Penataan ruang merupakan kebijakan penting dalam rangka menegosiasikan antara peningkatan kebutuhan ruang dan kondisi keterbatasan ruang yang ada. Penataan ruang juga berperan sebagai alat dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan secara komprehensif, terpadu, efektif dan efisien. Penataan ruang dimaksudkan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas fungsi kota dan wilayah serta pengelolaan pemanfaatan ruang untuk peningkatan kualitas hidup di samping mengurangi dampak negatifnya. Penataan ruang diharuskan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjawab permasalahan kota dan wilayah, saat ini maupun di masa yang akan datang.
Lantas Apa itu Penataan Ruang?
Menurut
UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa
penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan
ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan adanya penataan ruang,
diharapkan dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
Di
Indonesia, penataan ruang menjadi persoalan laten di semua daerah. Mengapa
demikian? sebab, perubahannya terjadi secara visual, tidak terasa. Hanya
perubahan petak per petak saja sudah dapat menimbulkan dampak yang terasa
maupun tidak. Jika perubahan petak per petak saja dapat menimbulkan dampak,
maka demikian juga perubahan lahan dan bangunan.
Hal inilah yang menyebabkan persoalan tata ruang bisa disebut dengan persoalan
laten, karena tata ruang dapat secara sekejap mengubah keadaan suatu daerah.
Jika kunci-kunci ketahanan ruang menjadi rusak yang kemudian bisa merusak
segalanya. (Ilham Malik, 2021).
Palu
menjadi contoh dimana tata ruangnya berubah dalam satu waktu karena adanya
bencana pergerakan tanah. Alam yang semula hijau karena dipenuhi oleh tanaman
dalam berbagai jenis, secara perlahan-lahan berubah menjadi permukiman.
Persoalan tata ruang sebenarnya sudah muncul pada fase ini, tetapi tidak
langsung terasa begitu saja. Sehingga ketika titik ketahanan lahan terlepas,
dan akhirnya mendorong terjadinya “pelepasan” pergerakan lahan, akhirnya
persoalan tata ruang muncul karena ia menyebabkan munculnya masalah. Jadi, yang
namanya tata ruang berfungsi mengatur fungsi ruang, fungsi tiap petak lahan
(tentu dalam skalanya masing-masing), agar dapat terus
berfungsi secara berkelanjutan dan memberikan manfaat yang baik. Manfaat ini
bisa berupa nilai (value), maupun uang. (Ilham Malik, 2021).
Pertumbuhan
penduduk yang cukup pesat juga menjadi salah satu persoalan penataan ruang.
Baik di provinsi, kota/ kabupaten, kebutuhan akan lahan untuk pemukiman
masyarakat ataupun kegiatan ekonomi menjadi isu krusial. Mengapa demikian?
karena lahan tersebut riskan dengan terjadinya pengalihan fungsi. Sebagai
contoh, jika seharusnya suatu ruang diperuntukkan sebagai lahan konservasi
dan/atau ruang terbuka hijau namun beralih fungsi menjadi pemukiman, hal
tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya daerah resapan.
Persoalan tersebut dapat memicu dampak lingkungan, salah satunya adalah
peningkatan aliran permukaan yang menyebabkan banjir dan erosi di daratan.
Dengan
adanya berbagai permasalahan dalam perencanaan tata ruang yang tidak sesuai
dengan pemanfaatan ruangnya, penataan ruang yang berkualitas dapat memberikan
“angin segar” dalam mengatasi permasalahan tersebut, juga sekaligus mencapai
tujuan perencanaan pembangunan. Karena sejatinya, rencana tata ruang merupakan
panglima dalam rencana pembangunan.
Regulasi
Penataan Ruang Sebagai Kunci dalam Menjawab Tantangan Penataan Ruang
Pasal
33 Ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan
bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Pasal
tersebut menegaskan bahwa negara memiliki peran penting dalam pengelolaan
wilayah (bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya). Negara
dalam hal ini, hendaknya memaksimalkan seluruh potensi yang ada pada wilayahnya
untuk mencapai kemakmuran rakyat yang salah satunya dapat diupayakan dengan
penataan ruang yang berkualitas (Tarigan, B. M. Habibullah dkk, 2021).
Persoalan
penataan ruang di Indonesia, baik tata ruang nasional
maupun tata ruang wilayah merupakan salah satu isu krusial yang sangat dinamis
perkembangannya beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut tidak terlepas dari
urgensi keberadaan ruang dalam kehidupan manusia, sehingga pada akhirnya
membutuhkan pengaturan secara konkret mengenai keberadaan ruang melalui
sejumlah peraturan perundangundangan. Penataan ruang telah ditempatkan sebagai
salah satu komponen penting yang turut menentukan
berhasil tidaknya proses pembangunan suatu wilayah, khususnya dalam rangka
proses pembangunan berkelanjutan (Janpatar & Andri, 2022).
a.
Penataan Ruang dalam Perspektif Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007
Pengaturan
Penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia telah diatur dengan UndangUndang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (yang selanjutnya disebut dengan UU
PR). UU PR terdiri dari 13 BAB dan 80 Pasal. UU PR pada pokoknya mengatur
tentang Klasifikasi Penataan Ruang, Tugas dan Wewenang, Pengaturan dan
Pembinaan Penataan Ruang, Pengawasan Penataan Ruang, Hak, Kewajiban dan Peran
Masyarakat, Penyelesaian Sengketa, Penyidikan,
dan Ketentuan Pidana (Tarigan, B. M. Habibullah dkk. (2021).
Ditetapkannya
UU PR yang menggantikan UndangUndang No. 24 Tahun 1992 mengatur kembali
pembagian wewenang antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang. Struktur
rencana umum tata ruang masih seperti sebelumnya Rencana Tata Ruang Wilayah
Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi
(RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK), sedangkan
rencana rinci tata ruang terdiri dari: (1) Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan
dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional; (2) Rencana Tata Ruang
Kawasan Strategis Provinsi; dan (3) Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota
dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota.
“Pendekatan
keterpaduan pemanfaatan dan pengelolaan kawasan menjadi sangat penting,
sehingga diharapkan dapat terwujud suatu one plan and one management” DARWANTO
(2004)
Tak kalah
pentingnya dari penyusunan rencana tata ruang, dalam UU PR juga diatur mengenai
hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang.
Diaturnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, guna
mewujudkan prinsip penataan ruang yang bukan lagi top-down namun
menjadi bottomup. Harapannya, tidak ada lagi muncul permasalahan masyarakat
yang mengalami kerugian akibat adanya penyelenggaraan penataan ruang di daerah
mereka masing-masing. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk
peran masyarakat dalam penataan ruang diatur dengan peraturan pemerintah. Jadi,
yuk mulai ikut andil dalam penyelenggaraan penataan ruang di daerah kita
masingmasing, agar tidak merugi di masa depan.
Terakhir,
melalui UU PR ini, diharapkan dapat terwujud penyelenggaraan penataan ruang
yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman,
nyaman, produktif, dan berkelanjutan.
b.
Penataan Ruang dalam Pandangan Undang-Undang
Cipta Kerja
Penataan
ruang juga menjadi bagian dari agenda penyederhanaan segala bentuk kendala
regulasi melalui penetapan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta
Kerja. Melalui UU CK, terdapat tujuan yang diemban. Di antaranya, peningkatan ekosistem
investasi dan kegiatan berusaha, khususnya pada aspek penyederhanaan
persyaratan dasar perizinan berusaha. Di sisi lain juga untuk memberikan
kepastian dan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan
pemanfaatan ruang.
Secara
keseluruhan, apabila dilihat dari substansi aktivitas penataan ruang dalam UU
CK, bahwa Undang-Undang tersebut tidak mengubah
struktur dari substansi UndangUndang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 (Dimas,
2021). Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai Amanah UU CK, bertujuan untuk
peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Berikut adalah penjelasan
secara singkatnya :
Penyederhanaan persyaratan investasi dalam kegiatan pemanfaatan ruang dari berbasis izin pemanfaatan ruang menjadi berbasis Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). KKPR mengacu pada RDTR, apabila RDTR belum tersedia, maka sistem perizinan elektronik akan mengacu kepada RTRW Kabupaten/Kota, RTRW Provinsi, RTR KSN, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN.
Undang-Undang
Cipta Kerja mengubah arah peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha
melalui pemanfaatan ruang. UU CK diharapkan memberikan kemudahan dan kepastian
hukum bagi pelaku usaha, terutama UMK-M, serta peningkatan ekosistem investasi
melalui penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha. Untuk mewujudkan
kemudahan berusaha tersebut, oleh karena itu, peran RDTR menjadi sangat penting
dan dituangkan di UU CK sebagai persyaratan dasar untuk
perizinan berusaha untuk penerbitan KKPR. Dengan adanya KKPR, penataan ruang
menjadi pintu gerbang investasi karena dijadikan sebagai acuan pemanfaatan
ruang dan administrasi pertanahan yang diberikan kepada pelaku usaha.
Dalam
mewujudkan kemudahan berusaha melalui penataan ruang khususnya, Kementerian
ATR/BPN berkolaborasi dengan berbagai stakeholder terkait lainnya. Kolaborasi
tersebut juga sebagai upaya dalam rangka menjawab
isu-isu dan tantangan penataan ruang di masa depan.
Berdasarkan
UndangUndang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Cipta
Kerja, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang diatur bahwa penyelenggaraan penataan ruang meliputi aspek
pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan (turbinlakwas).
Tantangan
Penataan Ruang di Masa Depan
1.
Menuju Tata Ruang Terintegrasi
Pada tataran
implementasinya di Indonesia, penataan ruang terintegrasi sejatinya telah
dihadirkan, bahkan menjadi salah satu dasar pertimbangan saat ditancapkannya
tonggak hukum penataan ruang di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang. Dalam praktek penerapan UU Penataan Ruang tersebut
menjadi semakin terlihat bahwasanya penataan ruang terintegrasi baru sebatas
cara pandang atau pemaknaan filosofis. Hal ini ditunjukkan dengan produk-produk
perencanaan tata ruang yang dihasilkan yang sangat berorientasi darat. Secara
umum, struktur dan pola pemanfaatan ruang yang ditetapkan pada produk-produk
perencanaan tata ruang tersebut lebih merepresentasikan aktivitas pembangunan
dan pemanfaatan sumber daya di ruang daratan. Namun demikian, meskipun
terbatas, terdapat pengaturan di wilayah laut, seperti penetapan kawasan laut,
alur laut dan kabel laut.
Akhirnya, di
tahun 2020, tatkala Pemerintah berusaha bangkit dari badai Pandemi Covid-19 dan
ancaman resesi ekonomi global melalui skema peningkatan ekosistem investasi dan
kegiatan berusaha, dihadapkan pada berbagai persoalan yang diantaranya terkait
aturan, acuan dan pelayanan pemanfaatan ruang. Salah satu solusi praktis yang
dianggap mampu memberikan kepastian dan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memperoleh
kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang adalah dengan penetapan penetapan
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja UndangUndang
Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berusaha membangun keseragaman
persepsi dan tindakan, khususnya pada ranah perencanaan tata ruang, perizinan
pemanfaatan ruang, serta data dan informasi tata ruang. (Deputi Sumber Daya
Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Dan Investasi Republik
Indonesia: 2021).
Melalui
peraturan tersebut maksud dan arah pengintegrasian dapat ditangkap dalam
beberapa hal, pertama, pengintegrasian dokumen rencana tata ruang, meliputi
Rencana Tata Ruang Laut (RTRL) yang diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang
Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RZWP-3K) yang diintegrasikan ke dalam RTRW Provinsi, Rencana Zonasi Kawasan
Strategis Nasional (RZ KSN) diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Kawasan
Strategis Nasional (RTR KSN), RZ KSNT (Rencana Zonasi Kawasan Strategis
Nasional Tertentu) yang diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan
rencana tata ruang, rencana zonasi kawasan antar wilayah, dan rencana tata
ruang laut. Kedua, penyederhanaan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan
ruang melalui pemaduan dokumen yang dijadikan acuan serta pemaduan mekanisme
pelayanan perizinan kesesuaian pemanfaatan ruang. Ketiga, pemantapan kebijakan
satu peta (one map policy) sebagai kebijakan yang telah dikembangkan dan
diimplementasikan sebelumnya.
Bagi
Indonesia, penataan ruang terintegrasi menjadi pekerjaan yang tidak mudah dan
sangat panjang, dimulai dari perjalanan panjang dalam menyiapkan tatanan hukum
penataan ruang, gontaganti formasi kelembagaan, peningkatan sumber daya manusia
(planner) yang handal, akselerasi produkproduk penataan ruang nasional dan
daerah, hingga dalam menerapkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang, yang
sampai saat ini masih belum mencapai hasil yang dicita-citakan.
Tantangan
terbesar kedepannya adalah menemukan pendekatan penataan ruang yang dapat
dikatakan ideal sesuai dengan ciri khas wilayah di Indonesia untuk dapat
diimplementasikan. Hal ini menjadi sebuah hambatan dalam proses pengintegrasian
penataan ruang, dimana proses integrasi tidak hanya sekedar substansinya saja
namun diperlukan pendekatan holistik dan terpadu yang menyatukan seluruh
pemikiran dari antara stakeholder sehingga dapat merepresentasikan karakter dan
kebutuhan penataan ruang di wilayah masing-masing.
“Penataan
ruang terintegrasi bukanlah penggabungan, akan tetapi menegaskan pada upaya
pemaduserasian. Penggabungan hanya membuahkan agregasi dan akumulasi, sedangkan
pemaduserasian membuahkan harmonisasi dan sinergi, dimana secara proses,
penggabungan mencerminkan perbesaran konstruksi, sedangkan pemaduserasian
mencerminkan rekonstruksi” DEPUTI SUMBER DAYA MARITIM KEMENTERIAN
KOORDINATOR BIDANG KEMARITIMAN DAN INVESTASI REPUBLIK INDONESIA (2021)
2.
SDGS dan Penataan Ruang
Agenda
Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) telah dirumuskan di tingkat global
dengan melibatkan para pemimpin dari 193 negara anggota PBB pada akhir
September 2015. Pembangunan berkelanjutan sebagai rencana aksi global yang
dilaksanakan hingga tahun 2030 memiliki lima prinsip dasar: people, planet,
prosperity, peace, and partnership dalam tiga dimensi: economic, social, and
environmental harmony. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terdiri dari 17
Tujuan dan 169 Target yang tercakup dalam dimensi
sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terintegrasi.
Konsep
pembangunan berkelanjutan bermula dari kesadaran manusia terhadap kelestarian
lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan mencakup
tiga pilar penting di dalam pelaksanaannya, yaitu ekonomi, sosial dan
lingkungan. Lingkungan hidup merupakan salah satu hal yang penting untuk
diperhatikan karena lingkungan mencerminkan dan menggambarkan keadaan atau
keadaan di suatu daerah tertentu sehingga dapat mencerminkan aktivitas dan
perilaku masyarakat di daerah tersebut. Lingkungan yang mempunyai kualitas yang
baik, berarti sumber daya yang ada di dalamnya juga
terjaga dengan baik.
Lantas, apa
kaitannya SDGs dengan Penataan Ruang?
Pada
hakikatnya, tata ruang yang baik dapat dijadikan sebagai tools atau instrumen
dalam mewujudkan goals dari SDGs. Dalam penyusunan tata ruang selalu melibatkan
tiga jenis aspek kehidupan, yaitu aspek sosial budaya, ekonomi, dan fisik
lingkungan. Oleh karena itu, setiap penyusunan rencana tata ruang pada skala wilayah
yang berbeda-beda selalu berkaitan dengan ketiga aspek kehidupan tersebut. Hal
ini sejalan dengan orientasi pembangunan berkelanjutan dari perspektif
pengelolaan lahan seperti yang dikemukakan oleh Enemark dkk, 2005. Terlihat
bahwa orientasi utama paradigma pengelolaan lahan adalah Pembangunan
Berkelanjutan (sustainable development), yang melibatkan aspek ekonomi, sosial,
dan fisik lingkungan.
Penataan
ruang yang diwujudkan dalam dokumen perencanaan tata ruang diharuskan dapat
memuat indikator-indikator dalam SDGs, seperti: peningkatan akses terhadap air
minum dan sanitasi yang layak dan aman, pengembangan kawasan industri, kawasan
ekonomi khusus dan pariwisata, serta menjamin akses bagi semua terhadap
perumahan yang layak, aman, terjangkau dan pelayanan
dasar, serta menata kawasan kumuh sebagai agenda pembangunan 2030 (Peta Jalan
SDGs Indonesia, Bappenas).
Struktur
demografi Indonesia saat ini didominasi oleh penduduk usia produktif (15-64)
yakni sebanyak 69% dari total penduduk sekitar 275.773.800 juta pada tahun 2022
(Statistik Indonesia 2023, BPS). Komposisi demografi seperti ini memberikan
manfaat bagi perekonomian Indonesia karena populasi usia muda memberikan
potensi angkatan kerja yang besar yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Dalam hal ini, Indonesia dituntut untuk dapat memaksimalkan potensi bonus
demografi ini dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Dalam satu
dekade ke depan, sementara populasi usia muda masih mendominasi, populasi
berusia lanjut (lansia) sudah mencapai 8% dari total penduduk Indonesia tahun 2022.
Diproyeksikan pada tahun 2045 Indonesia akan menuju masa aging population
dimana populasi penduduk dengan usia manula akan semakin bertambah dibandingkan
jumlah usia pekerja. Masa transisi tersebut menuntut kebijakan yang lebih
berpusat di sektor kesehatan, perawatan, dan perlindungan sosial.
Dua fenomena
tersebut menjadi sebuah potensi dalam penataan ruang.
Dimana pada saat bonus demografi berlangsung, tata ruang berperan penting dalam
peningkatan investasi dan kemudahan berusaha. Peningkatan investasi dan
kemudahan berusaha, diharapkan dapat membuka peluang lapangan pekerjaan semakin
terbuka luas. Dengan adanya peluang ketersediaan lapangan pekerjaan yang luas,
maka berpotensi dalam menyerap masyarakat dengan usia produktif. Selain itu,
dibutuhkan penyediaan infrastruktur yang memadai, baik
fasilitas umum dan sosial juga dapat dimanfaatkan bagi masyarakat dalam
melakukan mobilisasi maupun sekedar melepas penat di ruang terbuka hijau yang
tersedia.
Untuk
menyikapi fenomena aging population, harus dilakukan persiapan sejak dini.
Peran tata ruang adalah mengatur keselamatan dan aktivitas lansia untuk tetap produktif
dan sehat. Dengan perencanaan tata ruang yang ramah akan lansia sesuai dengan
deklarasi kelanjutusiaan dalam pertemuan akbar kelanjutusiaan di Madrid tahun
2012 (dikenal sebagai MIPAA 2002/ The Madrid International Plan of Action on
Ageing) dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 1998 tentang
Kesejahteraan Lanjut Usia diharapkan dapat diwujudkan sebagai
langkah dalam menghadapi aging population. Namun, dengan keadaan Indonesia saat
ini, dan aspek lain seperti: budaya dan adat istiadat harus menjadi
pertimbangan pada saat merencanakan tata ruang ramah lansia.
4.
Pemindahan Ibu Kota Negara Simbol Perkotaan di
Masa Depan
Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara merupakan upaya pemerintah
untuk mengusung pembangunan ekonomi yang inklusif, dengan menyebarluaskan
magnet pertumbuhan ekonomi baru, sehingga tidak hanya bertumpu di Pulau Jawa
semata.
Ibu Kota
Negara Nusantara akan dibangun untuk mencapai target Indonesia sebagai negara
maju, sesuai Visi Indonesia 2045. Dibangun dengan identitas nasional, Ibu Kota
Negara Nusantara akan mengubah orientasi pembangunan
menjadi Indonesia-sentris, serta mempercepat Transformasi Ekonomi Indonesia.
Berdasarkan pemaparan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Bambang
Susantono dalam 6th Spatial Planning Platform (SPP) Conference, Ibu Kota Negara
Nusantara merupakan bagian dari Visi Indonesia 2045, diantaranya:
• Human
development and technological advancement
•
Sustainable economic development
• equitable
development
• Enhancing
national resilience and governance
Ibu Kota
Negara Nusantara juga aktif berkontribusi dalam 3 (tiga) kampanye global
diantaranya:
•
Biodiversity
•
Sustainable Development Goals
• dan
Climate Change
1.
Kota Paling Berkelanjutan di Dunia (Aman dan
terjangkau, harmoni dengan alam, emisi nol
karbon, sirkular dan berketahanan, terhubung aktif dan dapat diakses)
2.
Mesin Ekonomi Baru bagi
Indonesia (Peluang ekonomi untuk semua dan Kenyamanan dan Efisiensi melalui
Teknologi)
3.
Simbol Identitas Nasional, Ibu Kota
Negara Nusantara menggambarkan wujud simbol identitas bangsa, green economy,
green energy, smart transportation, dan tata Kelola pemerintahan
yang efisien dan efektif sebagai milestone transformasi besar bangsa Indonesia.
Pembangunan Ibu Kota
Negara Nusantara dirancang untuk menjawab isu penataan ruang di masa depan
seperti ketangguhan bencana, pemerataan pembangunan, bonus demografi, dan
lainlain, IKN Nusantara diharapkan membuka potensi ekonomi dan dapat membawa
multiplier effect dengan menjadikan episentrum pertumbuhan yang akan semakin
merata ke wilayah luar Jawa guna mendukung pembangunan Indonesia Sentris menuju
Indonesia Emas 2045.
Krisis iklim
sudah semakin nyata ditandai dengan pemanasan global, kenaikan permukaan laut,
anomali cuaca dan bencana alam yang semakin sering terjadi. Maraknya bencana
ekologi ini tak bisa dilepaskan dari krisis iklim. Badan PBB, Panel
antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate
Change/IPCC) tahun ini mengeluarkan laporan bahwa krisis iklim kini makin
cepat. Kehidupan di bumi benar-benar dalam bahaya. Bencana ekologi akan datang
lebih sering dan dalam skala yang masif.
Kerusakan
lingkungan hidup yang telah terjadi pada akhirnya terakumulasi menjadi satu
ancaman serius yang meneror kota dan wilayah di seluruh Indonesia. Hal tersebut
menyebabkan Indonesia harus siap dalam menghadapi bencana
yang akan terjadi akibat perubahan iklim. Di Indonesia, bencana ekologi tidak
hanya disebabkan oleh krisis iklim, namun sebuah perpaduan sempurna antara
krisis iklim dan buruknya tata kelola lingkungan hidup.
Saat ini
kita hidup di tengah buruknya tata kelola lingkungan hidup dan krisis ancaman
bencana akibat perubahan iklim. Untuk itu, dalam proses penyusunan tata ruang
menjadi salah satu kunci dalam menyediakan ruang-ruang hijau dan dilindungi
untuk mewujudkan keseimbangan lingkungan.
Fakta dalam
penyusunan rencana tata ruang, terdapat kajian mengenai tren perubahan iklim.
Data mengenai perubahan iklim terakumulasi dalam data mengenai fisik
lingkungan. Data tersebut didapatkan dari BMKG atau instansi terkait. Nantinya,
data mengenai trend perubahan iklim akan dianalisis dalam analisis daya dukung
dan daya tampung lingkungan hidup serta analisis mitigasi dan adaptasi
perubahan iklim yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis.
Komitmen
pemerintah saat ini adalah bagaimana mengupayakan untuk dapat terintegrasi
antara pengarusutamaan perubahan iklim ke dalam dokumendokumen perencanaan
sehingga nantinya dapat diimplementasikan dengan baik.
Penataan Ruang dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045
Sejatinya
penataan ruang melalui penyusunan rencana tata ruang merupakan panglima juga
acuan dalam rencana pembangunan. Hal tersebut berlaku baik di masa kini maupun
di masa depan. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan Indonesia Emas 2045,
terdapat tiga arahan dari Bapak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Arahan tersebut di antaranya, stabilitas Bangsa Indonesia, keberlanjutan dan
kesinambungan, serta pembangunan Indonesia Centrist. Arahan Bapak Joko Widodo,
dituangkan ke dalam lima sasaran serta delapan agenda utama dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045.
Setelah
terciptanya visi Indonesia Emas 2045, maka tercetuslah potensi pengembangan
ekonomi dalam penataan ruang. Potensi tersebut berupa, bonus demografi,
hilirisasi industri, pariwisata dan ekonomi kreatif, berkembangnya Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM), serta peningkatan iklim investasi. Di samping adanya
potensi yang dapat dikembangkan untuk penguatan aspek ekonomi melalui penataan
ruang, terdapat pula tantangan yang menyertainya. Tantangan dalam penataan
ruang terbagi menjadi dua klaster utama, di antaranya;
Sumber: BULETIN
PENATAAN RUANG Edisi II | Agustus - Oktober 2023
Tidak ada komentar:
Posting Komentar