Rabu, 03 April 2024

Menata lnfrastruktur Agropolitan Bagi Masa Depan

Pembangunan di kawasan perkotaan yang demikian pesat telah menjadikan kawasan ini memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Begitu pula, dengan setiap aspek kehidupan sosial di dalamnya yang juga berkembang dengan sangat baik.

HAL INI memunculkan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan yang pada akhirnya, mengakibatkan peningkatan laju urbanisasi.

Percepatan laju urbanisasi berakibat pula pada terdesaknya sektor pertanian yang berujung pada penurunan produktivitas pertanian. Hal tersebut ditandai dengan semakin tingginya konversi lahan pertanian menjadi kawasan perkotaan. Akibatnya, Indonesia harus mendatangkan produk-produk pertanian dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

Sementara itu, populasi penduduk yang semakin meningkat diperkirakan mencapai angka sekitar 400 juta jiwa di tahun 2035, berbanding lurus dengan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Dalam kurun waktu 35 tahun mendatang, kebutuhan pangan masyarakat diperkirakan akan meningkat lebih dari dua kali lipat kebutuhan pangan saat ini (Siswono Yudohusodo. 2002). Dengan demikian, penurunan produktivitas pertanian dikhawatirkan dapat menimbulkan kondisi rawan pangan di masa mendatang.

Namun, penurunan produktivitas pertanian tidak hanya semata-mata disebabkan terdesaknya sektor pertanian akibat konversi lahan dan percepatan urbanisasi. Melainkan, juga dipicu oleh produktivitas dan pemasaran pertanian yang masih rendah, budaya petani lokal yang cenderung subsisten, serta kelembagaan dan lingkungan permukiman yang tidak kondusif.

Berkaca pada kondisi tersebut, diperlukan upaya-upaya pengembangan kawasan perdesaan yang mencakup segala aspek kehidupan dengan memanfaatkan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki perdesaan. Sebagai sebuah negara yang memiliki berbagai produk unggulan di setiap daerahnya, pengembangan ekonomi Indonesia hendaknya berorientasi pada pembangunan agribisnis yang berbasis pertanian. Maka, pengembangan Kawasan Agropolitan pun menjadi alternatif solusi pembangunan kawasan perdesaan. Kawasan Agropolitan memungkinkan pembangunan dengan tetap berbasis pada sektor pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi desa yang dipadukan dengan pembangunan sektor industri melalui pengembangan prasarana dan sarana layaknya perkotaan yang disesuaikan dengan lingkungan perdesaan.

Dengan kata lain, pengembangan Kawasan Agropolitan merupakan penguatan sentra-sentra produk pertanian yang berbasiskan pada kekuatan internal sehingga perdesaan menjadi kawasan yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan daya kompetensi, baik secara interregional maupun intraregional. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan Kawasan Agropolitan membutuhkan komitmen dan tanggung jawab dari segenap aparatur pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Dengan demikian, pembangunan kawasan ini dapat berlangsung secara terintegrasi, terarah, efektif, dan eftsien sehingga tercipta keterpaduan dengan pembangunan sektor lainnya dan pembangunan yang berwawasan lingkungan.



Pengembangan Kawasan Agropolitan pun menjadi salah satu program pengembangan permukiman perdesaan yang dilaksanakan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Permukiman. Dengan program yang terfokus pada penyediaan dan kemajuan infrastruktur perdesaan, yaitu berupa prasarana dan sarana yang memadai dan mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan Kawasan Agropolitan, khususnya masyarakat perdesaan.

Konsep Kawasan Agropolitan

Secara haraftah. istilah Agropolitan berasal dari kata Agro yang berarti 'pertanian' dan Polis/Politan yang berarti 'kota'. Dalam buku Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agroplitan & Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian, Agropolitan dideftnisikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis sehingga mampu melayani, mendorong, menarik, serta menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Buku tersebut juga mendefinisikan Kawasan Agropolitan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yang ditandai dengan keberadaan pusat agropolitan dan desa-desa disekitarnya sehingga terbentuklah Kawasan Agropolitan.

Definisi Kawasan Agropolitan pun telah termaktub dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan Kawasan Agropolitan sebagai kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem permukiman dan agrobisnis.

Ada pun konsep Agropolitan merupakan konsep yang dikenalkan Friedman dan Douglas (1975). Konsep ini ditawarkan atas pengalaman kegagalan pengembangan sektor industri yang terjadi dialami negara-negara berkembang di Asia. Kegagalan tersebut mengakibatkan terjadinya hyper ubanization, pembangunan hanya terjadi di beberapa kota saja, tingkat pengangguran dan setengah penggangguran yang tinggi, kemiskinan akibat pendapatan yang tidak merata, terjadinya kekurangan bahan pangan, penurunan kesejahteraan masyarakat desa, serta ketergantungan kepada dunia luar.

Friedman mengungkapkan konsep agropolitan sebagai distrik-distrik agropolitan yang merupakan kawasan pertanian perdesaan dengan kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa/km2 •

Distrik agropolitan terdiri atas kota-kota tani berpenduduk 10.000- 25.000 jiwa. Luas wilayahnya dibatasi dengan radius sejauh 5-10 km sehingga menghasilkan jumlah penduduk total antara 50.000- 150.000 jiwa yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Konsep Friedman tidak membedakan secara spesifik antara pertanian modern ataupun konvensional dan menyebutkan setiap distrik sebagai satuan tunggal yang terintegrasi.

Definisi Friedman di atas menggunakan besaran penduduk dan luasan wilayah sebagai ukuran. Maka. dapat disimpulkan bahwa suatu distrik Agropolitan setara dengan 1 Wilayah Pengembangan Parsial (WPP) permukiman transmigrasi jika dilihat dari besaran penduduknya. Sedangkan. jika dilihat dari luasan wilayahnya yang berkisar pada 100- 250 km2 atau 10.000- 25.000 ha. ukurannya dapat lebih kecil dari luasan 1 WPP. Apabila dilihat secara administratif, besaran penduduk dan luasan wilayah tersebut setara dengan luasan wilayah kecamatan yang berpenduduk sampai dengan 25.000 jiwa dan sudah dapat berfungsi sebagai suatu simpul jasa distribusi.

Sementara, berdasarkan strukturnya, Kawasan Agropolitan dibedakan atas Orde Pertama (Kota Tani Utama), Orde Kedua (Pusat Distrik Agropolitan atau Pusat Pertumbuhan), dan Orde Ketiga (Pusat Satuan Kawasan Pertanian). Setiap orde berfungsi sebagai simpul jasa koleksi dan distribusi dengan skala yang beragam dan berjenjang (hirarki) serta pusat pelayanan permukiman. Antarsimpul tersebut disambungkan oleh jaringan transportasi yang sesuai. Orde Pertama dan Kedua dipisahkan oleh jarak sekitar 35-60 km. sesuai dengan· kondisi gegografis wilayah. Sedangkan, Orde Kedua dan Ketiga terletak dalam satu distrik agropolitan yang berjarak sekitar 15-35 km satu sama lainnya.

Menurut definisi yang ada, Agropolitan atau Kota Pertanian dapat merupakan Kota Menengah, Kota Kecil, Kota Kecamatan, Kota Perdesaan, atau Kota Nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Sebagai pusat pertumbuhan, Kota Pertanian ini pun mampu mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa di wilayah sekitarnya (hinterland) melalui pengembangan berbagai sektor, mulai dari pertanian, industri kecil, jasa pelayanan, hingga pariwisata.

Pengembangan Kawasan Agropolitan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterikatan desa dan kota. Hal ini dapat terwujud melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi di Kawasan Agropolitan. Sementara itu, pengembangan kawasan ini juga ditujukan untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi Kawasan Agropolitan melalui strategi pengembangan sebagai berikut:

• Meningkatkan diversifikasi ekonomi perdesaan melalui peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, baik berupa hasil produksi maupun olahan.

• Meningkatkan akses petani terhadap sumberdaya produktif dan permodalan dengan memfasilitasi ketersediaan layanan yang dibutuhkan petani dan masyarakat. Layanan dapat berupa penyediaan sarana produksi, sarana pascapanen, dan permodalan yang tersedia di kawasan dalam jumlah, jenis, waktu, kualitas, dan lokasi yang tepat.

• Meningkatkan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam upaya memajukan industri pertanian sesuai kebutuhan masyarakat. Prasarana dan sarana publik yang disediakan pemerintah dilaksanakan dengan pendekatan kawasan, yaitu memerhatikan hasil identifikasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, serta tingkat perkembangan Kawasan Agropolitan.

• Mewujudkan permukiman perdesaan yang nyaman dan tertata, serta menjaga kelestarian lingkungan melalui pengaturan dan pelaksanaan masterplan Kawasan Agropolitan secara konsisten dan terkoordinasi.

Visi dan misi yang telah ditetapkan, kemudian diterjemahkan ke dalam Kebijakan dan Strategi Pembangunan lnfrastruktur Agropolitan berupa dukungan terhadap pengembangan sistem dan usaha Agribisnis. Dengan demikian, kebijakan dan strategi yang ditetapkan mampu mendorong ketiga hal, yaitu :

a. Peningkatan produktivitas hasil pertanian sehingga dihasilkan produk-produk pertanian yang berdaya saing tinggi dan diminati pasar.

b. Pengolahan hasil pertanian untuk memperoleh nilai tambah atas produk hasil pertanian sebagai produk primer dengan menjadikannya berbagai produk olahan, baik intermediate product maupun final product.

c. Pemasaran hasil pertanian untuk menunjang sistem pemasaran hasil pertanian dengan memperpendek mata rantai tata niaga perdagangan hasil pertanian. Mulai dari sentra produksi sampai ke sentra pemasaran akhir (outlet).

Pengembangan Kawasan Agropolitan yang sepenuhnya memanfaatkan potensi lokal merupakan konsep Agropolitan yang sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya sosial lokal. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), pengembangan Kawasan Agropolitan haruslah mendukung pengembangan kawasan andalan.

Oleh karena itu, pengembangannya tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusatpusat kegiatan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten.

Sementara itu, kondisi negeri ini sangat memungkinkan untuk dikembangkannya Kawasan Agropolitan. Kondisi yang dimaksud adalah adanya ketersediaan lahan pertanian dan tenaga kerja yang murah di Indonesia. Sebagian besar petani juga telah memiliki kemampuan (skills) dan pengetahuan (knowledge) yang didukung oleh keberadaan jaringan sektor hulu dan hilir serta kesiapan institusi.

Namun demikian, pengembangan Kawasan Agropolitan bukan tanpa kendala. Beragam permasalahan yang dihadapi, antara lain pengembangan produk pertanian yang belum mendapat dukungan makro ekonomi sepenuhnya, keterbatasan jaringan infrastruktur fisik dan ekonomi, serta potensi dan peluang investasi di seluruh sektor yang masih belum tergali sehingga investor lebih berminat menanamkan modalnya di kawasan yang telah maju. Selain itu, kebijakan fiskal dan moneter juga belum berpihak pdda sektor pertanian yang ditandai dengan masuknya produkproduk pertanian impor secara bebas serta tingginya suku bunga kredit pertanian.

Mekanisme Pengembangan Kawasan Agropolitan

Secara internal, Kawasan Agropolitan terdiri dari kota-kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian. Kawasan ini tidak dibatasi oleh batasan administratif pemerintahan (desa/ kelurahan, kecamatan, dan kabupaten/ kota). Melainkan, disesuaikan dengan memerhatikan skala ekonomi kawasannya sehingga dirasakan lebih fleksibel. Dengan demikian, bentuk dan luasan Kawasan Agropolitan dapat meliputi satu desa/kelurahan, kecamatan, atau beberapa kecamatan dalam satu wilayah Kabupaten/Kota. Kawasan ini dapat pula meliputi wilayah yang menembus wilayah Kabupaten/Kota lain yang berbatasan.

Dari sisi eksternal, Kawasan Agropolitan harus memiliki aksesibilitas dengan kota-kota berjenjang lebih tinggi di sekitarnya untuk menciptakan sebuah sistem pemasaran yang terpadu. Pada dasarnya, perdesaan yang menjadi sasaran lokasi pengembangan Kawasan Agropolitan adalah yang memiliki komoditi unggulan pertanian, seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan.

Dalam pengembangan Kawasan Agropolitan, terurai mekanisme pengajuan usulan pengembangan Kawasan Agropolitan. Cakupan mekanisme berupa prosedur pengajuan lokasi dan proses pemilihan/penilaian Kawasan Agropolitan. Berkenaan dengan prosedur pengajuan lokasi, mekanismenya meliputi kegiatan-kegiatan berikut ini.

a.     Usulan dari Kabupaten oleh Pemerintah Provinsi. Pemerintah Kabupaten mengajukan usu Ian mengenai Kawasan Agropolitan. Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten telah melakukan identifikasi potensi dan masalah terlebih dahulu. ldentifikasi dimaksudkan untuk mengetahui kondisi dan potensi lokal, yaitu komoditas unggulan. Lokasi Kawasan Agropolitan yang berada di dalam kawasan kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

b.     Pemerintah Pusat menilai kesiapan lokasi untuk dapat dikembangkan sebagai Kawasan Agropolitan. Penilaian dilakukan berdasarkan kelengkapan persyaratan administrasi dan potensi lokasi kawasan yang diusulkan. Persyaratan administrasi berupa dokumen perencanaan yang terdiri dari SK lokasi, SK pokja, Masterplan, RPIJM, dan DED.

c.     Pengembangan Kawasan Agropolitan yang diusulkan dapat dipenuhi jika telah memenuhi kondisi berikut.

• Apabila kelengkapan administrasi dan potensi kawasan yang diusulkan telah memenuhi persyaratan dalam butir huruf b.

• Apabila kelengkapan administrasi belum terpenuhi semua, tetapi kawasan yang diusulkan memiliki potensi yang baik, dilihat dari profil kawasan tersebut, maka kawasan ini akan diberi kesempatan untuk melengkapinya. Apabila dalam kurun waktu 1 tahun belum terlengkapi, dana bantuan pembangunan pada tahun berikutnya akan dihentikan untuk sementara.



Kawasan Agropolitan yang dikembangkan merupakan bagian dari sistem kewilayahan kabupaten. Oleh karena itu, potensi kabupaten harus dikaji terlebih dahulu berdasarkan pertimbangan aspek strategis dari unsur/komponen makro pembentuk Kawasan Agropolitan, yakni memiliki komoditas/potensi unggulan yang dapat diandalkan untuk mengembangkan kawasan secara keseluruhan. Potensi/komoditas unggulan dapat berupa ketersediaan sumber alam potensial, prasarana dan sarana, atau kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang memadai. Proses penilaian/pemilihan Kawasan Agropolitan yang diusulkan diuraikan secara lebih detil berikut ini:

• Program-program pengembangan kawasan dari departemen/badan yang memiliki keterkaitan lingkup kegiatan (tupoksi) dengan pengembangan kawasan berbasis agribisnis.

• Komoditas unggulan sebagai pemicu untuk tumbuh kembangnya kehidupan dan penghidupan dari sektor-sektor komoditi ikutan lainnya. Komoditas tersebut meliputi komoditas subsektor tanaman pangan, subsektor perkebunan, subsektor perikanan, dan subsektor peternakan.

• Potensi kabupaten yang akan dikembangkan menjadi Kawasan Agropolitan. Potensi kabupaten merupakan faktor pendukung berkembangnya Kawasan Agropolitan.

• Kawasan Agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administrasi pemerintahan. Namun, prosedur penetapannya dimulai dari penetapan kabupaten terpilih dan basis analisa data berdasarkan batas administrasi. Oleh karena itu, proses penilaian Kawasan Agropolitan diawali dengan proses penilaian Kabupaten yang berpotensi untuk mendapatkan kawasan terpilih.

• Ketersediaan infrastruktur sebagai unsur penting dalam pembangunan Kawasan Agropolitan.

• Persyaratan pengembangan Kawasan Agropolitan sebagai kriteria untuk mengidentifikasi Kawasan Agropolitan.

Disamping itu, pemilihan Kawasan Agropolitan pun harus dapat meliputi sejumlah kriteria, sebagai berikut:

• Kawasan Agropolitan merupakan satu kesatuan kawasan perdesaan yang terdiri dari desa pusat dan desa-desa hinterlandnya yang diindikasikan oleh adanya hubungan fungsional antara kegiatan di desa pusat (zona inti) dan di desa hinterlandnya;

• Mempunyai potensi khusus atau komoditas unggulan yang dapat diandalkan untuk mengembangkan kawasan secara keseluruhan.

• Kawasan Agropolitan yang diusulkan sudah menetapkan struktur hirarki kawasan.

• Memiliki sistem kelembagaan dan sistem pengelolaan yang mendukung berkembangnya Kawasan Agropolitan seperti adanya organisasi petani, organisasi produsen agribisnis, dan lain-lain.

• Komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dengan diterbitkannya SK penetapan kawasan dari Bupati atau dana bantuan dari pemerintah daerah setempat.

Pada kawasan yang telah berhasil dikembangkan sebagai Kawasan Agropolitan, kawasan tersebut memiliki ciri-ciri yang dapat diidentifikasi dengan jelas. Adapun ciri khas dari Kawasan Agropolitan yang telah berkembang, dijabarkan sebagai berikut:

a. Kegiatan agribisnis (pertanian) merupakan kegiatan perekonomian utamanya, kegiatan ini mencakup industri pengolahan hasil pertanian, perdagangan dan kegiatan ekspor hasil pertanian, perdagangan agribisnis hulu berupa sarana pertanian dan permodalan, agrowisata, serta jasa pelayanan.

b. Dengan agribisnis sebagai kegiatan utamanya, maka pendapatan sebagian besar masyarakatnya pun diperoleh dari kegiatan agribisnis.

c. Tercipta hubungan timbal balik (interdependensi) yang harmonis dan saling membutuhkan antara kota dan desa-desa di Kawasan Agropolitan. Dalam Kawasan Agropolitan dikembangkan usaha budidaya (on farm) dan industri olahan skala rumah tangga (off farm). Sementara, kota menyediakan beragam fasilitas yang mendukung perkembangan usaha budidaya dan agribisnis.

d. Ketersediaan infrastruktur berupa prasarana dan sarana yang memadai di Kawasan Agropolitan telah menciptakan kehidupan masyarakat layaknya di kawasan perkotaan.

Dalam hal pembiayaan, pada prinsipnya, pembiayaan Kawasan Agropolitan dilakukan secara swadaya masyarakat, baik masyarakat tani, pelaku penyedia agroinput, pengolah hasil, pelaku pemasaran, penyedia jasa yang mendapat dukungan dan fasilitasi APBN dan APBD dari Pemerintah. Pembiayaan Pemerintah lebih diarahkan untuk membiayai prasarana dan sarana publik dan berbagai kegiatan strategis, seperti penelitian, pelatihan, pendidikan penguatan kelembagaan petani, serta promosi.

Dukungan lnfrastruktur Kawasan Agropolitan

Keberhasilan pengembangan Kawasan Agropolitan tak terlepas dari dukungan sistem infrastruktur dasar yang membentuk struktur ruang. Untuk itu, melalui Satuan Kerja Penyediaan Prasarana dan Sarana Agropolitan, Ditjen Cipta Karya membangun infrastruktur dasar bagi perdesaan yang menjadi sasaran lokasi Kawasan Agropolitan. lnfrastruktur yang disediakan meliputi prasarana dan sarana yang mendukung berbagai kegiatan agribisnis berikut.

a.     Sub-sistem agribisnis hulu

Prasarana dan sarana yang disediakan dapat berupa kios-kios Sarana Produksi Pertanian (Saprotan), gudang, pelataran parkir, dan tempat bongkar muat barang.

b.     . Sub-sistem usaha tani (on-farm agribisnis)

Prasarana dan sarana yang disediakan berupa:

• Penyediaan air baku untuk meningkatkan produksi dengan saluran irigasi terbuka, irigasi tetes, embung-embung, sumur bor, dan sprinkler.

• Penyediaan air bersih untuk pencucian hasil dengan sistem perpipaan atau sumur dalam.

c.     Sub-sistem pengolahan hasil

Prasarana dan sarana dapat berupa tempat penjemuran hasil pertanian; gudang penyimpanan yang dilengkapi sarana pengawetan/pendinginan (cold storage) dan packing house untuk tempat sortasi dan pengepakan; sarana industri kecil, termasuk food services; serta Rumah Potong Hewan (RPH).

d.     Sub-sistem pemasaran hasil

Prasarana dan sarana dapat berupa pasar tradisional yang terdiri dari kios-kios, los-los, pelataran parkir, dan tempat bongkar muat barang, prasarana dan sarana SubTerminal Agribisnis (STA), pasar hewan, jalan antar desa-kota, serta jembatan.

e.     Sub-sistem jasa penunjang

Prasarana dan sarana yang disediakan dapat berupa:

• Sarana Utilitas Umum, seperti jaringan air bersih, sanitasi, persampahan, drainase, listrik, telepon, dan internet.

• Sarana Pelayanan Umum, seperti pusat perbelanjaan, kesehatan, pendidikan, perkantoran, peribadatan, rekreasi dan olahraga, serta ruang terbuka hijau.

• Sarana Kelembagaan, seperti Badan Pengelola Agropolitan, Kantor Perbankan, Koperasi, Unit-unit Usaha Agropolitan.

• Pembangunan Kasiba dan Lisiba berikut fasilitas umum dan sosial yang dibutuhkan.

• Penyusunan kebijakan pengembangan Kawasan Agropolitan.

• Penyusunan rencana tata ruang Kawasan Agropolitan.

Keberhasilan pengembangan Kawasan Agropolitan juga dapat tercapai dengan menerapkan konsep agropolitan secara tepat di lapangan. Pelaksanaannya harus berjalan secara terpadu dan di bawah pemantauan (monitoring) kelompok kerja (Pokja) yang ditetapkan dan bertanggung jawab kepada Bupati/ Walikota. Apabila wilayah Kawasan Agropolitan merupakan lintas kabupaten, maka pemantauan oleh Pokja Provinsi yang bertanggung jawab kepada Gubernur.

Disamping itu, pengembangan kota pertanian ini harus melibatkan petani-petani perdesaan untuk bersama-sama membangun sebuah sistem pertanian yang terintegrasi. Kemudian, melibatkan setiap instansi sektoral di perdesaan untuk mengembangkan pola agribisnis dan agroindustri yang dilaksanakan secara simultan. Peran serta dan dukungan dari stakeholder terkait seperti Pemerintah Pusat, Pemprov, Pemkab, RPJM Nasional dan Daerah, swasta, dan masyarakat-juga sangat dibutuhkan demi kelancaran perkembangan Kawasan Agropolitan.

Kunci keberhasilan lainnya adalah dengan menetapkan setiap distrik agropolitan sebagai suatu unit tunggal otonom mandiri sehingga dapat terjaga dari besarnya intervensi sektorsektor pusat yang tidak terkait. Dilihat dari segi ekonomi, unit tunggal yang mandiri akan mampu mengatur perencanaan dan pelaksanaan pertaniannya sendiri, tetapi tetap terintegrasi secara sinergis dengan keseluruhan sistem pengembangan wilayah.

Dengan kata lain. keberhasilan pengembangan Kawasan Agropolitan membutuhkan sebuah kesiapan, komitmen, konsistensi, serta perubahan mendasar dalam sistem pelaksanaan pembangunan daerah. Disamping itu, Pemerintah Daerah pun harus memiliki kesanggupan untuk meneruskan pengembangan Kawasan Agropolitan secara berkelanjutan demi tercapai kawasan yang mandiri melalui kemampuan sumber daya yang dimiliki.

Dari uraian tersebut, maka pelaksanaan program pengembangan Kawasan Agropolitan harus memerhatikan beberapa hal berikut ini:

• Pembangunan, pemeliharaan, serta pengembangan prasarana dan sarana berdasarkan program yang disepakati bersama dalam rangka menyediakan fasilitas yang memadai dan mendukung sistem dan usaha agribisnis, serta mewujudkan tujuan dan sasaran pengembangan Kawasan Agropolitan.

• Mendorong kemitraan dengan seluruh stakeholder, terutama kemitraan antara swasta/BUMN dengan petani/ kelembagaan petani.

• Pelaksanaan monitoring, evaluasi, pengendalian, dan pengawasan secara berkala dan teratur agar seluruh kegiatan dapat berlangsung secara efisien dan efektif.

Salah satu upaya evaluasi dalam pelaksanaan program pengembangan Kawasan Agropolitan adalah dengan menyusun lndikator Keberhasilan. lndikator Keberhasilan yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kemampuan daerah masing-masing ini mencakup dampak dan output, dijelaskan dalam jenis dan angka-angka persentase.

Dampak pengembangan Kawasan Agropolitan diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya petani, dan produktivitas lahan di Kawasan Agropolitan minimal 5%. Selain itu, investasi masyarakat (petani, swasta, BUMN) di Kawasan Agropolitan meningkat minimal 10%. Sementara, dari sisi output, lndikator Keberhasilan dapat terlihat dari beberapa hal berikut:

a. Sebanyak 80% kelembagaan petani mam - pu menyusun usaha yang berorientasi pasar dan lingkungan.

b. Jaringan bisnis dari petani/kelompok petani terbentuk dan berlangsung aktif.

c. Tiap desa dan kecamatan di Kawasan Agropolitan menyusun program tahunan secara partisipatif dan disetujui bersama untuk dilaksanakan.

d. Rencana Kegiatan Jangka Panjang dan Detail Engineering Design untuk pelaksanaan fisik prasarana dan sarana di Kawasan Agropolitan disetujui bersama untuk dilaksanakan dan 70% dapat dilaksanakan di Kawasan Agropolitan.

e. Sebanyak 80% kontak tani/petani maju terpilih yang dilatih mampu menjadi tempat belajar bagi petani di lingkungannya.

 

 

 

 

Sumber: Agropolitan & Minapolitan Konsep Kawasan Menuju Keharmonian, Penerbit KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA Tahun 2012

Senin, 01 April 2024

Bagaimana memilih pola ruang yang dapat melayani kota dengan paling baik

Pertumbuhan penduduk perkotaan dalam empat dekade yang akan datang, terutama di negara-negara berkembang, akan menjadi sangat besar. Jika seorang pemimpin daerah memilih untuk tidak mengambil keputusan mengenai perkembangan perkotaan, mereka akan kehilangan kesempatan untuk tumbuh secara berkelanjutan. Tanggapan proaktif dari para pemimpin daerah akan berdampak positif pada kenyamanan dan daya saing kota dalam jangka panjang. Para pengambil keputusan yang menyiapkan rencana pertumbuhan terlebih dulu dan dengan skala yang memadai untuk menciptakan struktur ruang yang kompak serta selaras dengan karakteristik kota, akan menciptakan keuntungan sesungguhnya bagi masyarakat luas dan meminimalkan eksternalitas negatif. Dukungan bagi penggunaan lahan yang arif melalui kebijakan kepadatan akan membuat tujuan pengembangan kota bertahan lama.

Mengambil keuntungan terhadap pola penggunaan campuran dan kompak

Tugas-tugas penting dalam menghubungkan visi dan struktur spasial:

1 . Memimpin dan memfasilitasi proses perumusan visi yang strategis;

2. Melibatkan semua pemangku kepentingan;

3. Memberikan data tentang aset ruang (lingkungan, topografi, infrastruktur, dll) untuk menemukenali visi;

4. Mendokumentasikan visi strategis yang dipilih;

5. Menyetujui tujuan-tujuan strategis yang ingin dicapai setiap tahun;

6. Mengembangkan kerangka pembangunan perkotaan dan anggaran untuk mewujudkan visi;

7. Mengalokasikan sumber daya melalui anggaran tahunan pemerintah daerah;

8. Mencari komitmen para pemangku kepentingan untuk mengembangkan rencana mereka sendiri dalam rangka perwujudan visi kota;

9. Menetapkan indikator kinerja mana yang perlu diukur; dan

10. Melaporkan kembali ke Masyarakat

Membentuk sebuah visi kolektif

Visi strategik tentang bentuk kota masa depan. Banyak permasalahan yang menimpa kota berasal dari tidak adanya perencanaan strategik yang komprehensif sebelum membuat keputusan tentang tata ruang. Perencanaan spasial akan diperkuat jika dikaitkan dengan visi masa depan yang holistik dan terlegitimasi secara kolektif. Visi yang baik memiliki dimensi keruangan yang mencerminkan kekhasan kebudayaan dan lingkungan fisik kota; memberikan arah untuk kegiatan semua para pemangku kepentingan, mendorong mereka untuk bekerja secara terpadu dan memastikan semua orang bekerja menuju tujuan yang sama.

Membuat keputusan berbasis informasi tentang struktur spasial yang dipilih

lntensifikasi, Ekstensi, Multiplikasi: tiga opsi kebijakan untuk mengakomodasi pertumbuhan. Untuk mengakomodasi pertumbuhan penduduk perkotaan, kota-kota dapat meningkatkan daya dukung mereka saat ini dengan memperluas batas-batas mereka, menciptakan sistem tata ruang dengan banyak pusat kota baru, atau dapat menggunakan kombinasi semua pendekatan ini. Setiap pilihan adalah berbeda untuk masing-masing konteks dan akan ditentukan oleh proyeksi pertumbuhan penduduk, ketersediaan lahan, karakteristik topografi, aspek budaya, dan kemampuan kota untuk melaksanakan, termasuk investasi dan kapasitas penegakan hukum.

Mengintensifkan kepadatan kawasan terbangun, melalui pengembangan yang mengisi ruang kosong (infill development) dan penetapan batas pertumbuhan, dimana pertumbuhan kota tersebut perlu dipindahkan keluar dengan selang waktu yang teratur untuk mencegah kekurangan lahan. Mengintensifkan kepadatan mencakup regenerasi properti kota dan menggantikan bangunan yang ada dengan yang baru yang menampung lebih banyak orang. Konsolidasi kawasan terbangun membutuhkan peraturan untuk melestarikan 'zona tanpa pembangunan' dan untuk mengendalikan kecenderungan penurunan kepadatan (dari orang dan bangunan)S. Pendekatan ini mungkin cukup memadai untuk kota dengan kemampuan penegakan yang kuat dan di mana pertumbuhan penduduk relatif stabil. Contohnya adalah Batasan Pertumbuhan Perkotaan Portland di Amerika Serikat.



Memperluas kota ke kawasan pinggiran terbangun. Kota-kota yang tumbuh lebih dari 1-2 persen per tahun perlu memastikan adanya lahan yang cukup untuk menampung orang-orang dan untuk luasan setidaknya dua kali dari ukuran lahan yang ada. Perluasan kota hendaknya dalam batas kemampuan, yang berkaitan dengan keterpaduan sistem infrastruktur dan transportasinya. Area yang diperluas hendaknya menyediakan layanan perkotaan yangmampumelayani warga yang tinggal di daerah yang diganti peruntukannya dan yang tinggal di area perluasan itu sendiri. Perencanaan perluasan membutuhkan visi dan komitmen. Rencana Komisioner New York Manhattan tahun 1811 di Amerika Serikat adalah salah satu rencana perluasan kota dengan visi yangjauh ke depan.



Melipatgandakan pusat-pusat kota dengan membangun kota satelit yang mungkin berhubungan dengan massa perkotaan yang ada sekarang. Meskipun secara fisik terpisah dan memiliki administrasi yang mandiri , secara ekonomi dan sosial, kota-kota satelit akan terkoordinasi oleh kota induknya untuk memanfaatkan sinergi dan skala ekonomi. Kotakota satelit berbeda dari pinggiran kota dimana mereka memiliki sumber pekerjaan dan jasa dari mereka sendiri, yang juga akan mencegah mereka menjadi kota dormitori semata. Pilihan ini cocok untuk kota-kota besar yang berkembang pesat. Rencana Komprehensif Shanghai 1999-2020 di Cina memiliki sembilan satelit kota yang menyerap pendatang yang bermigrasi dari daerah pedesaan.



Meningkatkan penggunaan lahan campuran

Penggunaan lahan tungga ldapat menginduksi fragmentasi sosial. Memisahkan penggunaan lahan yang tidak cocok, seperti industri polutif dan perumahan, adalah keputusan yang rasional. Pada awal abad kedua puluh, penataan kota modern telah mempromosikan penggunaan monofungsional yang memisahkan perumahan dari tempat kerja serta peruntukan komersial dan sosial. Zona pemukiman juga dirancang untuk kelompok yang berpendapatan homogen. Sisi negatif dari kebijakan ini adalah hilangnya akses kepada fasilitas perkotaan bagi kelompok berpenghasilan rendah dan latar belakang etnis yang berbeda, sehingga mengurangi kesempatan untuk adanya interaksi masyarakat dan kohesi sosial. Jenis rancangan ini dapat menimbulkan beban ekonomi karena menghalangi sinergi dan stimulasi yang saling menguntungkan antar kegiatan produktif. Penggunaan lahan tunggal dengan kepadatan penduduk yang rendah mendorong mobilitas individual dan mengurangi tingkat pemakaian angkutan umum, dan selanjutnya memperkuat terjadinya eksklusi bagi kelompok yang kurang beruntung.

Memperkenankan beberapa penggunaan lahan sekaligus di sebuah tempat bersama membawa banyak manfaat. Penggunaan lahan campuran (mixed use) bukanlah pendekatan baru. lni adalah alasan utama (raison d'etre) terjadinya aglomerasi perkotaan dan merupakan norma pengembangan kota sebelum penemuan mobil, sebelum berkembangnya praktik perencanaan modern. lstilah penggunaan campuran (mixed-use) umumnya menyiratkan pemakaian bersama tiga atau lebih penggunaan yang menghasilkan pendapatan secara signifikan. Menghilangkan batasan-batasan zonasi untuk mencampur penggunaan lahan yang cocok dapat menghasilkan manfaat sebagai berikut:

• Manfaat sosial, meningkatkan aksesibilitas ke pelayanan-pelayanan dan fasilitas perkotaan untuk segmen masyarakat yang lebih luas, dan memperluas pilihan perumahan untuk jenis rumah tangga yang beragam. Hal ini memperkuat rasa keamanan kawasan dengan menambah jumlah orang di jalan.

• Manfaat ekonomi, meningkatkan potensi transaksi bisnis dan perdagangan sebagai lokasi kegiatan bersama yang menarik lebih banyak pelanggan potensial selama jam sibuk dalam sehari. Hal ini tercermin dari peningkatan pendapatan dari pajak bisnis. Penggunaan komersial di dekat wilayah pemukiman memiliki nilai properti yang lebih tinggi. Hal ini membantu meningkatkan pendapatan pajak daerah.  

• Manfaat infrastruktur, mengurangi permintaan keseluruhan untuk perjalanan para penglaju, memperpendek waktu perjalanan rata-rata, dan sekaligus mengurangi penggunaan mobil. Sebagai tambahan untuk meminimalisasi kebutuhan infrastuktur jalan dan mengurangi alokasi lahan untuk parkir, penggunaan lahan campuran juga menyediakan dasar yang lebih kuat untuk pemakaian transportasi umum serta berjalan kaki dan bersepeda.

Untuk mendukung kota kompak, setidaknya 40 persen dari luas lantai harus dialokasikan untuk fungsi ekonomi

Zonasi fungsi tunggal harus dikurangi tidak lebih dari 10-15 persen dari /ahan keseluruhan

Rencana untuk pola ruang kota kompak

Pola ruang dapat didefinisikan sebagai kepadatan dan kebijakan penggunaan lahan. Kombinasi atribut-atribut ini dapat menjelaskan tiga pola spasial utama dan beberapa pola lainnya yang merupakan hasil kombinasi dari kedua pola tersebut. Pola terpencar umumnya adalah densitas rendah dengan penggunaan lahan tunggal; pola terfragmentasi disusun dari mozaik kawasan terbangun dengan fungsi tunggal yang diantaranya terdapat daerah tidak terpakai yang besar; pola kompak merupakan pola yang lebih padat dan penggunaan lahan campuran. Pilihan pola ruang menentukan jumlah ketersediaan lahan yang dibutuhkan suatu kota untuk mengakomodasi pertumbuhan, pola terpencar jauh lebih membutuhkan lahan yang luas daripada penggunaan lahan intensif dan kompak.

Pola memencar. Fungsi tunggal, pola kepadatan rendah biasanya diidentifikasi sebagai perluasan kota yang tak terkontrol (urban sprawl) . Sprawl dulunya merupakan pilihan lazim di negara-negara kaya lahan di masa setelah Perang Dunia Kedua. Pola ini cenderung mengkonsumsi lahan perkapita yang signifikan dan membangkitkan instalasi infrastruktur per kapita lebih besar dengan ongkos pemeliharaan yang lebih mahal. Biaya yang mahaldisebabkan karena pipa air dan saluran pembuangan dan jaringan listrik perlu diperpanjang untuk melayani jumlah orang yang sebenarnya relatif sedikit. Layanan seperti pengumpulan sampah, polisi dan pemadam kebakaran membutuhkan pengeluaran yang lebih besar. Transportasi umum mungkin tidak akan berhasil; pola yang terpencar tergantung pada transportasi individu, yang membutuhkan investasi publik dalam hal pembangunan jalan 30 persen lebih tinggi daripada pola kompak. 12 Kemacetan memiliki biaya produktivitas (productivity cost) yang berasal dari lebih lamanya waktu perjalanan penglaju. Konsumsi perluasan lahan yang ekstensif sering mengganggu habitat alam dan bahkan dapat merusak ekosistem yang sensitif. Kebijakan fungsi tunggal dapat berujung pada fragmentasi sosial yang terbukti terjadi di kawasan kumuh dan perumahan eksklusif (gated communities) yang terletak berdampingan.

  Pola terfragmentasi: pola terfragmentasi memiliki karakter daerah yang berkepadatan tinggi berfungsi tunggal dan membentuk mozaik-mozaik jenis peggunaan lahan yang sama, serta kawasan terbangun yang padat. Pola ini juga dicirikan dengan kompleks perumahan berbiaya rendah di pinggiran kota, dibangun terpisah dari pusat perbelanjaan dan komersial, pusat bisnis dan pemerintahan, kawasan industri atau tempat rekreasi. Perumahan eksklusif (gated communitY! menambah fragmentasi. Jalan raya yang besar adalah satu-satunya konektivitas yang layak antara kawasan tersebut dan menghasilkan biaya mobilitas tinggi. Di negara maju, ruang celah antar kawasan dapat dipertahankan sebagai taman dan kawasan hijau, tetapi di negara berkembang hal ini mendorong pembangunan pemukiman informal bagi warga yang tidak mampu menjangkau besarnya biaya perjalanan dari pinggiran ke pusat kota. Hasilnya adalah sebuah kota terpisah, yang membatasi kelompok dengan penghasilan yang berbeda untuk mengakses berbagai kawasannya.

  Pola kompak. Pola kompak adalah penggunaan lahan yang intensif, dengan kepadatan sedang-tinggi, kebijakan lahan campuran yang membentuk jejak berkesinambungan seperti halnya kawasan yang terkonsolidasi. Pola kompak dirancang untuk meningkatkan aksesibilitas, mendorong penggunaan infrastruktur dan pelayanan perkotaan yang lebih efisien dari segi biaya, mengurangi erosi sumber daya alam, biaya bisnis yang lebih rendah dan meningkatkan kesetaraan sosial. Manfaat-manfaat pola kompak termasuk:

- Aksesibilitas yang /ebih baik, mengurangi kebutuhan perjalanan dan jarak tempuh, dan dengan demikian mengurangi kemacetan dan polusi; mengoptimalkan biaya transportasi barang dan meningkatkan akses ke jasa-jasa perkotaan

- Biaya infrastruktur yang /ebih rendah dan penggunaan layanan perkotaan yang lebih efisien, yang berarti berkurangnya pengeluaran bagi pemerintah daerah, warga dan pengembang. Biaya instalasi dan pemeliharaan jalan, air listrik dan jalur pembuangan air kotor per unit yang lebih rendah, karena ada lebih banyak wajib pajak di kawasan untuk membayar utilitas tersebut. Hal ini juga mengurangi biaya pemeliharaan, terutama untuk transportasi dan pengumpulan sampah. 14 Pola kompak akan meningkatkan kelayakan pembangkit energi lokal dan distribusi teknologi, termasuk smart grid dan district heating.

- Mempertahankan sumber daya /ahan untuk pertanian, lahan hijau dan air dan kesediaan energi sebagaimana kurangnya lahan yang perlu dibangun. Pola kompak memungkinkan berkurangnya pengalokasian lahan yang didedikasikan untuk parkir konvensional.

- Biaya transaksi ekonomi yang lebih rendah , sebagaimana kedekatan mengurangi biaya 'berperan serta' dalam transaksi-transaksi ekonomi. Sebagai contoh, ketika pasar berada dekat dengan pelanggan, maka biaya transportasi berkurang.

- lntegrasi sosial/ mengarah kepada kesadaran kelompok budaya dan sosial yang berbeda dan dengan demikian memiliki fungsi keterpaduan sosial. Di berbagai bidang, anak-anak mendapatkan manfaat dari pendidikan multikultural, yang dapat berujung pada peningkatan kapasitas untuk belajar bahasa dan perspektif yang berbeda, yang semuanya merupakan ciri-ciri kunci untuk bekerja dalam dunia global.

Menjadikan kepadatan sebagai variabel kunci

Mengantisipasi kebutuhan lahan perkotaan

Memperkirakan kebutuhan lahan yang realistis untuk periode 30-tahun. Adalah mungkin untuk memperkirakan lahan yang diperlukan untuk mengakomodasi pertumbuhan, tergantung pada peningkatan populasi yang diharapkan dan kepadatan populasi yang ingin dicapai. Kebutuhan lahan termasuk daerah terbangun dan tak terbangun, ruang terbuka dan diperkirakan untuk periode 20 sampai 30 tahun ke depan. Misalnya, penduduk di Bamako, Mali, bertumbuh 4,45 persen per tahun , yang berarti bahwa saat ini 1 ,8 juta orang akan bertambah menjadi 6,3 juta pada tahun 2030. Pada kepadatan saat ini, daerah Bamako akan meningkat 3,5 kali dalam 30 tahun ke depan. Kawasan tak terbangun umumnya mencapai 50 sampai 40 persen dari kebutuhan kawasan terbangun.

Kebutuhan lahan tergantung pada kecenderungan kepadatan dan pilihanpilihan yang tersedia. Memperkirakan kebutuhan lahan dilakukan dengan menggunakan kepadatan rata-rata dikombinasikan dengan kecenderungan jumlah penduduk dan perumahan (hunian yang lebih besar dan keluarga yang lebih kecil adalah kecenderungan umum). Pada contoh yang disajikan (di halaman berikutnya), Kota Kisumu memiliki kepadatan penduduk 45 orang per hektar (mirip dengan Los Angeles, meskipun mengingat bahwa orang tinggal di tempat tinggal yang jauh lebih kecil, ini didapat dengan luas lantai yang lebih sedikit). Adalah mungkin untuk menghitung jumlah luas lantai hunian yang diperlukan dengan memperhitungkan laju pertumbuhan penduduk, ukuran rata-rata sebuah keluarga, dan ukuran rata-rata hunian yang diinginkan. Perhitungan luas lantai yang dibutuhkan untuk kegiatan lain (ekonomi dan jasa, yang dapat mewakili 40 persen dari total luas lantai) menghasilkan total luas lantai yang dibutuhkan.

Memperluas batas perkotaan adalah langkah kunci dalam mengelola pertumbuhan perkotaan masa depan. Mempersiapkan pertumbuhan juga berarti mengidentifikasi kawasan-kawasan untuk mengarahkan majunya pertumbuhan kota dan memastikannya menjauh dari kawasan yang rentan dan situs warisan alam. Perluasan kawasan harus dekat dengan kawasan yang telah maju dan infrastruktur yang ada. Menetapkan batas-batas wilayah perkotaan yang baru dan elemen-elemen utamanya (grid jalan dan lokasi infrastruktur dasar) akan membantu untuk mengarahkan berbagai pengembangan baru begitu pula dengan investasi. Penataan kawasan dengan mengidentifikasi jaringan utama juga penting untuk pengembangan yang efisien. Batasbatas kota harus cukup fleksibel untuk diperluas jika diperlukan dan kawasan tersebut cukup besar untuk menghindari kendala lahan.

Setelah kota mencapai populasi tertentu dan ukuran ruang, manfaat-manfaat aglomerasi dapat menurun. Hubungan antara pendapatan dan ukuran kota menjadi negatif setelah ambang populasi mencapai sekitar tujuh juta orang. 17 Hal ini karena ketidakekonomisan skala , seperti perluasan yang berlebihan dan kemacetan, lebih besar daripada keuntungan aglomerasi. Studi menunjukkan bahwa tingkat toleransi seseorang untuk bepergian adalah sekitar satu jam per hari. Toleransi "perjalanan waktu" ini dikalikan dengan kecepatan moda transportasi biasa digunakan dalam menentukan sebuah ukuran spasial yang efisien. 18 lni mungkin menjelaskan mengapa ukuran kota tetap selebar 'satu jam', dan mengapa kota dapat menjadi disfungsional jika melampaui ukuran tertentu. Kota dengan kepadatan tinggi akan dapat tumbuh dengan populasi yang tapi kota berkepadatan rendah akan mencapai ambang mereka lebih cepat.

Kepadatan adalah kekhasan kota. Faktor budaya dan gaya hidup memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pola kepadatan yang dapat diterima. Apa yang dianggap kepadatan tinggi dalam satu budaya mungkin rendah bagi orang lain. Kebijakan perencanaan tata ruang, seperti berapa banyak lahan yang dialokasikan untuk fungsi non-perumahan dan ruang terbuka, ukuran plot, jenis bangunan dan jumlah anggota rumah tangga, semua menentukan kepadatan. Data rinci - pada skala lingkungan - akan membantu menentukan parameter kepadatan yang dapat mengakomodasi pertumbuhan dan sesuai untuk budaya setempat dan efektifitas biaya.

 

 

 

 

 

 

Sumber: Penataan Kota Bagi Para Pemimpin Daerah Oleh UN HABITAT FOR A BETIER URBAN FUTURE  Penerbit Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ~ Badan Pengembangan lnfrastruktur W1layah Tahun 2016