling Layak Huni di Dunia) menurut Economist Intelligence (2024) adalah Wina, Austria. Kota ini telah menjadi juara bertahan sebagai kota paling layak huni sejak tahun 2021. Berdasarkan penilaian yang dilakukan terhadap 173 kota di seluruh dunia, Wina unggul dalam aspek:

1. stabilitas ekonomi, dengan skor 100;

2. pelayanan kesehatan, dengan skor 100;

3. budaya dan lingkungan, dengan skor 93,5;

4. pendidikan, dengan skor 100, serta;

5. infrastruktur, dengan skor 100.



Pamer (2019) berpendapat bahwa Wina dapat menjadi kota paling layak huni, karena sangat memperhatikan pelayanan untuk pendidikan, kesehatan, jaminan hari tua, serta mobilitas penduduk yang semuanya dibiayai oleh kontribusi pajak. Menurutnya, Wina menempatkan dirinya sebagai “partner” dari penduduk, sehingga masa depan mereka sendiri bergantung pada kesejahteraan penduduknya. Kota paling layak huni seperti Wina dapat menjadi contoh untuk meningkatkan kelayakhunian.

Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) telah meluncurkan tolak ukur penilaian kelayakhunian kota yang dikenal dengan nama Indonesia Most Livable City Index (MLCI). MLCI adalah survei berbasis persepsi warga kota yang mengevaluasi kelayakhunian tempat tinggal mereka. Tolak ukur ini tidak hanya memberikan gambaran tentang kekuatan dan kelemahan masing-masing kota besar di Indonesia, tetapi juga berfungsi sebagai panduan berharga bagi para pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pembangunan perkotaan.

Dalam era urbanisasi yang pesat dan tantangan lingkungan yang semakin kompleks, MLCI menjadi alat yang sangat relevan. Dengan memahami persepsi warga, para pengambil keputusan dapat mengarahkan upaya pembangunan ke arah yang lebih inklusif dan berdaya saing, memastikan setiap kota besar di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang menjadi tempat yang ideal untuk tinggal, bekerja, dan beraktivitas serta memberikan gambaran terkait kekuatan dan kelemahan masing-masing kota besar di indonesia.

Tantangan

Beberapa aspek tercatat selalu muncul sebagai permasalahan juga. Pada tahun 2014, masalah utama meliputi kehidupan ekonomi, kemacetan, keamanan, tingkat biaya hidup, dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Pada tahun 2017, isu yang menonjol adalah transportasi, keselamatan kota, pengelolaan air kotor dan drainase, fasilitas pejalan kaki, serta informasi pembangunan dan partisipasi masyarakat. Pada tahun 2022, masalah yang terus muncul mencakup perekonomian kota, sektor informal kota, fasilitas pejalan kaki, fasilitas kesenian dan budaya, serta informasi pembangunan dan partisipasi masyarakat. Fasilitas pejalan kaki dan informasi pembangunan serta partisipasi masyarakat menjadi sebuah tantangan dalam mewujudkan kota yang layak huni dan berkelanjutan.

Sehingga tata ruang memiliki peran sentral dalam mewujudkan konsep kota layak huni dan berkelanjutan melalui pendekatan outcomebased planning. Pendekatan ini fokus pada hasil akhir yang diinginkan. Perencanaan tata ruang yang berkelanjutan tidak hanya bertujuan untuk mengatur penggunaan lahan, tetapi juga untuk memastikan bahwa setiap rencana yang dibuat dapat menghasilkan outcome yang terukur dan signifikan bagi masyarakat. Integrasi antara outcome-based planning dengan skenario ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi kunci utama dalam menciptakan kota yang layak huni dan berkelanjutan.

Tata ruang kota yang baik membantu menciptakan lingkungan yang nyaman, teratur, dan mendukung kesejahteraan warga. Zonasi wilayah untuk berbagai keperluan seperti pemukiman, komersial, industri, dan ruang hijau dilakukan dengan jelas dan terencana. Ini membantu mencegah konflik penggunaan lahan dan memastikan setiap area dapat berkembang sesuai fungsinya. Penataan ini juga menjaga kelestarian bangunan bersejarah dan warisan budaya kota. Pemerintah Kota Solo juga menerapkan berbagai program pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial jangka panjang, seperti penggunaan energi terbarukan dan upaya konservasi air. Pemerintah kota mengajak partisipasi aktif dari warga dalam perencanaan dan pengelolaan tata ruang. Keterlibatan ini memastikan bahwa pengembangan kota sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Peran tata ruang dalam hal ini benar–benar memiliki peran yang vital, terutama pada substansi rencana. Seperti halnya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dalam mewujudkan kota layak huni, terutama dalam menjawab kriteria tolak ukur penilaian kelayakhunian kota yang dikenal dengan nama Indonesia Most Livable City Index (MLCI) yang telah disusun oleh Ikatan Ahli Perencanaan (IAP). Untuk memastikan keamanan dan kesehatan, RTRW dan RDTR harus mencakup strategi seperti pembangunan ruang terbuka hijau yang memadai, pengendalian polusi, dan pengelolaan limbah yang efektif, serta aksesibilitas fasilitas kesehatan yang merata. Selain itu, penerapan Transit-Oriented Development (TOD) dan pengembangan infrastruktur untuk pejalan kaki dan pesepeda akan mendorong penggunaan transportasi publik dan menciptakan lingkungan yang lebih ramah pejalan kaki. Zonasi wilayah yang mendukung mixeduse development juga diperlukan untuk memastikan berbagai fungsi kota dapat diakses dengan mudah.

Dokumen perencanaan jangka panjang dan menengah seperti RPJPD dan RPJMD tidak kalah penting dalam mencerminkan visi dan program yang sejalan dengan konsep kota layak huni dan berkelanjutan. Program-program berkelanjutan seperti penggunaan energi terbarukan, konservasi air, serta pengelolaan limbah yang efisien harus diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Pengembangan ekonomi lokal yang inklusif, peningkatan kualitas hidup melalui penyediaan fasilitas publik yang memadai, pendidikan berkualitas, dan layanan kesehatan yang mudah diakses, merupakan aspek penting yang harus diperhatikan.

Maka demikian secara keseluruhan, aturan tata ruang yang ada saat ini memiliki potensi besar untuk menjawab kebutuhan kota layak huni, namun implementasi dan penegakannya sering kali menjadi tantangan. Kota-kota perlu memastikan bahwa perencanaan tata ruang tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup warganya. Dengan mempertimbangkan dan mengintegrasikan faktorfaktor kelayakhuniaan dalam perencanaan tata ruang, kota-kota dapat bergerak menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan layak huni bagi semua.

Sumber/Referensi:

1. Batten, J. 2018. Citizen Centric Cities: The Sustainable Cities Index 2018.

2. Economist Intelligence. 2024. The Global Liveability Index 2024. The Economist Intelligence Unit.

3. Global Platform for Sustainable Cities, World Bank. 2018. Urban Sustainability Framework. Washington, DC: World Bank.

4. Ikatan Ahli Perencanaan (IAP). 2022. Indonesia Most Livable City Index

5. Maulana, Syahrir. 2024. Surakarta City. Diambil dari Pemandangan Udara Pemandangan Indah Di Pagi Hari Di Kota Solo Foto Stok - Unduh Gambar Sekarang - iStock (istockphoto.com)

6. Republik Indonesia. 2022. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2022 Tentang Perkotaan. Presiden Republik Indonesia.

7. Republik Indonesia. 1945. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

8. Pamer, Volkmar. 2019. Urban Planning in The Most Liveable City: Vienna. Urban Research & Practice. DOI: 10.1080/17535069.2019.1635728

9. Siemens. (2009). The Crystal – What is Urban Sustainability? Diambil dari https://assets.new.siemens.com/siemens/assets/ public.1551285748.90627521-4620-4b1d-9dc6-d94563b93a46.what-is-urban-sustainability-v1.pdf

10. World Bank & GEF. (2018). Urban Sustainability Framework (USF), 1st ed. In Urban Sustainability Framework (USF), 1st ed. (p. 11). Washington DC: International Bank for Reconstruction and Development, World Bank.

 

Sumber : Oleh Miftahul Jannah Jan Ramadhani, S.P.W.K, Andita Aghatia, dan Luqmanul Hakim, dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi II (Mei - Agustus 2024)