Kamis, 11 Mei 2023

Penilaian Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR)

BERDASARKAN laporan dari World Bank p a d a t a h u n 2019, pertumbuhan ekonomi nasional dilaporkan mengalami penurunan dan akan terus melemah seiring dengan menurunnya transaksi ekonomi global. Pada kesempatan yang sama, World Bank menyarankan solusi alih-laih mengurangi CAD (Current Account Defisit), Pemerintah harus meningkatkan FDI (Foreign Direct Investment)/ investasi luar negeri yang mampu menciptakan lapangan k e r j a , d a n t i d a k d a p a t mengeluarkan investasinya ke luar negeri dengan mudah. Namun disayangkan, investasi luar negeri tersebut enggan untuk masuk ke Indonesia.

Tingginya jumlah penduduk dan ketersediaan tenaga kerja, membuat Indonesia menjadi negara yang masih diminati untuk investasi; dengan Pulau Jawa sebagai d e s t i n a s i i n v e s t a s i y a n g dianggap paling menjanjikan. Meskipun demikian, terdapat beberapa faktor yang dianggap m e n g h a l a n g i d a t a n g n y a i n v e s t a s i k e I n d o n e s i a . Berdasarkan laporan World Bank, aturan yang saling tumpang tindih, tingginya biaya dan rumitnya perizinan berusaha di Indonesia, menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan ekonomi dan investasi nasional.

Selain aturan pokoknya yang diatur melalui Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah, banyak peraturan turunan yang mengatur terkait dengan ke t e n t u a n p e r i z i n a n d a n menyebabkan banyaknya proses perizinan dan pintu yang harus dilalui oleh setiap investor atau pelaku usaha. Kondisi tersebut m e n d o r o n g p e m e r i n t a h Indonesia untuk melakukan s e r a n g k a i a n p e r u b a h a n kebijakan, diantaranya adalah melakukan sinkronisasi dan simplifikasi peraturan perizinan berusaha yang dituangkan d a l a m b e n t u k p e rat u ra n perundang-undangan, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sasaran perubahan kebijakan yang dimuat melalui UU Nomor 11/2020 tersebut, diantaranya adalah kebijakan i z i n p e m a n f a a t a n r u a n g dan pertimbangan teknis pertanahan yang disimplifikasi menjadi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang.

KKPR dan Penilaian Pelaksanaan KKPR

Sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) adalah kesesuaian antara rencana kegiatan Pemanfaatan Ruang dengan Rencana Tata Ruang. Penerapan KKPR sebagai sebuah perizinan, dituangkan dalam bentuk Konfirmasi KKPR, Persetujuan KKPR, atau Rekomendasi KKPR. Setiap orang atau badan usaha dapat mengajukan K o n f i r m a s i , Persetujuan atau Rekomendasi KKPR, melalui lembaga p e n g e l o l a d a n p e n y e l e n g g a r a O n l i n e S i n g l e Submission (OSS), yang merupakan lembaga pemerintah nonkementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan d i b i d a n g penanaman modal, serta sistem elektronik Kementerian ATR/BPN yang sampai dengan saat ini masih dalam tahap pengembangan. OSS sendiri dilaksanakan secara elektronik, dan memungkinkan setiap orang untuk melakukan proses pengajuannya secara mandiri dan otomatis, dengan mengajukan dokumendokumen yang dipersyaratkan, serta membuat surat pernyataan mandiri.

Penilaian pelaksanaan K e s e s u a i a n K e g i a t a n Pemanfaatan Ruang sendiri, merupakan bagian dari upaya pengendalian pemanfaatan ruang, yang dilaksanakan beriringan dengan penilaian pernyataan mandiri, yang dibuat oleh pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK), untuk memastikan:

a. Kepatuhan pelaksanaan ketentuan KKPR; dan

b. Pemenuhan p r o s e d u r perolehan konfirmasi, persetujuan a t a u rekomendasi KKPR

Penilaian pelaksanaan tersebut dilakukan selama pembangunan, dan setelah dilakukannya pembangunan atau pemanfaatan ruang. Pe n i l a i a n p e l a k s a n a a n ketentuan KKPR, dimaksudkan untuk memastikan kepatuhan pelaksanaan dalam memenuhi ketentuan KKPR. Sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/ Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/Kepala BPN) N o m o r 1 3 Ta h u n 2 0 2 1 tentang Pelaksanaan KKPR dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang, ketentuan KKPR tersebut diantaranya memuat lokasi kegiatan (1) Jenis kegiatan pemanfaatan ruang (2) Koefisien d a s a r bangunan (3) Koefisien lantai bangunan (4) Ketentuan tata bangunan (5) Persyaratan p e l a k s a n a a n k e g i a t a n pemanfaatan ruang, dan (6) Apabila ditemukan adanya ke t i d a k s e s u a i a n , p e l a ku kegiatan diharuskan melakukan penyesuaian. Apabila tidak dipatuhi, pelaku kegiatan dapat dikenai sanksi berdasarkan peraturan perundangundangan.

Pelaksanaan penilaian k e p a t u h a n p e l a k s a n a a n ketentuan KKPR tersebut m e r u p a k a n ke w e n a n g a n Menteri ATR/Kepala BPN. Meskipun demikian, Menteri AT R / K e p a l a B P N d a p a t mendelegasikan kewenangan tersebut kepada gubernur, bupati, atau wali kota sesuai dengan kewenangannya.

Berbeda dengan penilaian kepatuhan pelaksanaan k e t e n t u a n K K P R , penilaian prosedur perolehan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dilakukan untuk memastikan kepatuhan pelaku pembangunan atau pemohon, terhadap tahapan dan persyaratan perolehan K e s e s u a i a n K e g i a t a n Pemanfaatan Ruang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Apabila ditemukan adanya kesalahan prosedur, maka konfirmasi, persetujuan, atau rekomendasi KKPR dianggap batal demi hukum. Pembatalan terhadap konfirmasi, persetujuan, atau rekomendasi KKPR juga dapat dilakukan apabila terjadi perubahan Rencana Tata Ruang yang mengakibatkan menjadi tidak sesuainya KKPR tersebut. Apabila terdapat kerugian, maka instansi pemerintah yang menerbitkan KKPR wajib mengganti kerugian terhadap pelaku pembangunan atau pemohon.



Teknik Penilaian Pelaksanaan KKPR

Teknik penilaian pelaksanaan KKPR dalam PP 21/2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang belum mengatur secara rinci. Meskipun demikian, kita dapat membagi teknik penilaian pelaksanaan KKPR berdasarkan objek penilaiannya. Mengacu pada jenis objek yang perlu dinilai, secara umum kita dapat membaginya dalam 3 metode sebagai berikut:

a. Metode analisis spasial;

b. Metode kuantitatif; dan

c. Metode analisis formil/ kesesuaian dan kelengkapan administrasi.

Metode analisis spasial kita terapkan pada analisis atau penilaian terhadap lokasi ruang, koefisien dasar bangunan, ketentuan tata bangunan, dan/ atau persyaratan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang lainnya yang merujuk pada dimensi spasial, seperti koefisien dasar hijau atau koefisien ruang terbuka. Lokasi ruang memerlukan analisis spasial dengan melakukan penampalan terhadap data dasar. Dengan m e l a k u k a n p e n a m p a l a n , sekurang-kurangnya kita dapat mengetahui secara jelas kesesuaian lokasi terhadap KKPR, dengan menguji data lokasi eksisting terhadap data spasial peta administrasi, maupun peta bidang tanah yang sebelumnya diajukan oleh pemohon.

Untuk penilaian koefisien dasar bangunan, ketentuan tata bangunan, dan/atau persyaratan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan ruang lainnya, analisis spasial dapat digunakan untuk mengetahui secara pasti dimensi ruang yang digunakan. Analisis ini didahului dengan dilakukan pengukuran p a d a b i d a n g t a n a h d a n bangunan yang dimohonkan pada data spasial peta, dan dihitung menggunakan kaidah penghitungan yang diatur dalam peraturan perundangundangan terkait. Misalnya, untuk koefisien dasar bangunan dihitung dengan menggunakan rumus luas lantai bangunan dibagi dengan luas bidang tanah, dan dikali dengan 100%. Hasil penghitungan tersebut kemudian kita bandingkan dengan ketentuan dalam KKPR yang telah diperoleh. Meskipun demikian, teknik penilaian ini tidak harus menggunakan pendekatan analisis spasial karena data yang diperoleh tidak hanya dapat diukur melalui data spasial peta, namun juga dapat dilakukan dengan metode pengukuran langsung.

M e t o d e k u a n t i t a t i f , diterapkan pada penilaian terhadap koefisien lantai bangunan, koefisien dasar bangunan, ketentuan tata bangunan, dan persyaratan p e l a k s a n a a n k e g i a t a n pemanfaatan ruang lainnya seperti ketentuan khusus terhadap kontruksi minimum b a n g u n a n t e rt e n t u , at a u p e l a y a n a n j a s a t e r t e n t u c o n t o h n y a l i m p a s a n a i r maksimum yang diperbolehkan dan kapasitas daur ulang air baku yang dipersyaratkan. Metode ini juga dilakukan secara berbeda bergantung pada objek yang dinilai. Penghitungan terhadap koefisien lantai bangunan, tentu berbeda dengan metode penghitungan t e r h a d a p l i m p a s a n a i r maksimum yang diperbolehkan. Metode-metode ini secara khusus perlu melihat rujukan pada peraturan perundangundangan lainnya. Sebagai contoh, metode koefisien lantai bangunan dihitung dengan cara menghitung seluruh lantai bangunan, dibagi dengan luas lahan atau luas kawasan perencanaan.

Adapun metode analisis f o r m i l / k e s e s u a i a n d a n kelengkapan administrasi, digunakan untuk menilai k e s e s u a i a n k e g i a t a n pemanfaatan ruang, proses p e r o l e h a n K K P R , s e r t a p e m e n u h a n t e r h a d a p persyaratan pelaksanaan kegiatan pemanfaatan seperti kewajiban tambahan untuk membangun sarana prasarana. Proses analisis ini hanya menggunakan penilaian visual dan matriks perbandingan, untuk membandingkan antara ada dan tidaknya dokumen, sama dan tidaknya kegiatan yang dilaksanakan, atau telah dilaksanakan atau belum dilaksanakannya perintah atau kewajiban yang dicantumkan dalam KKPR.

Perlu kita ketahui, penilaian p e l a k s a n a a n K K P R p a d a Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang, serupa dengan teknik penilaian terhadap persyaratan i z i n p e m a n f a at a n r u a n g . Persyaratan izin pemanfaatan ruang sebagaimana diatur dalam peraturan sebelumnya, mencakup ketentuan terhadap batas sempadan, Koefisien Lantai Bangunan (KLB), Koefisien Dasar Bangunan (KDB) dan Koefisien Dasar Hijau (KDH), fungsi bangunan, fungsi lahan, dan penyediaan fasilitas umum atau fasilitas sosial. Mengacu pada ketentuan tersebut, disusun pedoman teknik penilaiannya, yang dituangkan sebagai bagian dari Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN Nomor 17 Tahun 2017 tentang Audit Tata Ruang. Sebelum kemudian ditentukan peraturan baru yang mencabut peraturan menteri tersebut dan mengubah teknik penilaiannya, maka teknik penilaian pada peraturan menteri tersebut seharusnya dapat digunakan sebagai acuan.



Proses Monitoring dan Penilaian Pelaksanaan KKPR

Dalam melakukan penilaian pelaksanaan KKPR, artinya perlu dilakukan monitoring d a n p e n i l a i a n t e r h a d a p seluruh pemohon atau pelaku pembangunan yang telah mendapatkan konfirmasi, persetujuan, atau rekomendasi KKPR. Dengan didorongnya penerapan sistem OSS pada pengajuan permohonan KKPR, dan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengajukan izin, maka objek penilaian KKPR akan meningkat secara masif. Oleh karenanya, perlu dibuat sistem monitoring yang baik, untuk mendukung pelaksanaan penilaian KKPR. Sistem penilaian KKPR perlu dibuat secara terintegrasi dalam satu ekosistem, transparan, dan mudah dimonitor.

Berdasarkan PP Nomor 2 1 Ta h u n 2 0 2 1 t e n t a n g Penyelenggaraan Penataan Ruang, kewenangan penilaian pelaksanaan KKPR saat ini hanya menjadi kewenangan Menteri ATR/Kepala BPN. Meskipun memiliki kantor perwakilan di Provinsi dan Kabupaten/Kota, tugas ini terlalu berat untuk dapat ditangani sendirian oleh sebuah lembaga kementerian/badan. Untuk itu, perlu segera dilakukan delegasi kewenangan terhadap gubernur, bupati, dan wali kota agar dapat melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Dalam hal ini, pemerintah daerah juga memiliki kepentingan sekaligus tanggung jawab untuk melaksanakan fungsi-fungsi pengendalian pemanfaatan r u a n g , d a n m e n j a m i n terwujudnya rencana tata ruang yang telah disusun.

Organisasi yang dimiliki pemerintah daerah yang m e l i n g ku p i h i n g g a l e v e l kelurahan atau desa, tentu memiliki keunggulan dalam melaksanakan proses-proses penilaian baik pada saat dilaksanakan pembangunan, maupun pasca pembangunan atau pemanfaatan. Namun h a l t e r s e b u t j u g a p e r l u didukung dengan pemahaman, pengetahuan, dan ketrampilan d a l a m m e l a k s a n a k a n penilaian tersebut. Untuk m e n d a p a t k a n n y a , p e r l u d i l a k u k a n r e k r u t m e n SDM berkualitas dengan memanfaatkan lulusan-lulusan d i b i d a n g p e re n c a n a a n , arsitektur, maupun teknik sipil, maupun pengadaan pelatihanpelatihan dan penyusunan modul standar yang rinci. Dengan demikian, pelaksanaan penilaian pelaksanaan KKPR dapat terlaksana dengan baik, dan pemanfaatan ruang dapat diwujudkan sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.


Sumber: Penulis Dr. Andi Renald, S.T., M.T, Muhammad Amin Cakrawijaya, S.T., M.T. Dalam BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 4 | JULI - AGUSTUS 2021

Minggu, 07 Mei 2023

Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Melalui Sistem Online Single Submission (OSS)

MELALUI metode Omnibus law Pemerintah telah berhasil melakukan revisi sebanyak 79 Undang-Undang (UU) menjadi satu UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sudah dilengkapi dengan Peraturan Pelaksanaannya baik berupa Peraturan Pemerintah (PP) sebanyak 47 PP maupun Peraturan Presiden (Perpres) sebanyak empat Perpres. Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Melalui Sistem OSS merupakan pelaksanaan Undang-undang No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana yang diamanahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.5 Tahun 2021.

OSS berbasis risiko ini wajib digunakan oleh Pelaku Usaha sebagai pemohon dan Kementerian/ Lembaga, Pemerintah Daerah baik tingkat Provinsi, Kabupaten/ Kota, Administrator Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas Pelabuhan Bebas (KPBPB) selaku penerbit perizinan berusaha.

OSS berbasis risiko memberikan layanan bagi pelaku usaha yang terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dan Non Usaha Mikro dan Kecil (Non UMK). UMK adalah usaha milik Warga Negara Indonesia (WNI), baik perorangan maupun badan usaha, dengan modal usaha maksimal Rp 5 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Non UMK meliputi Usaha Menengah dengan modal usaha Rp 5 miliar – Rp 10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Usaha Besar termasuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan modal usaha lebih dari Rp10 miliar tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. Termasuk Non UMK adalah Kantor Perwakilan dan Badan Usaha Luar Negeri (BULN).

Perizinan Berusaha Berbasis Risiko adalah perizinan berusaha berdasarkan tingkat risiko kegiatan usaha dan tingkat risiko tersebut menentukan jenis Perizinan berusaha. Pemerintah telah memetakan tingkat risiko sesuai dengan bidang usaha atau Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI). KBLI yang berlaku saat ini adalah KBLI tahun 2020 dengan angka lima digit sebagai kode bidang usaha Berdasarkan Peraturan Kepala BPS No. 2 Tahun 2020.

Untuk usaha dengan tingkat Risiko Rendah (R) dan Menengah Rendah (MR), proses perizinan berusaha cukup diselesaikan melalui sistem Online Single Submission (OSS) tanpa membutuhkan verifikasi atau persetujuan dari Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah dengan produk berupa Nomor Induk Berusaha (NIB) untuk Risiko R dan NIB+Sertifikat Standar (SS) untuk Risiko MR, sedangkan usaha dengan tingkat Risiko Menengah Tinggi (MT) dan Risiko Tinggi (T) membutuhkan verifikasi atau persetujuan dari Kementerian/ Lembaga/Pemerintah Daerah dengan produk berupa NIB+SS yang harus diverifikasi untuk Risiko MT dan NIB+IZIN dan SS jika diperlukan untuk Risiko T.

Usaha Mikro dan Kecil (UMK) dengan Risiko Rendah diberi kemudahan berupa perizinan tunggal sesuai amanat dalam PP No.5 Tahun 2021 Pasal 209. Artinya NIB selain berlaku sebagai identitas dan legalitas juga berlaku sebagai Standar Nasional Indonesia (SNI), dan Sertifikasi Jaminan Produk Halal (SJPH).

SNI berupa Sertifikat Bina UMK selanjutnya akan dilakukan pendampingan/fasilitasi oleh Badan Standarisasi Nasional (BSN). SJPH selanjutnya ditindaklanjuti dengan pendampingan/fasilitasi oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.

Persyaratan Dasar Perizinan Berusaha terdapat transformasi nomenklatur yang semula kita kenal dengan Izin Lokasi, Izin  Lingkungan dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) + Sertifikat Laik Fungsi (SLF) secara berurutan menjadi Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR), Persetujuan Lingkungan dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) + SLF. Dimana KKPR merupakan tapisan awal dalam sistem OSS bahwa lokasi proyek yang dimohon sudah memiliki kesesuaian pemanfaatan ruangnya sesuai dengan RDTR atau RTR,RZ,KSNT dan RZ KAW baik yang berlokasi di daratan, lautan maupun hutan sebagaimana yang diatur dalam PP No.21 Tahun 2021 tentang Penataan Ruang dan PP No.23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan. Untuk Persetujuan Lingkungan terintegrasi langsung dengan Perizinan Berusahanya sesuai tingkat risiko dan dampak penting terhadap lingkungan serta kewenangannya sebagaimana dijelaskan dalam PP No.22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sedangkan Persetujuan Bangunan Gedung saat ini merupakan suatu kewajiban yang melekat langsung kepada Pelaku Usaha apabila yang bersangkutan akan mendirikan suatu bangunan sebagaimana diatur dalam PP No.16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

Dengan berlakunya OSS berbasis risiko sejak diresmikan oleh Bapak Presiden Joko Widodo pada tanggal 9 Agustus 2021 maka seluruh perizinan berusaha yang telah dimiliki sebelumnya oleh pelaku usaha dan masih berlaku tetap dapat digunakan sebagaimana mestinya, termasuk NIB yang tetap berlaku selama kegiatan usaha masih berjalan.

 


 





 









Sumber: BULETIN PENATAAN RUANG EDISI 6 | NOVEMBER - DESEMBER 2021

PERAN MASING-MASING STAKEHOLDER DALAM PROSES PEMANFAATAN RUANG

A. Siapa Stakeholder

Pemanfaatan ruang bisa dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, swasta atau masyarakat, baik secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Pemanfaatan ruang oleh  masyarakat dapat dilakukan secara orang seorang, kelompok orang termasuk masyarakat hukum adat, kelompok profesi, kelompok minat, dan badan hukum. Komponen-komponen tersebut adalah stakeholder dalam pemanfaatan ruang.

Selaku orang seorang, peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Nasional, Propinsi atau Kabupaten/Kota dan dalam pemanfaatan ruang kawasan dapat dilakukan oleh semua warga negara Indonesia berumur 17 (tujuh belas) tahun ke atas atau sudah/pernah kawin, terutama yang bertempat tinggal dan atau mempunyai hak atas ruang di wilayah atau kawasan yang dimanfaatkan.

Selaku kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat, kelompok profesi, atau kelompok minat, peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Nasional, Propinsi  atau Kabupaten/Kota dan dalam pemanfaatan ruang kawasan dapat dilakukan oleh kelompok orang yang tumbuh secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat serta diakui oleh masyarakat di wilayah atau kawasan yang direncanakan, terutama yang bertempat tinggal dan atau mempunyai hak atas ruang di wilayah atau kawasan yang dimanfaatkan. 

Selaku badan hukum, peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Nasional, Propinsi atau Kabupaten/Kota dan dalam pemanfaatan ruang kawasan dapat dilakukan oleh badan hukum terutama yang berkedudukan dan atau mempunyai hak atas ruang di wilayah atau kawasan yang dimanfaatkan.

Selaku kelompok orang, termasuk masyarakat hukum adat, kelompok profesi, atau kelompok minat, peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Nasional, Propinsi  atau Kabupaten/Kota dan dalam pemanfaatan ruang kawasan dapat dilakukan  oleh kelompok orang yang tumbuh secara swadaya atas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat serta diakui oleh masyarakat di wilayah atau kawasan yang direncanakan, terutama yang bertempat tinggal dan atau mempunyai hak atas ruang di wilayah atau kawasan yang dimanfaatkan. 

Selaku badan hukum, peran masyarakat dalam pemanfaatan ruang wilayah Nasional, Propinsi atau Kabupaten/Kota dan dalam pemanfaatan ruang kawasan dapat dilakukan oleh badan hukum terutama yang berkedudukan dan atau mempunyai hak atas ruang di wilayah atau kawasan yang dimanfaatkan.

Secara kategoris, stakeholder pemanfaatan ruang dapat dikelompokkan menjadi:

(1) Stakeholder yang berwenang mengambil/membuat kebijakan, terdiri dari:

a. Eksekutif, seperti Bappenas, DepKimpraswil, Depdagri, BPN, Bappeda, Sekretariat Daerah dan Kepala Daerah serta Instansi sektoral Pusat dan Daerah seperti Dinas/Kantor terkait yang mempunyai fungsi Kehutanan, Pertanian dan Perkebunan, Perindustrian dan Perdagangan, Pertambangan, Kelautan, Perhubungan,  Lingkungan Hidup/Bappedal, Kepariwisataan;

b. Legislatif, seperti DPR dan DPRD I dan DPRD II;

c. Yudikatif.

(2) Stakeholder yang terkena dampak dari kebijakan, terdiri dari:

a. Kelompok Warga Setempat;

b. Warga sesuai dengan kelompok kegiatannya, seperti kelompok Nelayan, Buruh Tani, Pemakai Air, Forum Agama dan sebagainya.

(3) Stakeholder yang mengawasi kebijakan, terdiri dari:

a. DPR;

b. DPRD I dan DPRD II;

c. LSM;

d. Pers/Media massa;

e. Forum Warga;

f. Partai Politik;

g. Asosiasi Profesi; dan

h. Perguruan Tinggi.

(4) Stakeholder kelompok Interest  d a n  Presure Group yang terkait kebijakan, terdiri

dari:

a. Partai Politik;

b. LSM;

c. Pengusaha;

d. Forum Warga;

e. Asosiasi Profesi;

f. Perguruan Tinggi; dan

g. Kelompok Mediasi.

(5) Stakeholder yang mempunyai kepentingan agar kegiatan atau kebijakannya

berjalan, terdiri dari:

a. Presure group, seperti Partai Politik, LSM, dan Forum Warga;

b. Kelompok Pendukung, seperti Donor, Pengusaha, Perguruan Tinggi, Warga, Pemerintah Pusat dan Daerah, dan Kelompok Mediasi.

B.  Peran Stakeholder yang berwenang mengambil/membuat kebijakan

Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang mempunyai kewenangan dalam mengambil atau membuat kebijakan dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Menyusun produk hukum dan aturan main (seperti norma, standar, pedoman, petunjuk dan kriteria) yang berkaitan dengan peran dan pelibatan masyarakat dalam pengambilan keputusan untuk pemanfaatan ruang;

b. Merevisi kebijakan yang ada baik pada tingkat nasional, regional, maupun local yang tidak berpihak pada kesejahteraan masyarakat luas;

c. Melakukan review atau penilaian atas kemampuan seluruh pejabat publik terkait pemanfaatan ruang untuk ditindak lanjuti dengan peningkatan kemampuan atau pun penempatan kembali pada posisi yang sesuai (fit and proper);

d. Memberikan komitmen politik, khususnya bagi legislatif dan eksekutif, dalam membuat kebijakan pemanfaatan ruang dengan berpihak pada kesejahteraan masyarakat;

e. Melakukan peningkatan kemampuan sumberdaya manusia yang ada, baik profesional, birokrat maupun warga masyarakat agar lebih mampu menyelenggarakan pemanfaatan ruang dengan baik dan benar;

f. Mengembangkan komunikasi antar stakeholder melalui berbagai media yang sudah dikuasai maupun yang belum dikuasai oleh warga masyarakat;

g. Mendorong bantuan ke sasaran yang lebih tepat, yaitu masyarakat setempat seperti misalnya mendorong block grand dari kecamatan ke desa ;

h. Melakukan kajian beaya sosial budaya dan ekonomi dalam pemanfaatan ruang untuk diinformasikan kepada stakeholder;

i. Melakukan pengembangan awarness tentang penataan ruang melalui berbagai upaya, seperti penyederhanaan fungsi kawasan agar bisa difahami dan dimengerti warga atau forum warga, mengembangkan serta legalisasi forum warga.

C.  Peran Stakeholder yang terkena dampak kebijakan

Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang terkena dampak kebijakan dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Mendorong pengembangan forum warga;

b. Berupaya mendapatkan manfaat lebih besar dari pemanfaatan ruang yang mencakup wilayahnya;

c. Berupaya meminimalisasi konflik pemanfaatan ruang dengan berorientasi keuntungan dan kesejahteraan masyarakat.

D.  Peran Stakeholder yang mengawasi kebijakan

Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang mengawasi kebijakan dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Melakukan pengawasan secara benar atas proses dan produk pemanfaatan ruang yang dilakukan oleh stakeholder;

b. Menghidupkan fungsi pengawasan dan guardian angel dalam pemanfaatan ruang;

c. Melembagakan mekanisme pengawasan publik yang transparan dan akuntabel;

d. Melakukan kajian-kajian untuk meningkatkan fungsi pengawasan yang bermoral.

E.  Peran Stakeholder kelompok interest dan presure group yang terkait kebijakan

Peran yang dilakukan oleh stakeholder kelompok interset dan presure group dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Melakukan berbagai upaya penyadaran berbagai stakeholder atas hakekat pemanfaatan ruang yang baik dan benar yaitu lestari dan berkesinambungan;

b. Melakukan kampanye tentang transparansi dan akuntabilitas kebijakan pemanfaatan ruang;

c. Melakukan sosialisasi dan mediasi dari proses dan produk pemanfaatan ruang;

d. Melakukan upaya-upaya yang menguntungkan dalam pemanfaatan ruang, seperti melalui pilot project atau kegiatan sejenis.

 

F.  Peran Stakeholder yang mempunyai kepentingan agar kegiatan/kebijakan berjalan baik

Peran yang dilakukan oleh stakeholder yang mempunyai kepentingan agar kegiatan/ kebijakan berjalan dengan baik dan lancar dalam pemanfaatan ruang adalah:

a. Melakukan upaya pelembagaan proses partisipasi atau pelibatan masyarakat;

b. Melakukan sosialisasi peran serta atau pelibatan masyarakat;

c. Membangun saluran-saluran dan simpul-simpul partisipasi;

d. Menggali dan mempertimbangkan nilai-nilai dan kearifan lokal;

e. Mendesiminasikan best practices;

f. Memantapkan metode dan sistem informasi pemanfaatan ruang;

g. Menterpadukan kelembagaan dan aparat terkait agar pemanfaatan ruang berjalan baik.

 

Peran masing-masing stakeholder tersebut berlaku untuk berbagai tingkatan hirarki seperti Nasional, Propinsi, dan Kabupaten/Kota, akan tetapi bentuk dan tatacara kegiatannya bisa saja berbeda. Peran tersebut dapat dilakukan oleh stakeholder baik secara sendiri maupun berkelompok atau bersinergi sesuai dengan networking yang dimilikinya.

 

 

Sumber: PEDOMAN PELIBATAN MASYARAKAT DALAM PROSES PEMANFAATAN RUANG, Penerbit DIREKTORAT PENATAAN RUANG NASIONAL DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH Tahun 2001

Apa Peran Kita Dalam Penataan Ruang?

Peran Pemerintah

1.      Menyusun REGULASI sebagai rumusan dari kebijakan.

2.  Membuat PERENCANAAN dalam wujud Rencata Umum Tata Ruang dan Rencana Rinci Tata Ruang

3.    Melakukan PEMBINAAN kepada pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota, dan masyarakat.

4.      Melaksanakan PEMBANGUNAN (bersama masyarakat dan dunia usaha)

5.   Melakukan PENGENDALIAN dan PENGAWASAN sebagai upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang.   

Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat

Hak masyarakat

1. mengetahui RTR

2. menikmati pertambahan nilai ruang

3. memperoleh penggantian yg layak

4. mengajukan keberatan

5. mengajukan tuntutan pembatalan izin dan penghentian pembangunan yg tidak sesuai dengan RTR

6. mengajukan gugatan ganti kerugian

Kewajiban masyarakat

1. menaati RTR;

2. mematuhi larangan:

• memanfaatkan ruang tanpa izin

• melanggar ketentuan dalam persyaratan izin.

• menghalangi akses terhadap kawasan-kawasan yg dinyatakan oleh peraturan per-UU-an sebagai milik umum.

Peran Masyarakat

1. partisipasi dalam penyusunan RTR.

2. partisipasi dalam pemanfaatan ruang.

3. partisipasi dalam pengendalian pemanfaatan ruang.

Peran Masyarakat

Peran masyarakat adalah partisipasi aktif masyarakat dalam perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Peran-peran tersebut diantaranya adalah:

• Memberikan masukan mengenai penetapan rencana tata ruang

• memberikan masukan mengenai kegiatan memanfaatkan ruang yang sesuai dengan budaya lokal dan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

• keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

• pelaporan kepada instansi dan/atau  pejabat yang berwenang dalam hal menemukan dugaan penyimpangan atau pelanggaran kegiatan pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

• Penataan lingkungan sekitar

PERAN GENERASI MUDA

Salah satu kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah adalah mensosialisasikan esensi, makna dan substansi peraturan yang  terkait dengan penataan ruang sehingga masyarakat dapat mengetahui dan mengerti peran mereka dalam penataan ruang. Masyarakat mencakup objek yang sangat luas, terdiri dari akademisi, asosiasi profesi, organisasi masyarakat sipil, para pelajar/mahasiswa, dan lain–lain.

Masyarakat perlu mengetahui arti pentingnya penataan ruang karena di dalam peraturan perundang– undang sendiri telah diatur peran serta masyarakat agar proses penataan ruang dapat berjalan dengan baik. Pemberian pemahaman akan pentingnya penataan ruang, perlu diberikan kepada generasi  muda, sebagai penerus kehidupan  bangsa agar efektif dalam peletakan dasar pemahaman akan tujuan penataan ruang.

Pelajar sebagai generasi muda yang peduli akan permasalahan yang terjadi, perlu diberikan pengertian lebih awal karena rasa penasaran mereka masih besar, sehingga perlu diberikan pengarahan dan pemahaman yang benar akan pentingnya penataan ruang. Apalagi, pada era reformasi dan globalisasi ini, generasi muda semakin kritis dan berani untuk menilai dan mengkritik atas penyelenggaraan penataan ruang,

sehingga mereka pun perlu untuk diberikan pemahaman mengenai muatan dan pentingnya peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang. Untuk meningkatkan pemahaman para pelajar akan pentingnya penataan ruang diperlukan Sosialisasi Penyelenggaraan Penataan Ruang . Kegiatan sosialisasi peraturan perundang-undangan bidang penataan ruang dilakukan dengan metode yang kreatif dan inovatif agar menyentuh pelajar dan membuat mereka mengerti akan pentingnya penataan ruang sejak dini.



Jadilah Smart Generation Smart, Care, and Green

Smart, artinya kita sebagai generasi muda harus cerdas dalam menyikapi permasalahan tata ruang yang terjadi di sekitar serta memberikan solusi-solusi yang membangun.

Care, memiliki keperdulian terhadap alam lingkungan hidup tempat tinggal kita bersama, serta

Green, memiliki komitmen untuk menjaga dan memelihara keberlangsungan hidup di bumi kita tercinta. 

Lalu, apa peran Pelajar (Smart Generation) dalam Penataan Ruang?

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, kita dapat ikut berperan dalam:

• Perencanaan tata ruang;

• Pemanfaatan ruang;

• Pengendalian pemanfaatan ruang.

Pemberdayaan Pelajar (Smart Generation) dalam Penataan Ruang

• Membangun kepedulian terhadap masalah tata ruang;

• Peningkatan pemahaman tentang penataan ruang;

• Pelibatan dalam proses penataan ruang (perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian).

 

Hak dan kewajiban masyarakat (termasuk juga pelajar) untuk terlibat dalam penataan ruang tercantum dalam pasal 60 & 61 UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang.

Peran pelajar dalam penataan ruang dalam bentuk keseharian bisa berupa:

• Perencanaan -> BELUM, karena dibutuhkan keahlian ataupun ilmu yang khusus, namun dapat berpartisipasi dalam proses penyusunan rencana;

• Pemanfaatan:

-      Kurangi pemakaian kendaraan pribadi

-      Gunakan transportasi umum

-      Gunakan jembatan penyeberangan

-      Jalan kaki

-      Gunakan sepeda

 

• Pengendalian:

-      Keikutsertaan dalam memantau dan mengawasi pelaksanaan rencana tata ruang yang telah ditetapkan

-      Melaporkan ke pemerintah (kecamatan, kota, dsb) jika menemukan dugaan pelanggaran pemanfaatan ruang yang melanggar rencana tata ruang yang telah ditetapkan.

 

Sumber: Buku MENGENAL LEBIH DEKAT PENATAAN RUANG Bagi Generasi Muda, Penerbit KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DIREKTORAT JENDERAL PENATAAN RUANG Tahun 2012

Kamis, 04 Mei 2023

Menggagas Tata Ruang Perairan Berbasis Hak Nelayan

Berdasarkan UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UU PR), mengharuskan penyelenggara negara memasukan laut sebagai bagian yang sangat penting dan terintegrasi, bahkan di subordinatkan dalam manajemen pemanfaatan ruang. Sehingga tujuan menjamin kelangsungan hidup manusia dan mahluk hidup lainnya.

Menilik dari judul diatas terbangun atas tiga subtansi pokok yaitu, penataan ruang, perairan pesisir, dan hak nelayan. Sehingga kepentingan untuk menata ruang laut, melahirkan komitmen legislasi berupa UU Np. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (UU PWP-PPK), yang menjadikan wilayah perairan sebagai ruang pengaturan utamanya.

Bahkan undang-undang tersebut menyatakan perairan pesisir adalah laut yang berbatasanb dengan daratan sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai, perairan yang menghubungkan pantai dan pulau-pulau, estuari, teluk, perairan dangkal, rawa payau, dan laguna. Lantas bagaimana kepentingan nelayan tradisional dapat terakomodasi ditengah berkembanganya komersialisasi pesisir?

Namun setelah UU PWP-PPK diterapkan maka pemanfaatan perairan pesisir diarahkan dengan menggunakan mekanisme sertifikasi, yakni melalui instrument Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3). Tak hanya itu, UU juga mengatakan bahwa HP3 adalah hak pengusahaan atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut, dan untuk masa waktu pengusahaan 60 tahun akumulatif. Sekaligus, negara memberikan landasan hukum dalam rangka komersialisasi perairan pesisir.

Kemudian, setidaknya ada tiga hal yang perlu dicermati dalam penataan ruang perairan pesisir yang berkaitan dengan hak nelayan tradisional Indonesia.

1.Aspek pemunuhan atas perlindungan dan keselamatan warga negara dari ancaman bencana. Seperti diketahui, wilayah Indonesia terletak di sepanjang gunung api (yang dikenal dengan ring of fire), serta pertemuan tiga lempeng bumi, yang secara alamiah telah menyebabkan Indonesia rawan bencana. Diperkirakan lebih lebih dari separuh kejadian bencana di Indonesia terjadi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.  

Ada juga Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berantakan membuat bencana banjir didesa-desa pesisir Indonesia. Kalau tahun 1996-1999 terdapat 7.000 desa terendam banjir, maka pada periode 2000-2003 terdapat 12.000 desa yang terkena bencana. Lonjakan semakin mengkhawatirkan di Pulau Jawa, yakni, dari 1.289 desa pesisir menjadi 2.823 desa pesisir.

Tak berhenti disitu, bencana alam berupa Tsunami dan naiknya air laut  (sea level rise) dan aksi pencemaran laut, hingga kini belum tertangani dengan baik. Kesemuanya memberikan isyarat betapa rentannya wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia. Karena hal itulah perlindungan danperlakuan khusus terhadap pengelolaan perairan pesisir dan pulau-pulau kecil, dengan berlandas pada pemenuhan hak konstitusi setiap warga negara atas kenyamanan dan keselamatan, serta menghindari kerugian yang lebih besar pasca terjadinya bencana perlu dikedepan.

Diberikannya jaminan perlindungan pengusahaan kawasan melalui HP3, justru mereduksikapasitas dan tugas pemerintah melindungi kepentingan warga pesisir, khususnya nelayan tradisional atas ruang perairan pesisir yang aman dan sehat. 

Selanjutnya, yang kedua adalah aspek akuntabilitas dan pastisipasi public dalam tata ruang pesisir, dimana dalam pasal 7 UU PWP-PPK membaginya dalam empat tahapan:

Rencana Strategis Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RSWP-3-K);Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K);Rencana Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RPWP-3-K); danRencana Aksi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RAWP-3-K).Secara keseluruhan, usulan tersebut hanya dilakukan oleh pemerintah daerah dan dunia usaha sehingga keterlibatan nelayan dalam memastikan kepentingannya terhadap ruang perairan pesisir sebagai bagian hak melekat padanya sulit terpenuhi.

Sementara itu, searah dengan semangat pemenuhan hak, maka Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO) melalui Code of Conduct Responsible Fisheries (CCRF) menyerukan agar negara anggota (Indonesia) atau bukan anggotanya menjamin para nelayan dan pembudidaya ikan dilibatkan dalam perumusan kebijakan dan pelaksanaan.

Pada aspek ketiga, yaitu, konflik perikanan terkait hak pemanfaatan dan kepemilikan. Charles dalam bukunya Sustainable Fishery Systems (2001) membagi ‘struktur’ konflik perikanan kedalam 4 kategori, yaitu: yuridiksi perikanan—terkait dengan siapa yang ‘memiliki’ kontrol atas pengelolaan perikanan;mekanisme pengelolaan—umunya terkait konflik antara nelayan-pemerintah mengenai tingkat/jumlah penangkapan, proses konsultatatif dan penegakan aturan perikanan;alokasi internal—seperti konflik yang dipicu oleh penggunaan alat tangkap yang berbeda; alokasi eksternal—mencakup konflik yang melibatkan nelayan tradisional kapal asing, pembudidaya, industri non-perikanan (seperti pariwisata dan kehutanan) dan masyarakat umum. Kesemuanya menggambarkan ruang perairan pesisir yang rawan konflik perikanan. Pada konteks inilah penataan ruang perairan pesisir kembali menemukan urgensinya.

Menata ruang, memuliakan nelayan

Terdapat 3 kepentingan Negara mengatur ulang tata kelola sumberdaya alam dan ruang pesisir di Indonesia: pertama, kepentingan untuk mengembalikan dan melindungi hak-hak masyarakat yang paling rentan (vulnerable societies) seperti masyarakat adat, nelayan, atau masyarakat pesisir pada umumnya; kedua, kepentingan untuk meningkatkan kesejahteraan warga yang mendiami wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang saat ini mendapati kemiskinan akut; serta kepentingan untuk melakukan harmonisasi pengaturan kebijakan publik, agar tidak berbenturan satu dan lainnya.

FAO pun merincikan tujuan pengelolaan perikanan sejatinya untuk mewujudkan: ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan keberlanjutan lingkungan. Sedangkan mencermati UU No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, maka kepentingan nelayan tradisional dalam pengaturan ruang perairan pesisir belum terakomodir.

Penataan pada dasarnya meliputi tiga hal penting, seperti, perencanaan, pemanfaatan, dan pengendalian terhadap pemanfaatan ruang pesisir dan laut. Dengan mempertimbangkan permasalahan dan ketergantungan masyarakat nelayan perairan pesisir, maka keterlibatan aktif nelayan tradisional menjadi keharusan.

Langkah ini dapat diawali dengan mengoperasionalkan penataan ruang, dengan menjamin kehidupan manusia dan mahluk lainnya, kedalam pengaturan penataan ruang perairan pesisir. Guna mencapai tujuan, sesuai dengan pandangan Charles (1992 dan 2001), maka paradigma kebijakan perikanan yang seharusnya dianut pemerintah adalah paradigma sosial. Dimana paradigm tersebut berfokus pada kesejahteraan masyarakat, keadilan distribusi, dan manfaat sosial dan budaya perikanan lainnya guna melindungi nelayan tradisional yang terpinggirkan oleh kekuatan ekonomi.

Karena itulah, upaya judicial review (uji materi) terhadap UU PWP-PPK (khusus Pasal HP3), menjadi penting guna memenuhi hak para nelayan dalam pengelolaan ruang pesisir. Dalam konteks itulah, untuk mewujudkan penataan ruang pesisir yang mengarah pada ketahanan pangan, pengentasan kemiskinan, dan keberlanjutan lingkungan, maka sudah semestinya Mahkamah Konstitusi mengabulkan gugatan uji materi yang diajukan oleh masyarakat sipil, termasuk 18 nelayan tradisional.

Penguatan organisasi nelayan tradisional Indonesia, baik berupa serikat nelayan maupun koperasi nelayan sangat diperlukan untuk terlibat dalam penataan ruang yang juga ditopang oleh kapasitas sumberdaya manusia dan organisasi yang handal.

 

 

Sumber : Oleh M. Riza Damanik Dalam Artikel https://tataruang.atrbpn.go.id/Bulletins/Artikel/257