"Kondisi Jumlah RDTR yang masih sangat minim sebagai satu-satunya dasar perizinan investasi, ditambah minimnya jumlah dan distribusi planner yang tersertifikasi mengharuskan penyusunan RDTR secara semiotomatis menggunakan komputer, yang disebut sebagai Aplikasi RDTR Builder. Algoritma penyusunan RDTR harus disusun secara sistemik, sistematik, dan terukur yang digambarkan oleh empat buah flowchart yang meliputi Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang, Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan, Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX), dan Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan. Dengan adanya otomatisasi, setiap ide peserta forum bisa disimulasikan, sehingga waktu hitung para Planner akan lebih ringkas serta meminimalisir kesalahan perhitungan. Otomatisasi ini mengangkat planner dan kelembagaan tata ruang daerah ke level yang lebih tinggi."
PADA
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha
Terintegrasi Secara Elektronik dan arahan Presiden Republik Indonesia, Joko
Widodo menegaskan mengenai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah satu-satunya
Dasar Perizinan Berusaha dan Investasi. Permasalahan yang kita hadapi saat ini
adalah Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) belum tersedia di setiap
kabupaten/kota, dan jikapun ada, keberadaannya belum meliputi seluruh wilayah
administrasi kabupaten/kota. Dalam hal ini, Pemerintah Daerah lebih
memprioritaskan ibukota kabupaten atau bagian wilayah kotanya, dibanding
kawasan strategis ekonomi dan kawasan industri yang letaknya di luar ibukota.
Hal ini tentunya tidak salah, namun kebutuhan perizinan
investasi tidak senada dengan ketersediaan Peraturan Daerah (Perda) tentang
RDTR. Jumlah RDTR yang sedikit juga diakibatkan oleh jumlah dan distribusi
perencana (planner) yang masih minim dan tidak merata. Selain itu, Pemerintah
Pusat selama tahun 2011-2015 fokus pada penyelesaian Perda Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) yang capaiannya hingga saat ini adalah sebesar 99% dari seluruh
wilayah administrasi provinsi/kabupaten/kota seIndonesia.
Ke
depan, penyusunan RDTR harus dilakukan secara massal dan terkomputerisasi
dengan baik. Algoritma penyusunan RDTR harus memperhatikan unsur sistematik dan
terukur yang direpresentasikan melalui empat buah flowchart yang meliputi
Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang, Flowchart Penyusunan
Sub BWP Prioritas dan Indikasi Program Lima Tahunan, Flowchart Ketentuan
Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX), dan Flowchart Intensitas Pemanfaatan
Ruang dan Ketentuan Tata Bangunan.
1. Flowchart Penyusunan Struktur Ruang dan Pola Ruang
a.
Indikator Pengembangan Perkotaan Analisa Kebijakan, Isu, dan Ekonomi dengan
data Rencana Tata Ruang Wilayah (skala 1:50.000) menghasilkan parameter
pengembangan BWP. Penggunaan Lahan skala 1:25.000 selama lima tahun dan
parameter diolah menggunakan System Dynamic dan Spatial Dynamic menghasilkan
Indikator Pengembangan dan Skenario Penggunaan Lahan Kawasan Perkotaan tahun
ke-20 di skala 25.000.
b.
Delineasi Bagian Wilayah Perencanaan (BWP) Delineasi BWP diperoleh melalui
proses pemotongan (clip) pada kawasan perkotaan yang luasnya puluhan ribu
hektar ke dalam BWPBWP yang masing-masing luasnya 2.500 - 3.000 Ha. Kemudian
dihitung BWP mana yang paling prioritas untuk diRDTRkan di skala 1:5000.
Selanjutnya, dilakukan perhitungan terkait BWP mana yang akan diprioritaskan
untuk disusun RDTR-nya dalam skala 1:5000, dan kemudian dilakukan pengadaan
Citra Satelit Resolusi Tinggi (CSRT) dan Digital Elevation Model (DEM) yang
melingkupi delineasi kawasan BWP tersebut.
c.
Daya Dukung – Daya Tampung Analisa Daya Dukung dan Daya Tampung dengan data
fisik, geologi, jenis tanah, hidrologi, dan kebencanaan menghasilkan Kemampuan
Lahan dengan klasifikasi kelas-kelas. Selanjutnya dihitung berapa penduduk
maksimal yang aman menghuni atau beraktivitas pada masing-masing kelas tersebut
atau disebut dengan Arahan Distribusi Penduduk. Arahan distribusi penduduk
perkelas atau kelas daya tampung selanjutnya didetailkan kembali per petaknya
dengan luasan masing-masing sebesar satu hektar. Untuk kepentingan peraturan
zonasi, survei lapangan mendetailkannya lagi hingga per 400 m2 (empat ratus
meter persegi) atau dapat mencapai 100 m2 (100 meter persegi).
Konsep perpetakan untuk membentuk blokblok beserta arahan jumlah penduduknya
adalah produk akhir dari tahapan ini.
d.
Struktur Internal BWP Sebaran pusat-pusat pelayanan dihitung jumlahnya.
Kemudian dirangking hierarkinya, mana yang menjadi pusat lingkungan (PL),
sebagai hierarki terendah; mana yang menjadi Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK),
sebagai hierarki menengah; dan pusat pelayanan kota (PPK) sebagai hierarki
tertinggi. PPK dan SPPK adalah pusat utama yang melayani BWP dan Sub BWP.
Sistem
menempatkan:
1. Rencana
PL sedekat mungkin dengan centroid setiap blok;
2. Rencana
SPPK sedekat mungkin dengan centroid Sub BWP; dan
3. Rencana
PPK sedekat mungkin dengan centroid BWP.
Konsep
Struktur Internal BWP dihasilkan dengan melakukan iterasi sejumlah Titik Pusat
Utama Kota hingga mencapai Arahan Distribusi Penduduk.
e.
Jaringan Pergerakan dan Estetika Kota Jaringan Pergerakan menghubungkan
otomatis titik pusat utama dan pusat lainnya yang lebar jalannya mengikuti
hierarki pusatpusat yang dihubungkannya, menggunakan jalur yang efisien dan
motif urbanpattern yang estetis, khususnya jalan yang melingkari pusat-pusat
utama.
Hierarki
jalan dengan lebar jalan masing-masing mengikuti
hierarki pusatpusatnya sebagai berikut:
1. Jalan
Arteri Sekunder, menghubungkan PPK ke SPPK dengan lebar jalan minimal 11 meter;
2. Jalan
Kolektor Sekunder, menghubungkan antar SPPK dengan lebar jalan minimal 9 meter;
3. Jalan
Lokal Sekunder, menghubungkan SPPK ke PL dengan lebar jalan minimal 7,5 meter;
dan
4. Jalan
Lingkungan S e k u n d e r , menghubungkan antar PL dengan lebar jalan minimal
6,5 meter.
f.
Kebutuhan Ruang Kebutuhan ruang menghitung dan menempatkan sarana pelayanan
umum (SPU), perdagangan jasa, dan ruang terbuka sesuai dengan hierarki pusat
pelayanan dan jumlah penduduk dengan standar luas dan jarak/radius pelayanan
masing-masing.
g.
Finalisasi Muatan Rencana Warna-warni rencana pola ruangpun tercipta dengan
menggabungkan penggunaan lahan di skala 25.000 dengan arahan kebutuhan ruang
1:5.000 yang merupakan "daging" dari "cangkang" jaringan
pergerakan/jalan yang telah dibentuk pada langkah (f)
2. Flowchart Penyusunan Sub BWP Prioritas dan Indikasi
Program Lima Tahunan
a.
Sub BWP Prioritas
Menggunakan
Sigma Rumus Gravitasi (sebagaimana bagan pada gambar 2) pada masing-masing
Pusat Utama dengan data fisik Pendapatan Perkapita dibagi jarak kuadrat, dan
dirangking Pusat-Pusat Utama mana yang tertinggi.
Pusat-Pusat tersebut kemudian didelineasi seproporsional mungkin berdasarkan
batas fisik: jalan, sungai, jaringan/saluran baik eksisting maupun rencana,
untuk menghasilkan pembagian Sub BWP. Sub BWP pada
Pusat Utama yang punya rangking tertinggi adalah Sub BWP Prioritas.
b.
Indikasi Program Lima Tahunan
Selisih
Rencana Struktur Ruang dengan Rencana Struktur Eksisting adalah Delta Struktur.
Selisih Rencana Pola Ruang dengan Penggunaan Lahan
Eksisting adalah Delta Pola. Delta Struktur dan Delta Pola tersebut dibagi ke
dalam empat peta berdasarkan batasan fisik, menjadi peta Pembangunan Jangka
Menengah (PJM) I - IV. Dimulai dari penggunaan lahan eksisting membentuk Sub
BWP Prioritas pada PJM I hingga Rencana Pola Ruang pada PJM IV. Delta Struktur
dan Delta Pola yang sudah dibagi menjadi empat PJM dikalikan dengan harga
satuan seperti panjang ruas jalan, pembangunan Sarana Pelayanan Umum (SPU),
pembangunan ruang terbuka, infrastruktur dan utilitas beserta pengadaan
tanahnya. Maka, dihasilkan Pengembangan Program
Lima Tahunan.
3. Flowchart Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan (ITBX)
a.
Baris Kegiatan
Membandingkan
data Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dengan Daftar Perizinan
Kegiatan Berusaha di Daerah diperoleh Daftar Kegiatan daerah dalam format KBLI.
b.
Kolom Zona
1. Data
hasil survei di setiap blok meliputi penggunaan lahan, intensitas ruang dan
tata bangunan disandingkan dengan klasifikasi zona/ subzona yang dihasilkan
dari konsep RDTR untuk melihat apakah ada simpangan penggunaan lahan terhadap
konsep rencana pola ruang RDTR. Jika ada simpangan, maka cek lagi apakah
terdapat pelanggaran pemanfaatan ruang (potensi pemutihan), dengan melihat data
perizinan eksisting. Jika ada pelanggaran, maka kegiatan ditertibkan.
2. Jika
tidak ada pelanggaran (sebagaimana nomor 1), maka cek lagi apakah kegiatan
tersebut memiliki keragaman kegiatan yang butuh pengaturan atau apakah memiliki
dampak/ gangguan yang signifikan. Jika tidak, maka dimasukkan ke dalam daftar
kegiatan (baris matriks ITBX).
3. Jika ya,
memiliki keragaman kegiatan yang butuh pengaturan/ memiliki dampak/ gangguan
yang signifikan (sebagaimana nomor 2), maka cek lagi apakah dapat diatasi
dengan teknik pengaturan zonasi. Jika ya, maka masukkan ke daftar kegiatan,
zona/ subzona RDTR tidak diganti, dan lanjut ke jenis TPZ mana yang sesuai. 4.
Jika tidak dapat diatasi dengan teknis pengaturan zonasi (sebagaimana nomor 2),
maka kegiatan, dijadikan zona/subzona, sehingga konsep zona/ subzona RDTR
diganti dan masuk ke dalam daftar zona/subzona (Kolom Matriks ITBX).
c.
Matriks ITBX
1.
Ambil kriteria performa zona/subzona dari pedoman penyusunan RDTR, kemudian
sesuaikan dengan kriteria lokal minimal setempat. Lengkapi dengan definisi
(kompatibilitas zona/ subzona) dan kajian dampak kegiatan dengan
diberlakukannya suatu zona/subzona.
2.
Tepis semua daftar kegiatan satu persatu terhadap masing-masing zona/subzona
dengan perlakuan sebagai berikut:
a. Cek
apakah kegiatan sesuai dengan definisi dan tidak mengganggu kriteria lokal
minimal?. Jika Ya, maka kegiatan diizinkan (I);
b. Jika
tidak (mengganggu), maka cek apakah gangguan bisa diantisipasi dengan
pembatasan luas, jumlah (unit), waktu operasi, dan
frekuensi. Jika Ya, maka kegiatan bersyarat secara terbatas (T);
c. Jika
tidak bisa dibatasi, maka cek apakah gangguan bisa diantisipasi dengan p e m b
e r l a k u a n syarat tambahan/ khusus, seperti syarat konstruksi khusus;
syarat anti kebisingan; seperti pengolahan sampah dan limbah khusus; dan jalur
khusus dan parkir khusus untuk hindari bangkitan lalu lintas; dan lain-lain.
Jika Ya, maka kegiatan bersyarat tertentu (B); dan
d. Jika
gangguan tidak bisa diantisipasi dengan syarat-syarat tambahan/khusus, maka
kegiatan tersebut dilarang ada (X) pada zona/ subzona tersebut.
4. Flowchart Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Ketentuan
Tata Bangunan
a.
Penentuan Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
1. Cari data
luas zona/ subzona; intensitas infiltrasi (I); tingkat infiltrasi (Iinf);
koefisien infiltrasi; koefisien penyimpanan air (S).
2. Hitung
KDB menggunakan persamaan sebagaimana ditunjukkan pada bagan.
b.
Penentuan Koefisien Lantai Bangunan (KLB)
1.
Hitung tinggi bangunan maksimum dengan variabel demand ruang; tangkapan
pandang (viewshed); jenis bencana; paparan cahaya matahari; Kawasan Keselamatan
Operasi Penerbangan (KKOP); angin; standar jarak bangunan; keselamatan dari
kebakaran; dan perbandingan biaya konstruksi vs pengadaan lahan
2.
Jumlah Lantai Maksimum = Tinggi Bangunan Maksimum / tinggi 1 lantai.
3.
KLB = Jumlah Lantai Maksimum / 100 x KDB.
c.
Penentuan Garis Sempadan Bangunan (GSB) GSB depan (jarak dari pagar ke
bangunan) untuk Jalan Arteri = 8 meter; Jalan Kolektor = 7 meter; Jalan Lokal
3,25 m; dan Jalan Lingkungan = 2,25 m.
d.
Koreksi Data Lapangan dan Perizinan Koreksi rumusan intensitas pemanfaatan
ruang dan tata bangunan dengan data eksisting bangunan dan keabsahan perizinan,
seleksi sesuai dengan langkah Flowchart III, dan produk
akhirnya adalah satu zona satu ketentuan intensitas dan satu ketentuan tata
bangunan (zone based). Jika zone based tidak dimungkinkan untuk ketentuan
bangunan, maka ketentuan bangunan dapat diterapkan satu blok satu aturan (block
based).
Produksi
RDTR masih belum memungkinkan dan tidak boleh seluruhnya otomatis, mengingat ketersediaan
data, peran aktif masyarakat, dan kepiawaian planner yang berfungsi sebagai
dirijen dari orkestra. Otomatisasi tidak akan membunuh profesi planner dan
kelembagaan justru menguatkan. Dengan adanya otomatisasi, setiap ide peserta
forum bisa disimulasikan, sehingga waktu hitung para Planner akan lebih ringkas
serta meminimalisir kesalahan perhitungan. Otomatisasi ini mengangkat planner
dan kelembagaan tata ruang daerah ke level yang lebih tinggi, yakni menemukan
konsep ruang yang paling sesuai dengan
filosofi, visi, misi, dan cita-cita luhur daerah dan meminimalisir terjadinya
kegagalan perencanaan.
Saat
ini, RDTR builder yang statis tidaklah cukup, karena belum menyatu dengan
sistem pemanfaatan ruang yang real time di lapangan. Di tengah Era Big Data dan
Artificial Intelligent dan tuntutan era percepatan investasi,
maka setiap titik di muka bumi, bisa disimulasikan dampaknya dengan hitungan
otomatis jenis bangunan vs jenis tanah/batuan dan air tanah. Dalam tahap
perencanaan tata ruang akan sangat bermanfaat, dan pada tahap perizinan akan
mengoreksi Ketentuan ITBX. Adapun kelemahan Ketentuan ITBX dan Intensitas
Pemanfaatan Ruang yang statis adalah: 1). Ketentuan ‘I’-nya tidak mampu
menghitung akumulasi izin di suatu kawasan. Ketika kawasan sudah jenuh, maka
sudah bukan ‘I’ lagi tapi sudah ‘T’, ‘B’, atau bahkan ‘X’. Begitu juga dengan
Ketentuan ‘T’ dan ‘B’, ada suatu saat akan berubah; dan 2). Tidak semua hal
bisa dikonstantakan dengan KDB, KLB, GSB, tinggi Bangunan. Misal pemanfaatan
ruang untuk Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP) tidak bisa dengan
konstanta tinggi bangunan, karena rumusnya dipengaruhi oleh tinggi permukaan
tanah di tempat perizinan peil bandara. Jadi input yang dikehendaki adalah
koordinat x, y, h (tinggi terrain dan bangunan).
Sumber: Oleh YUDHA PERDANA, ST.,MT Dalam BULETIN
PENATAAN RUANG EDISI 3 | MEI - JUNI 2020
Tidak ada komentar:
Posting Komentar