Terdapat Tiga Belas Parameter Kunci Kualitas
Rencana Detail Tata Ruang dari aspek ketajaman analisis meliputi Kesesuaian
dengan RTRW; Delineasi; Peta Potensi, Masalah, dan Perumusan Tema/ Tujuan serta
Konsistensinya dengan Substansi Lainnya; Daya Dukung - Daya Tampung; Bidang
Tanah dan Zona Nilai Tanah (Ekonomi Perkotaan); Alternatif Konsep Pusat-Pusat
Pelayanan; Jaringan Pergerakan dan Skenario Transportasi; Standar Kebutuhan
Ruang (Sumber Daya Buatan); Alternatif Konsep Rencana; Pengembangan Program;
Delineasi Blok Peruntukan; Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan; dan
Ketentuan Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Tata Bangunan. Pada artikel ini
dengan lugas dan berani diperkenalkan angka baku mutu untuk ketiga belas
parameter tersebut.
Kualitas Rencana Tata Ruang
Parameter
kualitas lingkungan, misalnya air meliputi derajat keasaman (pH), jumlah
oksigen yang diperlukan untuk menguraikan limbah (BOD dan COD), tingkat
kekeruhan (NTU), dan lain-lain. Demikian pula dengan dokumen analisis mengenai
dampak lingkungan (AMDAL) yang menilai dampak usulan proyek pembangunan
terhadap kualitas lingkungan dengan terukur. Tidak seperti parameter kualitas
lingkungan yang sifatnya scientific, kualitas rencana tata ruang berayunayun
dari persepsi sosial akan ruang sampai perhitungannya, dari pendapat ahli tata
kota/ wilayah, pendapat ahli lain yang multiperspektif, sampai masyarakat umum
sebagai pengguna ruang. Pakar Manajemen, Peter Drucker berkata: “If you can’t
measure it, you can’t manage it”. Begitu pula dengan kualitas Rencana Tata
Ruang yang jika tidak dapat diukur maka tidak dapat dikelola dengan benar.
Multiaktor dan multiperspektif memandang kualitas Rencana Tata Ruang dari
perubahan kualitas wilayah/ kota di lapangan, ketepatan perhitungan Analisis
Rencana Tata Ruang, sampai kekuatan stakeholder untuk menata ruang bersama
berdasarkan rencana tata ruang yang telah disepakati. Di sini dapat diuraikan
bahwa kualitas Rencana Tata Ruang meliputi: Kualitas Data; Kualitas Tim
Penyusun; Kualitas dan Tingkat Partisipasi; Besar Gap Eksisting dengan Rencana;
Kekuatan Konsep Menjawab Isu; Kekuatan Implementasi Perwujudan Ruang; dan
Kualitas Analisis.
1.
Kualitas Data Terdapat istilah garbage in -
garbage out, yakni kualitas data input yang buruk, menghasilkan keluaran yang
buruk juga. Dalam penyusunan Rencana Tata Ruang, data adalah bahan baku utama
dalam produksi Rencana Tata Ruang. Kebalikan dari data adalah noise. Noise
adalah data yang tidak perlu yang harus dihindari agar proses analisis efisien
dan berkualitas. Data yang bebas noise adalah data yang terpakai maksimal untuk
serangkaian analisis. Analisis tersebut menghasilkan data baru yang juga
terpakai maksimal sebagai input untuk analisis selanjutnya. Begitu seterusnya
rangkaian analisis bekerja sampai dihasilkan rencana struktur ruang dan rencana
pola ruang disertai cara perwujudannya dan aturan mainnya. Kualitas data
dimaksud akan dimaksud pada buletin tata ruang berikutnya.
2.
Kualitas Tim Penyusun Pandangan ini menilai
semakin luas spektrum ilmu dan semakin dalam keahlian tim penyusun maka semakin
tinggi kualitas RDTR yang akan tercipta. Daftar kompetensi dan levellingnya
mulai level pemula sampai legenda telah dikupas padat dan lugas pada pada
Artikel Berjudul Short-Review List Kompetensi dan Levelling Penyusun RDTR yang
ditulis oleh Yudha Perdana pada Rubrik Pojok Ruang, Buletin Tata Ruang Edisi 5
| September – Oktober 2021 Halaman 48-51 ISSN 2549- 3450)
3.
Kualitas dan Tingkat
Partisipasi Tingkat partisipasi yang tinggi tidak hanya ditandai dengan jumlah
orang yang hadir saja, tapi ketajaman masukan yang diberikan baik pada
lingkungan perumahannya, sarana prasarana, akses ke tempat kerja dan rekreasi
yang efisien, sampai penerjemahan visi kota ke setiap fungsi ruang di setiap
blok/lingkungan.
4.
Besar Gap Eksisting dengan Rencana Pepatah
berkata “gantungkan cita-citamu setinggi langit”. Semakin tinggi cita-cita,
maka semakin besar rencana dan strategi yang dibuat, sebaliknya semakin rendah
citacita, semakin kecil rencana dan strategi yang dibuat. Demikian pula dengan
rencana tata ruang yang merupakan kritik terhadap kondisi eksisting. Semakin
kecil gap antara penggunaan lahan eksisting dengan
rencana pola ruang, maka semakin kecil rencana, atau bahkan tidak ada rencana
tata ruang sama sekali.
5.
Kekuatan Konsep Rencana
Menjawab Isu Rencana Tata Ruang ibarat resep obat yang diberikan perencana
terhadap penyakit yang diderita wilayah/kota menggunakan penjelasan gejala baik
yang disampaikan oleh masyarakat maupun yang diobservasi secara langsung. Semakin
tepat jenis dan dosis obat yang diberikan, semakin cepat sehat wilayah/ kota
dan terhindar dari penyakit yang sama lagi.
6.
Kekuatan Implementasi Perwujudan Ruang Inti
dari penataan ruang adalah pada predikatnya, yakni “menata” di lapangan. Banyak
Rencana Tata Ruang yang cenderung bersifat pasif-pragmatis, yakni hanya
mengikuti perizinan dan bidang tanah eksisting sembari mencoba membuka peluang
investasi swasta sebesarbesarnya. Penataan ruang secara pasif seperti
ini berpotensi memunculkan penyakitpenyakit tata ruang yang makin besar seperti
perumahan yang kian menjamur sporadik, perdagangan jadi koridor tak terputus
antarkota di jalan primer, pabrik bermunculan di lahan sawah, dan kemacetan
parah justru di perdesaan/pinggiran kota, dan ruang terbuka publik yang semakin
musnah.
7.
Kualitas Analisis Pandangan ini bertumpu
sepenuhnya pada proses teknokratik dengan analisis sebagai senjata utamanya.
Perspektif kualitas analisis tidak melihat kualitas subjek (tim penyusun) sama
sekali, melainkan ketepatan metode dan indikator yang harus ada pada output
antara masingmasing analisis. Perspektif kualitas analisis ini akan dikupas
dengan padat dan tuntas pada artikel ini.
Kualitas Analisis Rencana Detail Tata Ruang
Sebuah
godaan di era teknologi informasi yang menuntut segala proses harus sistemik
(lintas komponen) dan sistematik (runut), maka analisis Rencana Detail Tata
Ruang (RDTR) harus dipaksakan sebagai sebuah rangkaian analisis yang linier,
dimana keluaran analisis-1 menjadi masukan untuk analisis-2 dan seterusnya
sampai tercapai keluaran akhir RDTR. Guna memenuhi hal tersebut, maka analisis
penyusunan RDTR yang runut menghasilkan sub output (keluaran antara) meliputi:
1. Peta Konstanta Ketetapan dan Arahan Makro; 2. Delineasi; 3. Peta Potensi,
Masalah, Visi Wilayah Perencanaan; 4. Peta Daya Dukung Daya Tampung; 5.
Alternatif Pusat Pelayanan; 6. Jaringan Pergerakan dan Moda Transportasi; 7.
Perencanaan Sumber Daya Buatan (Fasos Fasum dan Jaringan/Utilitas); 8.
Alternatif Konsep Rencana; 9. Indikasi Program dan Sumber Pembiayaan
Pembangunan; 10. Rumusan Kriteria Lokal Minimal Subzona; dan terakhir 11.
Peraturan Zonasi (sebagaimana telah dikupas tuntas pada Artikel Berjudul
Algoritma RDTR Builder yang ditulis oleh Yudha Perdana pada Buletin Tata Ruang
Edisi 3 | Mei – Juni 2020 Halaman 48-54 ISSN 2549-3450)
1.
Keterkaitan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW)
Tujuan
pemeriksaan Keterkaitan dengan RTRW adalah memastikan arahan RTRW dan kebijakan
makro pada titik pusat kegiatan yang akan didetailkan. Keluarannya berupa
tabulasi dan peta kebijakan makro (RTRW dan sektoral), pola kepadatan spasial
permukiman, dan rancangan umum delineasi.
2.
Delineasi Wilayah Perencanaan (WP)
Delineasi
yang baik menciptakan wilayah perencanaan yang kompak dengan batas fisik yang
jelas di lapangan dan mampu dilalui dengan nyaman berjalan kaki dari titik
stasiun antar moda. Setiap delineasi WP seluas 2.500 Ha (5 km x 5 km) dengan
proyeksi penduduk 480.000 jiwa idealnya dilayani oleh satu titik pusat wilayah
perencanaan (WP) perkotaan.
3.
Peta Potensi, Masalah, dan Perumusan
Tema/Tujuan serta Konsistensinya dengan Substansi Lainnya
Selain
memenuhi amanah RTRW, penyusunan RDTR berangkat dari sebuah visi yang
berdasarkan pada analisis potensi dan masalah yang terukur. Keluarannya adalah:
tabulasi dan skoring potensi, permasalahan, peluang, dan tantangan pembangunan
WP; peta potensi, permasalahan, peluang, dan tantangan pembangunan WP; Tema
Pengembangan dan Tujuan Penataan Ruang; Planning knowledge berupa Indikator
Kinerja WP yang terukur. Contoh permasalahan pengembangan perkotaan, antara
lain:
a. Penurunan
muka tanah 20cm/tahun
b.Tingkat
kemacetan tertinggi di Indonesia
c. Volume
sampah di TPA 1.500 ton/hari
d.Anomali
banjir besar yang mendadak tiba sering menerpa di pusat kota
e.
Penambahan kawasan kumuh 10 ha/tahun
f.
Pengangguran akibat berhentinya era kejayaan industri tekstil yang padat karya
di Era 1990an.
Contoh
Output Visi/Tujuan = “Mewujudkan Ruang Kota Cerdas sebagai Ikon Pusat Mode dan
Pariwisata Landscape Taman Bunga Nusantara didukung Sentra IKM Kuliner dan
Fashion Kualitas Ekspor Asia Pasifik.” Contoh Indikator Pengembangan Perkotaan
antara lain:
a. Radius
puskesmas maksimal 3 Km dari Titik Terjauh
di Zona Perumahan;
b.Radius
Sekolah Dasar maksimal 1 Km dari Titik Terjauh di Zona Perumahan;
c. Jarak
Taman Kota maksimal 5 Km dari titik terluar kawasan perkotaan;
d.Tersedianya
angkutan massal cepat yang mampu membawa 50% penduduk pada jam sibuk di titik
terjauh kawasan perkotaan sekitarnya (KKS) ke kawasan perkotaan inti (KKI) dan
sebaliknya dalam waktu selambat-lambatnya 15 menit;
e. Penurunan
tanah dan air tanah menjadi konsisten di bawah 1 cm/tahun pada tahun 2035 –
2040.
4. Daya Dukung-Daya Tampung
Tujuan
dilakukan analisa daya dukung-daya tampung adalah mengetahui batasan alam
terhadap tekanan penduduk dan jumlah maksimal penduduk terhadap kondisi alam.
Keluarannya adalah: peta klasifikasi kemampuan lahan (lindung sampai budidaya
terbangun) dan peta batas maksimal penduduk di setiap klasifikasi tersebut.
5.
Bidang Tanah dan Zona Nilai Tanah/ZNT (Ekonomi
Perkotaan)
Tujuan
analisis ini adalah menghitung potensi ekonomi eksisting dan tambahan
pertambahan ekonomi yang dapat dimanfaatkan dengan disusunnya RDTR. Dalam
melakukan analisis ini perlu memperhatikan konsistensi antara bidang tanah dan
zona nilai tanah terhadap rencana pola ruang (garis dan poligon batas pola
ruang), batas wilayah perencanaan (SWP/Blok/Sub-Blok),dan luas serta sebaran
Ruang Terbuka Hijau (RTH) Publik.
6.
Alternatif Konsep Pusat-Pusat Pelayanan
Pusat-pusat
pelayanan yang baik adalah merata dan berhierarki. Keluarannya antara lain:
Titik Pusat Pelayanan Kota (PPK), Sub Pusat Pelayanan Kota (SPPK), dan Pusat
Lingkungan (PPL) yang diikuti dengan delineasi SWP dan Blok. Periksa kondisi
berikut:
a. PPK
idealnya terletak di centroid WP;
b. SPPK di
centroid Sub WP; dan
c. PL di
centroid Blok besar
Jadi jumlah
WP = jumlah PPK = 1 tiap RDTR. Jumlah sub WP = jumlah SPPK + 1 PPK. jumlah Blok
besar = jumlah PL. Titik pusat pelayanan harus berkorelasi dengan zona
terbangun, dengan urutan prioritas zona:
a. Sarana
pelayanan umum (SPU);
b.
Perkantoran;
c. RTNH;
d.
Perdagangan dan Jasa;
e. RTH Taman
Kota; dan
f. Perumahan
g.
Pusat-pusat pelayanan RDTR yang didetailkan dari pusat kegiatan RTRW
kabupaten/kota harus sesuai dengan standar hierarki pusat kegiatan RTRW,
penduduk yang dilayani, dan luasan WP, SWP, dan bloknya (selengkapnya pada
Tabel 6, Tabel 7, dan Tabel 8):
01. Pusat
Pelayanan internal di dalam Pusat Kegiatan Nasional (PKN) atau Pusat Kegiatan
Wilayah (PKW) ≥1 Juta Jiwa atau setara dengan Ibukota Provinsi:
a. Pusat
Kota (PK) PK melayani seluruh wilayah Kota Administratif dengan luas terbangun
62.500 ha (25 km x 25 km) untuk PKN dan 10.000 ha (10 km x 10 km) untuk PKW
dengan penduduk >1 juta. PK membawahi beberapa PPK yang jumlahnya menjadi
dasar delineasi WP.
b. Pusat
Pelayanan Kota (PPK)
• PPK
melayani wilayah perencanaan (WP) seluas 2.500 ha (5 km x 5 km) dengan penduduk
1 Juta.
• Setiap
delineasi WP harus memiliki tujuan penataan ruang tersendiri
• PPK
membawahi beberapa SPPK yang jumlahnya menjadi dasar delineasi SWP.
c. Sub Pusat
Pelayanan Kota (SPPK)
• SPPK
melayani Sub Wilayah Perencanaan (SWP) seluas 900 ha (3 km x 3 km) dengan
penduduk 480.000 jiwa
• SPPK
membawahi beberapa PL yang jumlahnya menjadi dasar delineasi blok-blok besar.
d. Pusat Lingkungan Kecamatan (PL Kec) PL Kec melayani blok seluas 400 ha (2 km
x 2 km) dengan penduduk 120.000 jiwa. PL Kec membawahi PL
Kel yang jumlahnya menjadi dasar delineasi blok yang lebih kecil.
e. Pusat
Lingkungan Kelurahan (PL Kel) PL Kel melayani Blok kecil seluas 100 ha (1 km x
1 km) dengan penduduk 30.000 jiwa. PL Kel membawahi beberapa PL RW yang
jumlahnya menjadi dasar delineasi sub blok.
f. Pusat
Lingkungan RW (PL RW) PL RW melayani Sub Blok seluas 81 ha (900 m x 900 m)
dengan penduduk 2.500 jiwa
02. Pusat
Pelayanan internal di dalam Pusat Kegiatan Lokal (PKL) 480.000 Jiwa atau setara
dengan Ibukota Kabupaten:
a. PPK
PPK melayani WP seluas 2.500 ha (5 km x 5 km) dengan penduduk 480.000 jiwa.
b. SPPK
SPPK melayani SWP seluas 900 ha (3 km x 3 km) dengan penduduk 120.000 jiwa
c. PL Kel
PL atau PL Kel melayani blok besar seluas 400 ha (2 km x 2 km) dengan
penduduk 30.000 jiwa.
d. PL RW
PL RW melayani blok seluas 100 ha (1 km x 1 km) dengan penduduk 2.500 jiwa.
e. PL RT
PL RT melayani blok kecil seluas 81 ha (900 m x 900 m) dengan penduduk 250
jiwa.
03. Pusat
Pelayanan internal di dalam Pusat Pelayanan Kawasan (PPKAW) 120.000 Jiwa atau
setara dengan Ibukota Kecamatan:
a. PPK
PPK melayani WP seluas 900 ha (3 km x 3 km) dengan penduduk 120.000 jiwa.
b. SPPK
SPPK melayani SWP seluas 400 ha (2 km x 2 km) dengan penduduk 30.000 jiwa.
c. PL RW
PL atau PL RW melayani blok seluas 100 ha (1 km x 1 km) dengan penduduk
2.500 jiwa.
d. PL RT
PL RT melayani blok/sub blok seluas 81 ha (900 m x 900 m) dengan penduduk
250 jiwa
7.
Jaringan Pergerakan, Skema Transportasi, dan
Kerangka Estetika
Tujuan
pergerakan yang baik menghubungkan pusat-pusat pelayanan yang berhierarki
dengan jaringan pergerakan yang berhierarki, membentuk pola estetika kota, dan
menetapkan moda transportasi yang berhierarki dan efisien. Keluarannya antara
lain: Jalan arteri sekunder, kolektor sekunder, lokal sekunder, lingkungan
sekunder menghubungkan PPK, SPPK, and PL dengan lebar jalan dan GSB yang
sesuai; membentuk pola estetika kota; titik terminal, stasiun, halte; dan moda
transportasi yang efisien. Periksa kesesuaian hierarki jaringan dengan hierarki
pusat pelayanan yang dihubungkannya:
a. PPK ke
SPPK adalah Arteri Sekunder dengan lebar minimal 11 meter dan GSB minimal 8
meter
b. Antar
SPPK adalah Kolektor Sekunder dengan lebar minimal 9 meter dan GSB minimal 7
meter
c. SPPK ke
PL adalah Lokal Sekunder dengan lebar minimal 7,5 meter dan GSB minimal 3,25
meter
d. Antar PL
adalah Lingkungan Sekunder dengan lebar minimal 6,5 meter dan GSB minimal 2,25
meter
Periksa
apakah ada analisa dan skenario transportasi yang memperhatikan bangkitan dan
tarikan lalu lintas sehingga tercapai sebuah indikator transportasi kota
misalnya tersedianya moda transportasi massal cepat yang mampu membawa seluruh
pekerja dari rumah ke tempat kerja misal dalam waktu maksimal 15 menit.
8.
Standar Kebutuhan Ruang (Sumber Daya Buatan)
Tujuan
menerapkan standar kebutuhan ruang (sumber daya buatan) adalah menciptakan
kualitas hunian dan ruang perkotaan yang sesuai standar nasional. Keluarannya
antara lain: Tabel dan Peta Rencana Zona SPU, Perumahan, Ruang Terbuka,
Perdagangan Jasa, Jaringan Prasarana dan Utilitas. Langkah pemeriksaan:
a. Kebutuhan
Ruang untuk penduduk di level kota (WP), kecamatan (SPPK), kelurahan (PL),
sampai RW dihitung berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) Nomor SNI 03
1733 Tahun 2004. Berapa kebutuhan Sarana Pelayanan Umum (SPU), Perdagangan
Jasa, Ruang Terbuka Hijau, Perumahan, dan semua Jaringan Prasarana dan
Utilitas.
b.Pastikan
setiap proyeksi kebutuhan luas dan panjang sumber daya buatan dalam tabel
sebanding dengan luas poligon dan garis dalam rencana pola ruang dan rencana
struktur ruang.
c. Pastikan
setiap Poligon Zona perumahan masuk dalam Radius Maksimal Sarana Pelayanan Umum
(SPU) sesuai SNI tersebut. Misalnya zona perumahan harus masuk dalam radius 1
km dari lokasi Sekolah Dasar (SD).
d.Periksa
juga pemenuhan standar jaringan prasarana dan utilitas sesuai SNI tersebut dan
standar sektoral lainnya.
9.
Alternatif Konsep Rencana
Tujuan
tahapan ini adalah menyeleksi alternatif rencana struktur dan pola ruang
berdasarkan ketepatannya dengan tujuan/tema pengembangan, daya tampung
maksimal, dan biaya perwujudannya. Keluarannya adalah dua atau lebih alternatif
konsep rencana beserta kelebihan dan kekurangannya disesuaikan dengan
tujuan/tema pengembangan, daya tampung maksimal, dan biaya perwujudannya.
Langkah Pemeriksaan:
a. Buka buku
fakta dan analisa di bagian konsep rencana tata ruang
b. Periksa
adakah alternatif konsep rencana
c. Apakah
diestimasi perbandingan biaya perwujudan struktur ruang dan pola ruang, dampak
lingkungan, dan dampak sosialnya pada masing-masing alternatif.
10.
Pengembangan Program
Tahapan ini
membagi Rencana Struktur Ruang dan Rencana Pola Ruang ke dalam 4 (empat)
tahapan pembangunan jangka menengah disertai cara membiayainya. Tahapan ini
menghasilkan Peta dan Tabel Indikasi Program Perwujudan Rencana Struktur Ruang
dan Rencana Pola Ruang Lima Tahunan. Langkah Pemeriksaan:
a. Periksa
apakah ada gap/selisih (delta) antara eksisting dan rencana, baik delta
struktur ruang, maupun delta pola ruang
b. Apakah
dihitung rangking prioritas pembangunan pada masing-masing Sub WP
c. Apakah
delta tersebut dispasialkan dalam shapefile (shp)
d. Apakah
shp delta tersebut dihitung biaya perwujudannya
e. Apakah
shp delta tersebut dibreakdown ke dalam 4 (empat) tahapan (pembangunan jangka
menengah) beserta biayanya
f. Apakah
biaya perwujudan ruang tersebut sesuai dengan kapasitas daerah?
g. Apakah
biaya perwujudan ruang tersebut sebanding dengan potensi keuntungan/manfaat
yang akan diraih?
11.
Delineasi Blok Peruntukan
Langkah
Pemeriksaan
a. Adakah
proses penapisan suatu kegiatan dimasukkan ke dalam daftar aktifitas atau
sebagai subzona
b. Apakah
ada definisi dan kriteria untuk delineasi blok peruntukan?
c. Apakah
blok peruntukan sudah menyesuaikan kondisi eksisting perizinan dan pertanahan,
atau menerapkan pola land consolidation/readjustment?
Menggunakan
definisi dan kriteria blok peruntukan yang dipilih tersebut, selanjutnya Konsep
Final Rencana Pola Ruang (Zoning Map) perlu dikoreksi dengan:
a. batas
fisik jalan dan air;
b.
eksistensi persil/bidang tanah yang sah;
c. perizinan
eksisting yang sah; dan
d. pemenuhan
standar pekarangan dan lingkungan perumahan
12.
Ketentuan Kegiatan dan Penggunaan Lahan
Tahapan ini
menjamin kriteria lokal minimal setiap subzona terpenuhi dengan mengantisipasi
daftar kegiatan yang compatible dan kegiatan yang memberi dampak. Langkah
Pemeriksaan:
a. Cek
apakah ada definisi dan kriteria lokal minimal untuk setiap subzona
b. Adakah
proses penapisan suatu kegiatan dimasukkan ke dalam daftar aktifitas atau
sebagai subzona
c. Apakah
kegiatan dalam matriks ITBX sudah mengikuti Klasifikasi Baku Lapangan Usaha
Indonesia (KBLI)
d. Apakah
ada kajian dampak penetapan subzona terhadap munculnya kegiatan-kegiatan baru?
e. Apakah
ketentuan ITBX dibangun dengan mensimulasi kegiatan terhadap subzona
berdasarkan kajian dampak dan kriteria lokal minimal.
13. Ketentuan
Intensitas Pemanfaatan Ruang dan Tata Bangunan
Tahapan ini
menjamin daya tampung tidak terlampaui, menjaga keamanan dari kecelakaan dan
bencana, serta menciptakan estetika kota. Keluaran dari analisis ini adalah
koefisien dasar bangunan (KDB) dan koefisien lantai bangunan (KLB) di setiap
subzona; dan garis sempadan bangunan (GSB) dan tinggi maksimal
bangunan yang homogen di setiap subzona/blok/hierarki jalan. Langkah
Pemeriksaan:
a. Buka buku
fakta dan analisa bagian peraturan zonasi, sub bagian intensitas pemanfaatan
ruang
b. Cek
apakah intensitas pemanfaatan ruang dianalisis berdasarkan Laju Infiltrasi,
Zona Nilai Tanah, Angin, Bencana, Jarak antar bangunan, KKOP, Potensi
kebakaran, Perbandingan antara harga konstruksi dan harga beli tanah; Paparan
cahaya matahari; dan viewshed
c. Cek
kelaziman nilai intensitas pemanfaatan ruang sesuai dengan kriteria lokal
masing-masing subzona, misal tanaman pangan dengan KDB 10%; Perkebunan dengan
KDB 20%; Perdagangan Jasa dengan KDB 70%, Campuran dengan KDB 80%, dan
lain-lain.
d. Cek
kesesuaian dengan intensitas eksisting.
Sumber: Oleh YUDHA PERDANA, ST.,MT dalam BULETIN
PENATAAN RUANG Edisi III | November - Desember 2023