Pendahuluan
Pariwisata
adalah kegiatan multidimensi dari aspek fisik, sosial budaya, ekonomi, dan
politik yang melibatkan berbagai sektor dan lembaga lainnya. Berkembangnya
sektor pariwisata menjadi pemicu perkembangan kegiatan penunjang lainnya
seperti sektor pertanian, peternakan, perkebunan, kerajinan rakyat dan
peningkatan kesempatan kerja. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan
Perikanan No. 14/Permen-KP/2016 tentang Kriteria dan Kategori Kawasan
Konservasi Perairan untuk Pariwisata Alam Perairan, kawasan konservasi perairan
adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk
mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan
(Permen Kelautan dan Perikanan, 2016).
Salah
satu isu lingkungan yang banyak ditemukan di kawasan wisata pantai adalah
masalah sampah permukiman yang mengotori pantai dan perairan. Meningkatnya
volume sampah domestik maupun sampah non-domestik yang masuk ke perairan,
dimulai dari sungai hingga masuk ke laut, menyebabkan pencemaran dan kerusakan
ekosistem, sehingga menjadi masalah yang besar dan menjadi perhatian banyak
pihak. Pengelolaan sampah kawasan pantai yang baik berdampak pada pengurangan
sampah yang akan di buang ke laut. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 83 tahun
2018 tentang Penanganan Sampah Laut, target pengurangan sampah yang dibuang ke
laut sebesar 70 % pada tahun 2025 (Peraturan Presiden, 2018).
Berdasarkan
kajian Aziz et al. (2020) di kawasan wisata Pantai Carocok Painan Kabupaten
Pesisir Selatan, permasalahan sampah antara lain disebabkan adanya
ketidaksesuaian praktik pengelolaan dengan standar pengelolaan, belum
diterapkannya pengolahan di sumber sampah serta masih adanya praktik pembakaran
sampah di beberapa lokasi sepanjang pantai. Mengacu pada kajian Jayantri, A. S.
& Agung, R. M. (2021), faktor-faktor yang menyebabkan penumpukan sampah di
kawasan pantai antara lain kurangnya kesadaran pengunjung, kurang tersedianya
prasarana tempat sampah, sampah rumah tangga tidak dikelola menumpuk di kawasan
pantai, sampah yang terbawa arus sungai akibat kebiasaan warga sekitar pantai
yang masih membuang sampah ke sungai.
Hasil
kajian Yuliadi et al. (2017), menyatakan bahwa sampah plastik merupakan sampah
yang paling banyak ditemukan di Pantai Pangandaran yang mencemari lingkungan
dan sulit diuraikan oleh tanah. Sedangkan Bali sebagai destinasi pariwisata
pantai dan kepulauan kelas dunia, pengelolaan belum dilakukan dengan baik dan
sistematis. Mengacu pada hasil penelitian Widyarsana & Aulia (2020), kendala
pengelolaan disebabkan karena belum optimalnya koordinasi antara lembaga
pengelolaan, masih lemahnya penegakan hukum dari Perda, kurangnya kesadaran
masyarakat, masih kurangnya fasilitas pengelolaan persampahan, kurangnya
dukungan pembiayaan, serta kurangnya inovasi dalam peningkatan pelayanan
penanganan persampahan.
Ruang
lingkup kajian adalah mengidentifikasi kondisi eksisting pengelolaan sampah
kawasan pantai, mengevaluasi timbulan dan komposisi sampah pantai, dan
mengevaluasi infrastruktur pengelolaan sampah di lokasi kajian. Tujuan dari
kajian adalah untuk merekomendasikan peningkatan infrastuktur pengelolaan
sampah di kawasan wisata pantai. Lokasi kajian di pantai wisata Senggigi,
Kabupaten Lombok Barat; NTB, pantai wisata Gili Terawangan dan Gili Meno di
Kabupaten Lombok Utara, NTB; pantai wisata Pangandaran Jawa Barat dan pantai
wisata di Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu DKI Jakarta.
Data
yang digunakan adalah data sekunder hasil penelitian terdahulu berdasar kajian
Darwati (2019) yang telah ditambah dengan informasi terbaru dari hasil kajian
pustaka lainnya. Data sekunder pengelolaan sampah meliputi timbulan dan
karakteristik sampah, pemilahan, pewadahan, pengumpulan, pemindahan
pengangkutan, pengolahan, pemrosesan akhir, lembaga pengelola, pembiayaan;
keterlibatan swasta dan peraturan.
Kondisi Pengelolaan Sampah di Kawasan Pantai
Dengan
menggunakan data sekunder hasil penelitian Darwati (2019), kondisi pengelolaan
sampah di lokasi kajian dianalisis berdasar nilai dan kategori. Kategori kurang
(K) dengan nilai <2,7, sedang (S) dengan nilai 2,7-3,8 dan baik (B) dengan
nilai ≥ 3,8. Hasil kompilasi data disajikan pada tabel 1 dan tabel 2.
Evaluasi Timbulan dan Komposisi Sampah Kawasan Pantai
Untuk
kawasan pantai, data sampah dibedakan atas data sampah darat dan bawaan laut.
Data sampah darat di pantai di Pulau Untung Jawa memberikan gambaran bahwa
komposisi dan timbulan sampah dipengaruhi oleh kunjungan wisatawan. Gambar 1
menyajikan data komposisi sampah di Pulau Untung Jawa pada hari kerja yang
didominasi oleh sampah daun sebesar 48,6%. Untuk sampah dapur pada hari kerja
hanya sebesar 3,35%, sampah jenis plastik sebesar 9,01% terdiri atas 2,07%
plastik kerasan dan 6,94% plastik lembaran. Komposisi sampah pada akhir pekan
berbeda dengan hari kerja dimana pada akhir pekan timbulan sampah dapur
meningkat menjadi 19,7% sedangkan sampah daun hanya sebesar 23,4%. Selain kedua
sampah tersebut sampah batok kelapa juga cukup banyak yaitu 16,3%.
Evaluasi Infrastruktur Pengelolaan Sampah
Evaluasi
kinerja infrastruktur pengelolaan sampah dilakukan dengan metode indeks kinerja
kumulatif. Infrastruktur pengelolaan sampah dinilai berdasarkan 12 variabel
dengan indikator dan pertimbangan penilaian yang mempengaruhi kinerja dari tiap
variabel sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3.
Parameter
penilaian untuk setiap indikator didasarkan pada jenjang (hierarki) prioritas.
Dalam hal ini, jenjangnya mengikuti skala kurang (rentang < 2,7), sedang
(rentang 2,7-3,8) dan baik rentang (>=3,8). Variabel sistem yang kinerjanya
baik, mencerminkan belum memerlukan peningkatan sedangkan yang kurang baik,
mencerminkan sangat membutuhkan peningkatan. Hasil penilaian indeks kinerja
kumulatif pengelolaan sampah dapat dilihat pada tabel 4, berdasarkan kriteria
penilaian kondisi pengelolaan sampah wisata pantai yang dijelaskan pada tabel
5.
Berdasarkan
hasil analisis, penilaian kebutuhan terhadap variabel pengelolaan sampah di
lokasi kajian disajikan pada gambar 3 berdasarkan kriteria penilaianpenilaian
yang ditetapkan pada tabel 6. Variabel pengelolaan yang masih kategori kurang
adalah dengan nilai < 70,21 yaitu varibel ketersediaan data timbulan dan
komposisi sampah, pengumpulan dan pengolahan sampah.
Berdasarkan
hasil analisis penilaian indeks kinerja kumulatif, semua lokasi mempunyai
kinerja kategori baik dengan nilai >=793,20 sebagaimana dapat dlihat pada
gambar 4 dan tabel 7.
Peningkatan Infrastruktur Pengelolaan Sampah Kawasan Pantai
Dari
hasil analisis, peningkatan infrastruktur pengelolaan sampah di kawasan wisata
pantai adalah sebagai berikut:
1)
Ketersediaan data karakteristik timbulan dan
komposisi sampah
Timbulan dan
komposisi sampah merupakan faktor utama dalam menentukan teknis operasional
pengelolaan sampah perkotaan. Data timbulan dan komposisi sampah merupakan data
dasar dalam perencanaan besaran kapasitas dan kelayakan jenis pengolahan sampah
berbasis 3R (Reduce, Reuse, Recyling). Cara pengujian komposisi sampah masih
mengacu pada SNI 19 – 3964 – 1994 tentang Metoda Pengambilan dan Pengukuran
Sampel Timbulan dan Komposisi Sampah (Badan Standardisasi Nasional, 1994).
Pemerintah daerah perlu melakukan sampling terhadap timbulan dan komposisi
sampah di kawasan pantai meliputi sampah darat yang disebabkan aktivitas
domestik maupun sampah non-domestik dan sampah perairan serta sampah bawaan
laut.
2)
Pengumpulan sampah
Ketentuan
tentang sistem pengumpulan sampah telah diatur pada Permen PUPR No.
03/PRT/M/2013, Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam
Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Permen
PUPR, 2013). Pengumpulan dan pengolahan sampah merupakan bagian dari sistem
operasional pengelolaan sampah berbasis 3R. Perencanaan operasional pengumpulan
harus memperhatikan jumlah ritasi, jadwal pengangkutan yang disesuaikan dengan
komposisi sampah. Pengumpulan dengan menggunakan alat angkut dengan bak
tersekat untuk setiap jenis sampah yang telah dipilah. Pelaksana pengumpulan
sampah di kawasan pantai melibatkan stakeholder terkait seperti Dinas LH, LSM,
masyarakat RT RW setempat serta pihak hotel/restoran/pengusaha kawasan wisata.
Merujuk pada
SNI 8632 : 2018 tentang Tata Cara Perencanaan Teknik Operasional Pengelolaan
Sampah Perkotaan, sarana pengumpulan sampah dapat berupa TPS 3R dengan luas 200
m2 (Badan Standardisasi Nasional, 2018). Cakupan pelayanan minimal 200 KK atau
3 m3 /hari, dengan kriteria sedekat mungkin daerah pelayanan, radius < 1 km;
dilengkapi dengan naungan, ruang pemilahan, pencacah, pengomposan, gudang, zona
penyangga, saluran lindi dan penampung lindi untuk diangkut ke Instalasi
Pengolahan Lindi (IPL) di TPA; tidak mengganggu estetika dan lalu lintas;
berada dalam wilayah permukiman penduduk, bebas banjir, ada jalan masuk,
sebaiknya tidak terlalu jauh dengan jalan raya. Pada pulau kecil bilamana belum
tersedia TPS 3R sampah dapat langsung diangkut dengan menggunakan kapal untuk
diproses lebih lanjut di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) sampah.
Pengumpulan
sampah dapat disinergikan dengan kegiatan Bank Sampah. Sampah yang masih
bernilai ekonomi dapat dikumpulkan oleh petugas pengumpul dan masyarakat
penghasil sampah bank sampah dapat dioptimalkan untuk mendukung pemanfaatan
sampah anorganik untuk dapat ditingkatkan nilai ekonominya sehingga lebih mudah
terserap oleh pelaku usaha daur ulang untuk proses selanjutnya. Contoh bank
sampah yang diperkenalkan di kawasan Pantai Losari Kota Makassar, dimana
masyarakat menunjukkan minat yang tinggi untuk berpartisipasi berdasar studi
Rukminasari et al. (2017). Harga jual dari jenis sampah anorganik yang
diberikan oleh pelaku usaha daur ulang kepada pengumpul tergantung dari
seberapa homogen jenis sampah tersebut, sesuai kebutuhan bahan baku produksi
industri daur ulang. Untuk memenuhi syarat penjualan dan meningkatkan nilai
jual dari sampah anorganik, maka dilakukan pemilahan lebih lanjut sehingga
lebih spesifik dan bersih sesuai tuntutan off taker material daur ulang oleh
pengelola sehingga hasil penjualannya dapat menjadi masukan untuk biaya
operasional TPS 3R.
3)
Pengolahan sampah
Pengolahan
sampah dilakukan pada sampah organik dan sampah anorganik. Pengolahan sampah
organik antara lain dengan pengomposan secara biologis dengan memanfaatkan
mikroba yang dapat tumbuh selama proses terjadi. Teknologi pengolahan dapat
secara aerobik maupun anaerobik. Hasil kompos dapat dimanfaatkan untuk
penghijauan dan urban farming dalam penataan taman. Alternatif lain, pengolahan
sampah dengan budidaya maggot Black Soldier Fly (BSF). Menurut Dortmans et al.
(2017), maggot memiliki kemampuan menguraikan sampah organik dengan cepat,
tanpa bau dan sedikit menyisakan residu. Penggunaan larva dari serangga yang
dipanen tersebut dapat berguna sebagai sumber protein untuk pakan hewan,
sehingga dapat menjadi pakan alternatif pengganti pakan konvensional. Hasil
kajian Darwati & Rhomadoni (2021), di TPS 3R Jatisari, Kabupaten Bandung,
sampah organik yang dapat diproses sebagai pakan maggot sebesar 23% dari sampah
organik, sisanya 67% adalah residu sampah organik dapat diolah menjadi kompos.
Pengolahan
sampah anorganik yang dapat dilakukan antara lain dengan membuat eco brick,
briket sampah, kerajinan sampah anorganik misal kemasan, kaca dan pengolahan
sampah plastik dengan pencacahan dan peletasi sampah plastik sebelum dimasukkan
ke dalam mesin perajang telah dipisah sesuai dengan jenisnya seperti Low
Density Poly Ethylene (LDPE), High Density Poly Ethylene (HDPE), Poly Ethylene
Terephthalote (PET), Poly Vinyl Chloride (PVC), Polypropylene (PP), Polystyrene
(PS). Pembuatan briket sampah plastik menggunakan teknologi pemanasan untuk
melelehkan sampah plastik sesuai dengan suhu/titik lebur plastik jenis
tertentu, kemudian dilakukan pendinginan briket menggunakan air. Jenis plastik
yang potensial untuk diolah menjadi briket adalah yang memiliki sifat
thermoplastic (plastik yang dapat didaur ulang atau dicetak lagi dengan proses
pemanasan ulang), contohnya PP dengan titik lebur pada suhu 160oC dan sampah
plastik botol air mineral yang termasuk ke dalam jenis plastik PET dengan titik
lebur lebih tinggi yaitu pada suhu 250oC.
4)
Peningkatan peran stakeholder dan pengaturan
Untuk
meningkatkan kinerja pengelolaan sampah di kawasan wisata pantai perlu sinergi
semua stakeholder yang terkait, yaitu masyarakat, instansi pengelola sampah,
LSM dan pihak pengelola wisata. Pengelolaan sampah berbasis 3R harus
diprogramkan dan disosialisasikan pada masyarakat daerah wisata, pengelola
wisata pantai, hotel/restoran melalui kerjasama asosiasi/persatuan hotel
restoran dengan LSM dan Dinas Lingkungan Hidup/Kebersihan setempat. Berdasar
kajian Darwati (2019), pengelolaan sampah di kawasan pantai masih belum ada
regulasi khusus, sehingga diperlukan pengaturan terkait tanggung jawab
pengelolaan sampah antara pihak pengelola kawasan wisata pantai atau hotel
dengan dukungan peraturan daerah. Pengelolaan sampah dari Pemerintah untuk
kawasan wisata disarankan dalam bentuk UPTD.
Kesimpulan
Kondisi
eksisting pengelolaan sampah wisata pantai di daerah studi umumnya berupa
pewadahan, pengumpulan dan pengangkutan yang belum berbasis 3R (Reduce, Reuse,
Recycle). Pengelolaan sampah di kepulauan mengandalkan penimbunan di pulau dan
pengangkutan yang dilakukan oleh kapal pengangkut sampah ke TPA. Sampah pantai
terdiri atas sampah dari daratan yang timbul akibat aktivitas sekitar pantai
yang jumlahnya tergantung pada jumlah pengunjung, jenis fasilitas penunjang,
seperti hotel/penginapan, restoran dan sampah bawaan dari laut yang dipengaruhi
oleh musim.
Data
sampling sampah di Pulau Untung Jawa memberikan gambaran timbulan dan komposisi
sampah pantai wisata. Pada hari kerja timbulan sampah sebesar 5,06 m3/hari dan
pada akhir pekan sebesar 5,79 m3/hari. Timbulan sampah bawaan laut hasil grab
sampling sebesar 2,98 m3/hari, sementara secara statistik rata-rata sebesar
7,67 m3/hari. Komposisi yang banyak dihasilkan dari sampah wisata didominasi
sampah yang mudah membusuk terutama sampah daun dan sampah dapur. Sementara
komposisi dari sampah bawaan laut didominasi oleh sampah yang sulit membusuk.
Pengelolaan
sampah kawasan wisata pantai berdasarkan hasil analisis dengan metode indeks
kinerja kumulatif dengan 12 variabel kinerja pengelolaan menunjukkan bahwa
kualitas pengelolaan di lokasi kajian sudah baik. Dengan indeks >=793,20
kategori baik. Namun berdasarkan hasil ada tiga komponen sistem yang masih
membutuhkan peningkatan yaitu ketersediaan data timbulan dan komposisi sampah,
sistem pengumpulan sampah dan sistem pengolahan sampah belum optimal.
Pelaku
utama dalam pengelolaan sampah pantai di kawasan wisata adalah pihak
hotel/restoran/pengusaha di kawasan wisata yang bekerja sama dengan DLH/Dinas
Kebersihan dan atau penyedia jasa swasta untuk pengangkutan sampah. Peningkatan
pengelolaan sampah kawasan pantai perlu melibatkan partisipasi antar semua
stakeholder yang terkait, kelembagaan pengelola kebersihan yang didukung dengan
peraturan daerah setempat.
Sumber: Oleh Sri Darwati, Dalam Bunga Rampai
Infrastruktur Permukiman di Kawasan Wisata, Penerbit PUPR Tahun 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar