Penyediaan dan pemanfaatan RTH mempertimbangkan aspek fungsi:
a.
ekologis meliputi:
a. penghasil oksigen; b. bagian paru-paru kota; c. pengatur iklim
mikro; d. peneduh; e. penyerap air hujan; f. penyedia habitat vegetasi dan
satwa; g. penyerap dan penjerap polusi udara, polusi air, dan polusi tanah; h. penahan
angin; dan/atau i. peredam kebisingan.
b. resapan air, meliputi;
a. area penyedia resapan air; b. area penyedia pengisian air tanah;
dan/atau c. pengendali banjir.
c. ekonomi, meliputi;
a. pemberi jaminan peningkatan nilai tanah; b. pemberi nilai tambah
lingkungan kota; dan/atau c. penyedia ruang produksi pertanian, perkebunan,
kehutanan, dan/atau wisata alam.
d. sosial budaya, meliputi;
a. pemertahanan aspek historis; b. penyedia ruang interaksi
masyarakat; c. penyedia ruang kegiatan rekreasi dan olahraga; d. penyedia ruang
ekspresi budaya; e. penyedia ruang kreativitas dan produktivitas; f. penyedia
ruang dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan; dan/atau g. penyedia
ruang pendukung kesehatan.
e. estetika, meliputi;
a. peningkat kenyamanan lingkungan; b. peningkat keindahan
lingkungan dan lanskap kota secara keseluruhan; c. pembentuk identitas elemen
kota; dan/atau d. pencipta suasana serasi dan seimbang antara area terbangun
dan tidak terbangun
f. penanggulangan bencana, meliputi:
a. pengurangan risiko bencana; b. penyedia ruang evakuasi bencana;
dan/atau c. penyedia ruang pemulihan pascabencan
TIPOLOGI RUANG TERBUKA HIJAU
RTH terdiri dari RTH Publik dan RTH Privat, paling sedikit
30% (tiga puluh persen) dari luas Wilayah Kota atau Kawasan Perkotaan, terdiri atas:
a. RTH Publik paling sedikit 20% (dua puluh
persen); dan
b. RTH Privat paling sedikit 10% (sepuluh
persen).
Penyediaan RTH dapat dilakukan melalui
pemanfaatan RTNH dan RTB
Tipologi RTH dikelompokkan menjadi:
a.
kawasan/zona RTH; terdiri atas:
1.
rimba kota; paling sedikit
memiliki kriteria:
a. hamparan lahan berbentuk memanjang/jalur dan/atau mengelompok
sebagai tempat tumbuh vegetasi dengan stratifikasi lengkap, rapat, dan beragam
di dalam Wilayah Kota atau Kawasan Perkotaan; b. sebagai tempat pertumbuhan
berbagai jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati; c. berfungsi utama sebagai
ruang penyangga ekosistem alami dan membentuk kesatuan ekologis; d. sebagai
daerah resapan air; e. sebagai pengendali iklim mikro; f. sebagai tempat
aktivitas sosial masyarakat secara terbatas; g. membatasi perkembangan Wilayah
Kota atau Kawasan Perkotaan; h. memiliki radius pelayanan 5.000 m (lima ribu
meter); i. memiliki luas paling kecil 100.000 m2 (seratus ribu meter persegi);
dan j. proporsi rimba kota terdiri atas: 1. paling sedikit 95% (sembilan puluh
lima persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah
lingkungan
2. taman kota; paling sedikit memiliki kriteria:
a. lahan terbuka yang berfungsi sosial budaya dan estetika sebagai
sarana kegiatan rekreasi, edukasi, atau kegiatan lain yang ditujukan untuk
melayani penduduk dalam 1 (satu) kota atau Kawasan Perkotaan; b. sebagai tempat
pertumbuhan berbagai jenis vegetasi dan keanekaragaman hayati; c. sebagai
daerah resapan air; d. sebagai pengendali iklim mikro; e. sebagai tempat
aktivitas sosial masyarakat; f. memiliki radius pelayanan 5.000 m (lima ribu
meter); g. memiliki luas paling kecil 50.000 m2 (lima puluh ribu meter
persegi); dan h. proporsi RTH taman kota terdiri atas: 1. paling sedikit 85%
(delapan puluh lima persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa tutupan
nonhijau ramah lingkungan.
3. taman
kecamatan; paling sedikit memiliki kriteria:
a. taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam 1 (satu)
kecamatan; b. sebagai tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi dan
keanekaragaman hayati; c. sebagai daerah resapan air; d. sebagai pengendali
iklim mikro; e. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat; f. memiliki radius
pelayanan 2.500 m (dua ribu lima ratus meter); g. memiliki luas paling kecil
15.000 m2 (lima belas ribu meter persegi); dan h. proporsi RTH taman kecamatan
terdiri atas: 1. paling sedikit 80% (delapan puluh persen) tutupan hijau; dan
2. sisanya berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan.
4. taman
kelurahan; paling sedikit memiliki kriteria:
a. taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam 1 (satu)
kelurahan; b. sebagai tempat pertumbuhan berbagai jenis vegetasi dan
keanekaragaman hayati; c. sebagai daerah resapan air; d. sebagai pengendali
iklim mikro; e. sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat; f. memiliki radius
pelayanan 700 m (tujuh ratus meter); g. memiliki luas paling kecil 5.000 m2
(lima ribu meter persegi); dan h. proporsi RTH taman kelurahan terdiri atas: 1.
paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa
tutupan nonhijau ramah lingkungan.
5. taman rukun
warga (RW); paling sedikit memiliki kriteria:
a. taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkungan 1
(satu) RW; b. sebagai daerah resapan air; c. sebagai pengendali iklim mikro; d.
sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat; e. memiliki radius pelayanan 350 m
(tiga ratus lima puluh meter); f. memiliki luas paling kecil 1.000 m2 (seribu
meter persegi); dan g. proporsi RTH taman RW terdiri atas: 1. paling sedikit
60% (enam puluh persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa tutupan nonhijau
ramah lingkungan.
6. taman rukun
tetangga (RT); paling sedikit memiliki kriteria:
a. taman yang ditujukan untuk melayani penduduk dalam lingkungan 1
(satu) RT; b. sebagai daerah resapan air; c. sebagai pengendali iklim mikro; d.
sebagai tempat aktivitas sosial masyarakat; e. memiliki radius pelayanan 100 m
(seratus meter); f. memiliki luas paling kecil 250 m2 (dua ratus lima puluh
meter persegi); dan g. proporsi RTH taman RT terdiri atas: 1. paling sedikit
50% (lima puluh persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa tutupan nonhijau
ramah lingkungan
7. pemakaman;
dan/atau paling sedikit memiliki kriteria:
a. sebagai tempat penguburan jenazah; b. sebagai daerah resapan air;
c. sebagai pengendali iklim mikro; d. sebagai tempat aktivitas sosial
masyarakat secara terbatas; e. memiliki radius pelayanan 2.500 m (dua ribu lima
ratus meter); f. memiliki luas perpetakan paling kecil 1,2 m2 (satu koma dua
meter persegi) per kapita; dan g. proporsi pemakaman terdiri atas: 1. paling
sedikit 70% (tujuh puluh persen) tutupan hijau; dan 2. sisanya berupa tutupan
nonhijau ramah lingkungan.
8. jalur hijau. paling
sedikit memiliki kriteria:
a. jalur penempatan tanaman serta elemen lanskap lainnya terletak
pada ruang milik jalan maupun pada ruang pengawasan jalan; b. lebar jalur hijau
sempadan jalan, sempadan jalur kereta api dan sempadan jaringan transmisi dan
gardu listrik sesuai peraturan perundang-undangan; c. proporsi jalur hijau
terdiri atas paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) tutupan hijau dan sisanya
berupa tutupan nonhijau ramah lingkungan; d. sebagai daerah resapan air; e.
sebagai pengendali iklim mikro; dan f. sebagai tempat aktivitas sosial
masyarakat secara terbatas.
b. kawasan/zona lainnya yang berfungsi RTH;
dan
1.
kawasan/zona yang memberikan
perlindungan terhadap kawasan bawahannya; memiliki kriteria:
a. sebagai perlindungan dan keseimbangan tata air; b. kawasan dengan
keanekaragaman hayati tinggi, mewakili ekosistem yang masih alami; c. terdapat
spesies yang dilindungi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
dan/atau d. tutupan hijau didominasi pepohonan dengan stratifikasi beragam.
2.
kawasan/zona perlindungan
setempat; memiliki kriteria:
a. sebagai perlindungan badan air dan ekosistem perairan; b.
memiliki lebar dan proporsi sempadan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan; c. didominasi ekosistem perairan, ekosistem riparian,
dan/atau ekosistem pesisir; d. tutupan hijau didominasi pepohonan dengan
stratifikasi beragam; dan/atau e. kawasan dengan keanekaragaman hayati tinggi.
3.
kawasan/zona konservasi; memiliki
kriteria:
a. memiliki daya tarik sumber daya alam hayati, formasi geologi,
dan/atau gejala alam yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pemanfaatan
pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian, pendidikan, dan peningkatan
kesadaran konservasi sumber daya alam hayati; b. memiliki ekosistem khas dan
merupakan habitat alami yang memberikan perlindungan bagi perkembangan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa; c. kondisi alam, baik biota maupun fisiknya
masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia; dan/atau d. memiliki kesatuan
masyarakat hukum adat dan/atau kearifan lokal, hak tradisional dan lembaga adat
yang masih berlaku.
4.
kawasan/zona hutan adat; memiliki
kriteria:
a. hutan dengan fungsi konservasi, lindung dan produksi; b. dalam
kawasan hutan negara atau di luar kawasan hutan negara; c. terdapat wilayah
adat berupa hutan yang dikelola oleh masyarakat hukum adat dengan batas yang
jelas secara turun-temurun; d. masih ada kegiatan pemungutan hasil hutan oleh
masyarakat hukum adat di wilayah hutan di sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan
hidup sehari-hari; dan/atau e. memiliki kesatuan masyarakat hukum adat dan/atau
kearifan lokal, hak tradisional dan lembaga adat yang masih berlaku.
5.
kawasan/zona lindung geologi; memiliki
kriteria:
a. memiliki ciri geologi unik atau khas dan langka; b. memiliki
nilai ilmiah tinggi untuk pengembangan ilmu pengetahuan, penelitian,
pendidikan, dan peningkatan kesadaran konservasi sumber daya alam hayati; dan/atau
c. memiliki jenis fisik batuan yang mampu meluluskan air dengan lapisan penutup
tanah dari pasir sampai lanau.
6.
kawasan/zona cagar budaya; memiliki
kriteria:
a. mengandung situs cagar budaya terletak di daratan dan/atau di
lautan; b. berupa lanskap budaya hasil bentukan manusia dengan kriteria sesuai
peraturan perundangundangan; c. memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada
proses pemanfaatan ruang berskala luas dan bukti pembentukan lanskap budaya; d.
memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau
endapan fosil; dan/atau e. memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan dan budaya yang perlu dilindungi bagi tujuan pelestarian dan
pemanfaatan guna memajukan kebudayaan nasional.
7.
kawasan/zona ekosistem
mangrove; memiliki kriteria:
a. koridor menerus/kontinu di sepanjang pantai dengan lebar sempadan
sesuai peraturan perundang-undangan; b. berada pada pantai lumpur atau lumpur
berpasir dan mengalami pasang surut air laut; c. berada pada kemiringan lereng
sesuai peraturan perundang-undangan; dan/atau d. tutupan hijau didominasi
pepohonan hutan mangrove dengan stratifikasi beragam.
8.
kawasan/zona hutan produksi; memiliki
kriteria:
a. kawasan/zona hutan yang memproduksi hasil hutan; b. memiliki
keragaman vegetasi tinggi; c. dilakukan dengan pendekatan agroforestri;
dan/atau d. hutan di luar kawasan/zona lindung, kawasan/zona hutan suaka alam,
kawasan/zona hutan pelestarian alam dan taman buru.
9.
kawasan/zona perkebunan rakyat;
memiliki kriteria:
a. tutupan hijau didominasi tanaman berkayu atau jenis lainnya; b.
bukan merupakan perkebunan monokultur dan memiliki keragaman vegetasi lokal
dengan stratifikasi lengkap; c. dilakukan dengan pendekatan agroforestri; dan/atau
d. mempertimbangkan perlindungan badan air, baik air permukaan yang berupa air
kolam, air selokan, air sungai, air danau, dan air bendungan, maupun air tanah
serta air sumur, yang kemungkinan mempengaruhi kegiatan usaha perkebunan
rakyat.
10.
kawasan/zona pertanian. memiliki
kriteria:
a. memiliki kesesuaian lahan untuk dikembangkan sebagai kawasan
pertanian; b. memiliki keragaman vegetasi lokal dengan stratifikasi lengkap dan
bukan merupakan pertanian monokultur; c. dilakukan dengan pendekatan
agroforestri; dan/atau d. mempertimbangkan perlindungan badan air, baik air
permukaan yang berupa air kolam, air selokan, air sungai, air danau, dan air
bendungan, maupun air tanah serta air sumur, yang kemungkinan mempengaruhi
kegiatan usaha pertanian.
c. objek ruang berfungsi RTH.
1.
objek ruang pada bangunan; paling
sedikit memiliki kriteria:
a. berupa
permukaan bangunan yang ditanami vegetasi; b. memiliki luasan sesuai
perhitungan IHBI, sebagai upaya memenuhi ketentuan KDH yang ditetapkan dalam
RTR; c. menggunakan instalasi, sistem utilitas, dan/atau media khusus sesuai
kriteria teknis bangunan; dan/atau d. menanam vegetasi lokal yang memenuhi kriteria
teknis lanskap RTH pada bangunan yang berfungsi sebagai peneduh, peredam suara,
penyaring bau, penyaring debu, dan/atau pertanian perkotaan
objek ruang pada bangunan, terdiri atas:
a. taman atap atau roof garden; b. taman podium atau podium garden;
c. taman balkon atau balcony garden; d. taman koridor atau corridor garden; e.
taman vertikal atau vertical garden; f. taman dalam pot atau planter box
garden; dan/atau g. taman dalam kontainer atau container garden.
2.
objek ruang pada kaveling; paling
sedikit memiliki kriteria:
a. berupa penutup lahan/perkerasan berpori yang dapat menangkap
dan/atau meresapkan air; b. memiliki luasan sesuai dengan KDH yang ditetapkan
dalam ketentuan umum zonasi/peraturan zonasi dalam RTR; c. menyediakan daerah
tangkapan air berupa kolam, bidang, sumur, embung, atau situ sesuai dengan
peraturan perundang-undangan; d. menyediakan sistem pemanenan air hujan sebagai
sumber air alternatif yang memenuhi kriteria teknis pemeliharaan lanskap RTH
pada kaveling sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan/atau e. ditanami
vegetasi lokal dengan stratifikasi lengkap yang memenuhi kriteria tanaman dan
kriteria teknis lanskap untuk RTH pada kaveling yang berfungsi sebagai peneduh,
peredam suara, penyaring bau, dan/atau penyaring debu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan
Objek ruang pada kaveling sebagaimana dimaksud diatas terdiri atas:
a. persil pada kawasan/zona perumahan; b. persil pada kawasan/zona
perdagangan dan jasa; c. persil pada kawasan/zona perkantoran; d. persil pada
kawasan/zona kawasan industri; dan/atau e. pekarangan rumah.
3.
RTB paling sedikit memiliki
kriteria:
a. berupa badan air atau ruang perairan; b. penyedia ketersediaan
air; c. memiliki fungsi retensi berupa penampungan dan penyerapan air hujan
pada suatu wilayah; d. memiliki fungsi detensi berupa penampungan sementara air
hujan pada suatu wilayah; dan/atau e. penyedia ruang tampungan air tanah dan
pengendali air banjir
RTB sebagaimana dimaksud di atas terdiri atas:
a. danau; b. waduk; c. sungai; d. embung; e. situ; f. mata air; g.
rawa h. biopori; i. sumur resapan; j. bioswale; k. kebun hujan atau rain
garden; l. kolam retensi dan detensi; m. rawa buatan atau constructed wetland;
dan/atau n. RTB lainnya yang memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud di atas.
Tipologi RTH ditentukan berdasarkan aspek
fungsi. Ketentuan mengenai tipologi RTH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat
(1) tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan Menteri ini.
PENYEDIAAN RUANG TERBUKA HIJAU
Penyediaan RTH dilakukan oleh: a.
Pemerintah Daerah untuk RTH Publik; dan b. Masyarakat untuk RTH Privat. Pemerintah
Daerah sebagaimana dimaksud diatas terdiri atas: a. Pemerintah Daerah
kabupaten/kota; dan b. Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota. Masyarakat
dapat berperan serta dalam penyediaan RTH Publik untuk sebagian tanah yang
dimilikinya melalui perjanjian atau kerja sama dengan Pemerintah Daerah. Penyediaan
RTH Publik dapat berasal dari aset yang dikuasai oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah Provinsi. Penyediaan RTH Publik dilaksanakan melalui
konsultasi publik pada penyusunan RTR.
Penyediaan RTH sebagaimana dimaksud di atas mencakup
kegiatan: a. perencanaan; b. penyediaan lahan; dan c. perancangan. Penyediaan
RTH dapat diberikan insentif dalam upaya untuk mewujudkan RTH yang berkualitas.
Insentif dapat diberikan oleh: a. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
Khusus Ibu Kota; b. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
c. Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota;
d. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah Khusus Ibu Kota;
e. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah kabupaten/kota
lainnya; dan f. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota, dan/atau
Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Masyarakat. Insentif dapat berupa: a.
pemanfaatan tanah telantar yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundangundangan; b. kerja sama pemanfaatan tanah yang bersumber
dari bank tanah sesuai dengan ketentuan perundangundangan; c. pemberian
kompensasi kepada petani yang dapat mempertahankan luasan lahan sawahnya
dan/atau perkebunannya; dan/atau d. bentuk insentif lainnya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Perencanaan RTH sebagaimana dimaksud di atas menjadi
bagian dalam proses penyusunan RTRW kabupaten/kota, RDTR kabupaten/kota, dan
RTR Daerah Khusus Ibu Kota. Perencanaan RTH paling sedikit meliputi:
a.
identifikasi RTH existing;
dilakukan melalui inventarisasi data primer dan data sekunder.
b.
identifikasi RTH potensial; dilakukan
dengan mengidentifikasi ketersediaan lahan yang dapat dijadikan RTH dengan
mempertimbangkan: a. status kepemilikan dan/atau penguasaan tanah; b. muatan
dalam RTRW kabupaten/kota, RDTR kabupaten/kota, dan RTR Daerah Khusus Ibu Kota;
c. tipologi RTH; d. survei lapangan sebagai verifikasi terhadap hasil
identifikasi sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, dan huruf c; dan e.
keterjangkauan, keterlayanan, dan ketersebaran RTH.
c.
identifikasi kategori; meliputi:
1.
identifikasi kategori Wilayah Kota; meliputi: a. Wilayah Kota tipe I (WK-I)
dengan presentase luas RTH existing < 30% (kurang dari tiga puluh persen)
dari wilayah administrasi kota; dan b. Wilayah Kota tipe II (WK-II) dengan
persentase luas RTH existing ≥ 30% (lebih dari atau sama dengan tiga puluh
persen) dari wilayah administrasi kota. atau 2. identifikasi kategori
Kawasan Perkotaan di wilayah kabupaten. meliputi: a. Kawasan Perkotaan tipe I
(KP-I) dengan persentase luas RTH existing < 30% (kurang dari tiga puluh
persen) dari luas kawasan perkotaan di wilayah kabupaten; dan b. Kawasan
Perkotaan tipe II (KP-II) dengan persentase luas RTH existing ≥ 30% (lebih dari
atau sama dengan tiga puluh persen) dari luas kawasan perkotaan di wilayah
kabupaten. Pemenuhan RTH di Wilayah Kota tipe I (WK-I) atau Kawasan Perkotaan
tipe I (KP-I) sebagaimana dimaksud di atas dilakukan dengan
mekanisme: a. pembelian dan/atau pembebasan lahan; b. pengelolaan; c. sewa
lahan; d. kerja sama dengan masyarakat; dan/atau e. peningkatan kuantitas dan
kualitas RTH berdasarkan IHBI. Pengelolaan sebagaimana dimaksud pada huruf b
meliputi: a. pemeliharaan RTH; b. pembiayaan pemeliharaan RTH; dan c.
pemantauan dan evaluasi. Dalam hal mekanisme sebagaimana dimaksud di atas telah dilakukan,
namun RTH di Wilayah Kota tipe I (WK-I) atau Kawasan Perkotaan tipe I (KP-I)
belum terpenuhi, dapat dilakukan kerjasama penyediaan RTH. RTH di Wilayah Kota tipe II (WK-II) atau Kawasan Perkotaan tipe II (KP-II)
sebagaimana dimaksud di atas harus tetap dipertahankan keberadaannya serta
ditingkatkan kuantitas dan kualitasnya berdasarkan IHBI. (1) Peningkatan kuantitas dan kualitas RTH berdasarkan IHBI
sebagaimana dimaksud di atas dilakukan dengan metode perhitungan RTH berdasarkan pembobotan,
faktor hijau-biru Indonesia, dan bonus elemen. Metode perhitungan berdasarkan
pembobotan dan faktor hijau-biru Indonesia sebagaimana dimaksud di atas disusun
berdasarkan kriteria penilaian pada aspek ekologis, sosial budaya, resapan air,
ekonomi, estetika, dan penanggulangan bencana. Metode perhitungan berdasarkan
bonus elemen sebagaimana dimaksud di atas disusun berdasarkan kriteria penilaian pada
aspek evapotranspirasi, penyerapan/penjerapan polutan, porositas,
permeabilitas, dan biodiversitas.
d.
identifikasi sumber pendanaan; berdasarkan
sumber pendanaan pemerintah dan/atau sumber pendanaan lain yang sah sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
e.
identifikasi pemangku
kepentingan; dilakukan oleh perangkat daerah sesuai kewenangannya. Pemangku
kepentingan meliputi: a. perangkat daerah; dan/atau b. Masyarakat.
f.
perumusan rencana penyediaan
RTH berdasarkan IHBI. menghasilkan kajian yang memuat skenario penyediaan dan
pemanfaatan RTH yang tercantum dalam materi teknis RTR.
Perancangan sebagaimana dimaksud dalam kegiatan penyediaan RTH paling sedikit meliputi konsep rancangan, pengembangan rancangan,
dan pembuatan gambar kerja untuk penyediaan RTH sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
PEMANFAATAN RTH
Pemanfaatan RTH mencakup: a. RTH Publik; b.
RTH Privat; dan c. RTH Privat yang dimanfaatkan publik. Pemanfaatan RTH Publik
sebagaimana dimaksud di atas tidak
dikenakan biaya. RTH Privat sebagaimana dimaksud di atas dimanfaatkan
sesuai kepemilikannya. RTH Privat yang dimanfaatkan publik sebagaimana dimaksud
di atas dapat dimanfaatkan sesuai dengan perjanjiaan atau kerja sama. Pemanfaatan
RTH dilakukan berdasarkan tipologi RTH berupa: a. Pemanfaatan kawasan/zona RTH;
b. Pemanfaatan kawasan/zona lainnya yang berfungsi RTH; dan c. Pemanfaatan
objek ruang berfungsi RTH. Ketentuan mengenai pemanfaatan RTH berdasarkan
tipologi RTH sebagaimana dimaksud di atas tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini. Pemanfaatan RTH
sebagaimana dimaksud di atas huruf a dan huruf c dapat diberikan insentif dalam upaya untuk
mewujudkan RTH yang berkualitas.
Insentif
sebagaimana dimaksud diatas dapat diberikan oleh: a. Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota; b. Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah
kabupaten/kota; c. Pemerintah Daerah Khusus Ibukota kepada Pemerintah Daerah
kabupaten/kota; d. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah
Khusus Ibukota; e. Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Pemerintah Daerah
kabupaten/kota lainnya; dan f. Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota, dan/atau Pemerintah Daerah kabupaten/kota kepada Masyarakat.
KERJA SAMA
(1) Kerja sama dalam penyediaan dan
pemanfaatan RTH dapat berupa: a. kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah Khusus Ibukota; b. kerja sama antara Pemerintah Pusat dengan
Pemerintah Daerah kabupaten/kota; c. kerja sama antara Pemerintah Daerah Khusus
Ibukota dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota; d. kerja sama antara Pemerintah
Daerah kabupaten/kota dengan Pemerintah Daerah kabupaten/kota lainnya; dan e.
kerja sama antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Khusus Ibukota, dan/atau
Pemerintah Daerah kabupaten/kota dengan Masyarakat. Kerja sama sebagaimana
dimaksud di atas berlaku sampai dengan selesainya pemanfaatan ruang dalam RTRW
kabupaten/kota, RDTR kabupaten/kota, atau RTR Daerah Khusus Ibu Kota dan dapat
ditinjau kembali saat revisi. Kerja sama sebagaimana dimaksud pada huruf c,
huruf d, dan huruf e dapat berupa pengakuan RTH bersama yang paling sedikit
dilakukan melalui mekanisme: a. sewa lahan; b. pengelolaan lahan RTH; atau c.
pembelian/pembebasan lahan. Pengakuan RTH bersama sebagaimana dimaksud di atas
dilaksanakan melalui persetujuan dari Menteri berdasarkan hasil penilaian ahli.
Kerja sama dalam penyediaan dan pemanfaatan RTH sebagaimana dimaksud di atas dilakukan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengakuan RTH bersama
sebagaimana dimaksud di atas dimiliki dan dikelola oleh beberapa Pemerintah Daerah yang berada
dalam satu kesatuan ekologis dan digunakan untuk kepentingan Masyarakat.
Sumber: PERATURAN MENTERI AGRARIA DAN TATA RUANG/ KEPALA BADAN PERTANAHAN
NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2022 TENTANG PENYEDIAAN DAN
PEMANFAATAN RUANG TERBUKA HIJAU.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar