Pendahuluan
Kota adalah pusat ekonomi dan
aktivitas masyarakat. Berdasarkan data dari World Bank (2021) menyebutkan bahwa
urbanisasi masif telah mendorong 57% penduduk dunia tinggal di perkotaan.
Artinya, lebih dari setengah penduduk akan tinggal di kawasan perkotaan.
Proyeksi dari PBB tahun 2018 (dalam MLCI IAP, 2022:3) akan ada kenaikan sebesar
68% pada tahun 2050, atau sebanyak 2,5 milyar jiwa akan tinggal di perkotaan.
Masifnya urbanisasi, perubahan iklim, dan pandemi COVID-19 berdampak signifikan
pada kualitas hidup di perkotaan, menjadikan kelayakhunian kota sebagai sebuah
keniscayaannya.
Kota yang layak huni didefinisikan
sebagai "Sistem perkotaan yang mendukung kesejahteraan fisik, sosial, dan
mental serta perkembangan pribadi semua penduduknya, terkait tentang ruang kota
yang menyenangkan dan diinginkan yang menawarkan dan mencerminkan kekayaan
budaya dan nilai-nilai sakral. Prinsip utama yang mendasari kelayakhunian ini
adalah kesetaraan, martabat, aksesibilitas, keramahan, partisipasi, dan
pemberdayaan." (Vanessa Timmer dan Nola Kate Seymar, 2003).
Karakteristik
Dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 59 Tahun 2022 tentang Perkotaan diatur standar pelayanan
perkotaan yang dilakukan melalui metode pengukuran basis data dan persepsi
masyarakat. Lebih lanjut dalam pasal 21, Indeks perkotaan berkelanjutan
meliputi: ukuran kinerja ekonomi, pendidikan, energi, lingkungan, keuangan,
pemerintahan, kesehatan,
Sebuah kota, selain harus layak
huni, juga harus berkelanjutan. Konsep kelayakhunian (liveability) dan
keberlanjutan (sustainability) merupakan konsep yang saling mendukung.
Keberlanjutan kota dipandang sebagai gagasan bahwa suatu kota dapat diorganisir
tanpa ketergantungan yang berlebihan dan mampu berkelola mandiri dengan sumber
daya energi terbarukan (Siemens, 2009), secara bersamaan juga mempertimbangkan
dampak sosial, ekonomi, lingkungan, menyediakan habitat yang tangguh bagi
populasi yang ada, tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk
mengalami hal yang sama (Batten, 2018). Hal ini juga senada dengan Global
Platform for Sustainable Cities (2018) bahwa sangat penting bagi kota-kota
memanfaatkan peluang untuk meningkatkan keberlanjutan kota. Kota harus menjadi
tempat inovasi dan pendorong pertumbuhan ekonomi, dimana kesejahteraan dan
pekerjaan diciptakan dan sumber daya (resources) digunakan secara efisien.
Berikutnya adalah pilihan tentang bagaimana kota dibangun/dikembangkan, dihuni,
dan dipelihara sehingga memiliki efek global jangka panjang (long-term global
effects).
perumahan, kondisi penduduk dan
sosial, rekreasi, keselamatan, limbah padat, olahraga dan budaya,
telekomunikasi, transportasi, pertanian di wilayah perkotaan dan keamanan
pangan, perencanaan perkotaan, air limbah, air bersih, pelaporan, dan
pemeliharaan bukti rekaman.
Berdasarkan peraturan tersebut
karakteristik dalam kota layak huni dan berkelanjutan tidak hanya mencakup
aspek fisik dan infrastruktur, tetapi juga mempertimbangkan kesejahteraan
sosial, ekonomi dan partisipasi masyarakat sehingga bertujuan untuk menciptakan
lingkungan yang nyaman, aman, sehat, dan mendukung kehidupan warganya dalam
jangka panjang.
“A sustainable city provides inclusive access to health
care, education, and jobs at walking distance or reachable by short and
convenient transit rides seamlessly integrated with pedestrian and bicycle
paths.”
(World Bank & GEF, 2018:11)
Indeks setiap kota yang disurvei
dalam Most Livable City Index pada tahun 2014, 2017, dan 2022 cenderung
fluktuatif. Pada tahun 2014, indeks berkisar antara 58 hingga 71, sementara
pada tahun 2017 mengalami penurunan dengan rentang 56 hingga 67. Namun, pada
tahun 2022, indeks menunjukkan peningkatan dengan kisaran 62 hingga 67.
Meskipun terjadi fluktuasi pada tingkat kota, secara keseluruhan, indeks
rata-rata kelayakhunian kota-kota setiap tahunnya menunjukkan tren peningkatan.
Seperti halnya hasil progres kelayakhunian kota dalam gambar berikut.
Setiap tahun, aspek-aspek yang
menjadi penilaian dan keunggulan kota juga mengalami perubahan. Pada tahun
2014, pada aspek pengelolaan lingkungan, kelengkapan dan kualitas sarana
prasarana, kehidupan sosial, tata kota, dan ketersediaan angkutan telah dianggap
baik oleh warga kota. Tahun 2017, fokusnya bergeser ke ketercukupan pangan,
fasilitas peribadatan dan pelayanan keagamaan, pengelolaan air bersih,
fasilitas pendidikan, dan fasilitas kesehatan. Pada tahun 2022, aspek yang
menjadi keunggulan meliputi fasilitas peribadatan, fasilitas pendidikan,
penyediaan air bersih, jaringan telekomunikasi, dan fasilitas kesehatan.
Beberapa aspek seperti fasilitas peribadatan, fasilitas pendidikan, dan
penyediaan air bersih selalu muncul sebagai keunggulan di setiap survei,
menunjukkan pentingnya aspek-aspek ini dalam mendukung kelayakhunian kota.
Indeks kelayakhunian kota
didasarkan atas observasi, data sekunder dan penilaian baik dari sudut pandang
subjektivitas peneliti. Dengan demikian, indeks yang didasarkan atas sudut
pandang warga kota menjadi dasar penilaian kelayakhunian kota. Dengan hasil
yang variatif, setiap tahun menujukkan skor yang meningkat. Kendati demikian,
hasil survei ada 8 (delapan) faktor kelayakhunian yang masih memiliki skor
rendah, yaitu tingginya biaya hidup di kota, sulitnya mendapatkan pekerjaan,
mahalnya harga rumah, angkutan umum yang belum dapat diandalkan, buruknya
fasilitas pejalan kaki, kualitas penataan PKL yang kurang baik, minimnya
pelibatan warga dalam pembangunan, serta jarangnya penyelenggaraan event.
Best Practice
Salah satu kota di dunia yang
dinobatkan sebagai World’s Most Liveable City (Kota Paling Layak Huni di Dunia)
menurut Economist Intelligence (2024) adalah Wina, Austria. Kota ini telah
menjadi juara bertahan sebagai kota paling layak huni sejak tahun 2021.
Berdasarkan penilaian yang dilakukan terhadap 173 kota di seluruh dunia, Wina
unggul dalam aspek:
1. stabilitas ekonomi, dengan skor
100;
2. pelayanan kesehatan, dengan skor
100;
3. budaya dan lingkungan, dengan
skor 93,5;
4. pendidikan, dengan skor 100,
serta;
5. infrastruktur, dengan skor 100.
Pamer (2019) berpendapat bahwa Wina
dapat menjadi kota paling layak huni, karena sangat memperhatikan pelayanan
untuk pendidikan, kesehatan, jaminan hari tua, serta mobilitas penduduk yang
semuanya dibiayai oleh kontribusi pajak. Menurutnya, Wina menempatkan dirinya
sebagai “partner” dari penduduk, sehingga masa depan mereka sendiri bergantung
pada kesejahteraan penduduknya. Kota paling layak huni seperti Wina dapat
menjadi contoh untuk meningkatkan kelayakhunian.
Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) telah
meluncurkan tolak ukur penilaian kelayakhunian kota yang dikenal dengan nama
Indonesia Most Livable City Index (MLCI). MLCI adalah survei berbasis persepsi
warga kota yang mengevaluasi kelayakhunian tempat tinggal mereka. Tolak ukur
ini tidak hanya memberikan gambaran tentang kekuatan dan kelemahan
masing-masing kota besar di Indonesia, tetapi juga berfungsi sebagai panduan
berharga bagi para pemangku kepentingan dalam perencanaan dan pembangunan
perkotaan.
Dalam era urbanisasi yang pesat dan
tantangan lingkungan yang semakin kompleks, MLCI menjadi alat yang sangat
relevan. Dengan memahami persepsi warga, para pengambil keputusan dapat
mengarahkan upaya pembangunan ke arah yang lebih inklusif dan berdaya saing,
memastikan setiap kota besar di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang menjadi
tempat yang ideal untuk tinggal, bekerja, dan beraktivitas serta memberikan
gambaran terkait kekuatan dan kelemahan masing-masing kota besar di indonesia.
Tantangan
Beberapa aspek tercatat selalu
muncul sebagai permasalahan juga. Pada tahun 2014, masalah utama meliputi
kehidupan ekonomi, kemacetan, keamanan, tingkat biaya hidup, dan ketersediaan
lapangan pekerjaan. Pada tahun 2017, isu yang menonjol adalah transportasi,
keselamatan kota, pengelolaan air kotor dan drainase, fasilitas pejalan kaki,
serta informasi pembangunan dan partisipasi masyarakat. Pada tahun 2022,
masalah yang terus muncul mencakup perekonomian kota, sektor informal kota,
fasilitas pejalan kaki, fasilitas kesenian dan budaya, serta informasi
pembangunan dan partisipasi masyarakat. Fasilitas pejalan kaki dan informasi
pembangunan serta partisipasi masyarakat menjadi sebuah tantangan dalam
mewujudkan kota yang layak huni dan berkelanjutan.
Sehingga tata ruang memiliki peran
sentral dalam mewujudkan konsep kota layak huni dan berkelanjutan melalui
pendekatan outcomebased planning. Pendekatan ini fokus pada hasil akhir yang
diinginkan. Perencanaan tata ruang yang berkelanjutan tidak hanya bertujuan
untuk mengatur penggunaan lahan, tetapi juga untuk memastikan bahwa setiap
rencana yang dibuat dapat menghasilkan outcome yang terukur dan signifikan bagi
masyarakat. Integrasi antara outcome-based planning dengan skenario ruang dalam
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) menjadi kunci utama dalam menciptakan kota
yang layak huni dan berkelanjutan.
Tata ruang kota yang baik membantu
menciptakan lingkungan yang nyaman, teratur, dan mendukung kesejahteraan warga.
Zonasi wilayah untuk berbagai keperluan seperti pemukiman, komersial, industri,
dan ruang hijau dilakukan dengan jelas dan terencana. Ini membantu mencegah
konflik penggunaan lahan dan memastikan setiap area dapat berkembang sesuai
fungsinya. Penataan ini juga menjaga kelestarian bangunan bersejarah dan
warisan budaya kota. Pemerintah Kota Solo juga menerapkan berbagai program
pembangunan berkelanjutan yang mempertimbangkan dampak lingkungan dan sosial
jangka panjang, seperti penggunaan energi terbarukan dan upaya konservasi air.
Pemerintah kota mengajak partisipasi aktif dari warga dalam perencanaan dan
pengelolaan tata ruang. Keterlibatan ini memastikan bahwa pengembangan kota
sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
Peran tata ruang dalam hal ini
benar–benar memiliki peran yang vital, terutama pada substansi rencana. Seperti
halnya, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR)
dalam mewujudkan kota layak huni, terutama dalam menjawab kriteria tolak ukur
penilaian kelayakhunian kota yang dikenal dengan nama Indonesia Most Livable
City Index (MLCI) yang telah disusun oleh Ikatan Ahli Perencanaan (IAP). Untuk
memastikan keamanan dan kesehatan, RTRW dan RDTR harus mencakup strategi
seperti pembangunan ruang terbuka hijau yang memadai, pengendalian polusi, dan
pengelolaan limbah yang efektif, serta aksesibilitas fasilitas kesehatan yang
merata. Selain itu, penerapan Transit-Oriented Development (TOD) dan
pengembangan infrastruktur untuk pejalan kaki dan pesepeda akan mendorong
penggunaan transportasi publik dan menciptakan lingkungan yang lebih ramah
pejalan kaki. Zonasi wilayah yang mendukung mixeduse development juga diperlukan
untuk memastikan berbagai fungsi kota dapat diakses dengan mudah.
Dokumen perencanaan jangka panjang
dan menengah seperti RPJPD dan RPJMD tidak kalah penting dalam mencerminkan
visi dan program yang sejalan dengan konsep kota layak huni dan berkelanjutan.
Program-program berkelanjutan seperti penggunaan energi terbarukan, konservasi
air, serta pengelolaan limbah yang efisien harus diintegrasikan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah (RPJMD). Pengembangan ekonomi lokal yang inklusif, peningkatan
kualitas hidup melalui penyediaan fasilitas publik yang memadai, pendidikan
berkualitas, dan layanan kesehatan yang mudah diakses, merupakan aspek penting
yang harus diperhatikan.
Maka demikian secara keseluruhan,
aturan tata ruang yang ada saat ini memiliki potensi besar untuk menjawab
kebutuhan kota layak huni, namun implementasi dan penegakannya sering kali
menjadi tantangan. Kota-kota perlu memastikan bahwa perencanaan tata ruang
tidak hanya berfokus pada pembangunan fisik tetapi juga pada peningkatan
kualitas hidup warganya. Dengan mempertimbangkan dan mengintegrasikan
faktorfaktor kelayakhuniaan dalam perencanaan tata ruang, kota-kota dapat
bergerak menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan layak huni bagi semua.
Sumber/Referensi:
1. Batten, J. 2018. Citizen Centric
Cities: The Sustainable Cities Index 2018.
2. Economist Intelligence. 2024.
The Global Liveability Index 2024. The Economist Intelligence Unit.
3. Global Platform for Sustainable
Cities, World Bank. 2018. Urban Sustainability Framework. Washington, DC: World
Bank.
4. Ikatan Ahli Perencanaan (IAP).
2022. Indonesia Most Livable City Index
5. Maulana, Syahrir. 2024.
Surakarta City. Diambil dari Pemandangan Udara Pemandangan Indah Di Pagi Hari
Di Kota Solo Foto Stok - Unduh Gambar Sekarang - iStock (istockphoto.com)
6. Republik Indonesia. 2022.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2022 Tentang Perkotaan.
Presiden Republik Indonesia.
7. Republik Indonesia. 1945.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
8. Pamer, Volkmar. 2019. Urban
Planning in The Most Liveable City: Vienna. Urban Research & Practice. DOI:
10.1080/17535069.2019.1635728
9. Siemens. (2009). The Crystal –
What is Urban Sustainability? Diambil dari
https://assets.new.siemens.com/siemens/assets/
public.1551285748.90627521-4620-4b1d-9dc6-d94563b93a46.what-is-urban-sustainability-v1.pdf
10. World Bank & GEF. (2018).
Urban Sustainability Framework (USF), 1st ed. In Urban Sustainability Framework
(USF), 1st ed. (p. 11). Washington DC: International Bank for Reconstruction
and Development, World Bank.
Sumber : Oleh Miftahul Jannah Jan Ramadhani, S.P.W.K, Andita Aghatia, dan
Luqmanul Hakim, dalam BULETIN Penataan Ruang Edisi II (Mei - Agustus 2024)