Pendahuluan
Kawasan
wisata di Indonesia sangat bervariasi karena dibentuk oleh bermacam-macam
atraksi yang ditawarkan, kondisi geologi dan topografi kawasan, cuaca dan
iklim, serta potensi-potensi wilayah lainnya. Salah satu potensi wilayah yang
dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata
adalah pulau-pulau kecil, karena umumnya pulau-pulau kecil memiliki sumber daya
alam, aspek lingkungan, dan budaya yang unik. (Sugihamretha et al., 2015).
Sementara itu, pembangunan sebuah kawasan wisata, selain prasarana dan sarana
transportasi, sangat tergantung pada ketersediaan air tawar. Dengan demikian,
kelangkaan air tawar menjadi salah satu kendala untuk membangun kawasan wisata.
Tanpa sumber daya air yang cukup, maka kawasan wisata tidak dapat dikembangkan
secara optimal. Di sisi lain, air limbah dan sampah akibat kegiatan penduduk
setempat maupun pengunjung objek wisata yang tidak dikelola secara memadai
dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Akibatnya, kawasan
wisata yang sudah dibangun menjadi tidak menarik karena tercemar air limbah dan
sampah. Kawasan wisata menjadi tidak ramah lingkungan dan berisiko tidak
berkelanjutan.
Beberapa
pulau kecil seperti di Pulau Gili Trawangan (NTB), Pulau Bintan (Kepulauan
Riau), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta) telah teridentifikasi menghadapi masalah
pengelolaan air bersih. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kawasan wisata
berkelanjutan dan ramah lingkungan, maka pengelolaan air bersih pulau harus
terintegrasi dengan pengelolaan air limbah dan sampah domestik. Permasalahan
dan tantangan yang dihadapi oleh pulau-pulau kecil ini semakin meningkat.
Dengan demikian, semakin berkembang pariwisata di wilayah-wilayah tersebut,
maka semakin besar pula tantangan yang dihadapi (Aryanti & Nasril, 2020).
Tujuan
dari karya tulis ini membahas konsep keberlanjutan dan ramah lingkungan,
potensi sumber-sumber air dan pilihan pengolahannya agar layak digunakan
sebagai air bersih untuk kawasan wisata. Sumber informasi tulisan ini adalah
sumber primer yang berasal dari hasil-hasil penelitian yang telah
dipublikasikan di majalah ilmiah. Penyajiannya berdasarkan hasil-hasil analisis deskriptif
terhadap sumber-sumber primer yang relevan, diolah kembali dengan menambahkan
beberapa poin tentang aspek keberlanjutan dan aspek ramah lingkungan. Informasi
yang disajikan adalah tentang bagaimana konsep dan praktik pembangunan
berkelanjutan dan ramah lingkungan pada wilayah pulaupulau kecil, apa saja
sumber air di pulau-pulau kecil yang dapat digunakan sebagai sumber air baku
air bersih, bagaimana mekanisme untuk menampung dan menyimpan serta mengolahnya
menjadi air yang aman dikonsumsi dan siapa saja para pengguna air bersih dengan
jumlah besar di kawasan wisata pulau-pulau kecil serta bagaimana mengurangi
risiko pencemaran air limbah sisa pemakaian air bersih.
Konsep dan Prinsip Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan
Konsep
berkelanjutan dan ramah lingkungan dalam pengelolaan air ini memiliki beberapa
prinsip antara lain kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi masyarakat
dalam membangun budaya ramah air, penataan muka dan badan air secara
berkelanjutan dan pengelolaan air dan limbah secara baik (Abdulaziz et al.,
2019). Pengelolaan air secara berkelanjutan dan ramah lingkungan yang dapat
diterapkan pada kawasan pulau kecil adalah pengelolaan pada skala
masyarakat/pemilik usaha. Model pengelolaan air seperti ini mempunyai peran dan
berkontribusi positif terhadap kualitas dan kuantitas air yang ada di kawasan
tersebut. Pengelolaan sumber daya alam di pulau-pulau kecil yang memadai
khususnya air bersih harus dapat meminimalisir produk sampingnya. Air limbah
domestik adalah produk samping pemakaian air bersih. Besarnya volume pemakaian
air bersih berhubungan dengan pesatnya perkembangan industri pariwisata yang
menjadi andalan pulau-pulau kecil. Hal ini disebabkan karena pendapatan
utamanya bergantung sekali dengan wisatawan yang datang. Dengan demikian,
sumber daya alam pulau-pulau kecil khususnya ketersediaan air bersih menjadi
fokus pembahasan keberlanjutan dan ramah lingkungan.
Perkembangan
sektor pariwisata mempengaruhi pengelolaan air. Hotel dan resort merupakan
pengguna air yang besar, selain itu juga sebagai penghasil air limbah yang
besar. Untuk memenuhi kebutuhan air wisatawan, pengelolaan air harus dilakukan
secara efisien dan berkelanjutan agar tidak terjadi bencana ekosistem bagi
pulau-pulau kecil tersebut. Pada musim liburan, dimana konsumsi air bisa
berlipat ganda dan untuk memenuhi permintaan di musim turis, tentu harus
diimbangi dengan kuantitas air bersih yang harus mencukupi. Dengan meningkatnya
konsumsi air, demikian pula produksi air limbah, dan tanpa penanganan yang
tepat, terjadi peningkatan beban pencemaran (UNEP, 2003).
Solusi Masalah Air Bersih di Pulau-Pulau Kecil
Terdapat
dua masalah utama sumber daya air di pulau-pulau kecil yang perlu dicarikan
solusinya yaitu ketersediaan dan kualitas air. Peningkatan ketersediaan air dan
kualitas air dari segi teknologi maupun kebijakan oleh para pemangku
kepentingan merupakan solusi yang diperlukan untuk memecahkan permasalahan air
bersih yang kerap terjadi pada wilayah pulau-pulau kecil. Beberapa solusi untuk
kedua tujuan tersebut adalah pemanenan air hujan (rainwater harvesting),
meningkatkan kapasitas daerah tangkapan air, impor air, desalinasi air laut,
dan daur ulang air limbah.
1.
Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting)
Pemanenan
air hujan (Rainwater Harvesting), adalah sebuah teknologi untuk mengumpulkan
dan menyimpan air hujan yang dicurahkan dari langit, dan jatuh di atap-atap
bangunan tanah dan batuan di lahan-lahan pekarangan ke dalam sebuah bangunan
penyimpan air seperti tandon air dan reservoir (GDRC, 2006).
Pemanenan
air hujan juga dipandang sebagai salah satu solusi yang paling tepat untuk
meningkatkan pasokan air dalam skala mikro. Teknologinya mudah dipasang dan
dioperasikan, masyarakat lokal dapat dengan mudah dilatih untuk menerapkannya
dan bahan konstruksi juga tersedia (Hophmayer- Tokich & Kadiman, 2006).
Biaya
operasional pemanenan air hujan relatif kecil, bahkan hampir dapat diabaikan.
Air dikumpulkan dari atap tangkapan biasanya memiliki kualitas yang dapat
diterima untuk keperluan rumah tangga dan memiliki sedikit dampak negatif pada
lingkungan. Kapasitas pemanenan air hujan juga bergantung pada kapasitas dan
kebutuhan dari hotel atau penginapan tersebut. Kapasitas pengumpulan dan
penyimpanan air dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan dalam ketersediaan sumber
daya air di daerah tangkapan air. Namun demikian, pemanenan air hujan tidak
dapat dipandang sebagai teknologi utama atau satusatunya sumber air, terutama
karena terbatasnya pasokan dan ketidakpastian curah hujan. Ini mungkin membuat
pemanenan air hujan kurang menarik bagi beberapa instansi pemerintah dan
penggiat pariwisata yang bertugas harus selalu menyediakan pasokan air di
setiap waktu (GDRC, 2006).
Pemanenan
air hujan untuk keperluan air minum belum diadopsi secara luas karena
kekhawatiran terhadap risiko adanya polutan yang dapat berasal dari bahan kimia
dan mikrobiologi. Di pihak lain belum tersedianya petunjuk yang spesifik dalam
memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum dan cara mengelola risiko yang
mungkin ditimbulkan dari polutan kimia dan mikrobiologi tersebut masih terbatas
dan masih banyak yang belum mengetahuinya (Ahmed et al., 2011).
Ditinjau
dari aspek kualitas air, pemanenan air hujan termasuk pilihan teknologi yang
ramah lingkungan bila dibandingkan dengan sumber air lainnya. Selain
itu, sumberdaya air hujan termasuk sumberdaya yang terbarukan sehingga dijamin
keberlanjutan pasokannya setiap tahun. Namun, kuantitas air hujan yang dipanen
relatif terbatas sehingga tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber air
untuk memenuhi kebutuhan di pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, solusinya
adalah kombinasi pemanfaatan dengan sumber lain seperti air permukaan yang
ditampung di tandon air, embung atau waduk lapang serta pemanfaatan olahan air
laut. Pemanfaatan sumber daya air permukaan dan air laut memerlukan pengolahan
yang lebih intensif sebelum digunakan.
Pengambilan
keputusan pemilihan sumber air tentang kombinasi pemanfaatan sumber air baku
didasarkan pada perkembangkan kebutuhan kawasan wisata pulau-pulau kecil sesuai
kecepatan pengembangan kawasan wisata tersebut. Selain itu, perlu dilakukan
studi kelayakan yang mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan teknis
operasional, lingkungan, sosial dan ekonomi serta budaya. Data dasar seperti
topografi, iklim, curah hujan, kondisi sosial ekonomi, dan budaya masyarakat
setempat perlu dikumpulkan secara lengkap untuk mendukung analisis kelayakan
pengembangan pengelolaan air bersih yang berkelanjutan dan berwawasan
lingkungan. Gambar 1 memberi ilustrasi tentang pemanenan air hujan beserta
pengelolaan dan pemanfaatannya untuk penggelontoran toilet dan cuci mobil.
Limpasan airnya dikembalikan ke dalam lapisan pembawa air tanah.
Ilustrasi
tersebut menjelaskan proses pemanenan air hujan yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan.
2. Meningkatkan
Kapasitas Daerah Tangkapan Air
Meningkatkan penyimpanan air dapat dilakukan melalui proyek infrastruktur
besar (misalnya pembuatan bendungan, waduk atau embung) dapat menjadi cara yang
berguna untuk meningkatkan ketersediaan air pada pulau-pulau kecil yang sangat
bergantung pada sektor pariwisata (Hophmayer- Tokich & Kadiman, 2006).
Sistem
penangkapan air dengan membuat bendungan yang dibuat pada pulaupulau kecil yang
masih terdapat sungai, konstruksinya diperkuat dengan lapisan kedap air berupa
batu, tras, pasangan batu serta beton yang berfungsi sebagai pencegahan resapan
di badan air (Sutirto, 2012). Sedangkan untuk embung, pembentukan embung pada
dasarnya adalah untuk menyimpan air bersih dari curah air hujan yang turun
terutama pada musim kemarau (Dewi & Wahidin, 2020).
Lahan di
beberapa pulau-pulau yang kecil, mungkin tidak cukup tersedia untuk pembangunan
infrastruktur. Lahan tersebut diperlukan untuk menampung air permukaan sehingga
daya tampung airnya lebih besar. Cara ini lebih cocok digunakan pada
pulau-pulau yang lahannya cukup luas sehingga memungkinkan dibuatkan
infrastruktur atau pulau-pulau yang mempunyai aliran sungai (Asian Development
Bank, 2015).
Pada gambar
2 dapat dilihat bahwa pembangunan waduk atau embung embung memerlukan alih
fungsi lahan yang semula mungkin lahan pertanian atau permukiman perdesaan.
Alih fungsi lahan tersebut adalah dampak pembangunan terhadap lingkungan dan
dipandang kurang ramah lingkungan. Namun, pemanfaatan
air permukaan sebagai sumber daya air terbarukan di kawasan wisata, sehingga
termasuk kategori berkelanjutan.
3. Impor Air
(Water Importation)
Impor air
adalah pemindahan air dari pulau lain atau dari daratan utama ke pulau-pulau
kecil yang sangat terbatas sumber daya air bersihnya. Beberapa pulau-pulau
kecil dengan air permukaan dan air tanah yang terbatas atau tidak ada, dan
curah air hujan yang terbatas bergantung pada impor air tawar dari pulau lain
atau dari daratan utama. Dalam kasus lain, impor air digunakan untuk menangani
kasus kekeringan.
Air biasanya
diimpor melalui jaringan perpipaan dengan pulau lain atau daratan utama. Akan
tetapi apabila pulau yang membutuhkan air tersebut sangat jauh jaraknya untuk
dijangkau jaringan perpipaan, maka air diimpor dengan transportasi laut,
misalnya kapal besar/tanker, dan di beberapa kasus, air bersih akan diantar
dengan perahu atau kano ke pulau-pulau terdekat dengan sumber daya air yang
tersedia (Asian Development Bank, 2015).
4. Instalasi
Pengolahan Air Laut (Desalination)
Pengolahan
air laut atau air payau menjadi air tawar dapat dilakukan dengan cara
desalinasi atau dengan penyaringan melalui semi permeable membran bertekanan
tinggi (reserve osmosis). Dengan demikian, ada perbedaan proses teknologi
desalinasi maupun reserve osmosis.
Pada proses
pengolahan air laut menggunakan teknologi desalinasi, diperlukan peralatan yang
sifatnya spesifik untuk setiap pengolahan. Tetapi ada peralatan yang bersifat
umum seperti sistem pompa air baku, saringan (screen) dan saringan (filter),
sistem distribusi produk air desalinasi, tangki penampungan (storage tank),
peralatan penerima dan pembagi aliran listrik (Nugroho, 2004).
Instalasi
Pengolahan Air Laut mungkin terlihat efisien dan mudah dilihatnya karena hanya
mengolah air laut menjadi air tawar. Akan tetapi, pemeliharaan dan peralatan
yang digunakan sangat mahal. Selain itu, pemakaian daya listrik cenderung
sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan petugas yang kompeten di bidangnya
untuk mengoperasikan Instalasi Pengolahan Air Laut berbasis teknologi
desalinasi tersebut.
5. Daur Ulang
Limbah Non-Kakus (Grey Water)
Air bekas
pakai dari kamar mandi, air cuci pakaian dan dari dapur termasuk air nonkakus
(grey water) karena bukan dari kotoran manusia termasuk air pembersihnya.
Sementara itu, kotoran beserta air yang ditampung di kloset disebut air kakus
(black water). Kandungan bahan cemaran grey water tidak sepekat black water,
berpotensi besar untuk dimanfaatkan kembali. Kadar nitrogen didalam grey water
hanya 10% dari black water. Selain itu, kandungan bakteri patogen yang
merugikan dalam grey water hanya sedikit. Volume grey water bisa
mencapai 60% dari total air buangan rumah tangga sehingga berpotensi besar
untuk didaur ulang menjadi air bersih dan dapat digunakan kembali (Bestari et
al., 2017).
Tangki
septik yang dilengkapi dengan lahan basah buatan (constructed wetland) dapat
juga memperbaiki kualitas efluennya dengan cara mengurangi kadar BOD
(Biochemichal Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) sebelum dibuang
ke badan air (Saputri, 2021). Oleh karena itu, peluang daur ulang grey water
apalagi black water, masih perlu diuji kelayakannya secara teknis, sosial dan
ekonomi serta budaya.
Gambar 5
adalah gambaran sistem daur ulang grey water untuk penyediaan air bersih.
Tampak pada gambar ini perubahan air bersih sebelum dan sesudah pemakaiannya.
Sebelum pemakaian, air yang dipasok masih dalam keadaan bersih. Namun, setelah
dipakai untuk cuci pakaian, cuci peralatan rumah tangga, mandi dan pembersih
setelah buang air besar dan buang air kecil, airnya menjadi kotor sehingga
harus dibersihkan kembali sebelum dikembalikan ke media lingkungan atau didaur
ulang.
Pengaliran
atau pembuangan air kotor ke media lingkungan hidup adalah contoh praktik
kegiatan yang tidak berkelanjutan dan ramah lingkungan karena mencemari
lingkungan. Sebaliknya, daur ulang air kotor atau air limbah non-kakus (grey
water) maupun air limbah dari kakus (black water) adalah contoh praktik
kegiatan berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Beberapa
solusi untuk meningkatkan pengelolaan air bersih pada kawasan wisata pulau
kecil telah diuraikan. Namun, semua teknologi tersebut tentu tidak akan optimal
apabila tidak ada inovasi atau perawatan berkala pada infrastruktur pengelolaan
air bersih di pulau-pulau kecil tersebut. Kekayaan (asset) infrastruktur
permukiman yang dibangun di kawasan wisata, harus dirawat dengan baik sesuai
persyaratan yang berlaku. Perawatan yang baik mampu menjaga mutu pelayanan
kepada penggunanya. Selain itu, dapat menjaga keberlanjutan infrastruktur dan
menjaga tetap ramah lingkungan. Sebaliknya, perawatan yang tidak baik, dapat
menimbulkan kerusakan infrastruktur sehingga umur layanannya berkurang dan
tidak ramah lingkungan. Dengan demikian, perawatan infrastruktur yang memadai
adalah contoh praktik kegiatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Pemenuhan kewajiban untuk mewujudkan kawasan wisata pulau yang baik dan sehat
pada semua tingkatan sesuai tanggung jawab masing-masing, juga contoh praktik
kegiatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Apabila kewajiban tersebut
sudah terpenuhi, maka hak-hak semua orang secara individu maupun kelompok
masyarakat, dan orang-orang yang bekerja di lembaga pemerintah dan swasta,
untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat, otomatis akan terpenuhi. Hak
dan kewajiban untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang berkelanjutan dan ramah
lingkungan telah disebutkan di dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Kesimpulan
Masalah
air di pulau-pulau kecil terutama terkait dengan kuantitas dan kualitas sumber
daya air tawar yang terbatas.
Beberapa
teknologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas air
di pulau-pulau kecil memerlukan analisis kelayakan sebelum diaplikasikan.
Informasi yang diperlukanmeliputi bentuk topografi, curah hujan, luasan wilayah
pulau-pulau kecil tersebut.
Hasil
analisis kelayakan teknologi, lingkungan, sosial ekonomi, dan budaya menjadi
acuan pengambilan keputusan pemilihan satu sumber air atau kombinasi dari
beberapa sumber air baku serta pilihan teknologi, termasuk pengoperasian dan
pemeliharaannya. Pilihan teknologi manajemen terbaik adalah yang mengedepankan
aspek keberlanjutan teknis, lingkungan, sosial, dan ekonomi serta aspek ramah
lingkungan atau pilihan yang berdampak minimal terhadap lingkungan.
Sumber : Oleh Ario Wisnu Wicaksono Dalam BUNGA RAMPAI
INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DI KAWASAN WISATA Penerbit Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar