Sabtu, 04 Maret 2023

Menjadi Salah Satu Syarat Perizinan, KKPR Harus Diproses Paling Awal

KEMENTERIAN Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jenderal Tata Ruang menyelenggarakan Klinik Penguatan Layanan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) untuk Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Pulau Papua di Jakarta, Senin (6/12/22).

Kegiatan ini diselenggarakan untuk menyebarluaskan pemahaman tentang proses bisnis perizinan berusaha dan melaksanakan tahap validasi KKPR kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi tata ruang. Selain itu kegiatan ini juga dimaksudkan untuk menjaring permasalahan pelaksanaan KKPR di daerah melalui Sistem Online Single Submission-Risk Based Approach (OSS-RBA).

Membuka acara tersebut, Direktur Jenderal Tata Ruang, Gabriel Triwibawa mengungkapkan bahwa KKPR merupakan kebijakan dan istilah baru dari peraturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Ia juga mengungkapkan bahwa peraturan turunan UUCK yakni, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang maupun Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang mengamanatkan bahwa setiap kegiatan pemanfaatan ruang harus terlebih dahulu mendapatkan suatu evaluasi agar kegiatan yang akan dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang (RTR).



"Poin pertama yang perlu kita pahami bersama adalah bahwa KKPR ini bukan sebuah perizinan, melainkan persyaratan dasar perizinan," ujar Gabriel Triwibawa. Lebih lanjut, Gabriel memaparkan bahwa terdapat dua makna KKPR.

"Makna pertama hampir sama dengan izin lokasi, untuk perolehan tanah. Makna yang kedua adalah untuk pemanfaatan ruang," lugasnya.

Disampaikan pada paparan Gabriel, bahwa penerbitan KKPR mempunyai tiga mekanisme. Yang pertama, melalui konfirmasi, mekanisme ini dapat dilakukan apabila daerah tersebut sudah memiliki RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) yang terintegrasi dengan OSS. Kedua, melalui penilaian, mekanisme ini dapat dilakukan apabila terdapat rencana tata ruang lain yang tidak terdapat pada RDTR yang telah terbit. Ketiga, melalui rekomendasi, mekanisme ini dapat dilakukan pada Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan persyaratan tambahan yang harus dilengkapi.

Pada kesempatan tersebut, Direktur Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang, Eko Budi Kurniawan menyampaikan paparannya bahwa selain KKPR, terdapat dua persyaratan dasar perizinan lainnya yakni, Persetujuan Lingkungan dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). "KKPR merupakan salah satu dari tiga persyaratan perizinan. KKPR merupakan persyaratan dasar perizinan yang harus diproses paling awal, tidak paralel dengan Persetujuan Lingkungan, maupun Persetujuan Bangunan Gedung," papar Eko Budi Kurniawan.

Ia juga menyatakan bahwa KKPR merupakan salah satu persyaratan dasar perizinan dalam proses pengadaan tanah "Proses pengurusan KKPR berada di awal, yaitu pada proses perencanaan, sebelum penetapan lokasi (penlok), karena penlok ini acuannya adalah KKPR," tuturnya. Turut disampaikan bahwa KKPR merupakan single reference untuk pemanfaatan ruang.

Selain dihadiri oleh Direktur Jenderal Tata Ruang, Gabriel Triwibawa, dan Direktur Sinkronisasi, Pemanfaatan Ruang Eko Budi Kurniawan, acara ini juga diisi oleh beberapa pembicara dan penanggap, di antaranya, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Albertien Enang Pirade, serta Jabatan Fungsional Penata Ruang Ahli Utama, Abdul Kamarzuki, Sufrijadi, dan Dodi Slamet Riyadi.

Selain melakukan diskusi dan tanya jawab, para peserta rapat juga melakukan simulasi dan pelaksanaan validasi KKPR.

 

 

Sumber: BULETIN PENATAAN RUANG Edisi VI | November - Desember 2022

Tidak ada komentar: