Jumat, 19 Januari 2024

Tantangan Penataan Ruang Menuju Indonesia Emas 2045

Penataan ruang merupakan kebijakan penting dalam rangka menegosiasikan antara peningkatan kebutuhan ruang dan kondisi keterbatasan ruang yang ada. Penataan ruang juga berperan sebagai alat dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan secara komprehensif, terpadu, efektif dan efisien. Penataan ruang dimaksudkan untuk mencapai pembangunan yang berkelanjutan, serta meningkatkan kualitas fungsi kota dan wilayah serta pengelolaan pemanfaatan ruang untuk peningkatan kualitas hidup di samping mengurangi dampak negatifnya. Penataan ruang diharuskan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan menjawab permasalahan kota dan wilayah, saat ini maupun di masa yang akan datang.

Lantas Apa itu Penataan Ruang?

Menurut UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan bahwa penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Dengan adanya penataan ruang, diharapkan dapat mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

Di Indonesia, penataan ruang menjadi persoalan laten di semua daerah. Mengapa demikian? sebab, perubahannya terjadi secara visual, tidak terasa. Hanya perubahan petak per petak saja sudah dapat menimbulkan dampak yang terasa maupun tidak. Jika perubahan petak per petak saja dapat menimbulkan dampak, maka demikian juga perubahan lahan dan bangunan. Hal inilah yang menyebabkan persoalan tata ruang bisa disebut dengan persoalan laten, karena tata ruang dapat secara sekejap mengubah keadaan suatu daerah. Jika kunci-kunci ketahanan ruang menjadi rusak yang kemudian bisa merusak segalanya. (Ilham Malik, 2021).

Palu menjadi contoh dimana tata ruangnya berubah dalam satu waktu karena adanya bencana pergerakan tanah. Alam yang semula hijau karena dipenuhi oleh tanaman dalam berbagai jenis, secara perlahan-lahan berubah menjadi permukiman. Persoalan tata ruang sebenarnya sudah muncul pada fase ini, tetapi tidak langsung terasa begitu saja. Sehingga ketika titik ketahanan lahan terlepas, dan akhirnya mendorong terjadinya “pelepasan” pergerakan lahan, akhirnya persoalan tata ruang muncul karena ia menyebabkan munculnya masalah. Jadi, yang namanya tata ruang berfungsi mengatur fungsi ruang, fungsi tiap petak lahan (tentu dalam skalanya masing-masing), agar dapat terus berfungsi secara berkelanjutan dan memberikan manfaat yang baik. Manfaat ini bisa berupa nilai (value), maupun uang. (Ilham Malik, 2021).

Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat juga menjadi salah satu persoalan penataan ruang. Baik di provinsi, kota/ kabupaten, kebutuhan akan lahan untuk pemukiman masyarakat ataupun kegiatan ekonomi menjadi isu krusial. Mengapa demikian? karena lahan tersebut riskan dengan terjadinya pengalihan fungsi. Sebagai contoh, jika seharusnya suatu ruang diperuntukkan sebagai lahan konservasi dan/atau ruang terbuka hijau namun beralih fungsi menjadi pemukiman, hal tersebut dapat mengakibatkan berkurangnya daerah resapan. Persoalan tersebut dapat memicu dampak lingkungan, salah satunya adalah peningkatan aliran permukaan yang menyebabkan banjir dan erosi di daratan.

Dengan adanya berbagai permasalahan dalam perencanaan tata ruang yang tidak sesuai dengan pemanfaatan ruangnya, penataan ruang yang berkualitas dapat memberikan “angin segar” dalam mengatasi permasalahan tersebut, juga sekaligus mencapai tujuan perencanaan pembangunan. Karena sejatinya, rencana tata ruang merupakan panglima dalam rencana pembangunan.

Regulasi Penataan Ruang Sebagai Kunci dalam Menjawab Tantangan Penataan Ruang

Pasal 33 Ayat (3) UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan bahwa “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat”. Pasal tersebut menegaskan bahwa negara memiliki peran penting dalam pengelolaan wilayah (bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya). Negara dalam hal ini, hendaknya memaksimalkan seluruh potensi yang ada pada wilayahnya untuk mencapai kemakmuran rakyat yang salah satunya dapat diupayakan dengan penataan ruang yang berkualitas (Tarigan, B. M. Habibullah dkk, 2021).

Persoalan penataan ruang di Indonesia, baik tata ruang nasional maupun tata ruang wilayah merupakan salah satu isu krusial yang sangat dinamis perkembangannya beberapa tahun belakangan ini. Hal tersebut tidak terlepas dari urgensi keberadaan ruang dalam kehidupan manusia, sehingga pada akhirnya membutuhkan pengaturan secara konkret mengenai keberadaan ruang melalui sejumlah peraturan perundangundangan. Penataan ruang telah ditempatkan sebagai salah satu komponen penting yang turut menentukan berhasil tidaknya proses pembangunan suatu wilayah, khususnya dalam rangka proses pembangunan berkelanjutan (Janpatar & Andri, 2022).

a.     Penataan Ruang dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007

Pengaturan Penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia telah diatur dengan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (yang selanjutnya disebut dengan UU PR). UU PR terdiri dari 13 BAB dan 80 Pasal. UU PR pada pokoknya mengatur tentang Klasifikasi Penataan Ruang, Tugas dan Wewenang, Pengaturan dan Pembinaan Penataan Ruang, Pengawasan Penataan Ruang, Hak, Kewajiban dan Peran Masyarakat, Penyelesaian Sengketa, Penyidikan, dan Ketentuan Pidana (Tarigan, B. M. Habibullah dkk. (2021).

Ditetapkannya UU PR yang menggantikan UndangUndang No. 24 Tahun 1992 mengatur kembali pembagian wewenang antara pemerintah pusat, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang. Struktur rencana umum tata ruang masih seperti sebelumnya Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK), sedangkan rencana rinci tata ruang terdiri dari: (1) Rencana Tata Ruang Pulau/Kepulauan dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional; (2) Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Provinsi; dan (3) Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kabupaten/Kota.

Pendekatan keterpaduan pemanfaatan dan pengelolaan kawasan menjadi sangat penting, sehingga diharapkan dapat terwujud suatu one plan and one management” DARWANTO (2004)

Tak kalah pentingnya dari penyusunan rencana tata ruang, dalam UU PR juga diatur mengenai hak, kewajiban, dan peran masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang. Diaturnya keterlibatan masyarakat dalam penyelenggaraan penataan ruang, guna mewujudkan prinsip penataan ruang yang bukan lagi top-down namun menjadi bottomup. Harapannya, tidak ada lagi muncul permasalahan masyarakat yang mengalami kerugian akibat adanya penyelenggaraan penataan ruang di daerah mereka masing-masing. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan bentuk peran masyarakat dalam penataan ruang diatur dengan peraturan pemerintah. Jadi, yuk mulai ikut andil dalam penyelenggaraan penataan ruang di daerah kita masingmasing, agar tidak merugi di masa depan.

Terakhir, melalui UU PR ini, diharapkan dapat terwujud penyelenggaraan penataan ruang yang transparan, efektif, dan partisipatif agar terwujud ruang yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan.

b.     Penataan Ruang dalam Pandangan Undang-Undang Cipta Kerja

Penataan ruang juga menjadi bagian dari agenda penyederhanaan segala bentuk kendala regulasi melalui penetapan UndangUndang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja. Melalui UU CK, terdapat tujuan yang diemban. Di antaranya, peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, khususnya pada aspek penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha. Di sisi lain juga untuk memberikan kepastian dan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang.

Secara keseluruhan, apabila dilihat dari substansi aktivitas penataan ruang dalam UU CK, bahwa Undang-Undang tersebut tidak mengubah struktur dari substansi UndangUndang Penataan Ruang Nomor 26 Tahun 2007 (Dimas, 2021). Penyelenggaraan Penataan Ruang sebagai Amanah UU CK, bertujuan untuk peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha. Berikut adalah penjelasan secara singkatnya :



Penyederhanaan persyaratan investasi dalam kegiatan pemanfaatan ruang dari berbasis izin pemanfaatan ruang menjadi berbasis Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). KKPR mengacu pada RDTR, apabila RDTR belum tersedia, maka sistem perizinan elektronik akan mengacu kepada RTRW Kabupaten/Kota, RTRW Provinsi, RTR KSN, RTR Pulau/Kepulauan, dan RTRWN.

Undang-Undang Cipta Kerja mengubah arah peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha melalui pemanfaatan ruang. UU CK diharapkan memberikan kemudahan dan kepastian hukum bagi pelaku usaha, terutama UMK-M, serta peningkatan ekosistem investasi melalui penyederhanaan persyaratan dasar perizinan berusaha. Untuk mewujudkan kemudahan berusaha tersebut, oleh karena itu, peran RDTR menjadi sangat penting dan dituangkan di UU CK sebagai persyaratan dasar untuk perizinan berusaha untuk penerbitan KKPR. Dengan adanya KKPR, penataan ruang menjadi pintu gerbang investasi karena dijadikan sebagai acuan pemanfaatan ruang dan administrasi pertanahan yang diberikan kepada pelaku usaha.

Dalam mewujudkan kemudahan berusaha melalui penataan ruang khususnya, Kementerian ATR/BPN berkolaborasi dengan berbagai stakeholder terkait lainnya. Kolaborasi tersebut juga sebagai upaya dalam rangka menjawab isu-isu dan tantangan penataan ruang di masa depan.

Berdasarkan UndangUndang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang Cipta Kerja, dan Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang diatur bahwa penyelenggaraan penataan ruang meliputi aspek pengaturan, pembinaan, pelaksanaan dan pengawasan (turbinlakwas).

 


Tantangan Penataan Ruang di Masa Depan

1.     Menuju Tata Ruang Terintegrasi

Pada tataran implementasinya di Indonesia, penataan ruang terintegrasi sejatinya telah dihadirkan, bahkan menjadi salah satu dasar pertimbangan saat ditancapkannya tonggak hukum penataan ruang di Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. Dalam praktek penerapan UU Penataan Ruang tersebut menjadi semakin terlihat bahwasanya penataan ruang terintegrasi baru sebatas cara pandang atau pemaknaan filosofis. Hal ini ditunjukkan dengan produk-produk perencanaan tata ruang yang dihasilkan yang sangat berorientasi darat. Secara umum, struktur dan pola pemanfaatan ruang yang ditetapkan pada produk-produk perencanaan tata ruang tersebut lebih merepresentasikan aktivitas pembangunan dan pemanfaatan sumber daya di ruang daratan. Namun demikian, meskipun terbatas, terdapat pengaturan di wilayah laut, seperti penetapan kawasan laut, alur laut dan kabel laut.

Akhirnya, di tahun 2020, tatkala Pemerintah berusaha bangkit dari badai Pandemi Covid-19 dan ancaman resesi ekonomi global melalui skema peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, dihadapkan pada berbagai persoalan yang diantaranya terkait aturan, acuan dan pelayanan pemanfaatan ruang. Salah satu solusi praktis yang dianggap mampu memberikan kepastian dan kemudahan bagi pelaku usaha dalam memperoleh kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang adalah dengan penetapan penetapan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja UndangUndang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang berusaha membangun keseragaman persepsi dan tindakan, khususnya pada ranah perencanaan tata ruang, perizinan pemanfaatan ruang, serta data dan informasi tata ruang. (Deputi Sumber Daya Maritim Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman Dan Investasi Republik Indonesia: 2021).

Melalui peraturan tersebut maksud dan arah pengintegrasian dapat ditangkap dalam beberapa hal, pertama, pengintegrasian dokumen rencana tata ruang, meliputi Rencana Tata Ruang Laut (RTRL) yang diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3K) yang diintegrasikan ke dalam RTRW Provinsi, Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional (RZ KSN) diintegrasikan ke dalam Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Nasional (RTR KSN), RZ KSNT (Rencana Zonasi Kawasan Strategis Nasional Tertentu) yang diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang, rencana zonasi kawasan antar wilayah, dan rencana tata ruang laut. Kedua, penyederhanaan penyelenggaraan perizinan pemanfaatan ruang melalui pemaduan dokumen yang dijadikan acuan serta pemaduan mekanisme pelayanan perizinan kesesuaian pemanfaatan ruang. Ketiga, pemantapan kebijakan satu peta (one map policy) sebagai kebijakan yang telah dikembangkan dan diimplementasikan sebelumnya.

Bagi Indonesia, penataan ruang terintegrasi menjadi pekerjaan yang tidak mudah dan sangat panjang, dimulai dari perjalanan panjang dalam menyiapkan tatanan hukum penataan ruang, gontaganti formasi kelembagaan, peningkatan sumber daya manusia (planner) yang handal, akselerasi produkproduk penataan ruang nasional dan daerah, hingga dalam menerapkan dan mengendalikan pemanfaatan ruang, yang sampai saat ini masih belum mencapai hasil yang dicita-citakan.

Tantangan terbesar kedepannya adalah menemukan pendekatan penataan ruang yang dapat dikatakan ideal sesuai dengan ciri khas wilayah di Indonesia untuk dapat diimplementasikan. Hal ini menjadi sebuah hambatan dalam proses pengintegrasian penataan ruang, dimana proses integrasi tidak hanya sekedar substansinya saja namun diperlukan pendekatan holistik dan terpadu yang menyatukan seluruh pemikiran dari antara stakeholder sehingga dapat merepresentasikan karakter dan kebutuhan penataan ruang di wilayah masing-masing.

Dengan terintegrasi tata ruang, diharapkan pengelolaan sumber daya dan proses pembangunan dapat sejalan dan selaras dengan pembangunan berkelanjutan. Dengan predikat kita saat ini sebagai Negara Maritim dan Negara Agraris, kedepannya dibutuhkan bentuk pendekatan penataan ruang yang terintegrasi, yang tidak hanya berfokus di darat namun juga di laut. Untuk dapat mewujudkan itu semua, dibutuhkan pemikiran bersama pihak-pihak terkait, termasuk para pakar dari multidisiplin ilmu yang berelevansi dengan penataan ruang.

Penataan ruang terintegrasi bukanlah penggabungan, akan tetapi menegaskan pada upaya pemaduserasian. Penggabungan hanya membuahkan agregasi dan akumulasi, sedangkan pemaduserasian membuahkan harmonisasi dan sinergi, dimana secara proses, penggabungan mencerminkan perbesaran konstruksi, sedangkan pemaduserasian mencerminkan rekonstruksi” DEPUTI SUMBER DAYA MARITIM KEMENTERIAN KOORDINATOR BIDANG KEMARITIMAN DAN INVESTASI REPUBLIK INDONESIA (2021)

2.     SDGS dan Penataan Ruang

Agenda Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) telah dirumuskan di tingkat global dengan melibatkan para pemimpin dari 193 negara anggota PBB pada akhir September 2015. Pembangunan berkelanjutan sebagai rencana aksi global yang dilaksanakan hingga tahun 2030 memiliki lima prinsip dasar: people, planet, prosperity, peace, and partnership dalam tiga dimensi: economic, social, and environmental harmony. Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) terdiri dari 17 Tujuan dan 169 Target yang tercakup dalam dimensi sosial, ekonomi, dan lingkungan yang terintegrasi.

Konsep pembangunan berkelanjutan bermula dari kesadaran manusia terhadap kelestarian lingkungan hidup. Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga pilar penting di dalam pelaksanaannya, yaitu ekonomi, sosial dan lingkungan. Lingkungan hidup merupakan salah satu hal yang penting untuk diperhatikan karena lingkungan mencerminkan dan menggambarkan keadaan atau keadaan di suatu daerah tertentu sehingga dapat mencerminkan aktivitas dan perilaku masyarakat di daerah tersebut. Lingkungan yang mempunyai kualitas yang baik, berarti sumber daya yang ada di dalamnya juga terjaga dengan baik.

Lantas, apa kaitannya SDGs dengan Penataan Ruang?

Pada hakikatnya, tata ruang yang baik dapat dijadikan sebagai tools atau instrumen dalam mewujudkan goals dari SDGs. Dalam penyusunan tata ruang selalu melibatkan tiga jenis aspek kehidupan, yaitu aspek sosial budaya, ekonomi, dan fisik lingkungan. Oleh karena itu, setiap penyusunan rencana tata ruang pada skala wilayah yang berbeda-beda selalu berkaitan dengan ketiga aspek kehidupan tersebut. Hal ini sejalan dengan orientasi pembangunan berkelanjutan dari perspektif pengelolaan lahan seperti yang dikemukakan oleh Enemark dkk, 2005. Terlihat bahwa orientasi utama paradigma pengelolaan lahan adalah Pembangunan Berkelanjutan (sustainable development), yang melibatkan aspek ekonomi, sosial, dan fisik lingkungan.

Penataan ruang yang diwujudkan dalam dokumen perencanaan tata ruang diharuskan dapat memuat indikator-indikator dalam SDGs, seperti: peningkatan akses terhadap air minum dan sanitasi yang layak dan aman, pengembangan kawasan industri, kawasan ekonomi khusus dan pariwisata, serta menjamin akses bagi semua terhadap perumahan yang layak, aman, terjangkau dan pelayanan dasar, serta menata kawasan kumuh sebagai agenda pembangunan 2030 (Peta Jalan SDGs Indonesia, Bappenas).

3.     Pertambahan Penduduk (Bonus Demografi vs Aging Population)

Struktur demografi Indonesia saat ini didominasi oleh penduduk usia produktif (15-64) yakni sebanyak 69% dari total penduduk sekitar 275.773.800 juta pada tahun 2022 (Statistik Indonesia 2023, BPS). Komposisi demografi seperti ini memberikan manfaat bagi perekonomian Indonesia karena populasi usia muda memberikan potensi angkatan kerja yang besar yang dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini, Indonesia dituntut untuk dapat memaksimalkan potensi bonus demografi ini dalam rangka peningkatan pertumbuhan ekonomi.

Dalam satu dekade ke depan, sementara populasi usia muda masih mendominasi, populasi berusia lanjut (lansia) sudah mencapai 8% dari total penduduk Indonesia tahun 2022. Diproyeksikan pada tahun 2045 Indonesia akan menuju masa aging population dimana populasi penduduk dengan usia manula akan semakin bertambah dibandingkan jumlah usia pekerja. Masa transisi tersebut menuntut kebijakan yang lebih berpusat di sektor kesehatan, perawatan, dan perlindungan sosial.

Dua fenomena tersebut menjadi sebuah potensi dalam penataan ruang. Dimana pada saat bonus demografi berlangsung, tata ruang berperan penting dalam peningkatan investasi dan kemudahan berusaha. Peningkatan investasi dan kemudahan berusaha, diharapkan dapat membuka peluang lapangan pekerjaan semakin terbuka luas. Dengan adanya peluang ketersediaan lapangan pekerjaan yang luas, maka berpotensi dalam menyerap masyarakat dengan usia produktif. Selain itu, dibutuhkan penyediaan infrastruktur yang memadai, baik fasilitas umum dan sosial juga dapat dimanfaatkan bagi masyarakat dalam melakukan mobilisasi maupun sekedar melepas penat di ruang terbuka hijau yang tersedia.

Untuk menyikapi fenomena aging population, harus dilakukan persiapan sejak dini. Peran tata ruang adalah mengatur keselamatan dan aktivitas lansia untuk tetap produktif dan sehat. Dengan perencanaan tata ruang yang ramah akan lansia sesuai dengan deklarasi kelanjutusiaan dalam pertemuan akbar kelanjutusiaan di Madrid tahun 2012 (dikenal sebagai MIPAA 2002/ The Madrid International Plan of Action on Ageing) dan Undang-Undang Republik Indonesia No. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia diharapkan dapat diwujudkan sebagai langkah dalam menghadapi aging population. Namun, dengan keadaan Indonesia saat ini, dan aspek lain seperti: budaya dan adat istiadat harus menjadi pertimbangan pada saat merencanakan tata ruang ramah lansia.

4.     Pemindahan Ibu Kota Negara Simbol Perkotaan di Masa Depan

Pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara merupakan upaya pemerintah untuk mengusung pembangunan ekonomi yang inklusif, dengan menyebarluaskan magnet pertumbuhan ekonomi baru, sehingga tidak hanya bertumpu di Pulau Jawa semata.

Ibu Kota Negara Nusantara akan dibangun untuk mencapai target Indonesia sebagai negara maju, sesuai Visi Indonesia 2045. Dibangun dengan identitas nasional, Ibu Kota Negara Nusantara akan mengubah orientasi pembangunan menjadi Indonesia-sentris, serta mempercepat Transformasi Ekonomi Indonesia. Berdasarkan pemaparan Kepala Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN), Bambang Susantono dalam 6th Spatial Planning Platform (SPP) Conference, Ibu Kota Negara Nusantara merupakan bagian dari Visi Indonesia 2045, diantaranya:

• Human development and technological advancement

• Sustainable economic development

• equitable development

• Enhancing national resilience and governance

Ibu Kota Negara Nusantara juga aktif berkontribusi dalam 3 (tiga) kampanye global diantaranya:

• Biodiversity

• Sustainable Development Goals

• dan Climate Change

Berdasarkan hal tersebut Ibu Kota Nusantara direncanakan dan dibangun sudah sesuai dengan permasalahan dan isuisu global serta selaras dengan visi Indonesia 2045, Visi Ibukota Nusantara yaitu :

1.     Kota Paling Berkelanjutan di Dunia (Aman dan terjangkau, harmoni dengan alam, emisi nol karbon, sirkular dan berketahanan, terhubung aktif dan dapat diakses)

2.     Mesin Ekonomi Baru bagi Indonesia (Peluang ekonomi untuk semua dan Kenyamanan dan Efisiensi melalui Teknologi)

3.     Simbol Identitas Nasional, Ibu Kota Negara Nusantara menggambarkan wujud simbol identitas bangsa, green economy, green energy, smart transportation, dan tata Kelola pemerintahan yang efisien dan efektif sebagai milestone transformasi besar bangsa Indonesia.

Pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara dirancang untuk menjawab isu penataan ruang di masa depan seperti ketangguhan bencana, pemerataan pembangunan, bonus demografi, dan lainlain, IKN Nusantara diharapkan membuka potensi ekonomi dan dapat membawa multiplier effect dengan menjadikan episentrum pertumbuhan yang akan semakin merata ke wilayah luar Jawa guna mendukung pembangunan Indonesia Sentris menuju Indonesia Emas 2045.

5.     Perubahan Iklim

Krisis iklim sudah semakin nyata ditandai dengan pemanasan global, kenaikan permukaan laut, anomali cuaca dan bencana alam yang semakin sering terjadi. Maraknya bencana ekologi ini tak bisa dilepaskan dari krisis iklim. Badan PBB, Panel antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (Intergovernmental Panel Climate Change/IPCC) tahun ini mengeluarkan laporan bahwa krisis iklim kini makin cepat. Kehidupan di bumi benar-benar dalam bahaya. Bencana ekologi akan datang lebih sering dan dalam skala yang masif.

Kerusakan lingkungan hidup yang telah terjadi pada akhirnya terakumulasi menjadi satu ancaman serius yang meneror kota dan wilayah di seluruh Indonesia. Hal tersebut menyebabkan Indonesia harus siap dalam menghadapi bencana yang akan terjadi akibat perubahan iklim. Di Indonesia, bencana ekologi tidak hanya disebabkan oleh krisis iklim, namun sebuah perpaduan sempurna antara krisis iklim dan buruknya tata kelola lingkungan hidup.

Saat ini kita hidup di tengah buruknya tata kelola lingkungan hidup dan krisis ancaman bencana akibat perubahan iklim. Untuk itu, dalam proses penyusunan tata ruang menjadi salah satu kunci dalam menyediakan ruang-ruang hijau dan dilindungi untuk mewujudkan keseimbangan lingkungan.

Fakta dalam penyusunan rencana tata ruang, terdapat kajian mengenai tren perubahan iklim. Data mengenai perubahan iklim terakumulasi dalam data mengenai fisik lingkungan. Data tersebut didapatkan dari BMKG atau instansi terkait. Nantinya, data mengenai trend perubahan iklim akan dianalisis dalam analisis daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup serta analisis mitigasi dan adaptasi perubahan iklim yang terintegrasi dengan kajian lingkungan hidup strategis.

Komitmen pemerintah saat ini adalah bagaimana mengupayakan untuk dapat terintegrasi antara pengarusutamaan perubahan iklim ke dalam dokumendokumen perencanaan sehingga nantinya dapat diimplementasikan dengan baik.

Penataan Ruang dalam Menyongsong Indonesia Emas 2045

Sejatinya penataan ruang melalui penyusunan rencana tata ruang merupakan panglima juga acuan dalam rencana pembangunan. Hal tersebut berlaku baik di masa kini maupun di masa depan. Sebagai upaya untuk mencapai tujuan Indonesia Emas 2045, terdapat tiga arahan dari Bapak Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo. Arahan tersebut di antaranya, stabilitas Bangsa Indonesia, keberlanjutan dan kesinambungan, serta pembangunan Indonesia Centrist. Arahan Bapak Joko Widodo, dituangkan ke dalam lima sasaran serta delapan agenda utama dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2025-2045.

Setelah terciptanya visi Indonesia Emas 2045, maka tercetuslah potensi pengembangan ekonomi dalam penataan ruang. Potensi tersebut berupa, bonus demografi, hilirisasi industri, pariwisata dan ekonomi kreatif, berkembangnya Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), serta peningkatan iklim investasi. Di samping adanya potensi yang dapat dikembangkan untuk penguatan aspek ekonomi melalui penataan ruang, terdapat pula tantangan yang menyertainya. Tantangan dalam penataan ruang terbagi menjadi dua klaster utama, di antaranya;

 


 

 

Sumber: BULETIN PENATAAN RUANG Edisi II | Agustus - Oktober 2023

Kamis, 04 Januari 2024

Integrasi GISTARU dengan Sistem Online Single Submission (OSS) sebagai Bentuk Kemudahan Perizinan Berusaha

Pasca disahkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UUCK), Kementerian Investasi/BKPM meluncurkan sistem Online Single Submission (OSS) sebagai penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko. Sistem OSS wajib digunakan oleh seluruh elemen mulai dari masyarakat hingga pemerintah. Dengan sistem OSS ini maka perizinan di Indonesia menjadi terintegrasi dan terpadu, dengan tetap memperhatikan risiko yang ditimbulkan oleh kegiatan usaha. Sistem OSS bertujuan untuk meningkatkan transparansi, keterbukaan, dan jaminan dalam mendapatkan izin bagi para pelaku usaha di Indonesia khususnya bagi para pelaku UMKM.

Kemunculan sistem OSS pasca UUCK kemudian diikuti dengan lahirnya norma baru dalam bidang tata ruang yaitu Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR). KKPR merupakan salah satu persyaratan dasar yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha dalam rangka memperoleh perizinan berusaha. KKPR menggantikan beberapa norma terdahulu seperti izin lokasi, keterangan rencana kota (KRK), advice planning, dan sebutan lain yang menyatakan kesesuaian tata ruang dengan kegiatan usaha. KKPR juga menjadi acuan tunggal untukpemanfaatan ruang, perolehan tanah, pemindahan hak atas tanah, dan penerbitan hak atas tanah (Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2021).

Direktorat Jenderal Tata Ruang yang memiliki tugas melaksanakan kebijakan di bidang perencanaan tata ruang dan pemanfaatan ruang bergerak cepat dengan meluncurkan GISTARU (Geographic Information System Tata Ruang) KKPR dalam mewadahi pelaksanaan KKPR untuk mendukung kegiatan berusaha. GISTARU KKPR terintegrasi dengan sistem OSS pada bagian pelaksanaan Penilaian KKPR darat, khususnya konfirmasi KKPR dan Persetujuan KKPR untuk kegiatan berusaha. Berikut gambaran mengenai Integrasi GISTARU KKPR pada sistem OSS.


Pelaksanaan Penilaian KKPR pada sistem GISTARU KKPR dibagi menjadi 2 jenis dokumen, yaitu Konfirmasi KKPR dan Persetujuan KKPR. Apabila suatu wilayah sudah memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang terintegrasi dengan system OSS, maka proses Konfirmasi KKPR dilakukan untuk lokasi rencana kegiatan yang sudah diakomodir oleh Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang terintegrasi dengan sistem OSS tersebut. Namun, apabila suatu wilayah belum memiliki RDTR  yang terintegrasi pada sistem OSS, maka terhadap lokasi rencana kegiatan akan dinilai berdasarkan rencana tata ruang yang tersedia secara berjenjang dan komplementer melalui proses Persetujuan KKPR.

ntegrasi GISTARU KKPR dengan sistem OSS pada Konfirmasi KKPR diwujudkan dengan terintegrasinya RDTR Interaktif pada sistem OSS. Dengan demikian untuk permohonan rencana kegiatan pada wilayah yang telah memiliki RDTR dapat langsung memperoleh dokumen KKPR yang diterbitkan melalui sistem OSS paling lambat 1 hari. Sampai dengan tanggal 25 Oktober 2023 telah terbit 154.396 dokumen Konfirmasi KKPR melalui sistem OSS (sumber : data OSS). Hal ini tentu akan mempercepat perizinan berusaha secara keseluruhan namun tetap sesuai dengan rencana tata ruang yang telah disusun.

GISTARU KKPR memiliki peran vital dalam jalannya penilaian Persetujuan KKPR. GISTARU KKPR merupakan pintu gerbang dari penilaian Persetujuan KKPR, karena proses validasi dan penerbitan dilakukan di sistem GISTARU KKPR. Validasi merupakan tahapan dalam memeriksa kelengkapan dokumen persetujuan KKPR. Setelah validasi, pelaku usaha kemudian membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan kemudian dilanjutkan dengan proses penilaian Persetujuan KKPR. Proses penilaian dilakukan oleh tim penilai KKPR di tingkat pusat dan Forum Penataan Ruang (FPR) di daerah dengan rentang waktu maksimal 20 hari kerja. Proses penilaian dilakukan secara paralel dengan Pertimbangan Teknis Pertanahan (PTP) yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan. Setelah penilaian Persetujuan KKPR selesai, maka hasil penilaian tersebut diunggah kembali ke GISTARU KKPR, yang kemudian hasil akhirnya akan dikirimkan ke sistem OSS dan diterbitkan oleh sistem OSS.


Hasil penilaian Persetujuan KKPR disimpan dalam bentuk geodatabase pada GISTARU KKPR yang kemudian akan diintegrasikan kepada sistem OSS. Salah satu penerapan dari geodatabase ini dapat terlihat pada saat pelaku usaha melakukan pendaftaran, apabila terdapat Persetujuan KKPR yang telah terbit pada lokasi usaha yang dimohonkan maka akan muncul peringatan pada sistem OSS. Integrasi ini dilakukan dalam upaya mitigasi adanya tumpang tindih Persetujuan KKPR yang sudah terbit, walaupun saat ini belum berlaku pada Konfirmasi KKPR dan Persetujuan KKPR tanpa penilaian yang diterbitkan sistem OSS.

Database Konfirmasi KKPR dan Persetujuan KKPR tanpa penilaian belum diintegrasikan kepada GISTARU KKPR. Dampak dari hal ini adalah pada saat penilai KKPR dan FPR melakukan penilaian terdapat potensi terjadinya tumpang tindih KKPR terbit, terutama pada Persetujuan KKPR tanpa penilaian. Oleh karena itu diperlukan suatu terobosan dengan menambahkan Database Konfirmasi KKPR dan Persetujuan KKPR tanpa penilaian dari sistem OSS kepada GISTARU KKPR. Integrasi GISTARU dan sistem OSS juga dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat terutama pelaku usaha melalui pengintegrasian RDTR interaktif dan RTR online pada sistem OSS. RDTR interaktif pada sistem OSS memudahkan pelaku usaha untuk melihat jenis kegiatan yang diizinkan untuk suatu lokasi pada suatu wilayah yang telah memiliki RDTR. Sementara RTR online pada sistem OSS memudahkan pelaku usaha untuk melihat peruntukan ruang berdasarkan rencana tata ruang yang telah menjadi produk hukum.

Manfaat dari GISTARU masih dapat dan perlu diperluas kembali dengan melakukan terobosan atau inovasi, antara lain dengan melakukan penambahan fitur maupun integrasi dengan sistem pada Kementerian/ Lembaga lain. Penambahan fitur dapat dilakukan dengan menambahkan fitur IAZ/KUZ pada RTRW yang terintegrasi pada RTR-online. Penambahan fitur dapat bermanfaat bagi masyarakat untuk mengetahui jenis kegiatan yang diizinkan untuk suatu lokasi pada suatu wilayah, selain mengetahui peruntukan ruangnya. Selain itu, penambahan fitur juga dapat bermanfaat bagi penilai KKPR untuk mempercepat proses penilaian KKPR.

Integrasi dengan sistem pada Kementerian/Lembaga lain dibutuhkan untuk pembaharuan data, seperti pembaharuan penetapan kawasan hutan, pembaharuan wilayah izin usaha pertambangan, dan pembaharuan penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Izin Baru (PIPPIB). Pembaharuan data ini dilakukan untuk menyelaraskan rencana tata ruang khususnya pemanfaatan ruang melalui KKPR dengan kebijakan sektor lain yang masih berhubungan dengan tata ruang. Selain itu, masih diperlukan pula integrasi dengan sistem informasi pengawasan dan pengendalian pemanfaatan ruang yang diampu oleh Direktorat Jenderal Pengendalian dan Penertiban Tanah Ruang. Integrasi ini untuk memudahkan pengawasan terhadap masyarakat dalam memanfaatkan ruang yang dimilikinya agar sesuai dengan izin yang telah diterbitkan. Masih banyak tugas kita semua untuk mewujudkan kemudahan perizinan berusaha melalui sistem OSS. Untuk itu berbagai terobosan dan inovasi lintas sektor tetap perlu dilakukan untuk menyempurnakan sistem OSS ini, termasuk yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Tata Ruang dengan terus meningkatkan integrasi GISTARU dengan OSS.

 

 

 

 

Sumber: Oleh : Indira P. Warpani S.T., M.T., M.Sc. , Muhammad Arsyad S.T., M.T. , dan Muhammad Hanif Syaifudin, S.P.W.K. Dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi II | Agustus - Oktober 2023