KEMENTERIAN Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jenderal Tata Ruang menyelenggarakan Klinik Penguatan Layanan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) untuk Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Pulau Papua di Jakarta, Senin (6/12/22).
Kegiatan
ini diselenggarakan untuk menyebarluaskan pemahaman tentang proses bisnis
perizinan berusaha dan melaksanakan tahap validasi KKPR kepada Organisasi
Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi tata ruang. Selain itu kegiatan ini juga
dimaksudkan untuk menjaring permasalahan
pelaksanaan KKPR di daerah melalui Sistem Online Single Submission-Risk Based
Approach (OSS-RBA).
Membuka
acara tersebut, Direktur Jenderal Tata Ruang, Gabriel Triwibawa mengungkapkan
bahwa KKPR merupakan kebijakan dan istilah baru dari peraturan turunan
Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Ia juga mengungkapkan bahwa peraturan turunan
UUCK yakni, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan
Penataan Ruang maupun Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 13 Tahun 2021
tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan Sinkronisasi
Program Pemanfaatan Ruang mengamanatkan bahwa
setiap kegiatan pemanfaatan ruang harus terlebih dahulu mendapatkan suatu
evaluasi agar kegiatan yang akan dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang
(RTR).
"Poin
pertama yang perlu kita pahami bersama adalah bahwa KKPR ini bukan sebuah
perizinan, melainkan persyaratan dasar perizinan," ujar Gabriel Triwibawa.
Lebih lanjut, Gabriel memaparkan bahwa terdapat dua makna KKPR.
"Makna
pertama hampir sama dengan izin lokasi, untuk perolehan tanah. Makna yang kedua
adalah untuk pemanfaatan ruang," lugasnya.
Disampaikan
pada paparan Gabriel, bahwa penerbitan KKPR mempunyai tiga mekanisme.
Yang pertama, melalui konfirmasi, mekanisme ini dapat dilakukan apabila daerah
tersebut sudah memiliki RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) yang terintegrasi
dengan OSS. Kedua, melalui penilaian, mekanisme ini dapat dilakukan apabila
terdapat rencana tata ruang lain yang tidak terdapat pada RDTR yang telah
terbit. Ketiga, melalui rekomendasi, mekanisme ini dapat dilakukan pada Proyek
Strategis Nasional (PSN) dengan persyaratan tambahan yang harus dilengkapi.
Pada
kesempatan tersebut, Direktur Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang, Eko Budi
Kurniawan menyampaikan paparannya bahwa selain KKPR, terdapat dua persyaratan
dasar perizinan lainnya yakni, Persetujuan Lingkungan dan Persetujuan Bangunan
Gedung (PBG). "KKPR merupakan salah satu dari tiga persyaratan
perizinan. KKPR merupakan persyaratan dasar perizinan yang harus diproses
paling awal, tidak paralel dengan Persetujuan Lingkungan, maupun Persetujuan
Bangunan Gedung," papar Eko Budi Kurniawan.
Ia
juga menyatakan bahwa KKPR merupakan salah
satu persyaratan dasar perizinan dalam proses pengadaan tanah "Proses
pengurusan KKPR berada di awal, yaitu pada proses perencanaan, sebelum
penetapan lokasi (penlok), karena penlok ini acuannya adalah KKPR,"
tuturnya. Turut disampaikan bahwa KKPR merupakan single
reference untuk pemanfaatan ruang.
Selain
dihadiri oleh Direktur Jenderal Tata Ruang, Gabriel Triwibawa, dan Direktur
Sinkronisasi, Pemanfaatan Ruang Eko Budi Kurniawan, acara ini juga diisi oleh
beberapa pembicara dan penanggap, di antaranya, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf
Presiden, Albertien Enang Pirade, serta Jabatan Fungsional Penata Ruang Ahli
Utama, Abdul Kamarzuki, Sufrijadi, dan Dodi Slamet Riyadi.
Selain
melakukan diskusi dan tanya jawab, para peserta rapat juga melakukan simulasi
dan pelaksanaan validasi KKPR.
Sumber: BULETIN
PENATAAN RUANG Edisi VI | November - Desember 2022
Tidak ada komentar:
Posting Komentar