Senin, 13 Maret 2023

PEMANFAATAN PRASARANA DAN SARANA RUANG PEJALAN KAKI DI KAWASAN PERKOTAAN

Pola pemanfaatan ruang pejalan kaki mengacu pada kebijakan formal yang telah dikeluarkan, sehingga legalitas pemanfaatannya tidak menyimpang dari ketentuan yang berlaku. Setiap pemanfaatan ruang pejalan kaki diatur berdasarkan jenis kegiatan, waktu pemanfaatan, jumlah pengguna, dan ketentuan teknis yang harus dipenuhi.

Ruang pejalan kaki memiliki fungsi utama sebagai sirkulasi bagi pejalan kaki, selain itu dimanfaatkan untuk berbagai macam kegiatan dan fungsi ruang luar bagi masyarakat sekitar.

1.     Aktivitas Pemanfaatan Ruang yang Diperbolehkan

Aktivitas pemanfaaatan ruang yang diperbolehkan adalah:

a) Interaksi Sosial Aktivitas sosial antar pengguna kawasan, seperti: berbincang-bincang, mendengarkan, memperhatikan, duduk, makan, minum.

b) Sirkulasi bagi Difabel Aktivitas sirkulasi para penyandang cacat dari satu tempat ke tempat lainnya.

c) Zona Bagian Depan Gedung (Building frontage zone) Zona ini dapat dimanfaatkan sebagai area masuk (entrance) bangunan, area perluasan aktivitas dari dalam bangunan ke ruang luar bangunan, dan area transisi aktivitas dari dalam bangunan ke bagian luar bangunan.

2.     Aktivitas Pemanfaatan Ruang yang Dilarang

Aktivitas kendaraan bermotor tidak diperbolehkan memanfaatkan fasilitas di ruang pejalan kaki.

3.     Aktivitas Pemanfaatan Ruang yang Diperbolehkan dengan Syarat

a)    Kegiatan Usaha Kecil Formal (KUKF)

Aktifitas jual beli yang dilakukan di dalam ruang pejalan kaki dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi kawasan jika tertata dengan baik, tetapi dapat menimbulkan permasalahan jika ruang pejalan kaki tersebut tidak tertata dengan baik.

Persyaratan pemanfaatan KUKF:

- Jarak bangunan ke area berdagang adalah 1,5 – 2,5 meter, agar tidak menganggu sirkulasi pejalan kaki.

- Lebar pedestrian sekurang-kurangnya 5 meter dan lebar area berjualan maksimal 3 meter, atau 1:1,5 antara lebar jalur pejalan kaki dengan lebar area berdagang.

- Ada organisasi tertentu yang mengelola keberadaan KUKF.

- Untuk jenis KUKF tertentu, waktu berdagang diluar waktu kegiatan aktif gedung/bangunan di depannya.



b)    Aktivitas Pameran Sementara di Ruang Terbuka

Aktivitas pameran sementara di ruang terbuka atau outdoor display dapat dilakukan jika lebar ruang pejalan kaki minimal 5 meter dan lebar area berjualan maksimal 3 meter atau 1:2 antara lebar jalur pejalan kaki dengan lebar area pameran. Dengan asumsi pengunjung pameran memanfaatkan separuh lebar jalur pejalan kaki yang ada.

 


4.     Fasilitas Bersepeda

Fasilitas bersepeda mencakup:

a)    Aktivitas olahraga bersepeda diperbolehkan, jika kondisi luasan jaringan pejalan kaki memungkinkan, yaitu dengan lebar pedestrian minimal 5 meter.

b)    Pada kondisi volume pejalan kaki tinggi, harus disediakan satu jalur khusus untuk bersepeda, dengan cara memperlebar trotoar sampai dengan 2 meter, untuk memisahkan jalur bersepeda dengan jalur lalu lintas yang berdekatan.

Lebar tipikal untuk tipe yang bervariasi dari berbagai fasilitas sepeda ditunjukan dalam gambar 4.3.

Pada umumnya kecepatan bersepeda adalah 10–20 kilometer/jam. Bila memungkinkan kecepatan minimal 20 kilometer/jam, jika:

a)    Ruang dapat dirancang untuk bersepeda dengan kecepatan 30 kilometer/jam sehingga dapat secara mudah diakomodir tanpa peningkatan yang signifikan.

b)    Kecepatan minimum yang diinginkan melebihi 20 kilometer/jam, maka lebar jalur bersepeda dapat diperlebar 0.6 meter hingga 1.0 meter.

 


 


 

 

Sumber: Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Prasarana dan Sarana Ruang Pejalan Kaki di Perkotaan

Minggu, 12 Maret 2023

Kawasan Strategis Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan Di Kabupaten Lombok Utara

 


Gambaran Umum

Senaru yang berarti sinar aru merupakan sebuah nama desa yang terletak di Kecamatan Bayan Kabupaten Lombok Utara. Desa yang terletak di kaki rinjani ini memiliki kelebihan bila dibadingkan dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Lombok Utara. Karena disamping sebagai pintu gerbang pendakian ke Rinjani, juga memiliki beberapa obyek wisata yang indah dan menawan.

Secara kultur, Senaru ini memiliki keunikan kehidupan yaitu adanya masyarakat adat yang mampu bertahan di antara masyarakat yang telah terpengaruh era modernisasi. Secara administrasi desa ini merupakan pemekaran dari desa Bayan yang res mi dibentuk pada tahun 1998 dengan motto yang sangat unik yaitu ontas onang onyak. Sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani yang secara langsung mendapat manfaat dari kawasan taman nasional gunung Rinjani. Masyarakat juga terlibat aktif sebagai pelaku wisata yang mengelola wisata desa maupun wisata pendakian. Beberapa penduduk berprofesi sebagai guide dan porter pendakian. Selain dari wisata pendakian, masyarakat mengelola wisata desa. Wisata desa di Senaru berupa wisata air terjun dan jelajah desa (gubuk senaru).

Di balai adat senaru, terdapat rumah-rumah tradisional yang unik. Lantainya terbuat dari tanah liat, pagarnya bedek dan atap rumbia. Warga warganya ramah menyambut wisatawan yang datang. Kawasan ini juga rimbun dan asri, beberapa pepohonan kopi milik warga terlihat ikut membuat tempat ini lebih rindang. Jika ingin melihat pemandangan yang indah di areal persawahan bersantailah ke bangket bayan yang membentang luas dan berdekatan dengan hutan adat. Suasana tradisional yang dijanjikan di Desa Senaru memang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan untuk datang berkunjung ke daerah jalur pendakian ini. Malah penduduk setempat cukup sering kedatangan wisatawan yang ingin menginap. terutama ketika masyarakat lokal melangsungkan kegiatan adat.



Potensi

Kondisi permukiman tradisional Desa Senaru, belum ada perubahan bahan maupun bentuk bangunan. Seluruh bangunan tradisional yang da masih dalam kondisi asli.

Permasalahan

• Jalan akses menuju Kawasan Tradisional kondisinya ada yang rusak.

• Jalan setapak di lingkungan permukiman tradisional sebagian menggunakan pasangan batu kali, kondisinya ada yang rusak



Arahan tata Ruang

Perda RTRW Kabupaten Lombok Utara No. 9 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Lombok Utara 2011 - 2031 menyebutkan :

• Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) kawasan perkotaan lain yang bertungsi untuk melayani kegiatan skala kecamatan a tau beberapa desa meliputi Senaru dan Sukadana

• Perkampungan Tradisional Senaru

• Wisata Budaya di desa senaru

• Kawasan Strategis Kabupaten dari sudut Kepentingan Sosial Budaya adalah Kawasan Situs Budaya MasyarakatAdat Bayan yang terdapat di Kecamatan Bayan meliputi Des a Bayan, Desa Senaru dan Desa Sukadana (Dusun Segenter)

• Peraturan zonasi untuk Pusat Pelayanan Kawasan (PPK) disusun dengan memperhatikan pemanfaatan ruang untuk melayani kegiatan berskala kecamatan atau beberapa desa yang didukung dengan pembangunan fasilitas dan infrastruktur kecamatan yang di laksanakan di Kecamatan Bayan (Desa Senaru dan Desa Sukadana)

Justifikasi Pemilihan Lokasi

• Kawasan yang kaya akan budaya lokal

• Lokasi permukiman yang masih memegang erat tradisi dan perlu d ilestarikan.

• Kawasan strategis yang berpotensi di sektor pariwisata, permukiman, budaya dan warisan budaya.

• Berdasarkan hal diatas, Kawasan Senaru sesuai dengan Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan yaitu dengan melakukan pendekatan penanganan dengan Permukiman Tradisional & Bersejarah Kawasan

Pendekatan Penanganan Kawasan

 


 

 

 

 

Sumber: Profil Kawasan strategis Bidang Penataan Bangunan dan Lingkungan, Bali, Nusa Tenggara, Maluku dan papua tahun 2013 Penerbit Kementerian Pekerjaan Umum, Direktorat Jenderal Cipta Karya, Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan

Ruang Terbuka Hijau (RTH) dalam Lansekap

a.     Pengertian Lansekap

Lansekap diartikan sebagai wajah dan karakter lahan atau tapak dari permukaan bumi dengan segala kehidupannya dan apa saja yang ada di dalamnya baik yang bersifat alami maupun buatan. Lanskap diartikan sebagai lahan yang luas, sedangkan yang berskala kecil diistilahkan sebagai taman (garden).

Menurut Suharto (1994), lanskap mencakup semua elemen pada tapak, baik elemen alami (natural landscape), elemen buatan (artificial landscape) dan penghuni /makhluk hidup yang ada di dalamnya. Penataan lanskap yang baik diperlukan untuk mewujudkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang indah dipandang mata.

Terdapat dua aspek penting yang perlu diperhatikan dalam desain lansekap, yaitu aspek fungsi dan aspek estetika.

• Aspek fungsi memberikan penekanan pada kegunaan atau kemanfaatan dari benda atau elemen yang dirancang.

• Aspek estetika menekankan pada usaha untuk menghasilkan suatu nilai keindahan visual yang diperoleh melalui garis, bentuk, warna, dan tekstur.

Elemen lanskap pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Elemen lembut atau alamiah (softscape) adalah istilah yang digunakan untuk unsur-unsur material yang berasal dari alam. Elemen softscape merupakan elemen yang dominan, terdiri dari tanaman atau pepohonan dan air permukaan.

2. Elemen keras atau buatan (hardscape) adalah unsur-unsur material buatan atau elemen selain vegetasi yang dimaksudkan adalah benda-benda pembentuk taman, terdiri dari bangunan, gazebo, kursi taman, kolam ikan, pagar, pergola, air mancur, lampu taman, batu, kayu, dan lain sebagainya.

b.    Pengertian RTH

Dalam bentangan lanskap terdapat Ruang Terbuka Hijau (RTH) yang juga berdampingan dengan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH). RTH merupakan area memanjang/jalur dan/atau mengelompok, yang penggunaannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh secara alamiah maupun yang sengaja ditanam. Sementara, RTNH merupakan ruang terbuka di wilayah kota/kawasan perkotaan yang tidak termasuk dalam kategori RTH, yaitu berupa lahan yang diperkeras maupun yang berupa badan air.

RTH terdiri dari tiga terminologi, yaitu:

1. Ruang, semakin besar taman maka semakin besar manfaat ekologisnya. Tetapi hal ini masih memerlukan studi lebih lanjut.

2. Terbuka, RTH sepatutnya memiliki fungsi sosial setelah RTH terbangun/beroperasi. Ketika RTH sudah dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, indeks kepuasan pengguna dapat diukur apakah masyarakat sebagai pengguna sudah merasa puas dalam memanfaatkan RTH.

3. Hijau, berkaitan dengan fungsi ekologis.

RTH ditinjau dari aspek kepemilikannya dibagi menjadi RTH publik dan RTH privat:

1. RTH Publik, RTH yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah daerah yang digunakan untuk kepentingan masyarakat secara umum, antara lain berupa taman kota; taman pemakaman umum; dan jalur hijau sepanjang jalan, sungai, serta pantai.

2. RTH Privat, RTH yang dimiliki dan dikelola oleh swasta/masyarakat, antara lain berupa kebun atau halaman rumah/gedung milik masyarakat/swasta yang ditanami tumbuhan.

RTH ditinjau dari aspek aktivitas manusia didalamnya terbagi menjadi dua jenis, yaitu RTH aktif dan RTH pasif:

1. RTH Pasif, RTH yang ditujukan untuk konservasi dimana kepadatan hijaunya cenderung tinggi antara 90-100% dan tidak mengundang unsurunsur kegiatan manusia di dalamnya. Contoh RTH pasif dapat berupa pulau, jalan, taman untuk rekreasi aktif dan pasif.

2. RTH Aktif, RTH yang ditujukan untuk ruang publik tempat masyarakat dapat berkegiatan secara aktif. Tidak hanya sekedar ruang terbuka publik, namun juga menampung kegiatan masyarakat. Contoh RTH aktif misalnya plaza dan tempat bermain.

 

c.     Aturan RTH di Indonesia

Terdapat beberapa aturan RTH di Indonesia yang dapat menjadi acuan dalam penyelenggaraan ruang terbuka hijau, yaitu sebagai berikut:

Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang

Undang-Undang ini mengamanatkan proporsi RTH pada wilayah kota paling sedikit 30 % dari luas wilayah kota di mana 20 %-nya merupakan RTH publik.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung diubah dengan UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja

Pengaturan bangunan gedung bertujuan untuk mewujudkan bangunan gedung yang fungsional dan sesuai dengan tata bangunan gedung yang serasi dan selaras dengan lingkungannya.

Peraturan Menteri PU No. 6 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum RTBL Pedoman Umum RTBL

berfungsi sebagai dokumen pengendali pembangunan dalam penyelenggaraan penataan bangunan dan lingkungan untuk suatu lingkungan/kawasan tertentu supaya memenuhi kriteria perencanaan tata bangunan dan lingkungan. Pedoman ini mengatur tentang Program Bangunan dan Lingkungan, Rencana Umum dan Panduan Rancangan (termasuk di antaranya KDB, KLB, KDH, Sistem Ruang Terbuka dan Tata Hijau), serta Rencana Investasi.

Peraturan Menteri PU No. 05 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan

Permen PU No. 05 Tahun 2008 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Hijau di Kawasan Perkotaan ini bertujuan untuk mendorong kebutuhan ekologis (menjaga ketersediaan lahan sebagai kawasan resapan air). Dalam peraturan ini diatur mengenai standar penyediaan RTH, kriteria penyediaan vegetasi serta arahan pemanfaatan RTH. Menurut Permen ini, tanaman tepi pada jalur hijau jalan harus memenuhi fungsi di antaranya sebagai peneduh, penyerap polusi, peredam kebisingan, dan pemecah angin.

Peraturan Menteri PU No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Penyediaan dan Pemanfaatan Ruang Terbuka Non Hijau (RTNH) di Kawasan Perkotaan

Pedoman yang ini bertujuan untuk mendorong penyediaan RTH sebagai pembentuk ruang yang berkualitas untuk beraktivitas, baik sosial maupun budaya. Pedoman ini mengatur standar penyediaan RTH, kriteria penyediaan perkerasan, serta arahan pemanfaatan RTNH.

Standar Nasional Indonesia (SNI) 03-1733- 2004 mengenai Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan.

Penggolongan sarana RTH di lingkungan perumahan berdasarkan kapasitas pelayanannya terhadap sejumlah penduduk adalah sebagai berikut:

• Setiap unit Rukun Tetangga (RT) atau kawasan berpenduduk 250 jiwa dibutuhkan minimal 1 unit taman untuk memberikan kesegaran pada kota, baik udara segar maupun cahaya matahari, sekaligus tempat bermain anak-anak;

• Setiap unit Rukun Warga (RW) atau kawasan berpenduduk 2.500 jiwa diperlukan sekurangkurangnya satu daerah terbuka berupa taman, di samping daerah-daerah terbuka yang telah ada pada tiap kelompok 250 penduduk, yang berfungsi sebagai taman tempat main anak-anak dan lapangan olah raga kegiatan olah raga;

• Setiap unit kelurahan atau kawasan berpenduduk 30.000 jiwa diperlukan taman dan lapangan olahraga untuk melayani kebutuhan kegiatan penduduk di area terbuka, seperti pertandingan olah raga, upacara, serta kegiatan lainnya;

• Setiap unit kecamatan atau kawasan berpenduduk 120.000 jiwa, harus memiliki sekurang-kurangnya 1 (satu) lapangan hijau terbuka yang berfungsi sebagai tempat pertandingan olahraga, upacara, serta kegiatan lainnya yang membutuhkan tempat yang luas dan terbuka.



d.    Fungsi RTH

RTH dalam perkotaan dapat berfungsi ekologis, sosial budaya, estetika, dan ekonomi.

Fungsi Ekologi

RTH merupakan ‘paru-paru’ kota atau wilayah. Tumbuhan dan tanaman hijau dapat menyerap karbondioksida (CO2 ), menambah oksigen, menurunkan suhu udara dengan keteduhan dan kesejukan tanaman, menjadi area resapan air, serta meredam kebisingan. Beberapa fungsi ekologi RTH pada lansekap antara lain:

1. Perlindungan terhadap radiasi matahari

2. Perlindungan terhadap angin

3. Perlindungan terhadap suhu

4. Perlindungan terhadap polusi

5. Perlindungan terhadap erosi

6. Perlindungan terhadap pandangan/visual (glare)

Fungsi Sosial Budaya

RTH dapat menjadi ruang tempat warga dapat bersilaturahmi dan berekreasi. Anak-anak mendapatkan ruang untuk bermain. RTH juga dapat menjadi wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam mempelajari alam.

Fungsi estetika

Keberadaan RTH dapat menciptakan suasana serasi dan simbang antara area terbangun dan tidak terbangun. Selain itu keberadaan RTH juga dapat meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota, baik pada skala mikro, halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun makro (lansekap kota secara keseluruhan), yang dapat menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota.

Fungsi ekonomi

Jenis-jenis tanaman tertentu punya nilai jual dan nilai konsumsi seperti tanaman bunga, buah, daun, dan sayur-mayur.

e.     Elemen-elemen Perancangan RTH

Perancangan RTH didasarkan pada pertimbangan perwujudan keselarasan antara bangunan gedung dengan lingkungan sekitarnya, sehingga infrastruktur yang kaku dapat dilunakan dengan unsur hijau. Perancangan RTH juga dilakukan untuk mengantisipasi pertumbuhan dan perkembangan kota agar tercipta keselarasan antara ruang terbangun dan ruang hijau.

Perancangan RTH tidak mutlak hanya unsur vegetatif (pepohonan) saja, namun dapat ditambahkan aktivitas pendukung agar tercipta RTH yang aktif sesuai dengan peluang pengembangan ruang terbuka tersebut. Perancangan RTH perlu memperhatikan elemenelemen seperti fungsi RTH, peran RTH dalam kontrol parameter tertentu, dan jenis tanaman yang sesuai dengan kontrol parameter tersebut.

Dominasi unsur vegetatif tetap perlu diperhatikan agar terdapat pembeda dengan perencanaan ruang terbuka yang lain (Krisnawati, 2012). RTH dibangun dari kumpulan vegetasi yang perlu direncanakan kesesuaian terhadap lokasi dan peruntukannya. Persyaratan umum tanaman untuk RTH perkotaan yaitu:

 





Sumber: PANDUAN PENATAAN RUANG TERBUKA HIJAU Oleh KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT Tahun 2022

Sabtu, 04 Maret 2023

Menjadi Salah Satu Syarat Perizinan, KKPR Harus Diproses Paling Awal

KEMENTERIAN Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) melalui Direktorat Jenderal Tata Ruang menyelenggarakan Klinik Penguatan Layanan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (KKPR) untuk Pulau Sumatera, Pulau Jawa-Bali, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, Kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan Maluku, dan Pulau Papua di Jakarta, Senin (6/12/22).

Kegiatan ini diselenggarakan untuk menyebarluaskan pemahaman tentang proses bisnis perizinan berusaha dan melaksanakan tahap validasi KKPR kepada Organisasi Perangkat Daerah (OPD) yang membidangi tata ruang. Selain itu kegiatan ini juga dimaksudkan untuk menjaring permasalahan pelaksanaan KKPR di daerah melalui Sistem Online Single Submission-Risk Based Approach (OSS-RBA).

Membuka acara tersebut, Direktur Jenderal Tata Ruang, Gabriel Triwibawa mengungkapkan bahwa KKPR merupakan kebijakan dan istilah baru dari peraturan turunan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK). Ia juga mengungkapkan bahwa peraturan turunan UUCK yakni, Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang maupun Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang dan Sinkronisasi Program Pemanfaatan Ruang mengamanatkan bahwa setiap kegiatan pemanfaatan ruang harus terlebih dahulu mendapatkan suatu evaluasi agar kegiatan yang akan dilakukan sesuai dengan rencana tata ruang (RTR).



"Poin pertama yang perlu kita pahami bersama adalah bahwa KKPR ini bukan sebuah perizinan, melainkan persyaratan dasar perizinan," ujar Gabriel Triwibawa. Lebih lanjut, Gabriel memaparkan bahwa terdapat dua makna KKPR.

"Makna pertama hampir sama dengan izin lokasi, untuk perolehan tanah. Makna yang kedua adalah untuk pemanfaatan ruang," lugasnya.

Disampaikan pada paparan Gabriel, bahwa penerbitan KKPR mempunyai tiga mekanisme. Yang pertama, melalui konfirmasi, mekanisme ini dapat dilakukan apabila daerah tersebut sudah memiliki RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) yang terintegrasi dengan OSS. Kedua, melalui penilaian, mekanisme ini dapat dilakukan apabila terdapat rencana tata ruang lain yang tidak terdapat pada RDTR yang telah terbit. Ketiga, melalui rekomendasi, mekanisme ini dapat dilakukan pada Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan persyaratan tambahan yang harus dilengkapi.

Pada kesempatan tersebut, Direktur Sinkronisasi Pemanfaatan Ruang, Eko Budi Kurniawan menyampaikan paparannya bahwa selain KKPR, terdapat dua persyaratan dasar perizinan lainnya yakni, Persetujuan Lingkungan dan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG). "KKPR merupakan salah satu dari tiga persyaratan perizinan. KKPR merupakan persyaratan dasar perizinan yang harus diproses paling awal, tidak paralel dengan Persetujuan Lingkungan, maupun Persetujuan Bangunan Gedung," papar Eko Budi Kurniawan.

Ia juga menyatakan bahwa KKPR merupakan salah satu persyaratan dasar perizinan dalam proses pengadaan tanah "Proses pengurusan KKPR berada di awal, yaitu pada proses perencanaan, sebelum penetapan lokasi (penlok), karena penlok ini acuannya adalah KKPR," tuturnya. Turut disampaikan bahwa KKPR merupakan single reference untuk pemanfaatan ruang.

Selain dihadiri oleh Direktur Jenderal Tata Ruang, Gabriel Triwibawa, dan Direktur Sinkronisasi, Pemanfaatan Ruang Eko Budi Kurniawan, acara ini juga diisi oleh beberapa pembicara dan penanggap, di antaranya, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Albertien Enang Pirade, serta Jabatan Fungsional Penata Ruang Ahli Utama, Abdul Kamarzuki, Sufrijadi, dan Dodi Slamet Riyadi.

Selain melakukan diskusi dan tanya jawab, para peserta rapat juga melakukan simulasi dan pelaksanaan validasi KKPR.

 

 

Sumber: BULETIN PENATAAN RUANG Edisi VI | November - Desember 2022

Jumat, 03 Maret 2023

Belajar Smart City Korea Untuk Dukungan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Mewujudkan Smart Living

Arahan Visium Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menargetkan pencapaian Smart Living yaitu 100% untuk hunian cerdas pada tahun 2030. Smart Living yang tertuang dalam Visium Kementerian PUPR dimaknai sebagai permukiman cerdas. Arah kebijakan pembinaan dan pengembangan infrastruktur permukiman dalam mewujudkan Smart Living adalah peningkatan penyediaan infrastruktur permukiman yang partisipatif dan berkelanjutan, dengan pengarusutamaan empat aspek dalam pelaksanaannya, yaitu perwujudan permukiman layak huni, penerapan bangunan gedung hijau, pembangunan permukiman tahan bencana, serta penerapan teknologi dan permukiman ramah lingkungan. Hal yang perlu menjadi perhatian adalah bagaimana upaya yang sebaiknya dilakukan dalam rangka mewujudkan permukiman cerdas sesuai cita-cita Visium Kementerian PUPR.

Korea Selatan merupakan salah satu negara yang menjadi champion perwujudan konsep Smart City. Basis dari penyelenggaran Smart City adalah upaya yang dilakukan sebagai solusi menyelesaikan permasalahan dan mengakomodasi kebutuhan warga yang menjadi penghuni dengan memanfaatkan layanan teknologi yang inovatif. Busan Eco Delta Smart City dapat dijadikan sebagai referensi konsep perwujudan permukiman cerdas. Busan Eco Delta memiliki luas 11,77 km2 yang telah dibangun sejak tahun 2020 dengan skenario jumlah penduduk 76.000 orang. Sebagai upaya mewujudkan permukiman layak huni, Busan Eco Delta didesain untuk dapat meningkatkan quality of life (50:50 work & life balance) sehingga dapat meningkatkan kesehatan penghuninya untuk 5 tahun hidup sehat lebih lama. Komitmen yang dilakukan yaitu dengan menyediakan 31% dari luas lahannya untuk kegiatan ekonomi dan menciptakan pekerjaan yang layak dengan berbasis Information and Communication Technologies (ICT), menetapkan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebesar 31% dalam bentuk urban eco park, waterfront park, bird feeding ground dan eco wetland parks, mewujudkan walkable city serta memanfaatkan teknologi untuk mengurangi tingkat stres penghuni terhadap bencana terkait banjir, gempa bumi, potensi kebakaran dan pencegahan tindakan Kriminal.



Sebagai upaya membangun permukiman tahan bencana Eco Delta City melakukan transformasi digital untuk dapat mensimulasikan potensi tsunami yang terjadi dengan menggunakan digital twin. Konsep teknologi ini mampu mensimulasikan kondisi real kawasan kedalam bentuk digital yang berbasis pada kemampuan Big Data, Artificial Intelegent dan Internet of Things sehingga dapat diperoleh berbagai skenario mitigasi.

Bangunan gedung hijau di Busan Eco Delta diwujudkan dengan mengaplikasikan beberapa konsep cerdas antara lain Low Impact Development (LID) konsep yang memaksimalkan potensi infiltrasi pasca pembangunan, Smart Water Management (SWM) mengaplikasikan ICT untuk mengoptimalkan kualitas dan kuantitas air, serta pemanfaatan solar panel sebagai sumber energi listrik mandiri di setiap rumah.

Perwujudan permukiman cerdas dengan optimalisasi transformasi digital menjadi suatu keniscayaan dilakukan saat ini sebagai respon terhadap tantangan di masa depan. Penyelenggaraan penataan ruang pada unit terkecil perencanaan yaitu Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) dan Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) tentu saja menjadi kunci keberhasilan Permukiman Cerdas. Kolaborasi dukungan Penataan Ruang dan dukungan Kementerian PUPR di dalam mewujudkan Smart Living tentu harus memperhatikan karakteristik masyarakat Indonesia sebagai penghuni agar supaya transformasi adaptasi teknologi yang dilakukan proporsional, tepat guna dan sesuai kebutuhan sehingga dapat dimanfaatkan dan dikelola secara efisien dan efektif.

 

 

Sumber: Oleh Benny Hermawan, S.T., M.Sc.1 , dan Akhyar Farizal, ST., M.Eng dalam BULETIN PENATAAN RUANG Edisi VI | November - Desember 2022