Pendahuluan
Kekayaan
(asset) alam Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dan dari
Miangas sampai Pulau Rote, sulit dicari bandingannya di dunia. Keindahan
lingkungan alami adalah kekayaan yang nilainya akan terus bertambah apabila
potensinya terus digali dan dikembangkan. Sektor pariwisata berpeluang besar
menjadikan keindahan alami tersebut sebagai sumber pendapatan ekonomi negara.
Pariwisata merupakan salah satu sektor terdampak pandemi Covid, sehingga telah
menjadi perhatian Pemerintah untuk pemulihannya. Terlepas dari dampak pandemik,
pariwisata telah menjadi bagian integral dari Pembangunan Nasional (Moerwanto
dan Junoasmono 2017).
Infrastruktur
Kawasan Pariwisata, telah dibangun di 5 (lima) Kawasan Strategis Pariwisata
Nasional (KSPN). Pembangunan infrastruktur tersebut sesuai dengan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020- 2024. Kelima KSPN
tersebut adalah KSPN Danau Toba (Sumut), KSPN Borobudur (Jateng), KSPN
Mandalika (NTB), KSPN Labuan Bajo (NTT) dan KSPN ManadoLikupang (Sulut)
(antaranews.com, 2020). Pembangunan infrastruktur permukiman mendukung KSPN
dalam kegiatan penataan kawasan serta dukungan infrastruktur air minum dan
sanitasi telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK).
Pembangunan
infrastruktur pariwisata dengan pendanaan APBN merupakan suatu bentuk investasi
publik yang bertujuan untuk menciptakan dampak langsung maupun tidak langsung
untuk keuntungan ekonomi masyarakat (OECD 2016). Sayangnya, pembangunan
infrastruktur sektor publik seperti ini secara umum di dunia, syarat dengan
korupsi, penyuapan, fraud dan penyalahgunaan fungsi (OECD 2016). Untuk
memitigasi terjadinya praktik-praktik negatif tersebut, diperlukan penerapan
prinsip-prinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas, kesesuaian, dan
pertanggungjawaban. Prinsip yang ditawarkan adalah Good Corporate Governance
(GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik (TKPB). Prinsip ini juga telah
diterapkan oleh sektor-sektor publik (Kaihatu 2006). Namun prinsip GCG atau TKPB
dijalankan oleh Pemerintah dengan keterpaksaan karena adanya kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan uang negara yang telah dibelanjakan dan kewajiban untuk
meningkatkan pelayanan untuk publik (Asare 2009).
Pada
sektor publik yaitu pada lingkungan Pemerintahan, penerapan prinsipprinsip GCG
atau TKPB tersebut salah satunya diterapkan melalui Sistem Pengendalian
Internal melalui Audit Internal (Asare 2009). Di lingkungan Kementerian PUPR
yang telah membelanjakan APBN untuk pembangunan infrastuktur, salah satunya
sektor pariwisata, audit internal telah dilaksanakan oleh unit Inspektorat
Jenderal.
Hasil
pengawasan atau audit internal terhadap pembangunan infrastruktur kawasan
wisata oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) menghasilkan temuan-temuan
yaitu ketidaksesuaian pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur terhadap
norma, standar, peraturan dan kriteria yang berlaku di lingkungan Kementerian
PUPR. Terhadap temuan-temuan tersebut, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR
telah menyampaikan rekomendasi-rekomendasi untuk ditindaklanjuti guna perbaikan
pada setiap tahapan penyelenggaraan infrastruktur. Perbaikan praktik-praktik
penyelenggaraan infrastruktur tersebut akan berdampak pada pengurangan
rekayasa-rekayasa kinerja dan meningkatkan kualitas laporan keuangan Pemerintah
dengan memberikan gambaran yang sebenarnya.
Hasil Pengawasan Pembangunan Infrastruktur Mendukung KSPN
Direktorat
Jenderal Cipta Karya telah melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pembangunan
infrastrukur mendukung pariwisata antara lain penataan kawasan wisata serta
pembangunan infrastruktur air minum dan sanitasi untuk mendukung kawasan
wisata. Kegiatan pembangunan ini dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan Balai
Prasarana Permukiman Wilayah di seluruh Indonesia. Pelaksanaan kegiatan melalui
proses perencanaan, pemrograman, penganggaran, survei dan investigasi,
pembebasan lahan, desain, konstruksi serta operasi dan pemeliharaan.
Inspektorat Jenderal telah melakukan internal audit pada serangkaian proses
pelaksanaan kegiatan tersebut.
Tahun
2022, audit internal telah dilakukan di beberapa KSPN yaitu KSPN Sumut, NTB,
dan NTT. Hasil audit tersebut menunjukkan masih lemahnya pengendalian
pelaksanaan pekerjaan pada 3 (tiga) kategori sebagai berikut (Inspektorat
Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c):
1.
Pelaksanaan Tahap Perencanaan Pekerjaan
1) Belum
lengkapnya dokumen readiness criteria yang sebagian besar menjadi ranah
Pemerintah Daerah
2)
Ketidakcermatan dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) mengakibatkan
kemahalan harga
2.
