Sabtu, 10 Agustus 2024

PROTOTIPE RDTR HASIL TERJEMAHAN SPASIAL DARI STANDAR-STANDAR

Pengantar

Mengaplikasikan SNI 03 1733 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan dan Konsep Garden City menghasilkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perencanaan (WP) berbentuk lingkaran sempurna dengan radius 3 km seluas 2.828,57 Ha, yang melayani penduduk skala kecamatan berjumlah 120.000 jiwa. Komposisinya meliputi Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 848,57 Ha (24%), Badan Jalan dan Infrastruktur seluas 565,71 Ha (21%), Perumahan seluas 1,206,55 Ha (42%), Fasos/ Fasum dan Pekantoran seluas 53,03 Ha (2%), Perdagangan Jasa seluas 30,32 Ha (1%), dan Lahan Cadangan seluas 124,39 Ha (10%).

Prototipe RDTR sesuai dengan Standar Permukiman

Pijakan paling awal dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah dengan mengetahui titik pusat kegiatan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang nantinya akan didetailkan kembali pada RDTR beserta estimasi proyeksi penduduknya pada 20 (dua puluh) tahun ke depan. Berdasarkan SNI 03 1733 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan dan pedoman-pedoman penyusunan rencana tata ruang: Megapolis dalam RTRW ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dengan penduduk di atas 1 Juta jiwa, seperti: Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, dan Makassar. Metropolis dalam RTRW ditetapkan sebagai PKN atau Pusat Kegiatan Wilayah ( P K W ) b e r u p a k o t a - k o t a administratif dengan jumlah penduduk mulai 480.000 jiwa sampai dengan 999.999 jiwa. Pusat Kecamatan Perkotaan yang berfungsi melayani kegiatan skala kabupaten atau antar kecamatan dalam RTRW ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL) dengan jumlah penduduk mulai 120.000 jiwa sampai dengan 479.999 jiwa. Pusat Kelurahan yang melayani kegiatan antar kelurahan/desa dalam RTRW ditetapkan sebagai Pusat Pelayanan Kawasan (PPKaw) dengan penduduk mulai 30.000 jiwa sampai dengan 119.999 jiwa. Pusat Rukun Warga (RW) dalam RTRW ditetapkan sebagai Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) dengan penduduk mulai 2.500 jiwa sampai dengan 29.999 jiwa. Pendetailan rencana pola ruang pada titik-titik pusat kegiatan meliputi pengaturan jarak/radius dan luas beserta kebutuhan jaringan prasarananya dapat mengacu SNI 03 1733 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pe r e n c a n a a n L i n g k u n g a n Perumahan di Perkotaan. Lingkup SNI ini bekerja paling tajam untuk “mengisi” kebutuhan sumber daya buatan pada level PKL dan turunan hierarkinya, yakni PPKaw, dan PPL.

Penetapan Rencana Konstelasi Hierarki Titik Pusat Pelayanan dan Hierarki Jaringan Jalan

Sebuah titik pusat pelayanan b e r w u j u d l i n g k a r a n u t u h s e m p u r n a d i l a p a n g a n merupakan bentuk paling ideal dari Wilayah Perencanaan (WP) karena radius elayanannya mampu menjangkau merata k e s e l u r u h W P. M a k s u d penyusunan prototipe RDTR ini adalah untuk menguji tingkat spasialisasi konstelasi titik pusat pelayanan sesuai Pedoman Penyusunan RDTR (Permen ATR/Ka BPN Nomor 11 Tahun 2021), standar hierarki jaringan pergerakan sekunder yang menghubungkannya (PP Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan) dan “isian” standar rencana pola ruang dan jaringan prasarana lainnya sesuai dengan Standar Permukiman Perkotaan (SNI 03 1733 2004) sesuai dengan input jumlah penduduk yang direncanakan. Prototipe Titik Pusat Pelayanan d a n J a r i n g a n Pe rg e r a k a n direncanakan dengan kriteria sebagai berikut:

• Pusat Kecamatan Perkotaan dengan Proyeksi Penduduk: 120.000 Jiwa (SNI 03 1733 2004 Standar Permukiman Perkotaan)

• Konsep Rencana: 1 PPK Skala Kecamatan dan 6 SPPK Skala Kelurahan

• Luas WP = Luas Lingkaran Pelayanan Kota Kecamatan Radius 3 Km (SNI 03 1733 2004 Standar Permukiman Perkotaan) = 2.828,57 Ha

• R a d i u s P P K , S P P K , P L d a n H i e r a r k i S P U d a n Perdagangan Jasa dibuat berjarak 1-3 Km sesuai SNI.

• Arteri Sekunder didesain dengan lebar daerah milik jalan (DAMIJA) 2 x 38,5 meter

• Kolektor Sekunder didesain dengan lebar DAMIJA 2 x 29,2 meter

• Lokal Sekunder didesain dengan lebar DAMIJA 2 x 12 meter

• L i n g k u n g a n S e k u n d e r didesain dengan lebar DAMIJA 2 x 6,5 meter

Daya Tampung dan Arahan Komposisi Distribusi Peruntukan Ruang Utama

Diasumsikan WP berbentuk lingkaran ini hanya memiliki satu kelas daya tampung yakni daya tampung sedang dan dengan planning knowledge kita rencanakan menjadi Green City yang berkontribusi pada ruang publik (RTH + Infrastruktur) sebesar 45% (±1.300 Ha), 45% untuk Perumahan + Fasos + Fasum (±1.300 Ha) dan 10% untuk peruntukan lainnya (cadangan pengembangan).


Penetapan Rencana Jaringan Prasarana dan Rencana Pola Ruang

Konsep rencana jaringan prasarana dan sumber daya buatan sebagai berikut:

• Desain Kota merupakan miniaturisasi dari Garden City yang diusung oleh Ebenezer Howard dengan ukuran blok 1-2 hektar.

• Rasio Luas Perumahan berbanding Ruang Publik (RTH dan Infrastruktur) adalah 40:50. Sisa 10% untuk lahan cadangan perkembangan (negotiated development)

• Luas Ruang Infrastruktur yang diwakili oleh Badan Jalan mengikuti American Urban Standard yakni 20%.

• Kebutuhan (Sarana Pelayanan Umum (SPU) dan Perdagangan Jasa untuk standar 120.000 jiwa dihitung berdasarkan SNI, menghasilkan 2% untuk SPU dan Perkantoran, dan 1% untuk Perdagangan Jasa.

• Luas RTH mengikuti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yakni RTH Publik sebesar 20%. Radius dan Luas Taman Kota di PPK dan Taman Kecamatan di SPPK mengikuti SNI dan Permen ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan RTH.

 


 

 

 

Sumber: Oleh : YUDHA PERDANA, ST.,MT Dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi I | Januari - April 2024

Rabu, 07 Agustus 2024

MENGUKUR PERAN RDTR DALAM PENINGKATAN INVESTASI DAN PENGEMBANGAN WILAYAH

RENCANA Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi dokumen penting dalam peningkatan investasi yang mulai dikemukakan sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik. Pelaku usaha wajib memiliki izin usaha yang diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission (OSS). Izin usaha diterbitkan setelah lembaga OSS menerbitkan salah satunya adalah izin lokasi berdasarkan komitmen. Jika lokasi yang dimohonkan pelaku usaha sudah sesuai dengan RDTR, izin lokasi dapat diberikan tanpa komitmen. PP Nomor 24 tahun 2018 yang sudah diperbaharui dengan PP No. 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan Berbasis Risiko ini memberikan ruang kemudahan untuk berinvestasi apabila lokasi usaha sudah memiliki RDTR, sehingga RDTR menjadi dokumen yang sangat penting untuk perizinan berusaha.

Terbitnya Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) menguatkan Rencana Tata Ruang sebagai panglima dari proses investasi di Indonesia. RDTR menjadi ujung tombak referensi dalam proses perizinan sehingga dibutuhkan penyediaan RDTR dengan kualitas yang baik. Percepatan penyediaan RDTR ini menjadi program utama dalam memberikan kepastian untuk peningkatan investasi. Beberapa terobosan yang dilakukan melalui UUCK dan peraturan turunannya yaitu PP No. 21 tahun 2021 dan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 11 tahun 2021 terhadap percepatan penyediaan RDTR antara lain:

1. Batasan waktu penyelesaian RDTR menjadi 12 bulan yang meliputi 8 bulan untuk proses penyusunan dan 4 bulan untuk proses penetapan.

2. RDTR ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang menjadi kewenangan Wali Kota/Bupati yang proses penetapannya tidak perlu melalui proses pembahasan dengan legislatif yang dapat memakan waktu cukup lama.

3. Pemberian surat persetujuan substansi sebagai syarat penerbitan Perkada RDTR memiliki batas waktu 20 hari kerja setelah dilakukan pembahasan lintas sektor.

4. Wali Kota/Bupati hanya memiliki waktu 1 (satu) bulan untuk menetapkan Perkada RDTR pasca penerbitan surat persetujuan substansi dari Kementerian ATR/BPN.

5. Adanya kepastian RDTR akan ditetapkan sebagai peraturan dengan pengambilalihan penetapan RDTR menjadi Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN apabila dalam 1 bulan RDTR tidak ditetapkan menjadi Perkada.

Sebagai dasar pemberian izin melalui sistem OSS, dukungan standar basis data untuk proses digitalisasi sangat dibutuhkan. RDTR yang disusun harus menyesuaikan dengan standar basis data sehingga dapat dibaca oleh sistem OSS. Standar basis data untuk penyusunan RDTR telah diatur dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 14 tahun 2021. Selain itu, dukungan pemanfaatan teknologi informasi juga telah dikembangkan dengan berbagai platform online, seperti GISTARU, RTR online dan RDTR interaktif.



Peningkatan jumlah RDTR ini tidak terlepas dari berbagai pihak, baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang berkepentingan terhadap peningkatan ekonomi, Badan Informasi Geospasial selaku walidata peta dasar skala besar, Kementerian Lingkungan Hdup dan Kehutanan berkaitan dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Kementerian Keuangan yang memberikan dana tambahan, Kantor Staf Presiden dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi. Kementerian ATR/BPN sebagai pembina penataan ruang di daerah berkewajiban untuk mengawal penyelesaian RDTR hingga diintegrasikan dengan sistem OSS dengan kualitas yang baik.

RDTR dan Sistem OSS

Berdasarkan PP Nomor 5 tahun 2021, pelaksanaan perizinan berusaha berbasis risiko dilakukan secara elektronik dan terintegrasi melalui sistem OSS. Terdapat tiga subsistem dari sistem OSS, yaitu subsistem pelayanan informasi, susbsistem perizinan berusaha, dan subsistem pengawasan. Dalam subsistem pelayanan informasi, sistem OSS menyediakan informasi dalam memperoleh perizinan berusaha berbasis risiko yang diantaranya memuat KBLI, rencana tata ruang dan juga persyarataan dasar yang meliputi KKPR, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi serta persetujuan lingkungan. Mengacu kepada pengaturan PP Nomor 5 tahun 2021, RDTR mempunyai peran dalam percepatan investasi yaitu:

1. RDTR menyediakan informasi awal pelaku usaha terkait lokasi kegiatan usaha yang dimohonkan (subsistem pelayanan informasi OSS)

2. RDTR membantu percepatan perizinan berusaha OSS RBA. Konfirmasi KKPR dapat diterbitkan secara otomatis pada lokasi dimana sudah tersedia RDTR terintegrasi dengan OSS

Untuk dapat menjadi dasar penerbitan konfirmasi KKPR, ada proses yang perlu dilakukan terlebih dahulu yaitu mengintegrasikan RDTR yang sudah ditetapkan ke dalam sistem OSS. Proses integrasi ini belum sepenuhnya dipahami oleh berbagai pihak, terutama pemerintah daerah yang akan melakukan integrasi tersebut.

Mekanisme integrasi RDTR dengan sistem OSS RBA, secara substansi sudah dimulai sejak penyusunan RDTR. Salah satu proses yang perlu dilakukan dalam integrasi RDTR ke dalam sistem OSS adalah melakukan digitalisasi muatan RDTR (Intensitas Pemanfaatan Ruang, Ketentuan Tata Bangunan, ITBX, dan Peta). Digitalisasi dilakukan oleh pemerintah daerah dengan bimbingan dari Kementerian ATR/BPN c.q. Direktorat Jenderal Tata Ruang. Proses digitalisasi muatan RDTR sudah dimulai sejak surat persetujuan substansi RDTR ditandatangani oleh Menteri ATR/kepala BPN, c.q. Direktur Jenderal Tata Ruang. Setelah proses digitalisasi selesai, proses integrasi ke dalam sistem OSS mulai dilakukan. Proses integrasi dilakukan oleh kementerian investasi/BKPM setelah melakukan uji coba terlebih dahulu. Berikut alur integrasi RDTR dengan sistem OSS RBA:




Perkembangan integrasi RDTR antara GISTARU-RDTR Interaktif dengan OSS RBA, masih jauh dari yang diharapkan. Sampai dengan bulan Februari 2024, jumlah RDTR yang telah terintegrasi dengan sistem OSS baru 210 RDTR. Kecepatan integrasi RDTR OSS belum dapat mengimbangi terbitnya Perkada RDTR. Hal ini tentunya menjadi tantangan ke depan bagaimana proses integrasi bisa dilakukan secara lebih cepat dan efisien, mengikuti kecepatan proses penyelesaian RDTR di daerah.



RDTR dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)

Konfirmasi KKPR yang diterbitkan oleh sistem OSS – RBA tidak terlepas dari jenis kegiatan usaha yang akan dimohonkan. Tabel ITBX adalah tabel yang mengatur berbagai jenis kegiatan usaha yang dapat diizinkan (I), diizinkan bersyarat (B), diizinkan terbatas (T) atau dilarang (X) pada zona/sub zona pola ruang. Kegiatan usaha yang diatur dalam tabel ITBX RDTR untuk sistem OSS-RBA ini mengacu kepada jenis kegiatan usaha berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik.

KBLI merupakan pengklasifikasian aktivitas/kegiatan ekonomi Indonesia yang menghasilkan produk/ output, berupa barang maupun jasa, berdasarkan lapangan usaha. KBLI disusun berdasarkan Internasional Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) yang diterbitkan oleh United Nations of Statistical Division (UNSD). KBLI disempurnakan paling cepat 5 tahun sekali atau jika ada rujukan internasional terbaru. KBLI terakhir diterbitkan adalah KBLI 2020 (Peraturan BPS No. 2/2020).

Ruang lingkup klasifikasi KBLI terbatas pada unit yang terlibat dalam aktivitas ekonomi, yang ditandai adanya input, proses produksi, dan menghasilkan output. Dalam klasifikasi, seluruh data dikelompokkan ke dalam kelas-kelas yang sehomogen seusai kaidah atau standar tertentu. Kegiatan yang memiliki proses yang sama, baik menggunakan mesin atau manual dalam memproduksi barang atau jasa, dikelompokkan bersama dalam satu kode KBLI. Struktur pengkodean KBLI terbagi atas: Kategori (Alfabet), Golongan pokok (2 digit), Golongan (3 digit), Sub golongan (4 digit) dan Kelompok (5 digit).

Contoh struktur Pengkodean KBLI 2020 sebagai berikut :

Penyusun RDTR perlu memahami dan memperhatikan jenis kegiatan usaha atau kodefikasi kegiatan berusaha dalam KBLI 2020. Strukturisasi data, terminologi, karakteristik/sifat, kebutuhan ruang, dan aturan sektoral terkait pada setiap KBLI kegiatan menjadi penting di dalam pengaturan pada tiap-tiap alokasi ruang. Untuk kode KBLI yang dimuat dalam tabel ITBX, sebaiknya menggunakan KBLI digit 5. Namun, sistem OSS masih bisa membaca kode KBLI sampai digit 3.

Tantangan Implementasi RDTR Sebagai Dasar Perizinan

RDTR terintegrasi OSS menjadi dasar pemberian KKKPR sudah menjadi peraturan yang harus dilalui dalam proses perizinan. Perizinan berbasis sistem OSS bertujuan mengurangi peluang indikasi korupsi dalam bidang perizinan. Adanya sistem OSS dapat mereduksi waktu proses perizinan berusaha sehingga diharapkan dapat mempercepat ralisasi investasi.

Memperhatikan jumlah pertambahan jumlah RDTR terintegrasi OSS yaitu 210 RDTR (status Februari 2024), juga diikuti dengan peningkatan jumlah KKKPR yang terbit sampai dengan awal tahun 2024 sejumlah 191.277 K-KKPR. Dengan pertambahan jumlah KKKPR, diharapkan RDTR ikut membantu percepatan investasi.



Dinamika pembangunan menjadi salah satu tantangan dari RDTR. Terdapat beberapa daerah yang mengajukan permohonan untuk perubahan muatan RDTR sebelum satu tahun Perkada tersebut ditetapkan. Sebagian besar perubahan yang diinginkan disebabkan adanya pengaturan peraturan zonasi khususnya tabel ITBX yang kurang lengkap pada suatu RDTR yang menyebabkan permohonan KKKPR tertolak.

Terhadap daerah yang mengajukan permohonan perubahan, sejauh ini yang sudah dilakukan untuk mengakomodir permohonan investasi tersebut adalah: (a) Jika jenis kegiatan yang dimohonkan sudah diatur dalam RDTR, meskipun tidak muncul kode KBLI-nya, akan dilakukan mapping KBLI dan mengubah Data Base Peraturan Zonasi (DBPZ). (b) Jika jenis kegiatan dimohonkan sama sekali tidak diatur dalam RDTR, harus dilakukan revisi RDTR. Tantangan selanjutnya adalah beberapa RDTR yang disusun tidak mengikuti pengaturan dari RTRWK yang berlaku saat itu (tidak compliance).

RDTR merupakan pendetailan dari RTRWK yang seyogyanya pengaturan dari RDTR sejalan dengan RTRWK yang berlaku. Permasalahan akan muncul ketika revisi RTRWK diindikasikan bahwa muatan dalam RDTR yang disusun menjadi sebuah pemutihan. Pelanggaran yang mungkin terjadi belum sempat ditindaklanjuti dengan penyelesaian pelanggarannya, namun sudah dilegalkan dengan adanya RDTR. Sehingga dalam penyusunan RDTR perlu kehati-hatian dan memperhatikan hasil audit yang pernah dilakukan.

Strategi untuk RDTR yang Berkualitas di Masa Mendatang

1.     Strategi kedepan terkait dengan data, yaitu:

• mendorong pemanfaatan data IGT kebijakan satu peta;

• mendorong walidata untuk menyediakan IGT penyusunan RDTR;

• percepatan penyediaan peta dasar skala 1:5.000;

• mendorong pengembangan Big Data yang sudah menggunakan sharing data dari K/L.

2.     Strategi ke depan terkait proses integrasi RDTR ke dalam sistem OSS:

• Penyederhanaan proses dan prosedur integrasi RDTR ke dalam sistem OSS serta sosialisasi secara intensif kepada pemerintah daerah terkait mekanisme integrasi RDTR ke dalam sistem OSS;

• Perlunya penyesuaian daftar kegiatan RDTR dengan KBLI OSS, dibutuhkan pedoman matriks alokasi ruang antara kegiatan ruang RDTR dengan kode KBLI pada masing – masing sektor. Dalam proses penyusunan RDTR perlu mencantumkan jenis kegiatan usaha (KBLI) mempertimbangkan prospek investasi melibatkan DPMPTSP

• Peningkatan algoritma logic d a n pengembangan fitur sehingga sistem OSS dapat membaca secara utuh muatan RDTR: peningkatan algoritma logic untuk permohonan yang lebih kompleks (contoh: multi KBLI pada satu lokasi yang memiliki RDTR, lintas zona RDTR dan non RDTR, multi ketentuan khusus pada satu lokasi)

• Penyesuaian data dan informasi yang mendukung memastikan tampilnya seluruh ketentuan terkait ITBX dalam produk KKKPR, perlu standarisasi format inputan data

• Peningkatan kapasitas infrastruktur digital: peningkatan kapasitas infrastruktur digital dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih optimal serta migitasi risiko bila layanan KKKPR RDTR OSS tidak berjalan.

3.     Untuk mengoptimalkan RDTR agar mampu memberikan kepastian dalam proses investasi, kualitas RDTR perlu ditingkatkan. Strategi untuk meningkatkan kualitas dilakukan dengan:

• RDTR harus disusun dengan analisis berbasis rencana (bukan eksisting) berdasarkan kondisi wilayah secara spasial,

• mengoptimalisasi peruntukan lahan dengan mempertimbangkan pertambahan nilai lahan,

• m e l a ku k a n a n a l i s i s o p t i m a s i K B L I berdasarkan analisis potensi investasi berbasis skenario,

• optimalisasi pengaturan ITBX dan penerapan teknik pengaturan zonasi.

Di masa mendatang diharapkan RDTR dapat menjadi lebih mudah dipahami dan hasil yang berkualitas dan didukung dengan sistem OSS yang optimal. KKKPR yang diterbitkan sesuai dengan apa yang diatur dalam RDTR dan tidak menimbulkan konflik di kemudian hari. Peran RDTR dalam peningkatan investasi dan pengembangan wilayah semakin jelas menunjukan tata ruang adalah panglima pembangunan.

 


 

 

 

 

 

Sumber : oleh Reny Windyawati, ST, MSc dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi I | Januari - April 2024

Senin, 13 Mei 2024

TATA KELOLA BAIK (TKB) UNTUK INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN KAWASAN WISATA YANG BERKUALITAS

 

Pendahuluan

Kekayaan (asset) alam Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Pulau Rote, sulit dicari bandingannya di dunia. Keindahan lingkungan alami adalah kekayaan yang nilainya akan terus bertambah apabila potensinya terus digali dan dikembangkan. Sektor pariwisata berpeluang besar menjadikan keindahan alami tersebut sebagai sumber pendapatan ekonomi negara. Pariwisata merupakan salah satu sektor terdampak pandemi Covid, sehingga telah menjadi perhatian Pemerintah untuk pemulihannya. Terlepas dari dampak pandemik, pariwisata telah menjadi bagian integral dari Pembangunan Nasional (Moerwanto dan Junoasmono 2017).

Infrastruktur Kawasan Pariwisata, telah dibangun di 5 (lima) Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Pembangunan infrastruktur tersebut sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020- 2024. Kelima KSPN tersebut adalah KSPN Danau Toba (Sumut), KSPN Borobudur (Jateng), KSPN Mandalika (NTB), KSPN Labuan Bajo (NTT) dan KSPN ManadoLikupang (Sulut) (antaranews.com, 2020). Pembangunan infrastruktur permukiman mendukung KSPN dalam kegiatan penataan kawasan serta dukungan infrastruktur air minum dan sanitasi telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK).

Pembangunan infrastruktur pariwisata dengan pendanaan APBN merupakan suatu bentuk investasi publik yang bertujuan untuk menciptakan dampak langsung maupun tidak langsung untuk keuntungan ekonomi masyarakat (OECD 2016). Sayangnya, pembangunan infrastruktur sektor publik seperti ini secara umum di dunia, syarat dengan korupsi, penyuapan, fraud dan penyalahgunaan fungsi (OECD 2016). Untuk memitigasi terjadinya praktik-praktik negatif tersebut, diperlukan penerapan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas, kesesuaian, dan pertanggungjawaban. Prinsip yang ditawarkan adalah Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik (TKPB). Prinsip ini juga telah diterapkan oleh sektor-sektor publik (Kaihatu 2006). Namun prinsip GCG atau TKPB dijalankan oleh Pemerintah dengan keterpaksaan karena adanya kewajiban untuk mempertanggungjawabkan uang negara yang telah dibelanjakan dan kewajiban untuk meningkatkan pelayanan untuk publik (Asare 2009).

Pada sektor publik yaitu pada lingkungan Pemerintahan, penerapan prinsipprinsip GCG atau TKPB tersebut salah satunya diterapkan melalui Sistem Pengendalian Internal melalui Audit Internal (Asare 2009). Di lingkungan Kementerian PUPR yang telah membelanjakan APBN untuk pembangunan infrastuktur, salah satunya sektor pariwisata, audit internal telah dilaksanakan oleh unit Inspektorat Jenderal.

Hasil pengawasan atau audit internal terhadap pembangunan infrastruktur kawasan wisata oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) menghasilkan temuan-temuan yaitu ketidaksesuaian pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur terhadap norma, standar, peraturan dan kriteria yang berlaku di lingkungan Kementerian PUPR. Terhadap temuan-temuan tersebut, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR telah menyampaikan rekomendasi-rekomendasi untuk ditindaklanjuti guna perbaikan pada setiap tahapan penyelenggaraan infrastruktur. Perbaikan praktik-praktik penyelenggaraan infrastruktur tersebut akan berdampak pada pengurangan rekayasa-rekayasa kinerja dan meningkatkan kualitas laporan keuangan Pemerintah dengan memberikan gambaran yang sebenarnya.

Hasil Pengawasan Pembangunan Infrastruktur Mendukung KSPN

Direktorat Jenderal Cipta Karya telah melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastrukur mendukung pariwisata antara lain penataan kawasan wisata serta pembangunan infrastruktur air minum dan sanitasi untuk mendukung kawasan wisata. Kegiatan pembangunan ini dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan Balai Prasarana Permukiman Wilayah di seluruh Indonesia. Pelaksanaan kegiatan melalui proses perencanaan, pemrograman, penganggaran, survei dan investigasi, pembebasan lahan, desain, konstruksi serta operasi dan pemeliharaan. Inspektorat Jenderal telah melakukan internal audit pada serangkaian proses pelaksanaan kegiatan tersebut.

Tahun 2022, audit internal telah dilakukan di beberapa KSPN yaitu KSPN Sumut, NTB, dan NTT. Hasil audit tersebut menunjukkan masih lemahnya pengendalian pelaksanaan pekerjaan pada 3 (tiga) kategori sebagai berikut (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c):

1. Pelaksanaan Tahap Perencanaan Pekerjaan

1) Belum lengkapnya dokumen readiness criteria yang sebagian besar menjadi ranah Pemerintah Daerah

2) Ketidakcermatan dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) mengakibatkan kemahalan harga

2. Penjaminan Kualitas Pelaksanaan Pekerjaan

1) Penggunaan spesifikasi teknis tidak mengacu pada standar yang mutakhir dan berbeda antara paket pekerjaan dengan ruang lingkup yang sama

2) Material bahan yang digunakan dalam pekerjaan tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam RAB/Spesifikasi Teknis

3) As Built Drawing kurang menyajikan informasi yang detail dan akurat dengan pekerjaan terpasang di lapangan

4) Pelaksanaan pekerjaan mengalami kerusakan sehingga memerlukan perapihan/perbaikan

5) Kekurangan volume pada perkerjaan yang telah terbayarkan

3. Pelaksanaan Manajemen Kontrak

1) Konsultan Supervisi tidak melaksanakan tugasnya sesuai kontrak

2) Pengenaan denda keterlambatan tidak sesuai syarat-syarat kontrak

3) Perpanjangan waktu pelaksanaan tidak didasari atas pertimbangan yang layak dan wajar sehingga mengakibatkan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan

4) Penerapan SMKK tidak sesuai kontrak dan pembayaran item SMKK tidak disertai bukti dukung pengeluaran

5) Perubahan pekerjaan pada MC 100 tidak didukung dengan perubahan kontrak yang memadai

6) Mobilisasi, penggantian personil dan pembayaran biaya personil belum sepenuhnya sesuai kontrak dan kondisi riil

7) Pembayaran prestasi pekerjaan tidak sesuai dengan volume riil di lapangan

8) Belum dilakukannya penanganan kontrak kritis sesuai dengan ketentuan

Pada Pasal 24 Peraturan Menteri PUPR No. 3 Tahun 2022 Tentang Pedoman Umum Pengawasan Intern (Permen PUPR 2022), disebutkan bahwa: “Penyampaian bukti tindak lanjut dan informasi tindak lanjut hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak LHA diterima oleh Auditi.” Ketentuan tersebut mengatur batas waktu pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil audit yang harus tuntas. Ketentuan tersebut membuktikan adanya komitmen dalam melaksanakan GCG atau TKPB.

Perbaikan GCG atau TKPB Meningkatkan Kepatuhan

Contoh audit internal sebagaimana di atas, merupakan hasil dari serangkaian proses pengendalian internal dengan ruang lingkup kegiatan yaitu reviu efektivitas dan efisiensi kegiatan, pencatatan laporan keuangan, investigasi fraud, penilaian risiko, pengamanan aset dan kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan(Asare 2009). Dalam tata kelola yang baik, korupsi dan fraud merupakan risiko utama yang harus dikelola oleh instansi publik (Asare 2009).

Di sisi lain, banyaknya temuan yang dihasilkan saat proses audit internal disertai dengan temuan-temuan berupa kelemahan, ketidak-cermatan dan kelalaian adalah sebagai berikut (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c):

1. kekurang-cermatan dalam melakukan pemantapan kegiatan;

2. kelalaian dalam upaya koordinasi untuk pemenuhan dokumen readiness criteria;

3. kekurang-cermatan dalam melakukan verifikasi readiness criteria;

4. kelemahan dalam pengawasan pelaksanaan kontrak paket Kontrak Fisik dan paket jasa Konsultansi Manajemen Konstruksi;

5. ketidakcermatan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak terkait perhitungan volume progres fisik terpasang dan persetujuan dalam tagihan pembayaran;

6. ketidakcermatan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak dan menindaklanjuti perubahan pelaksanaan pekerjaan di lapangan;

7. ketidakcermatan dalam memeriksa perhitungan progres fisik pekerjaan penyedia; dan

8. ketidakcermatan dalam memeriksa output laporan yang disampaikan konsultan.

Temuan-temuan tersebut merupakan bukti-bukti tidak ditaatinya norma, standar, peraturan dan kriteria (NSPK) dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur. Ketidak-taatan ini menjadi suatu risiko tersendiri, dan disebut “risiko kepatuhan” yaitu risiko yang timbul karena lalai dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c). Komisi Pemberantasan Korupsi dalam salah satu modul pelatihannya menyatakan bahwa:

“Kepatuhan yang lahir dari sebuah tekanan yang semata-mata karena regulasi akan menghasilkan kepatuhan semu. Kepatuhan semu adalah kepatuhan berupa pencarian celah-celah untuk rekayasa (tidak patuh), manakala tekanan dari pengawasan mengendur. Oleh karena itu, kepatuhan harus dibangun menjadi sebuah budaya dan menjadi sebuah mekanisme kerja individual dalam arti terinternalisasi dan terorganisasi secara terintegrasi” (Komisi Pemberantasan Korupsi 2016).

Pernyataan tersebut memberi isyarat bahwa kepatuhan harus lahir dari kesadaran dan bukan karena perintah atau kehadiran atasan. Peraturan perundang-undangan harus dijalankan dengan kesadaran dan pemahaman terhadap tujuan serta manfaatnya. Penerbitan sebuah peraturan perundang undangan, pada dasarnya untuk memudahkan penyelenggara infrastruktur dalam melaksanakan tugas fungsinya secara efisien dan efektif. Kemudahan tersebut memberi peluang kepada penyelenggara infrastruktur menepati jadwal waktu dan biaya pembangunan yang direncanakan, dan mutu sesuai spesifikasi.

Menilik masih banyaknya terjadi kekurang-cermatan, kelalaian dan kelemahan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak pembangunan infrastruktur, perlu dilakukan evaluasi bersama terhadap penyebab terjadinya kesalahan tersebut. Selain membangun kawasan wisata, Kementerian PUPR melalui DJCK diamanatkan untuk membangun infrastruktur pelayanan dasar lainnya seperti pengolahan air minum dan sanitasi, bangunan gedung, prasarana strategis yaitu bangunan sekolah dan sarana olahraga. Terkait hal tersebut, satuan kerja (Satker) menangani beberapa kegiatan konstruksi maupun non-konstruksi yang berjalan dalam suatu tahun anggaran. Hal ini menyebabkan pengendalian suatu pekerjaan harus dilaksanakan paralel dengan pengendalian beberapa pekerjaan lainnya.

Sementara itu, proses pemantauan, dan pengendalian pekerjaan oleh Satker mengalami kendala utama yaitu lemahnya tertib administrasi dokumentasi pelaksanaan kontrak. Tertib pengendalian dokumen administrasi saat ini belum menjadi budaya. Satker dan Penyedia Jasa masih fokus mengejar target kemajuan penyelesaian pekerjaan dan penertiban dokumen administrasi dilakukan setelahnya sehingga dokumen menumpuk di akhir pekerjaan. Pengendalian dokumen administrasi belum dilakukan paralel dengan kemajuan pelaksanaan konstruksi, menyebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan yang menjadi temuan audit. Kondisi ini, seringkali diperparah dengan terjadinya keterlambatan pelelangan pekerjaan, sehingga waktu menertibkan hasil pekerjaan menjadi sangat sempit.

Tertib administrasi dapat menjadi upaya mitigasi risiko berulangnya temuan dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur permukiman. Diperlukan pemantauan sistem pengendalian terintegrasi dengan sistem informasi dan penerapan standar operasional prosedur (SOP) yang mendukung terciptanya tertib administrasi. Dalam tertib administrasi, telah dipersyaratkan pemenuhan NSPK terkait. Sehingga, pemenuhan tertib administrasi dapat menjadi langkah pengendalian risiko kepatuhan.

Diperlukan upaya perbaikan tertib administrasi, dan menjadikannya budaya tata kelola yang baik (TKB) dalam penyelenggaraan infrastruktur. TKB tersebut diharapkan mampu menghasilkan kualitas infrastruktur yang handal, terutama untuk infrastruktur kawasan wisata yang menjadi wajah indah Negara Indonesia.

Kesimpulan

Pembangunan infrastruktur kawasan wisata telah menjadi salah satu fokus pembangunan oleh Pemerintah. Pendanaan oleh pemerintah disertai dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan uang negara. Pertanggungjawaban dilakukan dengan serangkaian proses pengendalian internal yang salah satunya adalah pelaksanaan audit internal. Audit internal telah dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastruktur kawasan wisata di lingkungan DJCK Kementerian PUPR. Kegiatan internal audit oleh Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR menghasilkan temuan-temuan pada pelaksanaan tahap perencanaan pekerjaan, penjaminan kualitas pekerjaan dan pelaksanaan manajemen kontrak. Temuan-temuan tersebut juga disertai dengan pengungkapan kesalahan-kesalahan yang dilakukan manajemen berupa kelemahan, ketidak-cermatan dan kelalaian dalam menerapkan norma, standar, pedoman dan kriteria (NSPK) yang telah diberlakukan sebagai fungsi pengaturan. Hal ini menunjukkan diperlukannya perbaikan tata kelola dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur, salah satunya melalui peningkatan pengendalian tertib administrasi pelaksanaan kegiatan. Tertib administrasi ini seringkali menjadi titik lemah yang menyebabkan berulangnya terjadinya temuan. Sehubungan dengan hal tersebut, pemantauan pengendalian melalui tertib administrasi merupakan upaya untuk memitigasi terjadinya risiko kepatuhan yang timbul karena mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan Tata Kelola Baik (TKB), pembangunan kawasan pariwisata diharapkan dapat memberikan infrastruktur yang kuat dan berkualitas dan dapat memberikan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.

 

 

 

Sumber : Miradian Isyana Wistyani Dalam Bunga Rampai Infrastruktur Permukiman di Kawasan Wisata, Penerbit Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2023

Rabu, 03 April 2024

Menata lnfrastruktur Agropolitan Bagi Masa Depan

Pembangunan di kawasan perkotaan yang demikian pesat telah menjadikan kawasan ini memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Begitu pula, dengan setiap aspek kehidupan sosial di dalamnya yang juga berkembang dengan sangat baik.

HAL INI memunculkan kesenjangan antara kawasan perkotaan dan perdesaan yang pada akhirnya, mengakibatkan peningkatan laju urbanisasi.

Percepatan laju urbanisasi berakibat pula pada terdesaknya sektor pertanian yang berujung pada penurunan produktivitas pertanian. Hal tersebut ditandai dengan semakin tingginya konversi lahan pertanian menjadi kawasan perkotaan. Akibatnya, Indonesia harus mendatangkan produk-produk pertanian dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri.

Sementara itu, populasi penduduk yang semakin meningkat diperkirakan mencapai angka sekitar 400 juta jiwa di tahun 2035, berbanding lurus dengan kebutuhan pangan masyarakat Indonesia. Dalam kurun waktu 35 tahun mendatang, kebutuhan pangan masyarakat diperkirakan akan meningkat lebih dari dua kali lipat kebutuhan pangan saat ini (Siswono Yudohusodo. 2002). Dengan demikian, penurunan produktivitas pertanian dikhawatirkan dapat menimbulkan kondisi rawan pangan di masa mendatang.

Namun, penurunan produktivitas pertanian tidak hanya semata-mata disebabkan terdesaknya sektor pertanian akibat konversi lahan dan percepatan urbanisasi. Melainkan, juga dipicu oleh produktivitas dan pemasaran pertanian yang masih rendah, budaya petani lokal yang cenderung subsisten, serta kelembagaan dan lingkungan permukiman yang tidak kondusif.

Berkaca pada kondisi tersebut, diperlukan upaya-upaya pengembangan kawasan perdesaan yang mencakup segala aspek kehidupan dengan memanfaatkan seluruh potensi sumber daya yang dimiliki perdesaan. Sebagai sebuah negara yang memiliki berbagai produk unggulan di setiap daerahnya, pengembangan ekonomi Indonesia hendaknya berorientasi pada pembangunan agribisnis yang berbasis pertanian. Maka, pengembangan Kawasan Agropolitan pun menjadi alternatif solusi pembangunan kawasan perdesaan. Kawasan Agropolitan memungkinkan pembangunan dengan tetap berbasis pada sektor pertanian sebagai sumber pertumbuhan ekonomi desa yang dipadukan dengan pembangunan sektor industri melalui pengembangan prasarana dan sarana layaknya perkotaan yang disesuaikan dengan lingkungan perdesaan.

Dengan kata lain, pengembangan Kawasan Agropolitan merupakan penguatan sentra-sentra produk pertanian yang berbasiskan pada kekuatan internal sehingga perdesaan menjadi kawasan yang memiliki pertumbuhan ekonomi dan daya kompetensi, baik secara interregional maupun intraregional. Oleh karena itu, keberhasilan pembangunan Kawasan Agropolitan membutuhkan komitmen dan tanggung jawab dari segenap aparatur pemerintah, swasta, maupun masyarakat. Dengan demikian, pembangunan kawasan ini dapat berlangsung secara terintegrasi, terarah, efektif, dan eftsien sehingga tercipta keterpaduan dengan pembangunan sektor lainnya dan pembangunan yang berwawasan lingkungan.



Pengembangan Kawasan Agropolitan pun menjadi salah satu program pengembangan permukiman perdesaan yang dilaksanakan Kementerian Pekerjaan Umum (PU) melalui Direktorat Jenderal Cipta Karya, Direktorat Pengembangan Permukiman. Dengan program yang terfokus pada penyediaan dan kemajuan infrastruktur perdesaan, yaitu berupa prasarana dan sarana yang memadai dan mendukung pengembangan sistem dan usaha agribisnis, diharapkan dapat memberikan manfaat bagi pembangunan Kawasan Agropolitan, khususnya masyarakat perdesaan.

Konsep Kawasan Agropolitan

Secara haraftah. istilah Agropolitan berasal dari kata Agro yang berarti 'pertanian' dan Polis/Politan yang berarti 'kota'. Dalam buku Pedoman Umum Pengembangan Kawasan Agroplitan & Pedoman Program Rintisan Pengembangan Kawasan Agropolitan yang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian, Agropolitan dideftnisikan sebagai kota pertanian yang tumbuh dan berkembang karena berjalannya sistem dan usaha agribisnis sehingga mampu melayani, mendorong, menarik, serta menghela kegiatan pembangunan pertanian (agribisnis) di wilayah sekitarnya. Buku tersebut juga mendefinisikan Kawasan Agropolitan sebagai sistem fungsional desa-desa yang ditunjukkan dari adanya hirarki keruangan desa yang ditandai dengan keberadaan pusat agropolitan dan desa-desa disekitarnya sehingga terbentuklah Kawasan Agropolitan.

Definisi Kawasan Agropolitan pun telah termaktub dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang yang menyebutkan Kawasan Agropolitan sebagai kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem permukiman dan agrobisnis.

Ada pun konsep Agropolitan merupakan konsep yang dikenalkan Friedman dan Douglas (1975). Konsep ini ditawarkan atas pengalaman kegagalan pengembangan sektor industri yang terjadi dialami negara-negara berkembang di Asia. Kegagalan tersebut mengakibatkan terjadinya hyper ubanization, pembangunan hanya terjadi di beberapa kota saja, tingkat pengangguran dan setengah penggangguran yang tinggi, kemiskinan akibat pendapatan yang tidak merata, terjadinya kekurangan bahan pangan, penurunan kesejahteraan masyarakat desa, serta ketergantungan kepada dunia luar.

Friedman mengungkapkan konsep agropolitan sebagai distrik-distrik agropolitan yang merupakan kawasan pertanian perdesaan dengan kepadatan penduduk rata-rata 200 jiwa/km2 •

Distrik agropolitan terdiri atas kota-kota tani berpenduduk 10.000- 25.000 jiwa. Luas wilayahnya dibatasi dengan radius sejauh 5-10 km sehingga menghasilkan jumlah penduduk total antara 50.000- 150.000 jiwa yang mayoritas bekerja di sektor pertanian. Konsep Friedman tidak membedakan secara spesifik antara pertanian modern ataupun konvensional dan menyebutkan setiap distrik sebagai satuan tunggal yang terintegrasi.

Definisi Friedman di atas menggunakan besaran penduduk dan luasan wilayah sebagai ukuran. Maka. dapat disimpulkan bahwa suatu distrik Agropolitan setara dengan 1 Wilayah Pengembangan Parsial (WPP) permukiman transmigrasi jika dilihat dari besaran penduduknya. Sedangkan. jika dilihat dari luasan wilayahnya yang berkisar pada 100- 250 km2 atau 10.000- 25.000 ha. ukurannya dapat lebih kecil dari luasan 1 WPP. Apabila dilihat secara administratif, besaran penduduk dan luasan wilayah tersebut setara dengan luasan wilayah kecamatan yang berpenduduk sampai dengan 25.000 jiwa dan sudah dapat berfungsi sebagai suatu simpul jasa distribusi.

Sementara, berdasarkan strukturnya, Kawasan Agropolitan dibedakan atas Orde Pertama (Kota Tani Utama), Orde Kedua (Pusat Distrik Agropolitan atau Pusat Pertumbuhan), dan Orde Ketiga (Pusat Satuan Kawasan Pertanian). Setiap orde berfungsi sebagai simpul jasa koleksi dan distribusi dengan skala yang beragam dan berjenjang (hirarki) serta pusat pelayanan permukiman. Antarsimpul tersebut disambungkan oleh jaringan transportasi yang sesuai. Orde Pertama dan Kedua dipisahkan oleh jarak sekitar 35-60 km. sesuai dengan· kondisi gegografis wilayah. Sedangkan, Orde Kedua dan Ketiga terletak dalam satu distrik agropolitan yang berjarak sekitar 15-35 km satu sama lainnya.

Menurut definisi yang ada, Agropolitan atau Kota Pertanian dapat merupakan Kota Menengah, Kota Kecil, Kota Kecamatan, Kota Perdesaan, atau Kota Nagari yang berfungsi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Sebagai pusat pertumbuhan, Kota Pertanian ini pun mampu mendorong pertumbuhan pembangunan perdesaan dan desa-desa di wilayah sekitarnya (hinterland) melalui pengembangan berbagai sektor, mulai dari pertanian, industri kecil, jasa pelayanan, hingga pariwisata.

Pengembangan Kawasan Agropolitan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat melalui percepatan pengembangan wilayah dan peningkatan keterikatan desa dan kota. Hal ini dapat terwujud melalui pengembangan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berbasis kerakyatan, berkelanjutan, dan terdesentralisasi di Kawasan Agropolitan. Sementara itu, pengembangan kawasan ini juga ditujukan untuk mengembangkan kawasan pertanian yang berpotensi menjadi Kawasan Agropolitan melalui strategi pengembangan sebagai berikut:

• Meningkatkan diversifikasi ekonomi perdesaan melalui peningkatan nilai tambah dan daya saing produk pertanian, baik berupa hasil produksi maupun olahan.

• Meningkatkan akses petani terhadap sumberdaya produktif dan permodalan dengan memfasilitasi ketersediaan layanan yang dibutuhkan petani dan masyarakat. Layanan dapat berupa penyediaan sarana produksi, sarana pascapanen, dan permodalan yang tersedia di kawasan dalam jumlah, jenis, waktu, kualitas, dan lokasi yang tepat.

• Meningkatkan prasarana dan sarana yang dibutuhkan dalam upaya memajukan industri pertanian sesuai kebutuhan masyarakat. Prasarana dan sarana publik yang disediakan pemerintah dilaksanakan dengan pendekatan kawasan, yaitu memerhatikan hasil identifikasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan, serta tingkat perkembangan Kawasan Agropolitan.

• Mewujudkan permukiman perdesaan yang nyaman dan tertata, serta menjaga kelestarian lingkungan melalui pengaturan dan pelaksanaan masterplan Kawasan Agropolitan secara konsisten dan terkoordinasi.

Visi dan misi yang telah ditetapkan, kemudian diterjemahkan ke dalam Kebijakan dan Strategi Pembangunan lnfrastruktur Agropolitan berupa dukungan terhadap pengembangan sistem dan usaha Agribisnis. Dengan demikian, kebijakan dan strategi yang ditetapkan mampu mendorong ketiga hal, yaitu :

a. Peningkatan produktivitas hasil pertanian sehingga dihasilkan produk-produk pertanian yang berdaya saing tinggi dan diminati pasar.

b. Pengolahan hasil pertanian untuk memperoleh nilai tambah atas produk hasil pertanian sebagai produk primer dengan menjadikannya berbagai produk olahan, baik intermediate product maupun final product.

c. Pemasaran hasil pertanian untuk menunjang sistem pemasaran hasil pertanian dengan memperpendek mata rantai tata niaga perdagangan hasil pertanian. Mulai dari sentra produksi sampai ke sentra pemasaran akhir (outlet).

Pengembangan Kawasan Agropolitan yang sepenuhnya memanfaatkan potensi lokal merupakan konsep Agropolitan yang sangat mendukung perlindungan dan pengembangan budaya sosial lokal. Sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), pengembangan Kawasan Agropolitan haruslah mendukung pengembangan kawasan andalan.

Oleh karena itu, pengembangannya tidak bisa terlepas dari pengembangan sistem pusatpusat kegiatan di tingkat nasional, provinsi, dan kabupaten.

Sementara itu, kondisi negeri ini sangat memungkinkan untuk dikembangkannya Kawasan Agropolitan. Kondisi yang dimaksud adalah adanya ketersediaan lahan pertanian dan tenaga kerja yang murah di Indonesia. Sebagian besar petani juga telah memiliki kemampuan (skills) dan pengetahuan (knowledge) yang didukung oleh keberadaan jaringan sektor hulu dan hilir serta kesiapan institusi.

Namun demikian, pengembangan Kawasan Agropolitan bukan tanpa kendala. Beragam permasalahan yang dihadapi, antara lain pengembangan produk pertanian yang belum mendapat dukungan makro ekonomi sepenuhnya, keterbatasan jaringan infrastruktur fisik dan ekonomi, serta potensi dan peluang investasi di seluruh sektor yang masih belum tergali sehingga investor lebih berminat menanamkan modalnya di kawasan yang telah maju. Selain itu, kebijakan fiskal dan moneter juga belum berpihak pdda sektor pertanian yang ditandai dengan masuknya produkproduk pertanian impor secara bebas serta tingginya suku bunga kredit pertanian.

Mekanisme Pengembangan Kawasan Agropolitan

Secara internal, Kawasan Agropolitan terdiri dari kota-kota pertanian dan desa-desa sentra produksi pertanian. Kawasan ini tidak dibatasi oleh batasan administratif pemerintahan (desa/ kelurahan, kecamatan, dan kabupaten/ kota). Melainkan, disesuaikan dengan memerhatikan skala ekonomi kawasannya sehingga dirasakan lebih fleksibel. Dengan demikian, bentuk dan luasan Kawasan Agropolitan dapat meliputi satu desa/kelurahan, kecamatan, atau beberapa kecamatan dalam satu wilayah Kabupaten/Kota. Kawasan ini dapat pula meliputi wilayah yang menembus wilayah Kabupaten/Kota lain yang berbatasan.

Dari sisi eksternal, Kawasan Agropolitan harus memiliki aksesibilitas dengan kota-kota berjenjang lebih tinggi di sekitarnya untuk menciptakan sebuah sistem pemasaran yang terpadu. Pada dasarnya, perdesaan yang menjadi sasaran lokasi pengembangan Kawasan Agropolitan adalah yang memiliki komoditi unggulan pertanian, seperti tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, dan perikanan.

Dalam pengembangan Kawasan Agropolitan, terurai mekanisme pengajuan usulan pengembangan Kawasan Agropolitan. Cakupan mekanisme berupa prosedur pengajuan lokasi dan proses pemilihan/penilaian Kawasan Agropolitan. Berkenaan dengan prosedur pengajuan lokasi, mekanismenya meliputi kegiatan-kegiatan berikut ini.

a.     Usulan dari Kabupaten oleh Pemerintah Provinsi. Pemerintah Kabupaten mengajukan usu Ian mengenai Kawasan Agropolitan. Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten telah melakukan identifikasi potensi dan masalah terlebih dahulu. ldentifikasi dimaksudkan untuk mengetahui kondisi dan potensi lokal, yaitu komoditas unggulan. Lokasi Kawasan Agropolitan yang berada di dalam kawasan kabupaten/kota ditetapkan oleh Bupati/Walikota.

b.     Pemerintah Pusat menilai kesiapan lokasi untuk dapat dikembangkan sebagai Kawasan Agropolitan. Penilaian dilakukan berdasarkan kelengkapan persyaratan administrasi dan potensi lokasi kawasan yang diusulkan. Persyaratan administrasi berupa dokumen perencanaan yang terdiri dari SK lokasi, SK pokja, Masterplan, RPIJM, dan DED.

c.     Pengembangan Kawasan Agropolitan yang diusulkan dapat dipenuhi jika telah memenuhi kondisi berikut.

• Apabila kelengkapan administrasi dan potensi kawasan yang diusulkan telah memenuhi persyaratan dalam butir huruf b.

• Apabila kelengkapan administrasi belum terpenuhi semua, tetapi kawasan yang diusulkan memiliki potensi yang baik, dilihat dari profil kawasan tersebut, maka kawasan ini akan diberi kesempatan untuk melengkapinya. Apabila dalam kurun waktu 1 tahun belum terlengkapi, dana bantuan pembangunan pada tahun berikutnya akan dihentikan untuk sementara.



Kawasan Agropolitan yang dikembangkan merupakan bagian dari sistem kewilayahan kabupaten. Oleh karena itu, potensi kabupaten harus dikaji terlebih dahulu berdasarkan pertimbangan aspek strategis dari unsur/komponen makro pembentuk Kawasan Agropolitan, yakni memiliki komoditas/potensi unggulan yang dapat diandalkan untuk mengembangkan kawasan secara keseluruhan. Potensi/komoditas unggulan dapat berupa ketersediaan sumber alam potensial, prasarana dan sarana, atau kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang memadai. Proses penilaian/pemilihan Kawasan Agropolitan yang diusulkan diuraikan secara lebih detil berikut ini:

• Program-program pengembangan kawasan dari departemen/badan yang memiliki keterkaitan lingkup kegiatan (tupoksi) dengan pengembangan kawasan berbasis agribisnis.

• Komoditas unggulan sebagai pemicu untuk tumbuh kembangnya kehidupan dan penghidupan dari sektor-sektor komoditi ikutan lainnya. Komoditas tersebut meliputi komoditas subsektor tanaman pangan, subsektor perkebunan, subsektor perikanan, dan subsektor peternakan.

• Potensi kabupaten yang akan dikembangkan menjadi Kawasan Agropolitan. Potensi kabupaten merupakan faktor pendukung berkembangnya Kawasan Agropolitan.

• Kawasan Agropolitan tidak ditentukan oleh batasan administrasi pemerintahan. Namun, prosedur penetapannya dimulai dari penetapan kabupaten terpilih dan basis analisa data berdasarkan batas administrasi. Oleh karena itu, proses penilaian Kawasan Agropolitan diawali dengan proses penilaian Kabupaten yang berpotensi untuk mendapatkan kawasan terpilih.

• Ketersediaan infrastruktur sebagai unsur penting dalam pembangunan Kawasan Agropolitan.

• Persyaratan pengembangan Kawasan Agropolitan sebagai kriteria untuk mengidentifikasi Kawasan Agropolitan.

Disamping itu, pemilihan Kawasan Agropolitan pun harus dapat meliputi sejumlah kriteria, sebagai berikut:

• Kawasan Agropolitan merupakan satu kesatuan kawasan perdesaan yang terdiri dari desa pusat dan desa-desa hinterlandnya yang diindikasikan oleh adanya hubungan fungsional antara kegiatan di desa pusat (zona inti) dan di desa hinterlandnya;

• Mempunyai potensi khusus atau komoditas unggulan yang dapat diandalkan untuk mengembangkan kawasan secara keseluruhan.

• Kawasan Agropolitan yang diusulkan sudah menetapkan struktur hirarki kawasan.

• Memiliki sistem kelembagaan dan sistem pengelolaan yang mendukung berkembangnya Kawasan Agropolitan seperti adanya organisasi petani, organisasi produsen agribisnis, dan lain-lain.

• Komitmen yang kuat dari pemerintah daerah dengan diterbitkannya SK penetapan kawasan dari Bupati atau dana bantuan dari pemerintah daerah setempat.

Pada kawasan yang telah berhasil dikembangkan sebagai Kawasan Agropolitan, kawasan tersebut memiliki ciri-ciri yang dapat diidentifikasi dengan jelas. Adapun ciri khas dari Kawasan Agropolitan yang telah berkembang, dijabarkan sebagai berikut:

a. Kegiatan agribisnis (pertanian) merupakan kegiatan perekonomian utamanya, kegiatan ini mencakup industri pengolahan hasil pertanian, perdagangan dan kegiatan ekspor hasil pertanian, perdagangan agribisnis hulu berupa sarana pertanian dan permodalan, agrowisata, serta jasa pelayanan.

b. Dengan agribisnis sebagai kegiatan utamanya, maka pendapatan sebagian besar masyarakatnya pun diperoleh dari kegiatan agribisnis.

c. Tercipta hubungan timbal balik (interdependensi) yang harmonis dan saling membutuhkan antara kota dan desa-desa di Kawasan Agropolitan. Dalam Kawasan Agropolitan dikembangkan usaha budidaya (on farm) dan industri olahan skala rumah tangga (off farm). Sementara, kota menyediakan beragam fasilitas yang mendukung perkembangan usaha budidaya dan agribisnis.

d. Ketersediaan infrastruktur berupa prasarana dan sarana yang memadai di Kawasan Agropolitan telah menciptakan kehidupan masyarakat layaknya di kawasan perkotaan.

Dalam hal pembiayaan, pada prinsipnya, pembiayaan Kawasan Agropolitan dilakukan secara swadaya masyarakat, baik masyarakat tani, pelaku penyedia agroinput, pengolah hasil, pelaku pemasaran, penyedia jasa yang mendapat dukungan dan fasilitasi APBN dan APBD dari Pemerintah. Pembiayaan Pemerintah lebih diarahkan untuk membiayai prasarana dan sarana publik dan berbagai kegiatan strategis, seperti penelitian, pelatihan, pendidikan penguatan kelembagaan petani, serta promosi.

Dukungan lnfrastruktur Kawasan Agropolitan

Keberhasilan pengembangan Kawasan Agropolitan tak terlepas dari dukungan sistem infrastruktur dasar yang membentuk struktur ruang. Untuk itu, melalui Satuan Kerja Penyediaan Prasarana dan Sarana Agropolitan, Ditjen Cipta Karya membangun infrastruktur dasar bagi perdesaan yang menjadi sasaran lokasi Kawasan Agropolitan. lnfrastruktur yang disediakan meliputi prasarana dan sarana yang mendukung berbagai kegiatan agribisnis berikut.

a.     Sub-sistem agribisnis hulu

Prasarana dan sarana yang disediakan dapat berupa kios-kios Sarana Produksi Pertanian (Saprotan), gudang, pelataran parkir, dan tempat bongkar muat barang.

b.     . Sub-sistem usaha tani (on-farm agribisnis)

Prasarana dan sarana yang disediakan berupa:

• Penyediaan air baku untuk meningkatkan produksi dengan saluran irigasi terbuka, irigasi tetes, embung-embung, sumur bor, dan sprinkler.

• Penyediaan air bersih untuk pencucian hasil dengan sistem perpipaan atau sumur dalam.

c.     Sub-sistem pengolahan hasil

Prasarana dan sarana dapat berupa tempat penjemuran hasil pertanian; gudang penyimpanan yang dilengkapi sarana pengawetan/pendinginan (cold storage) dan packing house untuk tempat sortasi dan pengepakan; sarana industri kecil, termasuk food services; serta Rumah Potong Hewan (RPH).

d.     Sub-sistem pemasaran hasil

Prasarana dan sarana dapat berupa pasar tradisional yang terdiri dari kios-kios, los-los, pelataran parkir, dan tempat bongkar muat barang, prasarana dan sarana SubTerminal Agribisnis (STA), pasar hewan, jalan antar desa-kota, serta jembatan.

e.     Sub-sistem jasa penunjang

Prasarana dan sarana yang disediakan dapat berupa:

• Sarana Utilitas Umum, seperti jaringan air bersih, sanitasi, persampahan, drainase, listrik, telepon, dan internet.

• Sarana Pelayanan Umum, seperti pusat perbelanjaan, kesehatan, pendidikan, perkantoran, peribadatan, rekreasi dan olahraga, serta ruang terbuka hijau.

• Sarana Kelembagaan, seperti Badan Pengelola Agropolitan, Kantor Perbankan, Koperasi, Unit-unit Usaha Agropolitan.

• Pembangunan Kasiba dan Lisiba berikut fasilitas umum dan sosial yang dibutuhkan.

• Penyusunan kebijakan pengembangan Kawasan Agropolitan.

• Penyusunan rencana tata ruang Kawasan Agropolitan.

Keberhasilan pengembangan Kawasan Agropolitan juga dapat tercapai dengan menerapkan konsep agropolitan secara tepat di lapangan. Pelaksanaannya harus berjalan secara terpadu dan di bawah pemantauan (monitoring) kelompok kerja (Pokja) yang ditetapkan dan bertanggung jawab kepada Bupati/ Walikota. Apabila wilayah Kawasan Agropolitan merupakan lintas kabupaten, maka pemantauan oleh Pokja Provinsi yang bertanggung jawab kepada Gubernur.

Disamping itu, pengembangan kota pertanian ini harus melibatkan petani-petani perdesaan untuk bersama-sama membangun sebuah sistem pertanian yang terintegrasi. Kemudian, melibatkan setiap instansi sektoral di perdesaan untuk mengembangkan pola agribisnis dan agroindustri yang dilaksanakan secara simultan. Peran serta dan dukungan dari stakeholder terkait seperti Pemerintah Pusat, Pemprov, Pemkab, RPJM Nasional dan Daerah, swasta, dan masyarakat-juga sangat dibutuhkan demi kelancaran perkembangan Kawasan Agropolitan.

Kunci keberhasilan lainnya adalah dengan menetapkan setiap distrik agropolitan sebagai suatu unit tunggal otonom mandiri sehingga dapat terjaga dari besarnya intervensi sektorsektor pusat yang tidak terkait. Dilihat dari segi ekonomi, unit tunggal yang mandiri akan mampu mengatur perencanaan dan pelaksanaan pertaniannya sendiri, tetapi tetap terintegrasi secara sinergis dengan keseluruhan sistem pengembangan wilayah.

Dengan kata lain. keberhasilan pengembangan Kawasan Agropolitan membutuhkan sebuah kesiapan, komitmen, konsistensi, serta perubahan mendasar dalam sistem pelaksanaan pembangunan daerah. Disamping itu, Pemerintah Daerah pun harus memiliki kesanggupan untuk meneruskan pengembangan Kawasan Agropolitan secara berkelanjutan demi tercapai kawasan yang mandiri melalui kemampuan sumber daya yang dimiliki.

Dari uraian tersebut, maka pelaksanaan program pengembangan Kawasan Agropolitan harus memerhatikan beberapa hal berikut ini:

• Pembangunan, pemeliharaan, serta pengembangan prasarana dan sarana berdasarkan program yang disepakati bersama dalam rangka menyediakan fasilitas yang memadai dan mendukung sistem dan usaha agribisnis, serta mewujudkan tujuan dan sasaran pengembangan Kawasan Agropolitan.

• Mendorong kemitraan dengan seluruh stakeholder, terutama kemitraan antara swasta/BUMN dengan petani/ kelembagaan petani.

• Pelaksanaan monitoring, evaluasi, pengendalian, dan pengawasan secara berkala dan teratur agar seluruh kegiatan dapat berlangsung secara efisien dan efektif.

Salah satu upaya evaluasi dalam pelaksanaan program pengembangan Kawasan Agropolitan adalah dengan menyusun lndikator Keberhasilan. lndikator Keberhasilan yang disesuaikan dengan situasi, kondisi, dan kemampuan daerah masing-masing ini mencakup dampak dan output, dijelaskan dalam jenis dan angka-angka persentase.

Dampak pengembangan Kawasan Agropolitan diharapkan mampu meningkatkan pendapatan masyarakat, khususnya petani, dan produktivitas lahan di Kawasan Agropolitan minimal 5%. Selain itu, investasi masyarakat (petani, swasta, BUMN) di Kawasan Agropolitan meningkat minimal 10%. Sementara, dari sisi output, lndikator Keberhasilan dapat terlihat dari beberapa hal berikut:

a. Sebanyak 80% kelembagaan petani mam - pu menyusun usaha yang berorientasi pasar dan lingkungan.

b. Jaringan bisnis dari petani/kelompok petani terbentuk dan berlangsung aktif.

c. Tiap desa dan kecamatan di Kawasan Agropolitan menyusun program tahunan secara partisipatif dan disetujui bersama untuk dilaksanakan.

d. Rencana Kegiatan Jangka Panjang dan Detail Engineering Design untuk pelaksanaan fisik prasarana dan sarana di Kawasan Agropolitan disetujui bersama untuk dilaksanakan dan 70% dapat dilaksanakan di Kawasan Agropolitan.

e. Sebanyak 80% kontak tani/petani maju terpilih yang dilatih mampu menjadi tempat belajar bagi petani di lingkungannya.

 

 

 

 

Sumber: Agropolitan & Minapolitan Konsep Kawasan Menuju Keharmonian, Penerbit KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL CIPTA KARYA Tahun 2012