Senin, 04 November 2024

Sinergi Penataan Ruang dan Place Branding dalam Membangun Identitas Kawasan

Dengan kemajuan teknologi yang ada saat ini, banyak wisatawan berkunjung ke sebuah tempat hanya dengan mengandalkan rekomendasi yang dilihat pada laman yang terdapat pada gawai masing-masing. Rekomendasi tempat disampaikan oleh masyarakat umum yang telah berkunjung maupun influencer yang bekerja sama untuk mempromosikan tempat tersebut. Banyak slogan baru atau tagar yang disematkan agar promosi terhadap sebuah tempat menjangkau orang sebanyak mungkin. Dengan konsep pemasaran seperti ini, masyarakat dengan mudahnya mengakses lokasi terpencil yang dipercaya sebagai “hidden gem”.

Lalu, ketika sebuah tempat dikunjungi berdasarkan rekomendasi yang ada pada sosial media (viral), bagaimana peran penataan ruang dalam membangun identitas kawasan? Apakah dokumen Rencana Tata Ruang yang disusun dan ditetapkan sebagai bentuk peraturan perundangundangan dan memiliki masa berlaku selama 20 (dua puluh) tahun dapat mengimbangi perubahan pemanfaatan ruang dari sebuah lokasi yang viral?

Secara teori, membangun identitas kawasan memerlukan perencanaan yang matang agar identitas tersebut dapat dipasarkan dalam kurun waktu yang panjang. Segala aspek terkait kawasan, baik sejarah, budaya, sosial, fisik, lingkungan, maupun berbagai aspek lainnya dipertimbangkan untuk membangun “brand” sebuah kawasan. Identifikasi strengths, weaknesses, opportunities, dan threats dipetakan dan dianalisis untuk membangun visi dan misi sebuah kawasan.

Ilmu terkait pemasaran sebuah kawasan yang dikembangkan oleh Kotler et al. (1993) melalui “Strategic Place Marketing” yaitu memposisikan kawasan sebagai sebuah bisnis yang akan dipasarkan. Untuk dapat dipasarkan, kawasan harus dapat merespons kebutuhan kompetisi global, kemajuan teknologi, bahkan penurunan fungsi kawasan. Pada awal konsep “strategic place marketing” diperkenalkan, konsep ini hanya menjadi alat untuk memasarkan produk ataupun jasa dengan lebih efektif, tidak mengembangkan identitas kawasan secara menyeluruh.

Walaupun dapat diterapkan di kawasan manapun, place branding lebih banyak dilakukan di perkotaan. Hal ini dilakukan karena membangun identitas kawasan memerlukan keterlibatan berbagai macam pemangku kepentingan dengan perannya masingmasing. Apabila identitas kawasan sudah terbangun, diperlukan pengelolaan identitas kawasan untuk menjamin keberlanjutannya. Kompleksitas perencanaan dan pengelolaan identitas kawasan tersebut lebih banyak dan lebih mudah tersedia di kawasan perkotaan.

“Place branding” di kawasan perkotaan dianggap lebih efektif dan efisien dilakukan karena beberapa sebab:

1. konsentrasi penduduk lebih banyak, sehingga jangkauan “place branding” akan lebih luas;

2. keterkaitan jejaring kegiatan antara kawasan perkotaan dengan kawasan sekitarnya lebih erat, sehingga memiliki pengaruh lebih luas;

3. pemangku kepentingan yang berada di kawasan perkotaan lebih banyak, sehingga pengelolaan terhadap “place branding” dapat dilakukan secara menyeluruh;

4. infrastruktur lebih banyak tersedia, terutama terkait infrastruktur digital;

5. posisi kawasan perkotaan atau kota lebih terlihat pada peta perekonomian global.

Terkait jumlah penduduk di kawasan perkotaan, menurut BPS, tahun 2020 sebanyak 56,7% penduduk Indonesia tinggal di kawasan perkotaan. Persentase tersebut akan terus meningkat hingga mencapai 66.6% pada tahun 2035. Kawasan perkotaan di Indonesia timbul dari aglomerasi kota. Kawasan perkotaan tidak dapat berdiri sendiri, sehingga memerlukan wilayah sekitarnya untuk fungsi pendukung, seperti permukiman, pariwisata, maupun jasa lainnya. Hal ini menyebabkan “place branding” yang dibangun di sebuah kawasan perkotaan diamplifikasi pada kawasan-kawasan sekitarnya. Karena peran sentralnya untuk kawasan sekitarnya, kawasan perkotaan menjadi fokus pembangunan infrastruktur. Infrastruktur yang terintegrasi dan terpadu menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk mengunjungi sebuah kawasan.

Kawasan perkotaan menjadi pilar penting dalam kegiatan manusia. Kota menggambarkan mesin penggerak ekonomi, fokus kehidupan sosial masyarakat, bahkan menjadi bagian dari jaringan global untuk perdagangan maupun migrasi. Kota dianggap mampu menjadi wakil dari sebuah negara untuk ambil bagian dalam perekonomian dunia.

Identitas kawasan perkotaan yang dikembangkan, disesuaikan dengan visi dan misi kawasan. Pada titik ini, planning-branding nexus terjadi. Sistem pengelolaan spasial adalah bagian dari pengelolaan narasi dan aset kawasan (gambar 1). Pada planningbranding nexus ini terdapat 6 (enam) dimensi yang teridentifikasi saling terkait, yaitu:

1. strategi yang terintegrasi;

2. fokus yang sama;

3. mekanisme yang memungkinkan pemangku kepentingan untuk berpartisipasi;

4. pelestarian versus inovasi;

5. sistem pengelolaan yang berjenjang; dan

6. perencanaan spasial sebagai titik hubung.

Pada dimensi perencanaan spasial sebagai titik hubung, ada pendapat bahwa planning-branding nexus perlu dituangkan dalam bentuk perencanaan spasial. Perencanaan spasial menerjemahkan visi dan misi identitas kawasan perkotaan ke dalam pembagian fungsi-fungsi ruang. Ini memicu transformasi dan reorganisasi spasial, yang pada akhirnya akan membentuk identitas kawasan.

Keenam dimensi yang saling berhubungan pada Planning-Branding Nexus tersebut juga menyiratkan bahwa perencanaan spasial atau place branding yang tidak terhubung dengan narasi maupun aset yang dimiliki akan berpotensi pada ketidakberlanjutan identitas kawasan secara sosioekonomi.

Saat ini, “branding” memiliki fungsi sebagai: pemberian nama terhadap produk; merancang logo dan slogan yang akan digunakan produk; membangun atau menciptakan identitas yang sesuai dengan misi produk; atau membangun reputasi sebuah produk. Oleh karena itu, selain upayaupaya bersama (co-creation) untuk membangun identitas kawasan, terdapat pula ancaman-ancaman perusakan (co-destruction) terhadap identitas kawasan (gambar 2).

Mengelola identitas kawasan memerlukan peran serta dari berbagai pemangku kepentingan dan memerlukan berbagai sarana yang tersedia, salah satunya melalui perencanaan spasial.

 



 

 

 

 

 

 

 

Sumber: Oleh Tikki Mahayanti, S.T., M.Eng. dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi II (Mei - Agustus 2024)

Rabu, 30 Oktober 2024

Konsep Kota Layak Huni dan Berkelanjutan: Karakteristik, Best Practice, Tantangan dan Peran Tata Ruang

Pendahuluan

Kota adalah pusat ekonomi dan aktivitas masyarakat. Berdasarkan data dari World Bank (2021) menyebutkan bahwa urbanisasi masif telah mendorong 57% penduduk dunia tinggal di perkotaan. Artinya, lebih dari setengah penduduk akan tinggal di kawasan perkotaan. Proyeksi dari PBB tahun 2018 (dalam MLCI IAP, 2022:3) akan ada kenaikan sebesar 68% pada tahun 2050, atau sebanyak 2,5 milyar jiwa akan tinggal di perkotaan. Masifnya urbanisasi, perubahan iklim, dan pandemi COVID-19 berdampak signifikan pada kualitas hidup di perkotaan, menjadikan kelayakhunian kota sebagai sebuah keniscayaannya.

Kota yang layak huni didefinisikan sebagai "Sistem perkotaan yang mendukung kesejahteraan fisik, sosial, dan mental serta perkembangan pribadi semua penduduknya, terkait tentang ruang kota yang menyenangkan dan diinginkan yang menawarkan dan mencerminkan kekayaan budaya dan nilai-nilai sakral. Prinsip utama yang mendasari kelayakhunian ini adalah kesetaraan, martabat, aksesibilitas, keramahan, partisipasi, dan pemberdayaan." (Vanessa Timmer dan Nola Kate Seymar, 2003).

Karakteristik

Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2022 tentang Perkotaan diatur standar pelayanan perkotaan yang dilakukan melalui metode pengukuran basis data dan persepsi masyarakat. Lebih lanjut dalam pasal 21, Indeks perkotaan berkelanjutan meliputi: ukuran kinerja ekonomi, pendidikan, energi, lingkungan, keuangan, pemerintahan, kesehatan,

Sebuah kota, selain harus layak huni, juga harus berkelanjutan. Konsep kelayakhunian (liveability) dan keberlanjutan (sustainability) merupakan konsep yang saling mendukung. Keberlanjutan kota dipandang sebagai gagasan bahwa suatu kota dapat diorganisir tanpa ketergantungan yang berlebihan dan mampu berkelola mandiri dengan sumber daya energi terbarukan (Siemens, 2009), secara bersamaan juga mempertimbangkan dampak sosial, ekonomi, lingkungan, menyediakan habitat yang tangguh bagi populasi yang ada, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk mengalami hal yang sama (Batten, 2018). Hal ini juga senada dengan Global Platform for Sustainable Cities (2018) bahwa sangat penting bagi kota-kota memanfaatkan peluang untuk meningkatkan keberlanjutan kota. Kota harus menjadi tempat inovasi dan pendorong pertumbuhan ekonomi, dimana kesejahteraan dan pekerjaan diciptakan dan sumber daya (resources) digunakan secara efisien. Berikutnya adalah pilihan tentang bagaimana kota dibangun/dikembangkan, dihuni, dan dipelihara sehingga memiliki efek global jangka panjang (long-term global effects).

perumahan, kondisi penduduk dan sosial, rekreasi, keselamatan, limbah padat, olahraga dan budaya, telekomunikasi, transportasi, pertanian di wilayah perkotaan dan keamanan pangan, perencanaan perkotaan, air limbah, air bersih, pelaporan, dan pemeliharaan bukti rekaman.

Berdasarkan peraturan tersebut karakteristik dalam kota layak huni dan berkelanjutan tidak hanya mencakup aspek fisik dan infrastruktur, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan sosial, ekonomi dan partisipasi masyarakat sehingga bertujuan untuk menciptakan lingkungan yang nyaman, aman, sehat, dan mendukung kehidupan warganya dalam jangka panjang.

“A sustainable city provides inclusive access to health care, education, and jobs at walking distance or reachable by short and convenient transit rides seamlessly integrated with pedestrian and bicycle paths.”

(World Bank & GEF, 2018:11)



Indeks setiap kota yang disurvei dalam Most Livable City Index pada tahun 2014, 2017, dan 2022 cenderung fluktuatif. Pada tahun 2014, indeks berkisar antara 58 hingga 71, sementara pada tahun 2017 mengalami penurunan dengan rentang 56 hingga 67. Namun, pada tahun 2022, indeks menunjukkan peningkatan dengan kisaran 62 hingga 67. Meskipun terjadi fluktuasi pada tingkat kota, secara keseluruhan, indeks rata-rata kelayakhunian kota-kota setiap tahunnya menunjukkan tren peningkatan. Seperti halnya hasil progres kelayakhunian kota dalam gambar berikut.

Setiap tahun, aspek-aspek yang menjadi penilaian dan keunggulan kota juga mengalami perubahan. Pada tahun 2014, pada aspek pengelolaan lingkungan, kelengkapan dan kualitas sarana prasarana, kehidupan sosial, tata kota, dan ketersediaan angkutan telah dianggap baik oleh warga kota. Tahun 2017, fokusnya bergeser ke ketercukupan pangan, fasilitas peribadatan dan pelayanan keagamaan, pengelolaan air bersih, fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan. Pada tahun 2022, aspek yang menjadi keunggulan meliputi fasilitas peribadatan, fasilitas pendidikan, penyediaan air bersih, jaringan telekomunikasi, dan fasilitas kesehatan. Beberapa aspek seperti fasilitas peribadatan, fasilitas pendidikan, dan penyediaan air bersih selalu muncul sebagai keunggulan di setiap survei, menunjukkan pentingnya aspek-aspek ini dalam mendukung kelayakhunian kota.

Indeks kelayakhunian kota didasarkan atas observasi, data sekunder dan penilaian baik dari sudut pandang subjektivitas peneliti. Dengan demikian, indeks yang didasarkan atas sudut pandang warga kota menjadi dasar penilaian kelayakhunian kota. Dengan hasil yang variatif, setiap tahun menujukkan skor yang meningkat. Kendati demikian, hasil survei ada 8 (delapan) faktor kelayakhunian yang masih memiliki skor rendah, yaitu tingginya biaya hidup di kota, sulitnya mendapatkan pekerjaan, mahalnya harga rumah, angkutan umum yang belum dapat diandalkan, buruknya fasilitas pejalan kaki, kualitas penataan PKL yang kurang baik, minimnya pelibatan warga dalam pembangunan, serta jarangnya penyelenggaraan event.

Best Practice

Salah satu kota di dunia yang dinobatkan sebagai World’s Most Liveable City (Kota Paling Layak Huni di Dunia) menurut Economist Intelligence (2024) adalah Wina, Austria. Kota ini telah menjadi juara bertahan sebagai kota paling layak huni sejak tahun 2021. Berdasarkan penilaian yang dilakukan terhadap 173 kota di seluruh dunia, Wina unggul dalam aspek:

1. stabilitas ekonomi, dengan skor 100;

2. pelayanan kesehatan, dengan skor 100;

3. budaya dan lingkungan, dengan skor 93,5;

4. pendidikan, dengan skor 100, serta;

5. infrastruktur, dengan skor 100.



Pamer (2019) berpendapat bahwa Wina dapat menjadi kota paling layak huni, karena sangat memperhatikan pelayanan untuk pendidikan, kesehatan, jaminan hari tua, serta mobilitas penduduk yang semuanya dibiayai oleh kontribusi pajak. Menurutnya, Wina menempatkan dirinya sebagai “partner” dari penduduk, sehingga masa depan mereka sendiri bergantung pada kesejahteraan penduduknya. Kota paling layak huni seperti Wina dapat menjadi contoh untuk meningkatkan kelayakhunian.

Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) telah meluncurkan tolak ukur penilaian kelayakhunian kota yang dikenal dengan nama Indonesia Most Livable City Index (MLCI). MLCI adalah survei berbasis persepsi warga kota yang mengevaluasi kelayakhunian tempat tinggal mereka. Tolak ukur ini tidak hanya memberikan gambaran tentang kekuatan dan kelemahan masing-masing kota besar di Indonesia, tetapi juga berfungsi sebagai panduan berharga bagi para pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pembangunan perkotaan.

Dalam era urbanisasi yang pesat dan tantangan lingkungan yang semakin kompleks, MLCI menjadi alat yang sangat relevan. Dengan memahami persepsi warga, para pengambil keputusan dapat mengarahkan upaya pembangunan ke arah yang lebih inklusif dan berdaya saing, memastikan setiap kota besar di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang menjadi tempat yang ideal untuk tinggal, bekerja, dan beraktivitas serta memberikan gambaran terkait kekuatan dan kelemahan masing-masing kota besar di indonesia.

Tantangan

Beberapa aspek tercatat selalu muncul sebagai permasalahan juga. Pada tahun 2014, masalah utama meliputi kehidupan ekonomi, kemacetan, keamanan, tingkat biaya hidup, dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Pada tahun 2017, isu yang menonjol adalah transportasi, keselamatan kota, pengelolaan air kotor dan drainase, fasilitas pejalan kaki, serta informasi pembangunan dan partisipasi masyarakat. Pada tahun 2022, masalah yang terus muncul mencakup perekonomian kota, sektor informal kota, fasilitas pejalan kaki, fasilitas kesenian dan budaya, serta informasi pembangunan dan partisipasi masyarakat. Fasilitas pejalan kaki dan informasi pembangunan serta partisipasi masyarakat menjadi sebuah tantangan dalam mewujudkan kota yang layak huni dan berkelanjutan.

Sehingga tata ruang memiliki peran sentral dalam mewujudkan konsep kota layak huni dan berkelanjutan melalui pendekatan outcomebased planning. Pendekatan ini fokus pada hasil akhir yang diinginkan. Perencanaan tata ruang yang berkelanjutan tidak hanya bertujuan untuk mengatur penggunaan lahan, tetapi juga untuk memastikan bahwa setiap rencana yang dibuat dapat menghasilkan outcome yang terukur dan signifikan bagi masyarakat. Integrasi antara outcome-based planning dengan skenario ruang dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi kunci utama dalam menciptakan kota yang layak huni dan berkelanjutan.

Tata ruang kota yang baik membantu menciptakan lingkungan yang nyaman, teratur, dan mendukung kesejahteraan warga. Zonasi wilayah untuk berbagai keperluan seperti pemukiman, komersial, industri, dan ruang hijau dilakukan dengan jelas dan terencana. Ini membantu mencegah konflik penggunaan lahan dan memastikan setiap area dapat berkembang sesuai fungsinya. Penataan ini juga menjaga kelestarian bangunan bersejarah dan warisan budaya kota. Pemerintah Kota Solo juga menerapkan berbagai program pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial jangka panjang, seperti penggunaan energi terbarukan dan upaya konservasi air. Pemerintah kota mengajak partisipasi aktif dari warga dalam perencanaan dan pengelolaan tata ruang. Keterlibatan ini memastikan bahwa pengembangan kota sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Peran tata ruang dalam hal ini benar–benar memiliki peran yang vital, terutama pada substansi rencana. Seperti halnya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dalam mewujudkan kota layak huni, terutama dalam menjawab kriteria tolak ukur penilaian kelayakhunian kota yang dikenal dengan nama Indonesia Most Livable City Index (MLCI) yang telah disusun oleh Ikatan Ahli Perencanaan (IAP). Untuk memastikan keamanan dan kesehatan, RTRW dan RDTR harus mencakup strategi seperti pembangunan ruang terbuka hijau yang memadai, pengendalian polusi, dan pengelolaan limbah yang efektif, serta aksesibilitas fasilitas kesehatan yang merata. Selain itu, penerapan Transit-Oriented Development (TOD) dan pengembangan infrastruktur untuk pejalan kaki dan pesepeda akan mendorong penggunaan transportasi publik dan menciptakan lingkungan yang lebih ramah pejalan kaki. Zonasi wilayah yang mendukung mixeduse development juga diperlukan untuk memastikan berbagai fungsi kota dapat diakses dengan mudah.

Dokumen perencanaan jangka panjang dan menengah seperti RPJPD dan RPJMD tidak kalah penting dalam mencerminkan visi dan program yang sejalan dengan konsep kota layak huni dan berkelanjutan. Program-program berkelanjutan seperti penggunaan energi terbarukan, konservasi air, serta pengelolaan limbah yang efisien harus diintegrasikan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Pengembangan ekonomi lokal yang inklusif, peningkatan kualitas hidup melalui penyediaan fasilitas publik yang memadai, pendidikan berkualitas, dan layanan kesehatan yang mudah diakses, merupakan aspek penting yang harus diperhatikan.

Maka demikian secara keseluruhan, aturan tata ruang yang ada saat ini memiliki potensi besar untuk menjawab kebutuhan kota layak huni, namun implementasi dan penegakannya sering kali menjadi tantangan. Kota-kota perlu memastikan bahwa perencanaan tata ruang tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik tetapi juga pada peningkatan kualitas hidup warganya. Dengan mempertimbangkan dan mengintegrasikan faktorfaktor kelayakhuniaan dalam perencanaan tata ruang, kota-kota dapat bergerak menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan layak huni bagi semua.

Sumber/Referensi:

1. Batten, J. 2018. Citizen Centric Cities: The Sustainable Cities Index 2018.

2. Economist Intelligence. 2024. The Global Liveability Index 2024. The Economist Intelligence Unit.

3. Global Platform for Sustainable Cities, World Bank. 2018. Urban Sustainability Framework. Washington, DC: World Bank.

4. Ikatan Ahli Perencanaan (IAP). 2022. Indonesia Most Livable City Index

5. Maulana, Syahrir. 2024. Surakarta City. Diambil dari Pemandangan Udara Pemandangan Indah Di Pagi Hari Di Kota Solo Foto Stok - Unduh Gambar Sekarang - iStock (istockphoto.com)

6. Republik Indonesia. 2022. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2022 Tentang Perkotaan. Presiden Republik Indonesia.

7. Republik Indonesia. 1945. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia

8. Pamer, Volkmar. 2019. Urban Planning in The Most Liveable City: Vienna. Urban Research & Practice. DOI: 10.1080/17535069.2019.1635728

9. Siemens. (2009). The Crystal – What is Urban Sustainability? Diambil dari https://assets.new.siemens.com/siemens/assets/ public.1551285748.90627521-4620-4b1d-9dc6-d94563b93a46.what-is-urban-sustainability-v1.pdf

10. World Bank & GEF. (2018). Urban Sustainability Framework (USF), 1st ed. In Urban Sustainability Framework (USF), 1st ed. (p. 11). Washington DC: International Bank for Reconstruction and Development, World Bank.

 

Sumber : Oleh Miftahul Jannah Jan Ramadhani, S.P.W.K, Andita Aghatia, dan Luqmanul Hakim, dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi II (Mei - Agustus 2024) 

Sabtu, 10 Agustus 2024

PROTOTIPE RDTR HASIL TERJEMAHAN SPASIAL DARI STANDAR-STANDAR

Pengantar

Mengaplikasikan SNI 03 1733 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan dan Konsep Garden City menghasilkan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Wilayah Perencanaan (WP) berbentuk lingkaran sempurna dengan radius 3 km seluas 2.828,57 Ha, yang melayani penduduk skala kecamatan berjumlah 120.000 jiwa. Komposisinya meliputi Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 848,57 Ha (24%), Badan Jalan dan Infrastruktur seluas 565,71 Ha (21%), Perumahan seluas 1,206,55 Ha (42%), Fasos/ Fasum dan Pekantoran seluas 53,03 Ha (2%), Perdagangan Jasa seluas 30,32 Ha (1%), dan Lahan Cadangan seluas 124,39 Ha (10%).

Prototipe RDTR sesuai dengan Standar Permukiman

Pijakan paling awal dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) adalah dengan mengetahui titik pusat kegiatan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang nantinya akan didetailkan kembali pada RDTR beserta estimasi proyeksi penduduknya pada 20 (dua puluh) tahun ke depan. Berdasarkan SNI 03 1733 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan dan pedoman-pedoman penyusunan rencana tata ruang: Megapolis dalam RTRW ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN) dengan penduduk di atas 1 Juta jiwa, seperti: Jakarta, Surabaya, Medan, Bandung, Semarang, dan Makassar. Metropolis dalam RTRW ditetapkan sebagai PKN atau Pusat Kegiatan Wilayah ( P K W ) b e r u p a k o t a - k o t a administratif dengan jumlah penduduk mulai 480.000 jiwa sampai dengan 999.999 jiwa. Pusat Kecamatan Perkotaan yang berfungsi melayani kegiatan skala kabupaten atau antar kecamatan dalam RTRW ditetapkan sebagai Pusat Kegiatan Lokal (PKL) dengan jumlah penduduk mulai 120.000 jiwa sampai dengan 479.999 jiwa. Pusat Kelurahan yang melayani kegiatan antar kelurahan/desa dalam RTRW ditetapkan sebagai Pusat Pelayanan Kawasan (PPKaw) dengan penduduk mulai 30.000 jiwa sampai dengan 119.999 jiwa. Pusat Rukun Warga (RW) dalam RTRW ditetapkan sebagai Pusat Pelayanan Lingkungan (PPL) dengan penduduk mulai 2.500 jiwa sampai dengan 29.999 jiwa. Pendetailan rencana pola ruang pada titik-titik pusat kegiatan meliputi pengaturan jarak/radius dan luas beserta kebutuhan jaringan prasarananya dapat mengacu SNI 03 1733 Tahun 2004 tentang Tata Cara Pe r e n c a n a a n L i n g k u n g a n Perumahan di Perkotaan. Lingkup SNI ini bekerja paling tajam untuk “mengisi” kebutuhan sumber daya buatan pada level PKL dan turunan hierarkinya, yakni PPKaw, dan PPL.

Penetapan Rencana Konstelasi Hierarki Titik Pusat Pelayanan dan Hierarki Jaringan Jalan

Sebuah titik pusat pelayanan b e r w u j u d l i n g k a r a n u t u h s e m p u r n a d i l a p a n g a n merupakan bentuk paling ideal dari Wilayah Perencanaan (WP) karena radius elayanannya mampu menjangkau merata k e s e l u r u h W P. M a k s u d penyusunan prototipe RDTR ini adalah untuk menguji tingkat spasialisasi konstelasi titik pusat pelayanan sesuai Pedoman Penyusunan RDTR (Permen ATR/Ka BPN Nomor 11 Tahun 2021), standar hierarki jaringan pergerakan sekunder yang menghubungkannya (PP Nomor 34 Tahun 2006 tentang Jalan) dan “isian” standar rencana pola ruang dan jaringan prasarana lainnya sesuai dengan Standar Permukiman Perkotaan (SNI 03 1733 2004) sesuai dengan input jumlah penduduk yang direncanakan. Prototipe Titik Pusat Pelayanan d a n J a r i n g a n Pe rg e r a k a n direncanakan dengan kriteria sebagai berikut:

• Pusat Kecamatan Perkotaan dengan Proyeksi Penduduk: 120.000 Jiwa (SNI 03 1733 2004 Standar Permukiman Perkotaan)

• Konsep Rencana: 1 PPK Skala Kecamatan dan 6 SPPK Skala Kelurahan

• Luas WP = Luas Lingkaran Pelayanan Kota Kecamatan Radius 3 Km (SNI 03 1733 2004 Standar Permukiman Perkotaan) = 2.828,57 Ha

• R a d i u s P P K , S P P K , P L d a n H i e r a r k i S P U d a n Perdagangan Jasa dibuat berjarak 1-3 Km sesuai SNI.

• Arteri Sekunder didesain dengan lebar daerah milik jalan (DAMIJA) 2 x 38,5 meter

• Kolektor Sekunder didesain dengan lebar DAMIJA 2 x 29,2 meter

• Lokal Sekunder didesain dengan lebar DAMIJA 2 x 12 meter

• L i n g k u n g a n S e k u n d e r didesain dengan lebar DAMIJA 2 x 6,5 meter

Daya Tampung dan Arahan Komposisi Distribusi Peruntukan Ruang Utama

Diasumsikan WP berbentuk lingkaran ini hanya memiliki satu kelas daya tampung yakni daya tampung sedang dan dengan planning knowledge kita rencanakan menjadi Green City yang berkontribusi pada ruang publik (RTH + Infrastruktur) sebesar 45% (±1.300 Ha), 45% untuk Perumahan + Fasos + Fasum (±1.300 Ha) dan 10% untuk peruntukan lainnya (cadangan pengembangan).


Penetapan Rencana Jaringan Prasarana dan Rencana Pola Ruang

Konsep rencana jaringan prasarana dan sumber daya buatan sebagai berikut:

• Desain Kota merupakan miniaturisasi dari Garden City yang diusung oleh Ebenezer Howard dengan ukuran blok 1-2 hektar.

• Rasio Luas Perumahan berbanding Ruang Publik (RTH dan Infrastruktur) adalah 40:50. Sisa 10% untuk lahan cadangan perkembangan (negotiated development)

• Luas Ruang Infrastruktur yang diwakili oleh Badan Jalan mengikuti American Urban Standard yakni 20%.

• Kebutuhan (Sarana Pelayanan Umum (SPU) dan Perdagangan Jasa untuk standar 120.000 jiwa dihitung berdasarkan SNI, menghasilkan 2% untuk SPU dan Perkantoran, dan 1% untuk Perdagangan Jasa.

• Luas RTH mengikuti Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yakni RTH Publik sebesar 20%. Radius dan Luas Taman Kota di PPK dan Taman Kecamatan di SPPK mengikuti SNI dan Permen ATR/BPN Nomor 14 Tahun 2022 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan RTH.

 


 

 

 

Sumber: Oleh : YUDHA PERDANA, ST.,MT Dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi I | Januari - April 2024

Rabu, 07 Agustus 2024

MENGUKUR PERAN RDTR DALAM PENINGKATAN INVESTASI DAN PENGEMBANGAN WILAYAH

RENCANA Detail Tata Ruang (RDTR) menjadi dokumen penting dalam peningkatan investasi yang mulai dikemukakan sejak Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi secara Elektronik. Pelaku usaha wajib memiliki izin usaha yang diterbitkan oleh Lembaga Online Single Submission (OSS). Izin usaha diterbitkan setelah lembaga OSS menerbitkan salah satunya adalah izin lokasi berdasarkan komitmen. Jika lokasi yang dimohonkan pelaku usaha sudah sesuai dengan RDTR, izin lokasi dapat diberikan tanpa komitmen. PP Nomor 24 tahun 2018 yang sudah diperbaharui dengan PP No. 5 tahun 2021 tentang Penyelenggaran Perizinan Berbasis Risiko ini memberikan ruang kemudahan untuk berinvestasi apabila lokasi usaha sudah memiliki RDTR, sehingga RDTR menjadi dokumen yang sangat penting untuk perizinan berusaha.

Terbitnya Undang-undang Cipta Kerja (UUCK) menguatkan Rencana Tata Ruang sebagai panglima dari proses investasi di Indonesia. RDTR menjadi ujung tombak referensi dalam proses perizinan sehingga dibutuhkan penyediaan RDTR dengan kualitas yang baik. Percepatan penyediaan RDTR ini menjadi program utama dalam memberikan kepastian untuk peningkatan investasi. Beberapa terobosan yang dilakukan melalui UUCK dan peraturan turunannya yaitu PP No. 21 tahun 2021 dan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 11 tahun 2021 terhadap percepatan penyediaan RDTR antara lain:

1. Batasan waktu penyelesaian RDTR menjadi 12 bulan yang meliputi 8 bulan untuk proses penyusunan dan 4 bulan untuk proses penetapan.

2. RDTR ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah (Perkada) yang menjadi kewenangan Wali Kota/Bupati yang proses penetapannya tidak perlu melalui proses pembahasan dengan legislatif yang dapat memakan waktu cukup lama.

3. Pemberian surat persetujuan substansi sebagai syarat penerbitan Perkada RDTR memiliki batas waktu 20 hari kerja setelah dilakukan pembahasan lintas sektor.

4. Wali Kota/Bupati hanya memiliki waktu 1 (satu) bulan untuk menetapkan Perkada RDTR pasca penerbitan surat persetujuan substansi dari Kementerian ATR/BPN.

5. Adanya kepastian RDTR akan ditetapkan sebagai peraturan dengan pengambilalihan penetapan RDTR menjadi Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN apabila dalam 1 bulan RDTR tidak ditetapkan menjadi Perkada.

Sebagai dasar pemberian izin melalui sistem OSS, dukungan standar basis data untuk proses digitalisasi sangat dibutuhkan. RDTR yang disusun harus menyesuaikan dengan standar basis data sehingga dapat dibaca oleh sistem OSS. Standar basis data untuk penyusunan RDTR telah diatur dalam Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN No. 14 tahun 2021. Selain itu, dukungan pemanfaatan teknologi informasi juga telah dikembangkan dengan berbagai platform online, seperti GISTARU, RTR online dan RDTR interaktif.



Peningkatan jumlah RDTR ini tidak terlepas dari berbagai pihak, baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, seperti Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang berkepentingan terhadap peningkatan ekonomi, Badan Informasi Geospasial selaku walidata peta dasar skala besar, Kementerian Lingkungan Hdup dan Kehutanan berkaitan dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, Kementerian Keuangan yang memberikan dana tambahan, Kantor Staf Presiden dan juga Komisi Pemberantasan Korupsi. Kementerian ATR/BPN sebagai pembina penataan ruang di daerah berkewajiban untuk mengawal penyelesaian RDTR hingga diintegrasikan dengan sistem OSS dengan kualitas yang baik.

RDTR dan Sistem OSS

Berdasarkan PP Nomor 5 tahun 2021, pelaksanaan perizinan berusaha berbasis risiko dilakukan secara elektronik dan terintegrasi melalui sistem OSS. Terdapat tiga subsistem dari sistem OSS, yaitu subsistem pelayanan informasi, susbsistem perizinan berusaha, dan subsistem pengawasan. Dalam subsistem pelayanan informasi, sistem OSS menyediakan informasi dalam memperoleh perizinan berusaha berbasis risiko yang diantaranya memuat KBLI, rencana tata ruang dan juga persyarataan dasar yang meliputi KKPR, persetujuan bangunan gedung, dan sertifikat laik fungsi serta persetujuan lingkungan. Mengacu kepada pengaturan PP Nomor 5 tahun 2021, RDTR mempunyai peran dalam percepatan investasi yaitu:

1. RDTR menyediakan informasi awal pelaku usaha terkait lokasi kegiatan usaha yang dimohonkan (subsistem pelayanan informasi OSS)

2. RDTR membantu percepatan perizinan berusaha OSS RBA. Konfirmasi KKPR dapat diterbitkan secara otomatis pada lokasi dimana sudah tersedia RDTR terintegrasi dengan OSS

Untuk dapat menjadi dasar penerbitan konfirmasi KKPR, ada proses yang perlu dilakukan terlebih dahulu yaitu mengintegrasikan RDTR yang sudah ditetapkan ke dalam sistem OSS. Proses integrasi ini belum sepenuhnya dipahami oleh berbagai pihak, terutama pemerintah daerah yang akan melakukan integrasi tersebut.

Mekanisme integrasi RDTR dengan sistem OSS RBA, secara substansi sudah dimulai sejak penyusunan RDTR. Salah satu proses yang perlu dilakukan dalam integrasi RDTR ke dalam sistem OSS adalah melakukan digitalisasi muatan RDTR (Intensitas Pemanfaatan Ruang, Ketentuan Tata Bangunan, ITBX, dan Peta). Digitalisasi dilakukan oleh pemerintah daerah dengan bimbingan dari Kementerian ATR/BPN c.q. Direktorat Jenderal Tata Ruang. Proses digitalisasi muatan RDTR sudah dimulai sejak surat persetujuan substansi RDTR ditandatangani oleh Menteri ATR/kepala BPN, c.q. Direktur Jenderal Tata Ruang. Setelah proses digitalisasi selesai, proses integrasi ke dalam sistem OSS mulai dilakukan. Proses integrasi dilakukan oleh kementerian investasi/BKPM setelah melakukan uji coba terlebih dahulu. Berikut alur integrasi RDTR dengan sistem OSS RBA:




Perkembangan integrasi RDTR antara GISTARU-RDTR Interaktif dengan OSS RBA, masih jauh dari yang diharapkan. Sampai dengan bulan Februari 2024, jumlah RDTR yang telah terintegrasi dengan sistem OSS baru 210 RDTR. Kecepatan integrasi RDTR OSS belum dapat mengimbangi terbitnya Perkada RDTR. Hal ini tentunya menjadi tantangan ke depan bagaimana proses integrasi bisa dilakukan secara lebih cepat dan efisien, mengikuti kecepatan proses penyelesaian RDTR di daerah.



RDTR dan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI)

Konfirmasi KKPR yang diterbitkan oleh sistem OSS – RBA tidak terlepas dari jenis kegiatan usaha yang akan dimohonkan. Tabel ITBX adalah tabel yang mengatur berbagai jenis kegiatan usaha yang dapat diizinkan (I), diizinkan bersyarat (B), diizinkan terbatas (T) atau dilarang (X) pada zona/sub zona pola ruang. Kegiatan usaha yang diatur dalam tabel ITBX RDTR untuk sistem OSS-RBA ini mengacu kepada jenis kegiatan usaha berdasarkan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik.

KBLI merupakan pengklasifikasian aktivitas/kegiatan ekonomi Indonesia yang menghasilkan produk/ output, berupa barang maupun jasa, berdasarkan lapangan usaha. KBLI disusun berdasarkan Internasional Standard Industrial Classification of All Economic Activities (ISIC) yang diterbitkan oleh United Nations of Statistical Division (UNSD). KBLI disempurnakan paling cepat 5 tahun sekali atau jika ada rujukan internasional terbaru. KBLI terakhir diterbitkan adalah KBLI 2020 (Peraturan BPS No. 2/2020).

Ruang lingkup klasifikasi KBLI terbatas pada unit yang terlibat dalam aktivitas ekonomi, yang ditandai adanya input, proses produksi, dan menghasilkan output. Dalam klasifikasi, seluruh data dikelompokkan ke dalam kelas-kelas yang sehomogen seusai kaidah atau standar tertentu. Kegiatan yang memiliki proses yang sama, baik menggunakan mesin atau manual dalam memproduksi barang atau jasa, dikelompokkan bersama dalam satu kode KBLI. Struktur pengkodean KBLI terbagi atas: Kategori (Alfabet), Golongan pokok (2 digit), Golongan (3 digit), Sub golongan (4 digit) dan Kelompok (5 digit).

Contoh struktur Pengkodean KBLI 2020 sebagai berikut :

Penyusun RDTR perlu memahami dan memperhatikan jenis kegiatan usaha atau kodefikasi kegiatan berusaha dalam KBLI 2020. Strukturisasi data, terminologi, karakteristik/sifat, kebutuhan ruang, dan aturan sektoral terkait pada setiap KBLI kegiatan menjadi penting di dalam pengaturan pada tiap-tiap alokasi ruang. Untuk kode KBLI yang dimuat dalam tabel ITBX, sebaiknya menggunakan KBLI digit 5. Namun, sistem OSS masih bisa membaca kode KBLI sampai digit 3.

Tantangan Implementasi RDTR Sebagai Dasar Perizinan

RDTR terintegrasi OSS menjadi dasar pemberian KKKPR sudah menjadi peraturan yang harus dilalui dalam proses perizinan. Perizinan berbasis sistem OSS bertujuan mengurangi peluang indikasi korupsi dalam bidang perizinan. Adanya sistem OSS dapat mereduksi waktu proses perizinan berusaha sehingga diharapkan dapat mempercepat ralisasi investasi.

Memperhatikan jumlah pertambahan jumlah RDTR terintegrasi OSS yaitu 210 RDTR (status Februari 2024), juga diikuti dengan peningkatan jumlah KKKPR yang terbit sampai dengan awal tahun 2024 sejumlah 191.277 K-KKPR. Dengan pertambahan jumlah KKKPR, diharapkan RDTR ikut membantu percepatan investasi.



Dinamika pembangunan menjadi salah satu tantangan dari RDTR. Terdapat beberapa daerah yang mengajukan permohonan untuk perubahan muatan RDTR sebelum satu tahun Perkada tersebut ditetapkan. Sebagian besar perubahan yang diinginkan disebabkan adanya pengaturan peraturan zonasi khususnya tabel ITBX yang kurang lengkap pada suatu RDTR yang menyebabkan permohonan KKKPR tertolak.

Terhadap daerah yang mengajukan permohonan perubahan, sejauh ini yang sudah dilakukan untuk mengakomodir permohonan investasi tersebut adalah: (a) Jika jenis kegiatan yang dimohonkan sudah diatur dalam RDTR, meskipun tidak muncul kode KBLI-nya, akan dilakukan mapping KBLI dan mengubah Data Base Peraturan Zonasi (DBPZ). (b) Jika jenis kegiatan dimohonkan sama sekali tidak diatur dalam RDTR, harus dilakukan revisi RDTR. Tantangan selanjutnya adalah beberapa RDTR yang disusun tidak mengikuti pengaturan dari RTRWK yang berlaku saat itu (tidak compliance).

RDTR merupakan pendetailan dari RTRWK yang seyogyanya pengaturan dari RDTR sejalan dengan RTRWK yang berlaku. Permasalahan akan muncul ketika revisi RTRWK diindikasikan bahwa muatan dalam RDTR yang disusun menjadi sebuah pemutihan. Pelanggaran yang mungkin terjadi belum sempat ditindaklanjuti dengan penyelesaian pelanggarannya, namun sudah dilegalkan dengan adanya RDTR. Sehingga dalam penyusunan RDTR perlu kehati-hatian dan memperhatikan hasil audit yang pernah dilakukan.

Strategi untuk RDTR yang Berkualitas di Masa Mendatang

1.     Strategi kedepan terkait dengan data, yaitu:

• mendorong pemanfaatan data IGT kebijakan satu peta;

• mendorong walidata untuk menyediakan IGT penyusunan RDTR;

• percepatan penyediaan peta dasar skala 1:5.000;

• mendorong pengembangan Big Data yang sudah menggunakan sharing data dari K/L.

2.     Strategi ke depan terkait proses integrasi RDTR ke dalam sistem OSS:

• Penyederhanaan proses dan prosedur integrasi RDTR ke dalam sistem OSS serta sosialisasi secara intensif kepada pemerintah daerah terkait mekanisme integrasi RDTR ke dalam sistem OSS;

• Perlunya penyesuaian daftar kegiatan RDTR dengan KBLI OSS, dibutuhkan pedoman matriks alokasi ruang antara kegiatan ruang RDTR dengan kode KBLI pada masing – masing sektor. Dalam proses penyusunan RDTR perlu mencantumkan jenis kegiatan usaha (KBLI) mempertimbangkan prospek investasi melibatkan DPMPTSP

• Peningkatan algoritma logic d a n pengembangan fitur sehingga sistem OSS dapat membaca secara utuh muatan RDTR: peningkatan algoritma logic untuk permohonan yang lebih kompleks (contoh: multi KBLI pada satu lokasi yang memiliki RDTR, lintas zona RDTR dan non RDTR, multi ketentuan khusus pada satu lokasi)

• Penyesuaian data dan informasi yang mendukung memastikan tampilnya seluruh ketentuan terkait ITBX dalam produk KKKPR, perlu standarisasi format inputan data

• Peningkatan kapasitas infrastruktur digital: peningkatan kapasitas infrastruktur digital dalam rangka memberikan pelayanan yang lebih optimal serta migitasi risiko bila layanan KKKPR RDTR OSS tidak berjalan.

3.     Untuk mengoptimalkan RDTR agar mampu memberikan kepastian dalam proses investasi, kualitas RDTR perlu ditingkatkan. Strategi untuk meningkatkan kualitas dilakukan dengan:

• RDTR harus disusun dengan analisis berbasis rencana (bukan eksisting) berdasarkan kondisi wilayah secara spasial,

• mengoptimalisasi peruntukan lahan dengan mempertimbangkan pertambahan nilai lahan,

• m e l a ku k a n a n a l i s i s o p t i m a s i K B L I berdasarkan analisis potensi investasi berbasis skenario,

• optimalisasi pengaturan ITBX dan penerapan teknik pengaturan zonasi.

Di masa mendatang diharapkan RDTR dapat menjadi lebih mudah dipahami dan hasil yang berkualitas dan didukung dengan sistem OSS yang optimal. KKKPR yang diterbitkan sesuai dengan apa yang diatur dalam RDTR dan tidak menimbulkan konflik di kemudian hari. Peran RDTR dalam peningkatan investasi dan pengembangan wilayah semakin jelas menunjukan tata ruang adalah panglima pembangunan.

 


 

 

 

 

 

Sumber : oleh Reny Windyawati, ST, MSc dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi I | Januari - April 2024

Senin, 13 Mei 2024

TATA KELOLA BAIK (TKB) UNTUK INFRASTRUKTUR PERMUKIMAN KAWASAN WISATA YANG BERKUALITAS

 

Pendahuluan

Kekayaan (asset) alam Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dan dari Miangas sampai Pulau Rote, sulit dicari bandingannya di dunia. Keindahan lingkungan alami adalah kekayaan yang nilainya akan terus bertambah apabila potensinya terus digali dan dikembangkan. Sektor pariwisata berpeluang besar menjadikan keindahan alami tersebut sebagai sumber pendapatan ekonomi negara. Pariwisata merupakan salah satu sektor terdampak pandemi Covid, sehingga telah menjadi perhatian Pemerintah untuk pemulihannya. Terlepas dari dampak pandemik, pariwisata telah menjadi bagian integral dari Pembangunan Nasional (Moerwanto dan Junoasmono 2017).

Infrastruktur Kawasan Pariwisata, telah dibangun di 5 (lima) Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN). Pembangunan infrastruktur tersebut sesuai dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020- 2024. Kelima KSPN tersebut adalah KSPN Danau Toba (Sumut), KSPN Borobudur (Jateng), KSPN Mandalika (NTB), KSPN Labuan Bajo (NTT) dan KSPN ManadoLikupang (Sulut) (antaranews.com, 2020). Pembangunan infrastruktur permukiman mendukung KSPN dalam kegiatan penataan kawasan serta dukungan infrastruktur air minum dan sanitasi telah dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK).

Pembangunan infrastruktur pariwisata dengan pendanaan APBN merupakan suatu bentuk investasi publik yang bertujuan untuk menciptakan dampak langsung maupun tidak langsung untuk keuntungan ekonomi masyarakat (OECD 2016). Sayangnya, pembangunan infrastruktur sektor publik seperti ini secara umum di dunia, syarat dengan korupsi, penyuapan, fraud dan penyalahgunaan fungsi (OECD 2016). Untuk memitigasi terjadinya praktik-praktik negatif tersebut, diperlukan penerapan prinsip-prinsip keadilan, transparansi, akuntabilitas, kesesuaian, dan pertanggungjawaban. Prinsip yang ditawarkan adalah Good Corporate Governance (GCG) atau tata kelola perusahaan yang baik (TKPB). Prinsip ini juga telah diterapkan oleh sektor-sektor publik (Kaihatu 2006). Namun prinsip GCG atau TKPB dijalankan oleh Pemerintah dengan keterpaksaan karena adanya kewajiban untuk mempertanggungjawabkan uang negara yang telah dibelanjakan dan kewajiban untuk meningkatkan pelayanan untuk publik (Asare 2009).

Pada sektor publik yaitu pada lingkungan Pemerintahan, penerapan prinsipprinsip GCG atau TKPB tersebut salah satunya diterapkan melalui Sistem Pengendalian Internal melalui Audit Internal (Asare 2009). Di lingkungan Kementerian PUPR yang telah membelanjakan APBN untuk pembangunan infrastuktur, salah satunya sektor pariwisata, audit internal telah dilaksanakan oleh unit Inspektorat Jenderal.

Hasil pengawasan atau audit internal terhadap pembangunan infrastruktur kawasan wisata oleh Direktorat Jenderal Cipta Karya (DJCK) menghasilkan temuan-temuan yaitu ketidaksesuaian pelaksanaan kegiatan pembangunan infrastruktur terhadap norma, standar, peraturan dan kriteria yang berlaku di lingkungan Kementerian PUPR. Terhadap temuan-temuan tersebut, Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR telah menyampaikan rekomendasi-rekomendasi untuk ditindaklanjuti guna perbaikan pada setiap tahapan penyelenggaraan infrastruktur. Perbaikan praktik-praktik penyelenggaraan infrastruktur tersebut akan berdampak pada pengurangan rekayasa-rekayasa kinerja dan meningkatkan kualitas laporan keuangan Pemerintah dengan memberikan gambaran yang sebenarnya.

Hasil Pengawasan Pembangunan Infrastruktur Mendukung KSPN

Direktorat Jenderal Cipta Karya telah melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastrukur mendukung pariwisata antara lain penataan kawasan wisata serta pembangunan infrastruktur air minum dan sanitasi untuk mendukung kawasan wisata. Kegiatan pembangunan ini dilaksanakan melalui kegiatan-kegiatan Balai Prasarana Permukiman Wilayah di seluruh Indonesia. Pelaksanaan kegiatan melalui proses perencanaan, pemrograman, penganggaran, survei dan investigasi, pembebasan lahan, desain, konstruksi serta operasi dan pemeliharaan. Inspektorat Jenderal telah melakukan internal audit pada serangkaian proses pelaksanaan kegiatan tersebut.

Tahun 2022, audit internal telah dilakukan di beberapa KSPN yaitu KSPN Sumut, NTB, dan NTT. Hasil audit tersebut menunjukkan masih lemahnya pengendalian pelaksanaan pekerjaan pada 3 (tiga) kategori sebagai berikut (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c):

1. Pelaksanaan Tahap Perencanaan Pekerjaan

1) Belum lengkapnya dokumen readiness criteria yang sebagian besar menjadi ranah Pemerintah Daerah

2) Ketidakcermatan dalam penyusunan Harga Perkiraan Sendiri (HPS) mengakibatkan kemahalan harga

2. Penjaminan Kualitas Pelaksanaan Pekerjaan

1) Penggunaan spesifikasi teknis tidak mengacu pada standar yang mutakhir dan berbeda antara paket pekerjaan dengan ruang lingkup yang sama

2) Material bahan yang digunakan dalam pekerjaan tidak sesuai dengan yang telah ditetapkan dalam RAB/Spesifikasi Teknis

3) As Built Drawing kurang menyajikan informasi yang detail dan akurat dengan pekerjaan terpasang di lapangan

4) Pelaksanaan pekerjaan mengalami kerusakan sehingga memerlukan perapihan/perbaikan

5) Kekurangan volume pada perkerjaan yang telah terbayarkan

3. Pelaksanaan Manajemen Kontrak

1) Konsultan Supervisi tidak melaksanakan tugasnya sesuai kontrak

2) Pengenaan denda keterlambatan tidak sesuai syarat-syarat kontrak

3) Perpanjangan waktu pelaksanaan tidak didasari atas pertimbangan yang layak dan wajar sehingga mengakibatkan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan

4) Penerapan SMKK tidak sesuai kontrak dan pembayaran item SMKK tidak disertai bukti dukung pengeluaran

5) Perubahan pekerjaan pada MC 100 tidak didukung dengan perubahan kontrak yang memadai

6) Mobilisasi, penggantian personil dan pembayaran biaya personil belum sepenuhnya sesuai kontrak dan kondisi riil

7) Pembayaran prestasi pekerjaan tidak sesuai dengan volume riil di lapangan

8) Belum dilakukannya penanganan kontrak kritis sesuai dengan ketentuan

Pada Pasal 24 Peraturan Menteri PUPR No. 3 Tahun 2022 Tentang Pedoman Umum Pengawasan Intern (Permen PUPR 2022), disebutkan bahwa: “Penyampaian bukti tindak lanjut dan informasi tindak lanjut hasil Audit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilakukan paling lambat 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak LHA diterima oleh Auditi.” Ketentuan tersebut mengatur batas waktu pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi hasil audit yang harus tuntas. Ketentuan tersebut membuktikan adanya komitmen dalam melaksanakan GCG atau TKPB.

Perbaikan GCG atau TKPB Meningkatkan Kepatuhan

Contoh audit internal sebagaimana di atas, merupakan hasil dari serangkaian proses pengendalian internal dengan ruang lingkup kegiatan yaitu reviu efektivitas dan efisiensi kegiatan, pencatatan laporan keuangan, investigasi fraud, penilaian risiko, pengamanan aset dan kepatuhan terhadap peraturan perundangundangan(Asare 2009). Dalam tata kelola yang baik, korupsi dan fraud merupakan risiko utama yang harus dikelola oleh instansi publik (Asare 2009).

Di sisi lain, banyaknya temuan yang dihasilkan saat proses audit internal disertai dengan temuan-temuan berupa kelemahan, ketidak-cermatan dan kelalaian adalah sebagai berikut (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c):

1. kekurang-cermatan dalam melakukan pemantapan kegiatan;

2. kelalaian dalam upaya koordinasi untuk pemenuhan dokumen readiness criteria;

3. kekurang-cermatan dalam melakukan verifikasi readiness criteria;

4. kelemahan dalam pengawasan pelaksanaan kontrak paket Kontrak Fisik dan paket jasa Konsultansi Manajemen Konstruksi;

5. ketidakcermatan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak terkait perhitungan volume progres fisik terpasang dan persetujuan dalam tagihan pembayaran;

6. ketidakcermatan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak dan menindaklanjuti perubahan pelaksanaan pekerjaan di lapangan;

7. ketidakcermatan dalam memeriksa perhitungan progres fisik pekerjaan penyedia; dan

8. ketidakcermatan dalam memeriksa output laporan yang disampaikan konsultan.

Temuan-temuan tersebut merupakan bukti-bukti tidak ditaatinya norma, standar, peraturan dan kriteria (NSPK) dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur. Ketidak-taatan ini menjadi suatu risiko tersendiri, dan disebut “risiko kepatuhan” yaitu risiko yang timbul karena lalai dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR 2021a, 2021b, 2021c). Komisi Pemberantasan Korupsi dalam salah satu modul pelatihannya menyatakan bahwa:

“Kepatuhan yang lahir dari sebuah tekanan yang semata-mata karena regulasi akan menghasilkan kepatuhan semu. Kepatuhan semu adalah kepatuhan berupa pencarian celah-celah untuk rekayasa (tidak patuh), manakala tekanan dari pengawasan mengendur. Oleh karena itu, kepatuhan harus dibangun menjadi sebuah budaya dan menjadi sebuah mekanisme kerja individual dalam arti terinternalisasi dan terorganisasi secara terintegrasi” (Komisi Pemberantasan Korupsi 2016).

Pernyataan tersebut memberi isyarat bahwa kepatuhan harus lahir dari kesadaran dan bukan karena perintah atau kehadiran atasan. Peraturan perundang-undangan harus dijalankan dengan kesadaran dan pemahaman terhadap tujuan serta manfaatnya. Penerbitan sebuah peraturan perundang undangan, pada dasarnya untuk memudahkan penyelenggara infrastruktur dalam melaksanakan tugas fungsinya secara efisien dan efektif. Kemudahan tersebut memberi peluang kepada penyelenggara infrastruktur menepati jadwal waktu dan biaya pembangunan yang direncanakan, dan mutu sesuai spesifikasi.

Menilik masih banyaknya terjadi kekurang-cermatan, kelalaian dan kelemahan dalam pengendalian pelaksanaan kontrak pembangunan infrastruktur, perlu dilakukan evaluasi bersama terhadap penyebab terjadinya kesalahan tersebut. Selain membangun kawasan wisata, Kementerian PUPR melalui DJCK diamanatkan untuk membangun infrastruktur pelayanan dasar lainnya seperti pengolahan air minum dan sanitasi, bangunan gedung, prasarana strategis yaitu bangunan sekolah dan sarana olahraga. Terkait hal tersebut, satuan kerja (Satker) menangani beberapa kegiatan konstruksi maupun non-konstruksi yang berjalan dalam suatu tahun anggaran. Hal ini menyebabkan pengendalian suatu pekerjaan harus dilaksanakan paralel dengan pengendalian beberapa pekerjaan lainnya.

Sementara itu, proses pemantauan, dan pengendalian pekerjaan oleh Satker mengalami kendala utama yaitu lemahnya tertib administrasi dokumentasi pelaksanaan kontrak. Tertib pengendalian dokumen administrasi saat ini belum menjadi budaya. Satker dan Penyedia Jasa masih fokus mengejar target kemajuan penyelesaian pekerjaan dan penertiban dokumen administrasi dilakukan setelahnya sehingga dokumen menumpuk di akhir pekerjaan. Pengendalian dokumen administrasi belum dilakukan paralel dengan kemajuan pelaksanaan konstruksi, menyebabkan terjadinya kesalahan-kesalahan yang menjadi temuan audit. Kondisi ini, seringkali diperparah dengan terjadinya keterlambatan pelelangan pekerjaan, sehingga waktu menertibkan hasil pekerjaan menjadi sangat sempit.

Tertib administrasi dapat menjadi upaya mitigasi risiko berulangnya temuan dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur permukiman. Diperlukan pemantauan sistem pengendalian terintegrasi dengan sistem informasi dan penerapan standar operasional prosedur (SOP) yang mendukung terciptanya tertib administrasi. Dalam tertib administrasi, telah dipersyaratkan pemenuhan NSPK terkait. Sehingga, pemenuhan tertib administrasi dapat menjadi langkah pengendalian risiko kepatuhan.

Diperlukan upaya perbaikan tertib administrasi, dan menjadikannya budaya tata kelola yang baik (TKB) dalam penyelenggaraan infrastruktur. TKB tersebut diharapkan mampu menghasilkan kualitas infrastruktur yang handal, terutama untuk infrastruktur kawasan wisata yang menjadi wajah indah Negara Indonesia.

Kesimpulan

Pembangunan infrastruktur kawasan wisata telah menjadi salah satu fokus pembangunan oleh Pemerintah. Pendanaan oleh pemerintah disertai dengan kewajiban untuk mempertanggungjawabkan uang negara. Pertanggungjawaban dilakukan dengan serangkaian proses pengendalian internal yang salah satunya adalah pelaksanaan audit internal. Audit internal telah dilakukan untuk pekerjaan-pekerjaan pembangunan infrastruktur kawasan wisata di lingkungan DJCK Kementerian PUPR. Kegiatan internal audit oleh Inspektorat Jenderal Kementerian PUPR menghasilkan temuan-temuan pada pelaksanaan tahap perencanaan pekerjaan, penjaminan kualitas pekerjaan dan pelaksanaan manajemen kontrak. Temuan-temuan tersebut juga disertai dengan pengungkapan kesalahan-kesalahan yang dilakukan manajemen berupa kelemahan, ketidak-cermatan dan kelalaian dalam menerapkan norma, standar, pedoman dan kriteria (NSPK) yang telah diberlakukan sebagai fungsi pengaturan. Hal ini menunjukkan diperlukannya perbaikan tata kelola dalam pelaksanaan pembangunan infrastruktur, salah satunya melalui peningkatan pengendalian tertib administrasi pelaksanaan kegiatan. Tertib administrasi ini seringkali menjadi titik lemah yang menyebabkan berulangnya terjadinya temuan. Sehubungan dengan hal tersebut, pemantauan pengendalian melalui tertib administrasi merupakan upaya untuk memitigasi terjadinya risiko kepatuhan yang timbul karena mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan Tata Kelola Baik (TKB), pembangunan kawasan pariwisata diharapkan dapat memberikan infrastruktur yang kuat dan berkualitas dan dapat memberikan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang berkelanjutan.

 

 

 

Sumber : Miradian Isyana Wistyani Dalam Bunga Rampai Infrastruktur Permukiman di Kawasan Wisata, Penerbit Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Tahun 2023