Penjaminan Kualitas Pelaksanaan Pekerjaan
1)
Penggunaan spesifikasi teknis tidak mengacu pada standar yang mutakhir dan
berbeda antara paket pekerjaan dengan ruang lingkup yang sama
2) Material
bahan yang digunakan dalam pekerjaan tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan
dalam RAB/Spesifikasi Teknis
3) As Built
Drawing kurang menyajikan informasi yang detail dan akurat dengan pekerjaan
terpasang di lapangan
4)
Pelaksanaan pekerjaan mengalami kerusakan sehingga memerlukan
perapihan/perbaikan
5)
Kekurangan volume pada perkerjaan yang telah terbayarkan
3.
Pelaksanaan Manajemen Kontrak
1) Konsultan
Supervisi tidak melaksanakan tugasnya sesuai kontrak
2) Pengenaan
denda keterlambatan tidak sesuai syarat-syarat kontrak
3)
Perpanjangan waktu pelaksanaan tidak didasari atas pertimbangan yang layak dan
wajar sehingga mengakibatkan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan
4) Penerapan
SMKK tidak sesuai kontrak dan pembayaran item SMKK tidak disertai bukti dukung
pengeluaran
5) Perubahan
pekerjaan pada MC 100 tidak didukung dengan perubahan kontrak yang memadai
6)
Mobilisasi, penggantian personil dan pembayaran biaya personil belum sepenuhnya
sesuai kontrak dan kondisi riil
7)
Pembayaran prestasi pekerjaan tidak sesuai dengan volume riil di lapangan
8) Belum
dilakukannya penanganan kontrak kritis sesuai dengan ketentuan
Pada
Pasal 24 Peraturan Menteri PUPR No. 3 Tahun 2022 Tentang Pedoman Umum
Pengawasan Intern (Permen PUPR 2022), disebutkan bahwa: “Penyampaian bukti
tindak lanjut dan informasi tindak lanjut hasil Audit sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak
LHA diterima oleh Auditi.” Ketentuan tersebut mengatur batas waktu
pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil audit yang harus tuntas. Ketentuan
tersebut membuktikan adanya komitmen dalam melaksanakan GCG atau TKPB.
Perbaikan GCG atau TKPB Meningkatkan Kepatuhan
Contoh
audit internal sebagaimana di atas, merupakan hasil dari serangkaian proses
pengendalian internal dengan ruang lingkup kegiatan yaitu reviu efektivitas dan
efisiensi kegiatan, pencatatan laporan keuangan, investigasi fraud, penilaian
risiko, pengamanan aset dan kepatuhan terhadap peraturan
perundangundangan(Asare 2009). Dalam tata kelola yang baik, korupsi dan fraud
merupakan risiko utama yang harus dikelola oleh instansi publik (Asare 2009).
Di
sisi lain, banyaknya temuan yang dihasilkan saat proses audit internal disertai
dengan temuan-temuan berupa kelemahan, ketidak-cermatan dan kelalaian adalah
sebagai berikut (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c):
1.
kekurang-cermatan dalam melakukan pemantapan kegiatan;
2.
kelalaian dalam upaya koordinasi untuk pemenuhan dokumen readiness criteria;
3.
kekurang-cermatan dalam melakukan verifikasi readiness criteria;
4.
kelemahan dalam pengawasan pelaksanaan kontrak paket Kontrak Fisik dan paket
jasa Konsultansi Manajemen Konstruksi;
5.
ketidakcermatan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak terkait perhitungan
volume progres fisik terpasang dan persetujuan dalam tagihan pembayaran;
6.
ketidakcermatan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak dan menindaklanjuti
perubahan pelaksanaan pekerjaan di lapangan;
7.
ketidakcermatan dalam memeriksa perhitungan progres fisik pekerjaan penyedia;
dan
8.
ketidakcermatan dalam memeriksa output laporan yang disampaikan konsultan.
Temuan-temuan
tersebut merupakan bukti-bukti tidak ditaatinya norma, standar, peraturan dan
kriteria (NSPK) dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur. Ketidak-taatan ini
menjadi suatu risiko tersendiri, dan disebut “risiko kepatuhan” yaitu risiko
yang timbul karena lalai dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang
berlaku (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c). Komisi
Pemberantasan Korupsi dalam salah satu modul pelatihannya menyatakan bahwa:
“Kepatuhan
yang lahir dari sebuah tekanan yang semata-mata karena regulasi akan
menghasilkan kepatuhan semu. Kepatuhan semu adalah kepatuhan berupa pencarian
celah-celah untuk rekayasa (tidak patuh), manakala tekanan dari pengawasan
mengendur. Oleh karena itu, kepatuhan harus dibangun menjadi sebuah budaya dan
menjadi sebuah mekanisme kerja individual dalam arti terinternalisasi dan
terorganisasi secara terintegrasi” (Komisi Pemberantasan Korupsi 2016).
Pernyataan
tersebut memberi isyarat bahwa kepatuhan harus lahir dari kesadaran dan bukan
karena perintah atau kehadiran atasan. Peraturan perundang-undangan harus
dijalankan dengan kesadaran dan pemahaman terhadap tujuan serta manfaatnya.
