Kamis, 15 Februari 2024

ALGORITMA RENCANA DETAIL TATA RUANG (RDTR) BUILDER

"Kondisi Jumlah RDTR yang masih sangat minim sebagai satu-satunya dasar perizinan investasi, ditambah minimnya jumlah dan distribusi planner yang tersertifikasi mengharuskan penyusunan RDTR secara semiotomatis menggunakan komputer, yang disebut sebagai Aplikasi RDTR Builder. Algoritma penyusunan RDTR harus disusun secara sistemik, sistematik, dan terukur yang digambarkan oleh empat buah flowchart yang meliputi Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang, Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan, Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX), dan Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan. Dengan adanya otomatisasi, setiap ide peserta forum bisa disimulasikan, sehingga waktu hitung para Planner akan lebih ringkas serta meminimalisir kesalahan perhitungan. Otomatisasi ini mengangkat planner dan kelembagaan tata ruang daerah ke level yang lebih tinggi."

PADA Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik dan arahan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo menegaskan mengenai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah satu-satunya Dasar Perizinan Berusaha dan Investasi. Permasalahan yang kita hadapi saat ini adalah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) belum tersedia di setiap kabupaten/kota, dan jikapun ada, keberadaannya belum meliputi seluruh wilayah administrasi kabupaten/kota. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah lebih memprioritaskan ibukota kabupaten atau bagian wilayah kotanya, dibanding kawasan strategis ekonomi dan kawasan industri yang letaknya di luar ibukota. Hal ini tentunya tidak salah, namun kebutuhan perizinan investasi tidak senada dengan ketersediaan Peraturan Daerah (Perda) tentang RDTR. Jumlah RDTR yang sedikit juga diakibatkan oleh jumlah dan distribusi perencana (planner) yang masih minim dan tidak merata. Selain itu, Pemerintah Pusat selama tahun 2011-2015 fokus pada penyelesaian Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang capaiannya hingga saat ini adalah sebesar 99% dari seluruh wilayah administrasi provinsi/kabupaten/kota seIndonesia.

Ke depan, penyusunan RDTR harus dilakukan secara massal dan terkomputerisasi dengan baik. Algoritma penyusunan RDTR harus memperhatikan unsur sistematik dan terukur yang direpresentasikan melalui empat buah flowchart yang meliputi Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang, Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan, Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX), dan Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan.

1. Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang

a. Indikator Pengembangan Perkotaan Analisa Kebijakan, Isu, dan Ekonomi dengan data Rencana Tata Ruang Wilayah (skala 1:50.000) menghasilkan parameter pengembangan BWP. Penggunaan Lahan skala 1:25.000 selama lima tahun dan parameter diolah menggunakan System Dynamic dan Spatial Dynamic menghasilkan Indikator Pengembangan dan Skenario Penggunaan Lahan Kawasan Perkotaan tahun ke-20 di skala 25.000.

b. Delineasi Bagian Wilayah Perencanaan (BWP) Delineasi BWP diperoleh melalui proses pemotongan (clip) pada kawasan perkotaan yang luasnya puluhan ribu hektar ke dalam BWPBWP yang masing-masing luasnya 2.500 - 3.000 Ha. Kemudian dihitung BWP mana yang paling prioritas untuk diRDTRkan di skala 1:5000. Selanjutnya, dilakukan perhitungan terkait BWP mana yang akan diprioritaskan untuk disusun RDTR-nya dalam skala 1:5000, dan kemudian dilakukan pengadaan Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT) dan Digital Elevation Model (DEM) yang melingkupi delineasi kawasan BWP tersebut.

c. Daya Dukung – Daya Tampung Analisa Daya Dukung dan Daya Tampung dengan data fisik, geologi, jenis tanah, hidrologi, dan kebencanaan menghasilkan Kemampuan Lahan dengan klasifikasi kelas-kelas. Selanjutnya dihitung berapa penduduk maksimal yang aman menghuni atau beraktivitas pada masing-masing kelas tersebut atau disebut dengan Arahan Distribusi Penduduk. Arahan distribusi penduduk perkelas atau kelas daya tampung selanjutnya didetailkan kembali per petaknya dengan luasan masing-masing sebesar satu hektar. Untuk kepentingan peraturan zonasi, survei lapangan mendetailkannya lagi hingga per 400 m2 (empat ratus meter persegi) atau dapat mencapai 100 m2 (100 meter persegi). Konsep perpetakan untuk membentuk blokblok beserta arahan jumlah penduduknya adalah produk akhir dari tahapan ini.

d. Struktur Internal BWP Sebaran pusat-pusat pelayanan dihitung jumlahnya. Kemudian dirangking hierarkinya, mana yang menjadi pusat lingkungan (PL), sebagai hierarki terendah; mana yang menjadi Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK), sebagai hierarki menengah; dan pusat pelayanan kota (PPK) sebagai hierarki tertinggi. PPK dan SPPK adalah pusat utama yang melayani BWP dan Sub BWP.

Sistem menempatkan:

1. Rencana PL sedekat mungkin dengan centroid setiap blok;

2. Rencana SPPK sedekat mungkin dengan centroid Sub BWP; dan

3. Rencana PPK sedekat mungkin dengan centroid BWP.

Konsep Struktur Internal BWP dihasilkan dengan melakukan iterasi sejumlah Titik Pusat Utama Kota hingga mencapai Arahan Distribusi Penduduk.

e. Jaringan Pergerakan dan Estetika Kota Jaringan Pergerakan menghubungkan otomatis titik pusat utama dan pusat lainnya yang lebar jalannya mengikuti hierarki pusatpusat yang dihubungkannya, menggunakan jalur yang efisien dan motif urbanpattern yang estetis, khususnya jalan yang melingkari pusat-pusat utama.

Hierarki jalan dengan lebar jalan masing-masing mengikuti hierarki pusatpusatnya sebagai berikut:

1. Jalan Arteri Sekunder, menghubungkan PPK ke SPPK dengan lebar jalan minimal 11 meter;

2. Jalan Kolektor Sekunder, menghubungkan antar SPPK dengan lebar jalan minimal 9 meter;

3. Jalan Lokal Sekunder, menghubungkan SPPK ke PL dengan lebar jalan minimal 7,5 meter; dan

4. Jalan Lingkungan S e k u n d e r , menghubungkan antar PL dengan lebar jalan minimal 6,5 meter.

f. Kebutuhan Ruang Kebutuhan ruang menghitung dan menempatkan sarana pelayanan umum (SPU), perdagangan jasa, dan ruang terbuka sesuai dengan hierarki pusat pelayanan dan jumlah penduduk dengan standar luas dan jarak/radius pelayanan masing-masing.

g. Finalisasi Muatan Rencana Warna-warni rencana pola ruangpun tercipta dengan menggabungkan penggunaan lahan di skala 25.000 dengan arahan kebutuhan ruang 1:5.000 yang merupakan "daging" dari "cangkang" jaringan pergerakan/jalan yang telah dibentuk pada langkah (f)



2. Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan

a. Sub BWP Prioritas

Menggunakan Sigma Rumus Gravitasi (sebagaimana bagan pada gambar 2) pada masing-masing Pusat Utama dengan data fisik Pendapatan Perkapita dibagi jarak kuadrat, dan dirangking Pusat-Pusat Utama mana yang tertinggi. Pusat-Pusat tersebut kemudian didelineasi seproporsional mungkin berdasarkan batas fisik: jalan, sungai, jaringan/saluran baik eksisting maupun rencana, untuk menghasilkan pembagian Sub BWP. Sub BWP pada Pusat Utama yang punya rangking tertinggi adalah Sub BWP Prioritas.

b. Indikasi Program Lima Tahunan

Selisih Rencana Struktur Ruang dengan Rencana Struktur Eksisting adalah Delta Struktur. Selisih Rencana Pola Ruang dengan Penggunaan Lahan Eksisting adalah Delta Pola. Delta Struktur dan Delta Pola tersebut dibagi ke dalam empat peta berdasarkan batasan fisik, menjadi peta Pembangunan Jangka Menengah (PJM) I - IV. Dimulai dari penggunaan lahan eksisting membentuk Sub BWP Prioritas pada PJM I hingga Rencana Pola Ruang pada PJM IV. Delta Struktur dan Delta Pola yang sudah dibagi menjadi empat PJM dikalikan dengan harga satuan seperti panjang ruas jalan, pembangunan Sarana Pelayanan Umum (SPU), pembangunan ruang terbuka, infrastruktur dan utilitas beserta pengadaan tanahnya. Maka, dihasilkan Pengembangan Program Lima Tahunan.



3. Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX)

a. Baris Kegiatan

Membandingkan data Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dengan Daftar Perizinan Kegiatan Berusaha di Daerah diperoleh Daftar Kegiatan daerah dalam format KBLI.

b. Kolom Zona

1. Data hasil survei di setiap blok meliputi penggunaan lahan, intensitas ruang dan tata bangunan disandingkan dengan klasifikasi zona/ subzona yang dihasilkan dari konsep RDTR untuk melihat apakah ada simpangan penggunaan lahan terhadap konsep rencana pola ruang RDTR. Jika ada simpangan, maka cek lagi apakah terdapat pelanggaran pemanfaatan ruang (potensi pemutihan), dengan melihat data perizinan eksisting. Jika ada pelanggaran, maka kegiatan ditertibkan.

2. Jika tidak ada pelanggaran (sebagaimana nomor 1), maka cek lagi apakah kegiatan tersebut memiliki keragaman kegiatan yang butuh pengaturan atau apakah memiliki dampak/ gangguan yang signifikan. Jika tidak, maka dimasukkan ke dalam daftar kegiatan (baris matriks ITBX).

3. Jika ya, memiliki keragaman kegiatan yang butuh pengaturan/ memiliki dampak/ gangguan yang signifikan (sebagaimana nomor 2), maka cek lagi apakah dapat diatasi dengan teknik pengaturan zonasi. Jika ya, maka masukkan ke daftar kegiatan, zona/ subzona RDTR tidak diganti, dan lanjut ke jenis TPZ mana yang sesuai. 4. Jika tidak dapat diatasi dengan teknis pengaturan zonasi (sebagaimana nomor 2), maka kegiatan, dijadikan zona/subzona, sehingga konsep zona/ subzona RDTR diganti dan masuk ke dalam daftar zona/subzona (Kolom Matriks ITBX).

c. Matriks ITBX

1. Ambil kriteria performa zona/subzona dari pedoman penyusunan RDTR, kemudian sesuaikan dengan kriteria lokal minimal setempat. Lengkapi dengan definisi (kompatibilitas zona/ subzona) dan kajian dampak kegiatan dengan diberlakukannya suatu zona/subzona.

2. Tepis semua daftar kegiatan satu persatu terhadap masing-masing zona/subzona dengan perlakuan sebagai berikut:

a. Cek apakah kegiatan sesuai dengan definisi dan tidak mengganggu kriteria lokal minimal?. Jika Ya, maka kegiatan diizinkan (I);

b. Jika tidak (mengganggu), maka cek apakah gangguan bisa diantisipasi dengan pembatasan luas, jumlah (unit), waktu operasi, dan frekuensi. Jika Ya, maka kegiatan bersyarat secara terbatas (T);

c. Jika tidak bisa dibatasi, maka cek apakah gangguan bisa diantisipasi dengan p e m b e r l a k u a n syarat tambahan/ khusus, seperti syarat konstruksi khusus; syarat anti kebisingan; seperti pengolahan sampah dan limbah khusus; dan jalur khusus dan parkir khusus untuk hindari bangkitan lalu lintas; dan lain-lain. Jika Ya, maka kegiatan bersyarat tertentu (B); dan

d. Jika gangguan tidak bisa diantisipasi dengan syarat-syarat tambahan/khusus, maka kegiatan tersebut dilarang ada (X) pada zona/ subzona tersebut.



4. Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan

a. Penentuan Koefisien Dasar Bangunan (KDB)

1. Cari data luas zona/ subzona; intensitas infiltrasi (I); tingkat infiltrasi (Iinf); koefisien infiltrasi; koefisien penyimpanan air (S).

2. Hitung KDB menggunakan persamaan sebagaimana ditunjukkan pada bagan.

b. Penentuan Koefisien Lantai Bangunan (KLB)

1. Hitung tinggi bangunan maksimum dengan variabel demand ruang; tangkapan pandang (viewshed); jenis bencana; paparan cahaya matahari; Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP); angin; standar jarak bangunan; keselamatan dari kebakaran; dan perbandingan biaya konstruksi vs pengadaan lahan

2. Jumlah Lantai Maksimum = Tinggi Bangunan Maksimum / tinggi 1 lantai.

3. KLB = Jumlah Lantai Maksimum / 100 x KDB.

c. Penentuan Garis Sempadan Bangunan (GSB) GSB depan (jarak dari pagar ke bangunan) untuk Jalan Arteri = 8 meter; Jalan Kolektor = 7 meter; Jalan Lokal 3,25 m; dan Jalan Lingkungan = 2,25 m.

d. Koreksi Data Lapangan dan Perizinan Koreksi rumusan intensitas pemanfaatan ruang dan tata bangunan dengan data eksisting bangunan dan keabsahan perizinan, seleksi sesuai dengan langkah Flowchart III, dan produk akhirnya adalah satu zona satu ketentuan intensitas dan satu ketentuan tata bangunan (zone based). Jika zone based tidak dimungkinkan untuk ketentuan bangunan, maka ketentuan bangunan dapat diterapkan satu blok satu aturan (block based).

Produksi RDTR masih belum memungkinkan dan tidak boleh seluruhnya otomatis, mengingat ketersediaan data, peran aktif masyarakat, dan kepiawaian planner yang berfungsi sebagai dirijen dari orkestra. Otomatisasi tidak akan membunuh profesi planner dan kelembagaan justru menguatkan. Dengan adanya otomatisasi, setiap ide peserta forum bisa disimulasikan, sehingga waktu hitung para Planner akan lebih ringkas serta meminimalisir kesalahan perhitungan. Otomatisasi ini mengangkat planner dan kelembagaan tata ruang daerah ke level yang lebih tinggi, yakni menemukan konsep ruang yang paling sesuai dengan filosofi, visi, misi, dan cita-cita luhur daerah dan meminimalisir terjadinya kegagalan perencanaan.

Saat ini, RDTR builder yang statis tidaklah cukup, karena belum menyatu dengan sistem pemanfaatan ruang yang real time di lapangan. Di tengah Era Big Data dan Artificial Intelligent dan tuntutan era percepatan investasi, maka setiap titik di muka bumi, bisa disimulasikan dampaknya dengan hitungan otomatis jenis bangunan vs jenis tanah/batuan dan air tanah. Dalam tahap perencanaan tata ruang akan sangat bermanfaat, dan pada tahap perizinan akan mengoreksi Ketentuan ITBX. Adapun kelemahan Ketentuan ITBX dan Intensitas Pemanfaatan Ruang yang statis adalah: 1). Ketentuan ‘I’-nya tidak mampu menghitung akumulasi izin di suatu kawasan. Ketika kawasan sudah jenuh, maka sudah bukan ‘I’ lagi tapi sudah ‘T’, ‘B’, atau bahkan ‘X’. Begitu juga dengan Ketentuan ‘T’ dan ‘B’, ada suatu saat akan berubah; dan 2). Tidak semua hal bisa dikonstantakan dengan KDB, KLB, GSB, tinggi Bangunan. Misal pemanfaatan ruang untuk Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) tidak bisa dengan konstanta tinggi bangunan, karena rumusnya dipengaruhi oleh tinggi permukaan tanah di tempat perizinan peil bandara. Jadi input yang dikehendaki adalah koordinat x, y, h (tinggi terrain dan bangunan).



 

Sumber: Oleh YUDHA PERDANA, ST.,MT Dalam BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 3 | MEI - JUNI 2020

Tidak ada komentar: