Kamis, 14 Maret 2024

KONSEP RAMAH LINGKUNGAN DALAM PERENCANAAN TOILET DI KAWASAN WISATA

Pendahuluan

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki banyak kekayaan berupa keindahan alami yang mampu menarik wisatawan mancanegara untuk datang berwisata. Pada tahun 2019 tercatat ada 1,5 miliar kunjungan wisatawan asing ke Indonesia, jumlah ini juga mengalami peningkatan sebesar 4% dari tahun sebelumnya. Kegiatan pariwisata merupakan salah satu sektor ekonomi unggulan yang mampu mendorong pendapatan ekonomi, pembangunan daerah dan membuka lapangan pekerjaan. Sektor pariwisata mampu menyumbang US$ 7,6 triliun atau 10,2% dari PDB global dan mampu membuka 292 juta lapangan pekerjaan (Elysia & Wihadanto, 2020).

Dalam meningkatkan pertumbuhan pariwisata tentunya diperlukan dukungan fasilitas umum yang memadai di setiap objek wisata. Kemudahan akses terhadap fasilitas umum perlu menjadi perhatian untuk mendukung pengembangan kawasan pariwisata. Salah satu fasilitas penting guna mendukung kegiatan pariwisata adalah fasilitas sanitasi, karena mampu menghadirkan pelayanan yang nyaman kepada pengunjung objek wisata. Semakin nyaman fasilitas sanitasi di kawasan tujuan wisata maka semakin meningkat wisatawan untuk dapat berwisata di kawasan tersebut (Subuh & Soamole, 2021). Selain itu fasilitas sanitasi pada tempat umum diperlukan untuk menjaga kesehatan dan agar terhindar penyebaran penyakit menular.

Salah satu sarana sanitasi yang penting di suatu objek wisata adalah sarana toilet atau jamban umum. Toilet umum adalah sarana yang disediakan untuk wisatawan yang berkunjung ke sebuah objek wisata. Penggunanya sangat beragam sehingga dapat menjadi tempat penyebaran penyakit apabila tidak terawat dengan baik dan tidak sehat. Terlebih lagi ketika sedang terjadi wabah Covid-19, memungkinkan penyebaran virus sangat cepat (Bagiastra & Damayanti, 2021).

Penyediaan sarana dan prasarana toilet umum di suatu objek wisata perlu memperhatikan konsep ramah lingkungan. Penerapan konsep ramah lingkungan memiliki banyak manfaat, yang utamanya adalah untuk menjaga kelestarian lingkungan di objek wisata tersebut. Konsep ramah lingkungan yang diterapkan di suatu bangunan, pada dasarnya harus dirancang secara menyeluruh atau memperhitungkan hubungan timbal balik dengan lingkungannya (Pane & Suryono, 2012). Selain itu, pembangunan toilet umum di kawasan wisata yang berbasis kearifan lokal dapat memberikan nilai tambah terhadap objek wisata tersebut.

Penerapan konsep ramah lingkungan dalam perencanaan toilet di kawasan wisata perlu dilakukan untuk mendukung pemenuhan sarana dan prasarana sanitasi di suatu objek wisata. Tidak cukup dengan penyediaan sarana yang standar, tetapi perlu didukung dengan penerapan konsep yang mendukung kawasan wisata serta meminimalisir dampak lingkungan dengan diterapkannya teknologi pengolahan limbah. Untuk itu diperlukan kajian terhadap konsep ramah lingkungan pada fasilitas toilet umum di kawasan wisata khususnya terhadap pengolahan limbahnya. Penyediaan toilet yang mempunyai desain ramah lingkungan, diharapkan mampu mendukung kegiatan pariwisata dan meningkatkan daya tarik wisatawan.

Konsep Ramah Lingkungan pada Toilet Umum

Sebuah kawasan wisata perlu mendapatkan layanan toilet umum yang nyaman, sehat, memiliki nilai estetika, dan terpelihara dengan baik. Toilet umum, selain berfungsi sebagai tempat buang air besar dan buang air kecil, juga menjadi tempat membasuh tangan. Kebersihannya mencerminkan budaya bangsa (Bagiastra & Damayanti, 2021).

Kehadiran kawasan wisata juga harus memperhatikan kondisi lingkungan dan mengurangi dampak negatif yang ditimbulkan dari kegiatan pariwisata tersebut. Pengurangan dampak negatif terhadap lingkungan di kawasan wisata salah satunya dapat dilakukan dengan penyediaan infrastruktur toilet umum menggunakan konsep ramah lingkungan. Istilah ramah lingkungan menunjukkan bahwa konsep yang digunakan pada desain toilet umum tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Toilet umum yang ramah lingkungan menggunakan material dan produk yang memiliki dampak positif atau tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Produk yang ramah lingkungan adalah produk yang terbarukan, dapat didaur ulang, dan produk yang saat digunakan tidak merusak lingkungan (Ali, Lestari, & Putri, 2020).

Penerapan konsep ramah lingkungan pada toilet umum dapat diimplementasikan dengan menggunakan teori desain biophilic yang menciptakan ruang sehat. Konsepnya mengurangi pengaruh panas sehingga lingkungan lebih nyaman dan sehat secara fisik maupun psikis (Zakiyaturrahmah, Nugroho, & Pramesti, 2017). Desain biophilic serupa tetapi tidak sama dengan bangunan hijau (green building). Konsep bangunan hijau hanya berorientasi pada bangunan gedung, sedangkan desain biophilic lebih luas lagi. Menurut teori, desain biophilic dinilai dapat mereduksi kesan-kesan negatif pada toilet umum karena sifatnya yang menjadikan alam sebagai elemen dalam meningkatkan kualitas ruang dan manusia sebagai penggunanya. Desain biophilic dapat dikelompokkan menjadi tiga fokus yaitu, hubungan langsung dengan komponen alam atau “nature in the space”, keberadaan atau eksistensi alam atau “natural analogies”, dan wujud bentang alam atau “nature of the space” (Balai Litbang Perumahan Wilayah I Medan, 2020). Namun, perancangan desain toilet umum pada kawasan wisata yang paling sesuai dengan konsep ramah lingkungan adalah konsep desain biophilic yang berfokus langsung dengan komponen alam (nature in the space). Terdapat beberapa komponen utama pada hubungan langsung tersebut, yaitu melalui hubungan visual dan tidak visual, hubungan dengan suhu, aliran udara, air, dan cahaya (Zakiyaturrahmah dkk, 2017). Hubungan langsung dapat dilakukan dengan melihat objeknya misalnya pintu, jendela, posisi tempat cuci tangan, kloset, dan urinal. Hubungan langsung dapat juga dilakukan dengan mendengar, merasakan, atau mencium aroma tertentu. Cahaya lampu dapat dilihat sedangkan perubahan suhu, aliran udara, hanya dapat dirasakan.

Dengan demikian, perancangan toilet umum pada kawasan wisata yang menggunakan konsep biophilic design nature in the space pada prinsipnya dapat menggunakan hubungan-hubungan tersebut (Balai Litbang Perumahan Wilayah I Medan, 2020). Elaborasi tema dalam perancangan ini diuraikan dalam Tabel 1.


Menurut Wibowo (2017), dalam merancang toilet umum terdapat empat komponen utama yang perlu dipertimbangkan. Keempat komponen tersebut adalah alokasi luasan area hijau tidak terbangun, pengendalian konsumsi listrik, sistem pengolahan air limbah, dan pengelolaan sampah. Keempatnya, dapat diarahkan pada perencanaan yang memperhatikan konsep ekologis.

Atap bangunan (green roof) dan dinding bangunan (green wall), dapat dimanfaatkan untuk menambah luasan area hijau. Pengolahan sampah memperhatikan konsep pengelolaan yang memberikan nilai tambah bagi penghuninya. Sedangkan efisiensi penggunaan energi/listrik dapat dilakukan dengan pemanfaatan teknologi bahan bangunan. Pada penerapan toilet umum yang ramah lingkungan, sistem sanitasi didesain dengan memperhatikan penghematan dan ketersediaan air bersih. Penghematan air dilakukan dengan pemanfaatan air hujan atau grey water sebagai flushing toilet dan menyiram tanaman. Pengolahan grey water dilakukan dengan pengolahan air limbah menggunakan teknologi pengolahan air limbah konvensional atau portable, tangki septik, dan constructed wetland (Ali et al., 2020).

Pembagian area dalam desain lingkungan toilet umum perlu mempertimbangkan pembagian area kering dan area basah. Hal tersebut akan mempengaruhi kenyamanan pengguna serta meningkatkan estetika yang sangat penting dalam mendesain toilet umum di kawasan wisata. Gambar 1, adalah ilustrasi desain area toilet umum karya Restroom Association Singapore (2018).



Pembangunan toilet umum di kawasan wisata ramah lingkungan dapat diintegrasikan dengan budaya setempat yang unik. Adanya keunikan tersebut diharapkan dapat menambah daya tarik pengunjung wisata. Penggunaan material bangunan dan tanaman setempat untuk mengisi area hijau tapak toilet umum, dapat meningkatkan partisipasi masyarakat untuk memeliharanya. Apabila partisipasi masyarakat semakin meningkat, maka semakin besar kontribusinya terhadap keberlanjutan pemeliharaan toilet umum. Oleh karena itu, desain toilet umum yang menjadi bagian infrastruktur permukiman, perlu mempertimbangkan penggunaan sumber daya setempat.

Sistem Pengelolaan Limbah Toilet Umum Kawasan Wisata

Komponen dasar namun vital dalam industri pariwisata yang dapat memberikan kesan dalam pengalaman wisata adalah ketika wisatawan harus menggunakan toilet umum. Toilet umum adalah ruangan atau bilik yang digunakan bersama oleh semua orang untuk buang air kecil dan besar yang terdiri dari setidaknya kloset yang dilengkapi dengan atau tanpa tempat duduk (duduk atau jongkok) dan terhubung ke sistem pengolahan air limbah. Toilet umum harus bersih, dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan aksesoris, berlokasi nyaman, terawat dan dilengkapi dengan sistem pengelolaan limbah dan sampah yang baik (The ASEAN Secretariat, 2016).

Air limbah dari toilet umum termasuk kategori air limbah rumah tangga karena berasal dari kegiatan manusia. Kualitasnya tidak jauh berbeda dengan air limbah yang berasal dari toilet keluarga, tetapi volumenya berbeda tergantung jumlah penggunanya. Fraksi cairan air limbah, jauh lebih besar dari fraksi padatannya yaitu 99,9% berbanding 0,1%. Sebesar 70% dari padatan tersebut adalah zat organik, dan sisanya adalah zat anorganik. Zat organik antara lain adalah lemak, protein, dan karbohidrat, sedangkan zat anorganik antara lain grit, logam dan garam (Dinas Lingkungan Hidup Kota Surabaya, 2019). Kriteria sistem pengelolaan lingkungan pada toilet umum mengacu pada adanya sistem pengelolaan limbah dan pengolahan air yang tepat sesuai dengan standar yang berlaku. Studi pengelolaan air limbah yang berkelanjutan, diperlukan pendekatan holistik yang mempertimbangkan dampak lingkungan dan biaya dari sistem yang akan digunakan. Pakar dan pembuat kebijakan sering menggunakan analisis biaya/manfaat untuk memilih sistem air limbah. Dalam pemilihan sistem pengolahan, digunakan beberapa indikator antara lain pembuangan limbah untuk badan air, jumlah lumpur yang dihasilkan, penggunaan energi listrik, serta investasi dan biaya operasional-pemeliharaan yang digunakan.

Konsep pengelolaan air limbah toilet umum yang berkelanjutan perlu dirancang dengan memaksimalkan penggunaan air siklus daur ulang. Sumber air yang dapat dimanfaatkan yaitu air hujan dan penggunaan kembali air olahan greywater. Pendekatan penelitian toilet sistem berbasis air daur ulang masih belum umum di Indonesia dan belum diizinkan untuk beberapa daerah yang memiliki kondisi seperti tanah yang dianggap tidak cocok untuk pembuangan limbah langsung di kawasan. Pengelolaan air limbah yang berkelanjutan dianalisis melalui pendekatan yang efisien untuk penggunaan air melalui sistem daur ulang (Ali et al., 2020). Daur ulang air dapat menghemat listrik dan bahan kimia, bahkan diketahui bahwa penggunaan air limbah daur ulang dapat mengurangi penggunaan air bersih hingga 50% (Jenseen, Vrale, & Lindholm, 2007). Aspekaspek desain yang dikaji dalam makalah ini meliputi sistem pengelolaan air bersih dan air limbah, fasilitas, kebersihan dan keamanan.

Toilet umum harus terhubung ke saluran pembuangan khusus yang sudah tersedia untuk pengolahan air limbah domestik skala kawasan. Namun, apabila tidak memungkinkan tersambung dengan saluran pembuangan skala kawasan, maka perlu mempertimbangkan penggunaan instalasi pengolahan sekunder. Jenis sistem dan metode pengelolaan limbah harus ditentukan oleh karakteristik lokasi dan diatur sesuai dengan pedoman yang ada untuk pembuangan dan penanganan limbah. Air limbah dari toilet, khususnya grey water, memiliki potensi besar untuk diolah menjadi air daur ulang yang dapat digunakan sebagai sumber air bersih yang tidak dapat diminum. Dengan memanfaatkan daur ulang air limbah grey water sebagai sumber pasokan air lainnya, jumlah air tanah atau air permukaan digunakan dapat diminimalkan secara signifikan (Jenseen, et al., 2007). Grey water yang diolah dapat digunakan kembali sebagai flush untuk toilet dan urinal.

Instalasi sistem perpipaan harus mempertimbangkan untuk dipasang dengan cara yang mencegah arus balik. Perlengkapan pipa harus dipasang dengan cara memudahkan akses untuk dibersihkan dan perbaikan serta harus dipasang dengan pengaturan yang tepat. Perlengkapan harus dalam kondisi baik, memiliki permukaan yang halus, tidak berpori dan tidak ada potensi penumpukan kotoran yang sulit untuk dilakukan pembersihan. Perlengkapan di toilet umum harus tahan lama dan berkualitas yang diharapkan sesuai dengan standar yang berlaku. Perlengkapan di toilet umum harus terhubung ke saluran pembuangan tahan korosi (The ASEAN Secretariat, 2016). Sementara alternatif teknologi pengolahan air limbah dapat dipilih sesuai dengan karakteristik pengolahan serta kondisi lingkungan dengan mempertimbangkan aksesibilitas dan kemudahan operasional-pemeliharaan (Firdaus et al., 2020).

Kesimpulan

Toilet umum kawasan wisata beserta instalasi pengolahan limbahnya merupakan salah satu infrastruktur pendukung kawasan wisata yang seringkali luput dari perhatian, baik dalam tahap perencanaan hingga pengelolaannya. Penerapan konsep ramah lingkungan pada perencanaan kawasan wisata termasuk dalam penyediaan toilet umum akan mampu memberi nilai tambah terhadap suatu kawasan wisata. Konsep ramah lingkungan dapat diimplementasikan dengan menggunakan material/produk yang ramah lingkungan (tidak memiliki dampak negatif pada lingkungan). Kemudian, desain arsitektur bangunan dapat menggunakan prinsip hubungan langsung dengan alam seperti pengaturan pencahayaan alami, penggunaan material alam, dan pemanfaatan vegetasi untuk meningkatkan estetika bangunan. Dengan mempertimbangkan aspek teknis dan prinsip arsitektur bangunan ramah lingkungan, maka adanya toilet umum ramah lingkungan di kawasan wisata berkontribusi mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dari aktivitas pariwisata.

Penyediaan instalasi pengolahan limbah domestik yang tepat guna pada toilet umum telah mampu meminimalisir potensi pencemaran lingkungan terhadap kawasan wisata, yang akan berdampak pada kenyamanan pengunjung serta keberlanjutan kawasan wisata itu sendiri. Siklus pengelolaan air berkelanjutan, yang memanfaatkan limbah terolah menjadi air bersih yang digunakan kembali dapat meningkatkan keberlanjutan lingkungan. Beberapa instalasi pengolahan air limbah setempat yang pernah diterapkan di fasilitas umum dapat diterapkan kedepannya oleh stakeholder yang berkepentingan dalam penyediaan infrastruktur di kawasan wisata. Adanya toilet wisata yang ramah lingkungan diharapkan mampu memberikan kenyamanan kepada wisatawan sehingga dapat meningkatkan daya tarik wisatawan lainnya untuk berkunjung ke objek wisata tersebut.

 

 

 

 

 

Sumber : Oleh Ryo Teguh Sukarto, Tanjung Mega Dwi Puspita Dalam BUNGA RAMPAI INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DI KAWASAN WISATA, Penerbit Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2023

Minggu, 10 Maret 2024

PENINGKATAN INFRASTRUKTUR PENGELOLAAN SAMPAH DI KAWASAN WISATA PANTAI

Pendahuluan

Pariwisata adalah kegiatan multidimensi dari aspek fisik, sosial budaya, ekonomi, dan politik yang melibatkan berbagai sektor dan lembaga lainnya. Berkembangnya sektor pariwisata menjadi pemicu perkembangan kegiatan penunjang lainnya seperti sektor pertanian, peternakan, perkebunan, kerajinan rakyat dan peningkatan kesempatan kerja. Berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 14/Permen-KP/2016 tentang Kriteria dan Kategori Kawasan Konservasi Perairan untuk Pariwisata Alam Perairan, kawasan konservasi perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan (Permen Kelautan dan Perikanan, 2016).

Salah satu isu lingkungan yang banyak ditemukan di kawasan wisata pantai adalah masalah sampah permukiman yang mengotori pantai dan perairan. Meningkatnya volume sampah domestik maupun sampah non-domestik yang masuk ke perairan, dimulai dari sungai hingga masuk ke laut, menyebabkan pencemaran dan kerusakan ekosistem, sehingga menjadi masalah yang besar dan menjadi perhatian banyak pihak. Pengelolaan sampah kawasan pantai yang baik berdampak pada pengurangan sampah yang akan di buang ke laut. Berdasarkan Peraturan Presiden No. 83 tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut, target pengurangan sampah yang dibuang ke laut sebesar 70 % pada tahun 2025 (Peraturan Presiden, 2018).

Berdasarkan kajian Aziz et al. (2020) di kawasan wisata Pantai Carocok Painan Kabupaten Pesisir Selatan, permasalahan sampah antara lain disebabkan adanya ketidaksesuaian praktik pengelolaan dengan standar pengelolaan, belum diterapkannya pengolahan di sumber sampah serta masih adanya praktik pembakaran sampah di beberapa lokasi sepanjang pantai. Mengacu pada kajian Jayantri, A. S. & Agung, R. M. (2021), faktor-faktor yang menyebabkan penumpukan sampah di kawasan pantai antara lain kurangnya kesadaran pengunjung, kurang tersedianya prasarana tempat sampah, sampah rumah tangga tidak dikelola menumpuk di kawasan pantai, sampah yang terbawa arus sungai akibat kebiasaan warga sekitar pantai yang masih membuang sampah ke sungai.

Hasil kajian Yuliadi et al. (2017), menyatakan bahwa sampah plastik merupakan sampah yang paling banyak ditemukan di Pantai Pangandaran yang mencemari lingkungan dan sulit diuraikan oleh tanah. Sedangkan Bali sebagai destinasi pariwisata pantai dan kepulauan kelas dunia, pengelolaan belum dilakukan dengan baik dan sistematis. Mengacu pada hasil penelitian Widyarsana & Aulia (2020), kendala pengelolaan disebabkan karena belum optimalnya koordinasi antara lembaga pengelolaan, masih lemahnya penegakan hukum dari Perda, kurangnya kesadaran masyarakat, masih kurangnya fasilitas pengelolaan persampahan, kurangnya dukungan pembiayaan, serta kurangnya inovasi dalam peningkatan pelayanan penanganan persampahan.

Ruang lingkup kajian adalah mengidentifikasi kondisi eksisting pengelolaan sampah kawasan pantai, mengevaluasi timbulan dan komposisi sampah pantai, dan mengevaluasi infrastruktur pengelolaan sampah di lokasi kajian. Tujuan dari kajian adalah untuk merekomendasikan peningkatan infrastuktur pengelolaan sampah di kawasan wisata pantai. Lokasi kajian di pantai wisata Senggigi, Kabupaten Lombok Barat; NTB, pantai wisata Gili Terawangan dan Gili Meno di Kabupaten Lombok Utara, NTB; pantai wisata Pangandaran Jawa Barat dan pantai wisata di Pulau Untung Jawa Kepulauan Seribu DKI Jakarta.

Data yang digunakan adalah data sekunder hasil penelitian terdahulu berdasar kajian Darwati (2019) yang telah ditambah dengan informasi terbaru dari hasil kajian pustaka lainnya. Data sekunder pengelolaan sampah meliputi timbulan dan karakteristik sampah, pemilahan, pewadahan, pengumpulan, pemindahan pengangkutan, pengolahan, pemrosesan akhir, lembaga pengelola, pembiayaan; keterlibatan swasta dan peraturan.



Kondisi Pengelolaan Sampah di Kawasan Pantai

Dengan menggunakan data sekunder hasil penelitian Darwati (2019), kondisi pengelolaan sampah di lokasi kajian dianalisis berdasar nilai dan kategori. Kategori kurang (K) dengan nilai <2,7, sedang (S) dengan nilai 2,7-3,8 dan baik (B) dengan nilai ≥ 3,8. Hasil kompilasi data disajikan pada tabel 1 dan tabel 2.


Evaluasi Timbulan dan Komposisi Sampah Kawasan Pantai

Untuk kawasan pantai, data sampah dibedakan atas data sampah darat dan bawaan laut. Data sampah darat di pantai di Pulau Untung Jawa memberikan gambaran bahwa komposisi dan timbulan sampah dipengaruhi oleh kunjungan wisatawan. Gambar 1 menyajikan data komposisi sampah di Pulau Untung Jawa pada hari kerja yang didominasi oleh sampah daun sebesar 48,6%. Untuk sampah dapur pada hari kerja hanya sebesar 3,35%, sampah jenis plastik sebesar 9,01% terdiri atas 2,07% plastik kerasan dan 6,94% plastik lembaran. Komposisi sampah pada akhir pekan berbeda dengan hari kerja dimana pada akhir pekan timbulan sampah dapur meningkat menjadi 19,7% sedangkan sampah daun hanya sebesar 23,4%. Selain kedua sampah tersebut sampah batok kelapa juga cukup banyak yaitu 16,3%.

Gambar 2 menyajikan data sampah bawaan laut Pulau Untung Jawa, umumnya sampah bawaan laut didominasi oleh sampah yang sulit membusuk sebesar 64,74% yang terdiri dari berbagai macam komponen selain plastik diantaranya styrofoam, popok sekali pakai, kain dan lain-lain. Gambar 3 menyajikan data rata-rata timbulan sampah per hari dari bulan Januari 2015 hingga Juni 2015. Timbulan terendah terjadi pada bulan Februari dan yang tertinggi terjadi pada bulan April. Namun secara statistik timbulan sampah bawaan laut dapat mencapai 7,67 m3/hari.

Evaluasi Infrastruktur Pengelolaan Sampah

Evaluasi kinerja infrastruktur pengelolaan sampah dilakukan dengan metode indeks kinerja kumulatif. Infrastruktur pengelolaan sampah dinilai berdasarkan 12 variabel dengan indikator dan pertimbangan penilaian yang mempengaruhi kinerja dari tiap variabel sebagaimana dapat dilihat pada tabel 3.

Parameter penilaian untuk setiap indikator didasarkan pada jenjang (hierarki) prioritas. Dalam hal ini, jenjangnya mengikuti skala kurang (rentang < 2,7), sedang (rentang 2,7-3,8) dan baik rentang (>=3,8). Variabel sistem yang kinerjanya baik, mencerminkan belum memerlukan peningkatan sedangkan yang kurang baik, mencerminkan sangat membutuhkan peningkatan. Hasil penilaian indeks kinerja kumulatif pengelolaan sampah dapat dilihat pada tabel 4, berdasarkan kriteria penilaian kondisi pengelolaan sampah wisata pantai yang dijelaskan pada tabel 5.



Berdasarkan hasil analisis, penilaian kebutuhan terhadap variabel pengelolaan sampah di lokasi kajian disajikan pada gambar 3 berdasarkan kriteria penilaianpenilaian yang ditetapkan pada tabel 6. Variabel pengelolaan yang masih kategori kurang adalah dengan nilai < 70,21 yaitu varibel ketersediaan data timbulan dan komposisi sampah, pengumpulan dan pengolahan sampah.





Berdasarkan hasil analisis penilaian indeks kinerja kumulatif, semua lokasi mempunyai kinerja kategori baik dengan nilai >=793,20 sebagaimana dapat dlihat pada gambar 4 dan tabel 7.



Peningkatan Infrastruktur Pengelolaan Sampah Kawasan Pantai

Dari hasil analisis, peningkatan infrastruktur pengelolaan sampah di kawasan wisata pantai adalah sebagai berikut:

1)    Ketersediaan data karakteristik timbulan dan komposisi sampah

Timbulan dan komposisi sampah merupakan faktor utama dalam menentukan teknis operasional pengelolaan sampah perkotaan. Data timbulan dan komposisi sampah merupakan data dasar dalam perencanaan besaran kapasitas dan kelayakan jenis pengolahan sampah berbasis 3R (Reduce, Reuse, Recyling). Cara pengujian komposisi sampah masih mengacu pada SNI 19 – 3964 – 1994 tentang Metoda Pengambilan dan Pengukuran Sampel Timbulan dan Komposisi Sampah (Badan Standardisasi Nasional, 1994). Pemerintah daerah perlu melakukan sampling terhadap timbulan dan komposisi sampah di kawasan pantai meliputi sampah darat yang disebabkan aktivitas domestik maupun sampah non-domestik dan sampah perairan serta sampah bawaan laut.

2)    Pengumpulan sampah

Ketentuan tentang sistem pengumpulan sampah telah diatur pada Permen PUPR No. 03/PRT/M/2013, Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Persampahan dalam Penanganan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Permen PUPR, 2013). Pengumpulan dan pengolahan sampah merupakan bagian dari sistem operasional pengelolaan sampah berbasis 3R. Perencanaan operasional pengumpulan harus memperhatikan jumlah ritasi, jadwal pengangkutan yang disesuaikan dengan komposisi sampah. Pengumpulan dengan menggunakan alat angkut dengan bak tersekat untuk setiap jenis sampah yang telah dipilah. Pelaksana pengumpulan sampah di kawasan pantai melibatkan stakeholder terkait seperti Dinas LH, LSM, masyarakat RT RW setempat serta pihak hotel/restoran/pengusaha kawasan wisata.

Merujuk pada SNI 8632 : 2018 tentang Tata Cara Perencanaan Teknik Operasional Pengelolaan Sampah Perkotaan, sarana pengumpulan sampah dapat berupa TPS 3R dengan luas 200 m2 (Badan Standardisasi Nasional, 2018). Cakupan pelayanan minimal 200 KK atau 3 m3 /hari, dengan kriteria sedekat mungkin daerah pelayanan, radius < 1 km; dilengkapi dengan naungan, ruang pemilahan, pencacah, pengomposan, gudang, zona penyangga, saluran lindi dan penampung lindi untuk diangkut ke Instalasi Pengolahan Lindi (IPL) di TPA; tidak mengganggu estetika dan lalu lintas; berada dalam wilayah permukiman penduduk, bebas banjir, ada jalan masuk, sebaiknya tidak terlalu jauh dengan jalan raya. Pada pulau kecil bilamana belum tersedia TPS 3R sampah dapat langsung diangkut dengan menggunakan kapal untuk diproses lebih lanjut di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir) sampah.

Pengumpulan sampah dapat disinergikan dengan kegiatan Bank Sampah. Sampah yang masih bernilai ekonomi dapat dikumpulkan oleh petugas pengumpul dan masyarakat penghasil sampah bank sampah dapat dioptimalkan untuk mendukung pemanfaatan sampah anorganik untuk dapat ditingkatkan nilai ekonominya sehingga lebih mudah terserap oleh pelaku usaha daur ulang untuk proses selanjutnya. Contoh bank sampah yang diperkenalkan di kawasan Pantai Losari Kota Makassar, dimana masyarakat menunjukkan minat yang tinggi untuk berpartisipasi berdasar studi Rukminasari et al. (2017). Harga jual dari jenis sampah anorganik yang diberikan oleh pelaku usaha daur ulang kepada pengumpul tergantung dari seberapa homogen jenis sampah tersebut, sesuai kebutuhan bahan baku produksi industri daur ulang. Untuk memenuhi syarat penjualan dan meningkatkan nilai jual dari sampah anorganik, maka dilakukan pemilahan lebih lanjut sehingga lebih spesifik dan bersih sesuai tuntutan off taker material daur ulang oleh pengelola sehingga hasil penjualannya dapat menjadi masukan untuk biaya operasional TPS 3R.

3)    Pengolahan sampah

Pengolahan sampah dilakukan pada sampah organik dan sampah anorganik. Pengolahan sampah organik antara lain dengan pengomposan secara biologis dengan memanfaatkan mikroba yang dapat tumbuh selama proses terjadi. Teknologi pengolahan dapat secara aerobik maupun anaerobik. Hasil kompos dapat dimanfaatkan untuk penghijauan dan urban farming dalam penataan taman. Alternatif lain, pengolahan sampah dengan budidaya maggot Black Soldier Fly (BSF). Menurut Dortmans et al. (2017), maggot memiliki kemampuan menguraikan sampah organik dengan cepat, tanpa bau dan sedikit menyisakan residu. Penggunaan larva dari serangga yang dipanen tersebut dapat berguna sebagai sumber protein untuk pakan hewan, sehingga dapat menjadi pakan alternatif pengganti pakan konvensional. Hasil kajian Darwati & Rhomadoni (2021), di TPS 3R Jatisari, Kabupaten Bandung, sampah organik yang dapat diproses sebagai pakan maggot sebesar 23% dari sampah organik, sisanya 67% adalah residu sampah organik dapat diolah menjadi kompos.

Pengolahan sampah anorganik yang dapat dilakukan antara lain dengan membuat eco brick, briket sampah, kerajinan sampah anorganik misal kemasan, kaca dan pengolahan sampah plastik dengan pencacahan dan peletasi sampah plastik sebelum dimasukkan ke dalam mesin perajang telah dipisah sesuai dengan jenisnya seperti Low Density Poly Ethylene (LDPE), High Density Poly Ethylene (HDPE), Poly Ethylene Terephthalote (PET), Poly Vinyl Chloride (PVC), Polypropylene (PP), Polystyrene (PS). Pembuatan briket sampah plastik menggunakan teknologi pemanasan untuk melelehkan sampah plastik sesuai dengan suhu/titik lebur plastik jenis tertentu, kemudian dilakukan pendinginan briket menggunakan air. Jenis plastik yang potensial untuk diolah menjadi briket adalah yang memiliki sifat thermoplastic (plastik yang dapat didaur ulang atau dicetak lagi dengan proses pemanasan ulang), contohnya PP dengan titik lebur pada suhu 160oC dan sampah plastik botol air mineral yang termasuk ke dalam jenis plastik PET dengan titik lebur lebih tinggi yaitu pada suhu 250oC.

4)    Peningkatan peran stakeholder dan pengaturan

Untuk meningkatkan kinerja pengelolaan sampah di kawasan wisata pantai perlu sinergi semua stakeholder yang terkait, yaitu masyarakat, instansi pengelola sampah, LSM dan pihak pengelola wisata. Pengelolaan sampah berbasis 3R harus diprogramkan dan disosialisasikan pada masyarakat daerah wisata, pengelola wisata pantai, hotel/restoran melalui kerjasama asosiasi/persatuan hotel restoran dengan LSM dan Dinas Lingkungan Hidup/Kebersihan setempat. Berdasar kajian Darwati (2019), pengelolaan sampah di kawasan pantai masih belum ada regulasi khusus, sehingga diperlukan pengaturan terkait tanggung jawab pengelolaan sampah antara pihak pengelola kawasan wisata pantai atau hotel dengan dukungan peraturan daerah. Pengelolaan sampah dari Pemerintah untuk kawasan wisata disarankan dalam bentuk UPTD.

Kesimpulan

Kondisi eksisting pengelolaan sampah wisata pantai di daerah studi umumnya berupa pewadahan, pengumpulan dan pengangkutan yang belum berbasis 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Pengelolaan sampah di kepulauan mengandalkan penimbunan di pulau dan pengangkutan yang dilakukan oleh kapal pengangkut sampah ke TPA. Sampah pantai terdiri atas sampah dari daratan yang timbul akibat aktivitas sekitar pantai yang jumlahnya tergantung pada jumlah pengunjung, jenis fasilitas penunjang, seperti hotel/penginapan, restoran dan sampah bawaan dari laut yang dipengaruhi oleh musim.

Data sampling sampah di Pulau Untung Jawa memberikan gambaran timbulan dan komposisi sampah pantai wisata. Pada hari kerja timbulan sampah sebesar 5,06 m3/hari dan pada akhir pekan sebesar 5,79 m3/hari. Timbulan sampah bawaan laut hasil grab sampling sebesar 2,98 m3/hari, sementara secara statistik rata-rata sebesar 7,67 m3/hari. Komposisi yang banyak dihasilkan dari sampah wisata didominasi sampah yang mudah membusuk terutama sampah daun dan sampah dapur. Sementara komposisi dari sampah bawaan laut didominasi oleh sampah yang sulit membusuk.

Pengelolaan sampah kawasan wisata pantai berdasarkan hasil analisis dengan metode indeks kinerja kumulatif dengan 12 variabel kinerja pengelolaan menunjukkan bahwa kualitas pengelolaan di lokasi kajian sudah baik. Dengan indeks >=793,20 kategori baik. Namun berdasarkan hasil ada tiga komponen sistem yang masih membutuhkan peningkatan yaitu ketersediaan data timbulan dan komposisi sampah, sistem pengumpulan sampah dan sistem pengolahan sampah belum optimal.

Pelaku utama dalam pengelolaan sampah pantai di kawasan wisata adalah pihak hotel/restoran/pengusaha di kawasan wisata yang bekerja sama dengan DLH/Dinas Kebersihan dan atau penyedia jasa swasta untuk pengangkutan sampah. Peningkatan pengelolaan sampah kawasan pantai perlu melibatkan partisipasi antar semua stakeholder yang terkait, kelembagaan pengelola kebersihan yang didukung dengan peraturan daerah setempat.

 

 

 

 

Sumber: Oleh Sri Darwati, Dalam Bunga Rampai Infrastruktur Permukiman di Kawasan Wisata, Penerbit PUPR Tahun 2023

Jumat, 08 Maret 2024

PENGELOLAAN AIR BERSIH PULAU KECIL UNTUK MEMBANGUN KAWASAN WISATA BERKELANJUTAN DAN RAMAH LINGKUNGAN

Pendahuluan

Kawasan wisata di Indonesia sangat bervariasi karena dibentuk oleh bermacam-macam atraksi yang ditawarkan, kondisi geologi dan topografi kawasan, cuaca dan iklim, serta potensi-potensi wilayah lainnya. Salah satu potensi wilayah yang dapat dimanfaatkan secara optimal untuk dikembangkan menjadi tujuan wisata adalah pulau-pulau kecil, karena umumnya pulau-pulau kecil memiliki sumber daya alam, aspek lingkungan, dan budaya yang unik. (Sugihamretha et al., 2015). Sementara itu, pembangunan sebuah kawasan wisata, selain prasarana dan sarana transportasi, sangat tergantung pada ketersediaan air tawar. Dengan demikian, kelangkaan air tawar menjadi salah satu kendala untuk membangun kawasan wisata. Tanpa sumber daya air yang cukup, maka kawasan wisata tidak dapat dikembangkan secara optimal. Di sisi lain, air limbah dan sampah akibat kegiatan penduduk setempat maupun pengunjung objek wisata yang tidak dikelola secara memadai dapat menimbulkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Akibatnya, kawasan wisata yang sudah dibangun menjadi tidak menarik karena tercemar air limbah dan sampah. Kawasan wisata menjadi tidak ramah lingkungan dan berisiko tidak berkelanjutan.

Beberapa pulau kecil seperti di Pulau Gili Trawangan (NTB), Pulau Bintan (Kepulauan Riau), Kepulauan Seribu (DKI Jakarta) telah teridentifikasi menghadapi masalah pengelolaan air bersih. Oleh karena itu, untuk mewujudkan kawasan wisata berkelanjutan dan ramah lingkungan, maka pengelolaan air bersih pulau harus terintegrasi dengan pengelolaan air limbah dan sampah domestik. Permasalahan dan tantangan yang dihadapi oleh pulau-pulau kecil ini semakin meningkat. Dengan demikian, semakin berkembang pariwisata di wilayah-wilayah tersebut, maka semakin besar pula tantangan yang dihadapi (Aryanti & Nasril, 2020).

Tujuan dari karya tulis ini membahas konsep keberlanjutan dan ramah lingkungan, potensi sumber-sumber air dan pilihan pengolahannya agar layak digunakan sebagai air bersih untuk kawasan wisata. Sumber informasi tulisan ini adalah sumber primer yang berasal dari hasil-hasil penelitian yang telah dipublikasikan di majalah ilmiah. Penyajiannya berdasarkan hasil-hasil analisis deskriptif terhadap sumber-sumber primer yang relevan, diolah kembali dengan menambahkan beberapa poin tentang aspek keberlanjutan dan aspek ramah lingkungan. Informasi yang disajikan adalah tentang bagaimana konsep dan praktik pembangunan berkelanjutan dan ramah lingkungan pada wilayah pulaupulau kecil, apa saja sumber air di pulau-pulau kecil yang dapat digunakan sebagai sumber air baku air bersih, bagaimana mekanisme untuk menampung dan menyimpan serta mengolahnya menjadi air yang aman dikonsumsi dan siapa saja para pengguna air bersih dengan jumlah besar di kawasan wisata pulau-pulau kecil serta bagaimana mengurangi risiko pencemaran air limbah sisa pemakaian air bersih.

Konsep dan Prinsip Berkelanjutan dan Ramah Lingkungan

Konsep berkelanjutan dan ramah lingkungan dalam pengelolaan air ini memiliki beberapa prinsip antara lain kemudahan akses publik terhadap air, partisipasi masyarakat dalam membangun budaya ramah air, penataan muka dan badan air secara berkelanjutan dan pengelolaan air dan limbah secara baik (Abdulaziz et al., 2019). Pengelolaan air secara berkelanjutan dan ramah lingkungan yang dapat diterapkan pada kawasan pulau kecil adalah pengelolaan pada skala masyarakat/pemilik usaha. Model pengelolaan air seperti ini mempunyai peran dan berkontribusi positif terhadap kualitas dan kuantitas air yang ada di kawasan tersebut. Pengelolaan sumber daya alam di pulau-pulau kecil yang memadai khususnya air bersih harus dapat meminimalisir produk sampingnya. Air limbah domestik adalah produk samping pemakaian air bersih. Besarnya volume pemakaian air bersih berhubungan dengan pesatnya perkembangan industri pariwisata yang menjadi andalan pulau-pulau kecil. Hal ini disebabkan karena pendapatan utamanya bergantung sekali dengan wisatawan yang datang. Dengan demikian, sumber daya alam pulau-pulau kecil khususnya ketersediaan air bersih menjadi fokus pembahasan keberlanjutan dan ramah lingkungan.

Perkembangan sektor pariwisata mempengaruhi pengelolaan air. Hotel dan resort merupakan pengguna air yang besar, selain itu juga sebagai penghasil air limbah yang besar. Untuk memenuhi kebutuhan air wisatawan, pengelolaan air harus dilakukan secara efisien dan berkelanjutan agar tidak terjadi bencana ekosistem bagi pulau-pulau kecil tersebut. Pada musim liburan, dimana konsumsi air bisa berlipat ganda dan untuk memenuhi permintaan di musim turis, tentu harus diimbangi dengan kuantitas air bersih yang harus mencukupi. Dengan meningkatnya konsumsi air, demikian pula produksi air limbah, dan tanpa penanganan yang tepat, terjadi peningkatan beban pencemaran (UNEP, 2003).

Solusi Masalah Air Bersih di Pulau-Pulau Kecil

Terdapat dua masalah utama sumber daya air di pulau-pulau kecil yang perlu dicarikan solusinya yaitu ketersediaan dan kualitas air. Peningkatan ketersediaan air dan kualitas air dari segi teknologi maupun kebijakan oleh para pemangku kepentingan merupakan solusi yang diperlukan untuk memecahkan permasalahan air bersih yang kerap terjadi pada wilayah pulau-pulau kecil. Beberapa solusi untuk kedua tujuan tersebut adalah pemanenan air hujan (rainwater harvesting), meningkatkan kapasitas daerah tangkapan air, impor air, desalinasi air laut, dan daur ulang air limbah.

1.     Pemanenan Air Hujan (Rainwater Harvesting)

Pemanenan air hujan (Rainwater Harvesting), adalah sebuah teknologi untuk mengumpulkan dan menyimpan air hujan yang dicurahkan dari langit, dan jatuh di atap-atap bangunan tanah dan batuan di lahan-lahan pekarangan ke dalam sebuah bangunan penyimpan air seperti tandon air dan reservoir (GDRC, 2006).

Pemanenan air hujan juga dipandang sebagai salah satu solusi yang paling tepat untuk meningkatkan pasokan air dalam skala mikro. Teknologinya mudah dipasang dan dioperasikan, masyarakat lokal dapat dengan mudah dilatih untuk menerapkannya dan bahan konstruksi juga tersedia (Hophmayer- Tokich & Kadiman, 2006).

Biaya operasional pemanenan air hujan relatif kecil, bahkan hampir dapat diabaikan. Air dikumpulkan dari atap tangkapan biasanya memiliki kualitas yang dapat diterima untuk keperluan rumah tangga dan memiliki sedikit dampak negatif pada lingkungan. Kapasitas pemanenan air hujan juga bergantung pada kapasitas dan kebutuhan dari hotel atau penginapan tersebut. Kapasitas pengumpulan dan penyimpanan air dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan dalam ketersediaan sumber daya air di daerah tangkapan air. Namun demikian, pemanenan air hujan tidak dapat dipandang sebagai teknologi utama atau satusatunya sumber air, terutama karena terbatasnya pasokan dan ketidakpastian curah hujan. Ini mungkin membuat pemanenan air hujan kurang menarik bagi beberapa instansi pemerintah dan penggiat pariwisata yang bertugas harus selalu menyediakan pasokan air di setiap waktu (GDRC, 2006).

Pemanenan air hujan untuk keperluan air minum belum diadopsi secara luas karena kekhawatiran terhadap risiko adanya polutan yang dapat berasal dari bahan kimia dan mikrobiologi. Di pihak lain belum tersedianya petunjuk yang spesifik dalam memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minum dan cara mengelola risiko yang mungkin ditimbulkan dari polutan kimia dan mikrobiologi tersebut masih terbatas dan masih banyak yang belum mengetahuinya (Ahmed et al., 2011).

Ditinjau dari aspek kualitas air, pemanenan air hujan termasuk pilihan teknologi yang ramah lingkungan bila dibandingkan dengan sumber air lainnya. Selain itu, sumberdaya air hujan termasuk sumberdaya yang terbarukan sehingga dijamin keberlanjutan pasokannya setiap tahun. Namun, kuantitas air hujan yang dipanen relatif terbatas sehingga tidak dapat digunakan sebagai satu-satunya sumber air untuk memenuhi kebutuhan di pulau-pulau kecil. Oleh karena itu, solusinya adalah kombinasi pemanfaatan dengan sumber lain seperti air permukaan yang ditampung di tandon air, embung atau waduk lapang serta pemanfaatan olahan air laut. Pemanfaatan sumber daya air permukaan dan air laut memerlukan pengolahan yang lebih intensif sebelum digunakan.

Pengambilan keputusan pemilihan sumber air tentang kombinasi pemanfaatan sumber air baku didasarkan pada perkembangkan kebutuhan kawasan wisata pulau-pulau kecil sesuai kecepatan pengembangan kawasan wisata tersebut. Selain itu, perlu dilakukan studi kelayakan yang mempertimbangkan aspek-aspek keberlanjutan teknis operasional, lingkungan, sosial dan ekonomi serta budaya. Data dasar seperti topografi, iklim, curah hujan, kondisi sosial ekonomi, dan budaya masyarakat setempat perlu dikumpulkan secara lengkap untuk mendukung analisis kelayakan pengembangan pengelolaan air bersih yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Gambar 1 memberi ilustrasi tentang pemanenan air hujan beserta pengelolaan dan pemanfaatannya untuk penggelontoran toilet dan cuci mobil. Limpasan airnya dikembalikan ke dalam lapisan pembawa air tanah.



Ilustrasi tersebut menjelaskan proses pemanenan air hujan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

2.     Meningkatkan Kapasitas Daerah Tangkapan Air

Meningkatkan penyimpanan air dapat dilakukan melalui proyek infrastruktur besar (misalnya pembuatan bendungan, waduk atau embung) dapat menjadi cara yang berguna untuk meningkatkan ketersediaan air pada pulau-pulau kecil yang sangat bergantung pada sektor pariwisata (Hophmayer- Tokich & Kadiman, 2006).

Sistem penangkapan air dengan membuat bendungan yang dibuat pada pulaupulau kecil yang masih terdapat sungai, konstruksinya diperkuat dengan lapisan kedap air berupa batu, tras, pasangan batu serta beton yang berfungsi sebagai pencegahan resapan di badan air (Sutirto, 2012). Sedangkan untuk embung, pembentukan embung pada dasarnya adalah untuk menyimpan air bersih dari curah air hujan yang turun terutama pada musim kemarau (Dewi & Wahidin, 2020).

Lahan di beberapa pulau-pulau yang kecil, mungkin tidak cukup tersedia untuk pembangunan infrastruktur. Lahan tersebut diperlukan untuk menampung air permukaan sehingga daya tampung airnya lebih besar. Cara ini lebih cocok digunakan pada pulau-pulau yang lahannya cukup luas sehingga memungkinkan dibuatkan infrastruktur atau pulau-pulau yang mempunyai aliran sungai (Asian Development Bank, 2015).

Pada gambar 2 dapat dilihat bahwa pembangunan waduk atau embung embung memerlukan alih fungsi lahan yang semula mungkin lahan pertanian atau permukiman perdesaan. Alih fungsi lahan tersebut adalah dampak pembangunan terhadap lingkungan dan dipandang kurang ramah lingkungan. Namun, pemanfaatan air permukaan sebagai sumber daya air terbarukan di kawasan wisata, sehingga termasuk kategori berkelanjutan.

3.     Impor Air (Water Importation)

Impor air adalah pemindahan air dari pulau lain atau dari daratan utama ke pulau-pulau kecil yang sangat terbatas sumber daya air bersihnya. Beberapa pulau-pulau kecil dengan air permukaan dan air tanah yang terbatas atau tidak ada, dan curah air hujan yang terbatas bergantung pada impor air tawar dari pulau lain atau dari daratan utama. Dalam kasus lain, impor air digunakan untuk menangani kasus kekeringan.

Air biasanya diimpor melalui jaringan perpipaan dengan pulau lain atau daratan utama. Akan tetapi apabila pulau yang membutuhkan air tersebut sangat jauh jaraknya untuk dijangkau jaringan perpipaan, maka air diimpor dengan transportasi laut, misalnya kapal besar/tanker, dan di beberapa kasus, air bersih akan diantar dengan perahu atau kano ke pulau-pulau terdekat dengan sumber daya air yang tersedia (Asian Development Bank, 2015).

Gambar 3 memberi ilustrasi tentang pendekatan impor air bersih dari pulau lain melalui pipa transmisi yang ditanam di bawah air laut sehingga tidak mengganggu transportasi laut. Penanaman pipa di bawah laut adalah contoh mitigasi dampak lingkungan sehingga impor air bersih tetap ramah lingkungan.

4.     Instalasi Pengolahan Air Laut (Desalination)

Pengolahan air laut atau air payau menjadi air tawar dapat dilakukan dengan cara desalinasi atau dengan penyaringan melalui semi permeable membran bertekanan tinggi (reserve osmosis). Dengan demikian, ada perbedaan proses teknologi desalinasi maupun reserve osmosis.

Pada proses pengolahan air laut menggunakan teknologi desalinasi, diperlukan peralatan yang sifatnya spesifik untuk setiap pengolahan. Tetapi ada peralatan yang bersifat umum seperti sistem pompa air baku, saringan (screen) dan saringan (filter), sistem distribusi produk air desalinasi, tangki penampungan (storage tank), peralatan penerima dan pembagi aliran listrik (Nugroho, 2004).

Instalasi Pengolahan Air Laut mungkin terlihat efisien dan mudah dilihatnya karena hanya mengolah air laut menjadi air tawar. Akan tetapi, pemeliharaan dan peralatan yang digunakan sangat mahal. Selain itu, pemakaian daya listrik cenderung sangat besar. Oleh karena itu, diperlukan petugas yang kompeten di bidangnya untuk mengoperasikan Instalasi Pengolahan Air Laut berbasis teknologi desalinasi tersebut.

Gambar 4 memberi ilustrasi tentang lokasi instalasi pengolahan air laut di kawasan pantai. Tampak pada gambar ini unit-unit instalasi pengolahan air laut. Instalasi ini juga memerlukan lahan yang relatif luas dan pengadaannya memerlukan proses alih fungsi lahan. Mungkin saja, sebelumnya digunakan untuk lahan budidaya tambak udang atau tambak ikan. Oleh karena itu, dampak alih fungsi lahan harus dipertimbangkan dalam proses perencanaan sehingga keputusan alih fungsi lahan di pantai ini dipilih yang paling ramah lingkungan.

5.     Daur Ulang Limbah Non-Kakus (Grey Water)

Air bekas pakai dari kamar mandi, air cuci pakaian dan dari dapur termasuk air nonkakus (grey water) karena bukan dari kotoran manusia termasuk air pembersihnya. Sementara itu, kotoran beserta air yang ditampung di kloset disebut air kakus (black water). Kandungan bahan cemaran grey water tidak sepekat black water, berpotensi besar untuk dimanfaatkan kembali. Kadar nitrogen didalam grey water hanya 10% dari black water. Selain itu, kandungan bakteri patogen yang merugikan dalam grey water hanya sedikit. Volume grey water bisa mencapai 60% dari total air buangan rumah tangga sehingga berpotensi besar untuk didaur ulang menjadi air bersih dan dapat digunakan kembali (Bestari et al., 2017).

Tangki septik yang dilengkapi dengan lahan basah buatan (constructed wetland) dapat juga memperbaiki kualitas efluennya dengan cara mengurangi kadar BOD (Biochemichal Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) sebelum dibuang ke badan air (Saputri, 2021). Oleh karena itu, peluang daur ulang grey water apalagi black water, masih perlu diuji kelayakannya secara teknis, sosial dan ekonomi serta budaya.

Gambar 5 adalah gambaran sistem daur ulang grey water untuk penyediaan air bersih. Tampak pada gambar ini perubahan air bersih sebelum dan sesudah pemakaiannya. Sebelum pemakaian, air yang dipasok masih dalam keadaan bersih. Namun, setelah dipakai untuk cuci pakaian, cuci peralatan rumah tangga, mandi dan pembersih setelah buang air besar dan buang air kecil, airnya menjadi kotor sehingga harus dibersihkan kembali sebelum dikembalikan ke media lingkungan atau didaur ulang.

Pengaliran atau pembuangan air kotor ke media lingkungan hidup adalah contoh praktik kegiatan yang tidak berkelanjutan dan ramah lingkungan karena mencemari lingkungan. Sebaliknya, daur ulang air kotor atau air limbah non-kakus (grey water) maupun air limbah dari kakus (black water) adalah contoh praktik kegiatan berkelanjutan dan ramah lingkungan.

 

Beberapa solusi untuk meningkatkan pengelolaan air bersih pada kawasan wisata pulau kecil telah diuraikan. Namun, semua teknologi tersebut tentu tidak akan optimal apabila tidak ada inovasi atau perawatan berkala pada infrastruktur pengelolaan air bersih di pulau-pulau kecil tersebut. Kekayaan (asset) infrastruktur permukiman yang dibangun di kawasan wisata, harus dirawat dengan baik sesuai persyaratan yang berlaku. Perawatan yang baik mampu menjaga mutu pelayanan kepada penggunanya. Selain itu, dapat menjaga keberlanjutan infrastruktur dan menjaga tetap ramah lingkungan. Sebaliknya, perawatan yang tidak baik, dapat menimbulkan kerusakan infrastruktur sehingga umur layanannya berkurang dan tidak ramah lingkungan. Dengan demikian, perawatan infrastruktur yang memadai adalah contoh praktik kegiatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Pemenuhan kewajiban untuk mewujudkan kawasan wisata pulau yang baik dan sehat pada semua tingkatan sesuai tanggung jawab masing-masing, juga contoh praktik kegiatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Apabila kewajiban tersebut sudah terpenuhi, maka hak-hak semua orang secara individu maupun kelompok masyarakat, dan orang-orang yang bekerja di lembaga pemerintah dan swasta, untuk memperoleh lingkungan yang baik dan sehat, otomatis akan terpenuhi. Hak dan kewajiban untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan telah disebutkan di dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Kesimpulan

Masalah air di pulau-pulau kecil terutama terkait dengan kuantitas dan kualitas sumber daya air tawar yang terbatas.

Beberapa teknologi yang dapat digunakan untuk meningkatkan kuantitas maupun kualitas air di pulau-pulau kecil memerlukan analisis kelayakan sebelum diaplikasikan. Informasi yang diperlukanmeliputi bentuk topografi, curah hujan, luasan wilayah pulau-pulau kecil tersebut.

Hasil analisis kelayakan teknologi, lingkungan, sosial ekonomi, dan budaya menjadi acuan pengambilan keputusan pemilihan satu sumber air atau kombinasi dari beberapa sumber air baku serta pilihan teknologi, termasuk pengoperasian dan pemeliharaannya. Pilihan teknologi manajemen terbaik adalah yang mengedepankan aspek keberlanjutan teknis, lingkungan, sosial, dan ekonomi serta aspek ramah lingkungan atau pilihan yang berdampak minimal terhadap lingkungan.

 

 

 

 

Sumber : Oleh Ario Wisnu Wicaksono Dalam BUNGA RAMPAI INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN DI KAWASAN WISATA Penerbit Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2023

Selasa, 05 Maret 2024

Penerbitan Petunjuk Teknis Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang sebagai Acuan dalam Pelayanan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang

Setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja Menjadi UndangUndang (UUCK) dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (PP 21/2021), dalam mendukung penguatan ekonomi nasional, salah satu upaya yang dilakukan yaitu mendorong kemudahan perizinan dan peningkatan investasi. Penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha salah satunya dilakukan melalui layanan penerbitan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) oleh Kementerian ATR/BPN. Sebagai layanan persyaratan dasar perizinan untuk kegiatan berusaha dimohonkan melalui sistem Online Single Submission Risk Base Approach (OSSRBA) yang dikelola oleh Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Untuk pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) diberikan kemudahan dengan menyampaikan pernyataan mandiri yang sudah tersedia dalam Sistem OSS-RBA bahwa lokasi usaha telah sesuai dengan tata ruang. Sistem elektronik juga sedang dikembangkan oleh Kementerian ATR/BPN dalam mendorong kemudahan pelaksanaan KKPR untuk kegiatan nonberusaha dan kegiatan yang bersifat strategis nasional.

Pelaksanaan KKPR diatur lebih operasional dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang (Permen ATR/Ka.BPN 13/2021). Terhadap substansi pengaturan KKPR, dibagi menjadi 3 (tiga) jenis yaitu KKPR untuk kegiatan berusaha, kegiatan nonberusaha, dan kegiatan yang bersifat strategis nasional. Penerbitan KKPR dilakukan melalui 3 (tiga) mekanisme, yakni Konfirmasi KKPR (KKKPR), Persetujuan KKPR (PKKPR), dan Rekomendasi (RKKPR). KKPR diterbitkan melalui mekanisme KKKPR jika terdapat kesesuaian antara Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang telah terintegrasi dengan Sistem OSS-RBA dengan rencana lokasi kegiatan pemanfaatan ruang. Sementara itu, KKPR diterbitkan melalui mekanisme PKKPR jika rencana lokasi kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RTR) selain RDTR. Selanjutnya, KKPR diterbitkan melalui mekanisme RKKPR jika rencana kegiatan pemanfaatan ruang sesuai dengan kebijakan nasional yang bersifat strategis dan belum diatur dalam RTR dengan mempertimbangkan asas dan tujuan penyelenggaraan penataan ruang.

Untuk lebih mendetailkan pengaturan dalam Permen ATR/Ka.BPN 13/2021, Direktorat Jenderal Tata Ruang telah menetapkan tiga Petunjuk Teknis (Juknis), yaitu Juknis Pelaksanaan Persetujuan KKPR (PKKPR) untuk Kegiatan Berusaha Nomor: 6/Juknis-PF.01/ VIII/2023, Juknis Pelaksanaan KKPR untuk Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional secara Non-elektronik Nomor: 10/Juknis-PF.01/XI/2023, serta Juknis Pelaksanaan KKPR untuk Kegiatan Nonberusaha secara Non-elektronik Nomor: 13/ Juknis-PF.01/XII/2023. Ketiga Juknis ini menjelaskan secara lebih detail terkait ketentuan pendaftaran, penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang, dan penerbitan dalam pelaksanaan KKPR. Penyusunan Juknis ini dimaksudkan sebagai acuan bagi pemerintah pusat (termasuk instansi vertikal Kementerian ATR/BPN) dan Pemerintah Daerah maupun pemangku kepentingan lainnya untuk memahami pelaksanaan KKPR baik untuk kegiatan berusaha, kegiatan nonberusaha, maupun kegiatan yang bersifat strategis nasional. KKPR untuk kegiatan berusaha dimohonkan pelaku usaha Non Usaha Mikro Kecil (NonUMK), yang merupakan usaha milik Warga Negara Indonesia (WNI) atau Warga Negara Asing (WNA), baik orang perseorangan maupun badan usaha, dengan modal usaha lebih dari 5 miliar rupiah di luar bangunan/gedung dan lahan. KKPR untuk kegiatan berusaha diterbitkan dalam bentuk KKKPR atau PKKPR. Selain KKPR yang diterbitkan berdasarkan lokasi usaha yang sesuai dengan RTR, Sistem OSS-RBA akan memeriksa dan menyetujui PKKPR secara otomatis untuk lokasi kegiatan usaha dengan kondisi tertentu seperti dalam Pasal 181 Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Usaha Berbasis Risiko (PP 5/2021). Ruang lingkup Juknis PKKPR untuk Kegiatan Berusaha meliputi pelaksanaan PKKPR yang diterbitkan berdasarkan RTR atau PKKPR dengan penilaian. Sedangkan KKPR untuk kegiatan nonberusaha dimohonkan perseorangan atau badan hukum dengan kegiatan meliputi:

a. Kegiatan pemanfaatan ruang yang membutuhkan perizinan nonberusaha;

b. Kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak membutuhkan perizinan berusaha dan/atau Nomor Induk Berusaha (NIB);

c. Kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak bertujuan komersial dan tidak menghasilkan keuntungan;

d. Kegiatan pemanfaatan ruang yang tidak bersifat strategis nasional atau obyek vital nasional; dan/ atau

e. Kegiatan pemanfaatan ruang yang sumber dananya berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), dan/atau dana Corporate Social Responsibility (CSR).

Selanjutnya mengenai KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional dimohonkan oleh menteri, kepala lembaga, gubernur, bupati, atau wali kota. Kegiatan yang bersifat strategis ditetapkan dengan peraturan perundangundangan, meliputi:

a. Proyek Strategis Nasional (PSN) melalui Perpres Nomor 109 Tahun 2020 (Perubahan Ketiga) dan Permenko Bidang Perekonomian Nomor 8 Tahun 2023 (Perubahan Keempat);

b. Proyek Prioritas Strategis (Major Project) melalui Perpres Nomor 18 Tahun 2020 tentang RPJMN 2020-2024;

c. Objek Vital Nasional melalui Peraturan Menteri/ Keputusan Menteri yang menetapkan Objek Vital Nasional; dan/atau

d. Kegiatan yang ditetapkan dalam Instruksi Presiden, Keputusan Presiden, dan/ atau Peraturan Presiden tentang Percepatan Pembangunan.

1. Pendaftaran

Pada tahap pendaftaran, dijelaskan dalam ketiga Juknis ini mengenai kelengkapan dan kualitas dokumen usulan pemanfaatan ruang yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha/pemohon saat mengajukan permohonan KKPR, meliputi ketentuan koordinat lokasi, kebutuhan luas lahan pemanfaatan ruang, informasi penguasaan tanah, informasi jenis usaha, informasi bangunan eksisting, informasi rencana bangunan baru, jumlah bangunan yang direncanakan, rencana jumlah lantai bangunan, rencana luas lantai bangunan, rencana teknis bangunan/ rencana induk kawasan, validasi dokumen usulan pemanfaatan ruang, serta perbaikan dokumen usulan pemanfaatan ruang. Khusus pada Juknis Pelaksanaan PKKPR untuk kegiatan Berusaha dan Juknis Pelaksanaan KKPR untuk Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional secara Non-elektronik dijelaskan pula mengenai pembayaran biaya layanan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk KKPR Berusaha dan KKPR yang bersifat strategis nasional.

2. Penilaian Dokumen Usulan Kegiatan Pemanfaatan Ruang

Muatan Juknis Pelaksanaan KKPR untuk Kegiatan Berusaha mengatur mengenai mekanisme penilaian PKKPR. Penilaian dengan mekanisme KKKPR diberikan berdasarkan kesesuaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dengan RDTR yang telah terintegrasi dengan Sistem OSS-RBA. Dalam Juknis pelaksanaan PKKPR untuk Kegiatan Berusaha, pada tahap penilaian dijelaskan mengenai ketentuan penilaian terhadap RTR yang dilakukan dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer dengan mengkaji kegiatan pemanfaatan ruang secara bertahap dan menyeluruh mulai dari RTRW kabupaten/ kota, RTRW provinsi, RTR KSN, RTR pulau/kepulauan, sampai dengan RTRWN. Selanjutnya terdapat pengaturan mengenai penilaian terhadap aspek pertanahan, penilaian terhadap aspek kebijakan sektor, dan dalam penilaian PKKPR untuk Kegiatan Berusaha oleh Pemerintah Daerah diatur mengenai pembahasan Forum Penataan Ruang (FPR). Selain itu, pada bagian tahap penilaian juga diatur pada Juknis mengenai ketentuan penyusunan hasil penilaian dokumen usulan pemanfaatan ruang, penentuan masa berlaku dan tujuan PKKPR untuk kegiatan Berusaha, penyusunan peta penerbitan PKKPR, penyusunan finalisasi konsep PKKPR, serta penerbitan surat perintah setor kurang bayar biaya layanan dalam hal terjadi kondisi yang mengharuskan pelaku usaha melakukan pembayaran tambahan biaya layanan PNBP. Pada tahap penilaian dalam Juknis pelaksanaan KKPR untuk Kegiatan NonBerusaha, dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang yang berada dalam delineasi RDTR yang telah terintegrasi dengan Sistem OSS-RBA dilakukan melalui mekanisme KKKPR.

Sedangkan dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang yang berada di luar delineasi RDTR yang telah terintegrasi dengan Sistem OSS-RBA penilaian dilakukan melalui mekanisme PKKPR. Penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang kegiatan nonberusaha melalui KKKPR dilakukan melalui kajian terhadap RDTR yang telah terintegrasi dengan Sistem OSS-RBA berdasarkan kesesuaian lokasi usulan kegiatan pemanfaatan ruang dengan RDTR. Sementara itu, penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang dengan mekanisme PKKPR dilakukan terhadap RTR selain RDTR dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer melalui kajian usulan kegiatan pemanfaatan ruang secara bertahap dan/ atau menyeluruh mulai dari RTRW kabupaten/kota, RTRW provinsi, RTR KSN, RTR pulau/ kepulauan, sampai dengan RTRWN. Selain itu terdapat pengaturan terhadap aspek pertanahan, penilaian terhadap aspek kebijakan sektor. Dalam penilaian PKKPR untuk Kegiatan nonberusaha oleh Pemerintah Daerah diatur juga mengenai pembahasan FPR. Selain itu Juknis ini mengatur terkait ketentuan penyusunan hasil penilaian dokumen usulan pemanfaatan ruang, penentuan masa berlaku dan tujuan KKPR, penyusunan peta penerbitan KKPR, serta penyusunan finalisasi konsep KKPR.

Mengenai tahap penilaian dalam Juknis pelaksanaan KKPR untuk Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional secara Non-elektronik, terdapat ketentuan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang melalui mekanisme KKKPR, PKKPR dan RKKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional. Penilaian KKKPR dilakukan melalui kajian terhadap RDTR yang telah terintegrasi dengan Sistem OSS-RBA berdasarkan kesesuaian lokasi rencana kegiatan pemanfaatan ruang dengan RDTR. Sedangkan penilaian dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang melalui mekanisme PKKPR dilakukan melalui kajian dengan menggunakan asas berjenjang dan komplementer dengan cara mengkaji rencana kegiatan pemanfaatan ruang secara bertahap dan/atau menyeluruh dengan RTR yang dimulai dari RTRW kabupaten/ kota, RTRW provinsi, RTR KSN, RTR pulau/kepulauan, sampai dengan RTRWN.

Kajian terhadap seluruh muatan RTR dilakukan secara komprehensif sampai teridentifikasi muatan pengaturan dalam RTR yang dapat menjadi acuan dalam penerbitan KKPR. Jika dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang tidak diatur atau tidak sesuai dengan RTR, Dokumen usulan kegiatan pemanfaatan ruang diproses melalui mekanisme RKKPR dengan melakukan kajian terhadap dokumen prastudi kelayakan dan memastikan bahwa muatan yang tercantum dalam dokumen prastudi kelayakan selaras dengan tujuan penyelenggaraan penataan ruang. Prastudi kelayakan merupakan kajian yang dilakukan untuk menilai kelayakan dengan mempertimbangkan paling sedikit aspek hukum, teknis, ekonomi, keuangan, pengelolaan risiko, lingkungan, dan sosial. Juknis ini juga mengatur mengenai penilaian terhadap aspek pertanahan dan sektor, penyusunan peta penerbitan KKPR, ketentuan persyaratan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang, serta penerbitan surat perintah setor kurang bayar biaya layanan dalam hal terjadi kondisi yang mengharuskan pemohon melakukan pembayaran tambahan biaya layanan PNBP, penyusunan finalisasi konsep KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional serta penentuan masa berlaku dan tujuan KKPR untuk kegiatan yang bersifat strategis nasional.

3. Penerbitan

Dalam Juknis pelaksanaan PKKPR untuk Kegiatan Berusaha dan Juknis Pelaksanaan KKPR untuk Kegiatan Nonberusaha secara Non-elektronik, untuk kegiatan berusaha dan nonberusaha kewenangan Pemerintah Pusat, penerbitan KKPR dilakukan oleh Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang. Sedangkan untuk kegiatan berusaha dan nonberusaha kewenangan Pemerintah Daerah, penerbitan KKPR dilakukan oleh Kepala Daerah melalui OPD yang menangani Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu. Sedangkan pada Juknis pelaksanaan KKPR untuk Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional secara Non-elektronik penerbitan KKPR hanya dilakukan oleh Menteri melalui Direktur Jenderal Tata Ruang. Pada tahap penerbitan, dijelaskan pada Juknis pelaksanaan PKKPR untuk Kegiatan Berusaha mengenai atribut pengisian hasil penilaian PKKPR untuk kegiatan berusaha pada portal Gistaru-KKPR sampai pengiriman dokumen PKKPR untuk kegiatan berusaha ke dalam Sistem OSS-RBA. Atribut yang perlu diisi diantaranya yaitu: 1. Koordinat geografis; 2. Nomor Pertimbangan Teknis Pertanahan (PTP); 3. Nomor peraturan; 4. Luas tanah yang disetujui; 5. Jenis peruntukan pemanfaatan ruang; 6. Kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) (5 digit); 7. Judul KBLI; 8. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) maksimum; 9. Koefisien Lantai Bangunan (KLB) maksimum; 10. Indikasi Program pemanfaatan ruang; 11. Persyaratan pemanfaatan KKPR; 12. Informasi Tambahan Apabila tersedia; 13. File Lampiran Peta; 14. Keterangan Peta; 15. File Lampiran Persetujuan KKPR; 16. Status (memuat keputusan disetujui atau ditolak); dan 17. Alasan Ditolak (apabila permohonan ditolak).

Sedangkan ketentuan pada Juknis Pelaksanaan KKPR untuk Kegiatan Nonberusaha secara Non-elektronik, dokumen KKPR yang diterbitkan paling sedikit memuat: 1. Nama Pemohon; 2. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); 3. Alamat Pemohon; 4. Nomor Telepon; 5. E-mail; 6. Sumber Pendanaan; 7. Jenis Kegiatan; 8. Lokasi Kegiatan; 9. Luas Tanah; 10. Kedalaman / Ketinggian Minimal yang Dimohon; 11. Kedalaman / Ketinggian Maksimal yang Dimohon; dan 12. Rencana Teknis Bangunan dan/atau Rencana Induk Kawasan.

Pada Juknis Pelaksanaan KKPR untuk Kegiatan yang Bersifat Strategis Nasional secara Nonelektronik, dokumen KKPR yang diterbitkan paling sedikit memuat seperti ketentuan pada kegiatan nonberusaha dengan menambahkan kode KBLI, judul KBLI, dan dokumen prastudi kelayakan (untuk penerbitan RKKPR).

 


 

 

 

Sumber : Oleh Corry Agustina, ST., MSc. , Ayi Fajarwati, S.T., M.T. , Hetti Trianti S.T., MSE., MPP. , R. Septiansa Anggoro Saputro, S.Kom. , dan Muhammad Fakhriansyah, S.P.W.K Dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi III | November - Desember 2023