Senin, 13 Mei 2024

TATA KELOLA BAIK (TKB) UNTUK INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN KAWASAN WISATA YANG BERKUALITAS

 

Pendahuluan

Kekayaan (asset) alam Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Pulau Rote, sulit dicari bandingannya di dunia. Keindahan lingkungan alami adalah kekayaan yang nilainya akan terus bertambah apabila potensinya terus digali dan dikembangkan. Sektor pariwisata berpeluang besar menjadikan keindahan alami tersebut sebagai sumber pendapatan ekonomi negara. Pariwisata merupakan salah satu sektor terdampak pandemi Covid, sehingga telah menjadi perhatian Pemerintah untuk pemulihannya. Terlepas dari dampak pandemik, pariwisata telah menjadi bagian integral dari Pembangunan Nasional (Moerwanto dan Junoasmono 2017).

Infrastruktur Kawasan Pariwisata, telah dibangun di 5 (lima) Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Pembangunan infrastruktur tersebut sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020- 2024. Kelima KSPN tersebut adalah KSPN Danau Toba (Sumut), KSPN Borobudur (Jateng), KSPN Mandalika (NTB), KSPN Labuan Bajo (NTT) dan KSPN ManadoLikupang (Sulut) (antaranews.com, 2020). Pembangunan infrastruktur permukiman mendukung KSPN dalam kegiatan penataan kawasan serta dukungan infrastruktur air minum dan sanitasi telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK).

Pembangunan infrastruktur pariwisata dengan pendanaan APBN merupakan suatu bentuk investasi publik yang bertujuan untuk menciptakan dampak langsung maupun tidak langsung untuk keuntungan ekonomi masyarakat (OECD 2016). Sayangnya, pembangunan infrastruktur sektor publik seperti ini secara umum di dunia, syarat dengan korupsi, penyuapan, fraud dan penyalahgunaan fungsi (OECD 2016). Untuk memitigasi terjadinya praktik-praktik negatif tersebut, diperlukan penerapan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas, kesesuaian, dan pertanggungjawaban. Prinsip yang ditawarkan adalah Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik (TKPB). Prinsip ini juga telah diterapkan oleh sektor-sektor publik (Kaihatu 2006). Namun prinsip GCG atau TKPB dijalankan oleh Pemerintah dengan keterpaksaan karena adanya kewajiban untuk mempertanggungjawabkan uang negara yang telah dibelanjakan dan kewajiban untuk meningkatkan pelayanan untuk publik (Asare 2009).

Pada sektor publik yaitu pada lingkungan Pemerintahan, penerapan prinsipprinsip GCG atau TKPB tersebut salah satunya diterapkan melalui Sistem Pengendalian Internal melalui Audit Internal (Asare 2009). Di lingkungan Kementerian PUPR yang telah membelanjakan APBN untuk pembangunan infrastuktur, salah satunya sektor pariwisata, audit internal telah dilaksanakan oleh unit Inspektorat Jenderal.

Hasil pengawasan atau audit internal terhadap pembangunan infrastruktur kawasan wisata oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) menghasilkan temuan-temuan yaitu ketidaksesuaian pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur terhadap norma, standar, peraturan dan kriteria yang berlaku di lingkungan Kementerian PUPR. Terhadap temuan-temuan tersebut, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR telah menyampaikan rekomendasi-rekomendasi untuk ditindaklanjuti guna perbaikan pada setiap tahapan penyelenggaraan infrastruktur. Perbaikan praktik-praktik penyelenggaraan infrastruktur tersebut akan berdampak pada pengurangan rekayasa-rekayasa kinerja dan meningkatkan kualitas laporan keuangan Pemerintah dengan memberikan gambaran yang sebenarnya.

Hasil Pengawasan Pembangunan Infrastruktur Mendukung KSPN

Direktorat Jenderal Cipta Karya telah melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastrukur mendukung pariwisata antara lain penataan kawasan wisata serta pembangunan infrastruktur air minum dan sanitasi untuk mendukung kawasan wisata. Kegiatan pembangunan ini dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan Balai Prasarana Permukiman Wilayah di seluruh Indonesia. Pelaksanaan kegiatan melalui proses perencanaan, pemrograman, penganggaran, survei dan investigasi, pembebasan lahan, desain, konstruksi serta operasi dan pemeliharaan. Inspektorat Jenderal telah melakukan internal audit pada serangkaian proses pelaksanaan kegiatan tersebut.

Tahun 2022, audit internal telah dilakukan di beberapa KSPN yaitu KSPN Sumut, NTB, dan NTT. Hasil audit tersebut menunjukkan masih lemahnya pengendalian pelaksanaan pekerjaan pada 3 (tiga) kategori sebagai berikut (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c):

1. Pelaksanaan Tahap Perencanaan Pekerjaan

1) Belum lengkapnya dokumen readiness criteria yang sebagian besar menjadi ranah Pemerintah Daerah

2) Ketidakcermatan dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) mengakibatkan kemahalan harga

2. Penjaminan Kualitas Pelaksanaan Pekerjaan

1) Penggunaan spesifikasi teknis tidak mengacu pada standar yang mutakhir dan berbeda antara paket pekerjaan dengan ruang lingkup yang sama

2) Material bahan yang digunakan dalam pekerjaan tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam RAB/Spesifikasi Teknis

3) As Built Drawing kurang menyajikan informasi yang detail dan akurat dengan pekerjaan terpasang di lapangan

4) Pelaksanaan pekerjaan mengalami kerusakan sehingga memerlukan perapihan/perbaikan

5) Kekurangan volume pada perkerjaan yang telah terbayarkan

3. Pelaksanaan Manajemen Kontrak

1) Konsultan Supervisi tidak melaksanakan tugasnya sesuai kontrak

2) Pengenaan denda keterlambatan tidak sesuai syarat-syarat kontrak

3) Perpanjangan waktu pelaksanaan tidak didasari atas pertimbangan yang layak dan wajar sehingga mengakibatkan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan

4) Penerapan SMKK tidak sesuai kontrak dan pembayaran item SMKK tidak disertai bukti dukung pengeluaran

5) Perubahan pekerjaan pada MC 100 tidak didukung dengan perubahan kontrak yang memadai

6) Mobilisasi, penggantian personil dan pembayaran biaya personil belum sepenuhnya sesuai kontrak dan kondisi riil

7) Pembayaran prestasi pekerjaan tidak sesuai dengan volume riil di lapangan

8) Belum dilakukannya penanganan kontrak kritis sesuai dengan ketentuan

Pada Pasal 24 Peraturan Menteri PUPR No. 3 Tahun 2022 Tentang Pedoman Umum Pengawasan Intern (Permen PUPR 2022), disebutkan bahwa: “Penyampaian bukti tindak lanjut dan informasi tindak lanjut hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak LHA diterima oleh Auditi.” Ketentuan tersebut mengatur batas waktu pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil audit yang harus tuntas. Ketentuan tersebut membuktikan adanya komitmen dalam melaksanakan GCG atau TKPB.

Perbaikan GCG atau TKPB Meningkatkan Kepatuhan

Contoh audit internal sebagaimana di atas, merupakan hasil dari serangkaian proses pengendalian internal dengan ruang lingkup kegiatan yaitu reviu efektivitas dan efisiensi kegiatan, pencatatan laporan keuangan, investigasi fraud, penilaian risiko, pengamanan aset dan kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan(Asare 2009). Dalam tata kelola yang baik, korupsi dan fraud merupakan risiko utama yang harus dikelola oleh instansi publik (Asare 2009).

Di sisi lain, banyaknya temuan yang dihasilkan saat proses audit internal disertai dengan temuan-temuan berupa kelemahan, ketidak-cermatan dan kelalaian adalah sebagai berikut (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c):

1. kekurang-cermatan dalam melakukan pemantapan kegiatan;

2. kelalaian dalam upaya koordinasi untuk pemenuhan dokumen readiness criteria;

3. kekurang-cermatan dalam melakukan verifikasi readiness criteria;

4. kelemahan dalam pengawasan pelaksanaan kontrak paket Kontrak Fisik dan paket jasa Konsultansi Manajemen Konstruksi;

5. ketidakcermatan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak terkait perhitungan volume progres fisik terpasang dan persetujuan dalam tagihan pembayaran;

6. ketidakcermatan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak dan menindaklanjuti perubahan pelaksanaan pekerjaan di lapangan;

7. ketidakcermatan dalam memeriksa perhitungan progres fisik pekerjaan penyedia; dan

8. ketidakcermatan dalam memeriksa output laporan yang disampaikan konsultan.

Temuan-temuan tersebut merupakan bukti-bukti tidak ditaatinya norma, standar, peraturan dan kriteria (NSPK) dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur. Ketidak-taatan ini menjadi suatu risiko tersendiri, dan disebut “risiko kepatuhan” yaitu risiko yang timbul karena lalai dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c). Komisi Pemberantasan Korupsi dalam salah satu modul pelatihannya menyatakan bahwa:

“Kepatuhan yang lahir dari sebuah tekanan yang semata-mata karena regulasi akan menghasilkan kepatuhan semu. Kepatuhan semu adalah kepatuhan berupa pencarian celah-celah untuk rekayasa (tidak patuh), manakala tekanan dari pengawasan mengendur. Oleh karena itu, kepatuhan harus dibangun menjadi sebuah budaya dan menjadi sebuah mekanisme kerja individual dalam arti terinternalisasi dan terorganisasi secara terintegrasi” (Komisi Pemberantasan Korupsi 2016).

Pernyataan tersebut memberi isyarat bahwa kepatuhan harus lahir dari kesadaran dan bukan karena perintah atau kehadiran atasan. Peraturan perundang-undangan harus dijalankan dengan kesadaran dan pemahaman terhadap tujuan serta manfaatnya. Penerbitan sebuah peraturan perundang undangan, pada dasarnya untuk memudahkan penyelenggara infrastruktur dalam melaksanakan tugas fungsinya secara efisien dan efektif. Kemudahan tersebut memberi peluang kepada penyelenggara infrastruktur menepati jadwal waktu dan biaya pembangunan yang direncanakan, dan mutu sesuai spesifikasi.

Menilik masih banyaknya terjadi kekurang-cermatan, kelalaian dan kelemahan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak pembangunan infrastruktur, perlu dilakukan evaluasi bersama terhadap penyebab terjadinya kesalahan tersebut. Selain membangun kawasan wisata, Kementerian PUPR melalui DJCK diamanatkan untuk membangun infrastruktur pelayanan dasar lainnya seperti pengolahan air minum dan sanitasi, bangunan gedung, prasarana strategis yaitu bangunan sekolah dan sarana olahraga. Terkait hal tersebut, satuan kerja (Satker) menangani beberapa kegiatan konstruksi maupun non-konstruksi yang berjalan dalam suatu tahun anggaran. Hal ini menyebabkan pengendalian suatu pekerjaan harus dilaksanakan paralel dengan pengendalian beberapa pekerjaan lainnya.

Sementara itu, proses pemantauan, dan pengendalian pekerjaan oleh Satker mengalami kendala utama yaitu lemahnya tertib administrasi dokumentasi pelaksanaan kontrak. Tertib pengendalian dokumen administrasi saat ini belum menjadi budaya. Satker dan Penyedia Jasa masih fokus mengejar target kemajuan penyelesaian pekerjaan dan penertiban dokumen administrasi dilakukan setelahnya sehingga dokumen menumpuk di akhir pekerjaan. Pengendalian dokumen administrasi belum dilakukan paralel dengan kemajuan pelaksanaan konstruksi, menyebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan yang menjadi temuan audit. Kondisi ini, seringkali diperparah dengan terjadinya keterlambatan pelelangan pekerjaan, sehingga waktu menertibkan hasil pekerjaan menjadi sangat sempit.

Tertib administrasi dapat menjadi upaya mitigasi risiko berulangnya temuan dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur permukiman. Diperlukan pemantauan sistem pengendalian terintegrasi dengan sistem informasi dan penerapan standar operasional prosedur (SOP) yang mendukung terciptanya tertib administrasi. Dalam tertib administrasi, telah dipersyaratkan pemenuhan NSPK terkait. Sehingga, pemenuhan tertib administrasi dapat menjadi langkah pengendalian risiko kepatuhan.

Diperlukan upaya perbaikan tertib administrasi, dan menjadikannya budaya tata kelola yang baik (TKB) dalam penyelenggaraan infrastruktur. TKB tersebut diharapkan mampu menghasilkan kualitas infrastruktur yang handal, terutama untuk infrastruktur kawasan wisata yang menjadi wajah indah Negara Indonesia.

Kesimpulan

Pembangunan infrastruktur kawasan wisata telah menjadi salah satu fokus pembangunan oleh Pemerintah. Pendanaan oleh pemerintah disertai dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan uang negara. Pertanggungjawaban dilakukan dengan serangkaian proses pengendalian internal yang salah satunya adalah pelaksanaan audit internal. Audit internal telah dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastruktur kawasan wisata di lingkungan DJCK Kementerian PUPR. Kegiatan internal audit oleh Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR menghasilkan temuan-temuan pada pelaksanaan tahap perencanaan pekerjaan, penjaminan kualitas pekerjaan dan pelaksanaan manajemen kontrak. Temuan-temuan tersebut juga disertai dengan pengungkapan kesalahan-kesalahan yang dilakukan manajemen berupa kelemahan, ketidak-cermatan dan kelalaian dalam menerapkan norma, standar, pedoman dan kriteria (NSPK) yang telah diberlakukan sebagai fungsi pengaturan. Hal ini menunjukkan diperlukannya perbaikan tata kelola dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur, salah satunya melalui peningkatan pengendalian tertib administrasi pelaksanaan kegiatan. Tertib administrasi ini seringkali menjadi titik lemah yang menyebabkan berulangnya terjadinya temuan. Sehubungan dengan hal tersebut, pemantauan pengendalian melalui tertib administrasi merupakan upaya untuk memitigasi terjadinya risiko kepatuhan yang timbul karena mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan Tata Kelola Baik (TKB), pembangunan kawasan pariwisata diharapkan dapat memberikan infrastruktur yang kuat dan berkualitas dan dapat memberikan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.

 

 

 

Sumber : Miradian Isyana Wistyani Dalam Bunga Rampai Infrastruktur Permukiman di Kawasan Wisata, Penerbit Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2023