Penerbitan sebuah peraturan perundang undangan, pada dasarnya untuk memudahkan
penyelenggara infrastruktur dalam melaksanakan tugas fungsinya secara efisien
dan efektif. Kemudahan tersebut memberi peluang kepada penyelenggara
infrastruktur menepati jadwal waktu dan biaya pembangunan yang direncanakan,
dan mutu sesuai spesifikasi.
Menilik
masih banyaknya terjadi kekurang-cermatan, kelalaian dan kelemahan dalam
pengendalian pelaksanaan kontrak pembangunan infrastruktur, perlu dilakukan
evaluasi bersama terhadap penyebab terjadinya kesalahan tersebut. Selain
membangun kawasan wisata, Kementerian PUPR melalui DJCK diamanatkan untuk
membangun infrastruktur pelayanan dasar lainnya seperti pengolahan air minum
dan sanitasi, bangunan gedung, prasarana strategis yaitu bangunan sekolah dan
sarana olahraga. Terkait hal tersebut, satuan kerja (Satker) menangani beberapa
kegiatan konstruksi maupun non-konstruksi yang berjalan dalam suatu tahun
anggaran. Hal ini menyebabkan pengendalian suatu pekerjaan harus dilaksanakan
paralel dengan pengendalian beberapa pekerjaan lainnya.
Sementara
itu, proses pemantauan, dan pengendalian pekerjaan oleh Satker mengalami
kendala utama yaitu lemahnya tertib administrasi dokumentasi pelaksanaan
kontrak. Tertib pengendalian dokumen administrasi saat ini belum menjadi
budaya. Satker dan Penyedia Jasa masih fokus mengejar target kemajuan
penyelesaian pekerjaan dan penertiban dokumen administrasi dilakukan setelahnya
sehingga dokumen menumpuk di akhir pekerjaan. Pengendalian dokumen administrasi
belum dilakukan paralel dengan kemajuan pelaksanaan konstruksi, menyebabkan
terjadinya kesalahan-kesalahan yang menjadi temuan audit. Kondisi ini,
seringkali diperparah dengan terjadinya keterlambatan pelelangan pekerjaan,
sehingga waktu menertibkan hasil pekerjaan menjadi sangat sempit.
Tertib
administrasi dapat menjadi upaya mitigasi risiko berulangnya temuan dalam
pelaksanaan pembangunan infrastruktur permukiman. Diperlukan pemantauan sistem
pengendalian terintegrasi dengan sistem informasi dan penerapan standar
operasional prosedur (SOP) yang mendukung terciptanya tertib administrasi.
Dalam tertib administrasi, telah dipersyaratkan pemenuhan NSPK terkait.
Sehingga, pemenuhan tertib administrasi dapat menjadi langkah pengendalian
risiko kepatuhan.
Diperlukan
upaya perbaikan tertib administrasi, dan menjadikannya budaya tata kelola yang
baik (TKB) dalam penyelenggaraan infrastruktur. TKB tersebut diharapkan mampu
menghasilkan kualitas infrastruktur yang handal, terutama untuk infrastruktur
kawasan wisata yang menjadi wajah indah Negara Indonesia.
Kesimpulan
Pembangunan
infrastruktur kawasan wisata telah menjadi salah satu fokus pembangunan oleh
Pemerintah. Pendanaan oleh pemerintah disertai dengan kewajiban untuk
mempertanggungjawabkan uang negara. Pertanggungjawaban dilakukan dengan
serangkaian proses pengendalian internal yang salah satunya adalah pelaksanaan
audit internal. Audit internal telah dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan
pembangunan infrastruktur kawasan wisata di lingkungan DJCK Kementerian PUPR.
Kegiatan internal audit oleh Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR menghasilkan
temuan-temuan pada pelaksanaan tahap perencanaan pekerjaan, penjaminan kualitas
pekerjaan dan pelaksanaan manajemen kontrak. Temuan-temuan tersebut juga
disertai dengan pengungkapan kesalahan-kesalahan yang dilakukan manajemen
berupa kelemahan, ketidak-cermatan dan kelalaian dalam menerapkan norma,
standar, pedoman dan kriteria (NSPK) yang telah diberlakukan sebagai fungsi
pengaturan. Hal ini menunjukkan diperlukannya perbaikan tata kelola dalam
pelaksanaan pembangunan infrastruktur, salah satunya melalui peningkatan
pengendalian tertib administrasi pelaksanaan kegiatan. Tertib administrasi ini
seringkali menjadi titik lemah yang menyebabkan berulangnya terjadinya temuan.
Sehubungan dengan hal tersebut, pemantauan pengendalian melalui tertib
administrasi merupakan upaya untuk memitigasi terjadinya risiko kepatuhan yang
timbul karena mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan Tata
Kelola Baik (TKB), pembangunan kawasan pariwisata diharapkan dapat memberikan
infrastruktur yang kuat dan berkualitas dan dapat memberikan pertumbuhan
ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.
Sumber : Miradian Isyana Wistyani Dalam Bunga Rampai
Infrastruktur Permukiman di Kawasan Wisata, Penerbit Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat Tahun 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar